Jakarta, the capital city of Indonesia, has been suffered from annual floods due to its geographical and morphological area (Texier, 2008). In early 2021, the government of Jakarta was forced to handle the flood amidst the COVID-19 pandemic, while on the other side, the capital is the highest contributor to positive case numbers nationally (National Covid-19 Task Force, 2021). Even though there has been no scientific calculation on how both risks interact, it is not debatable that the pandemic amplifies the impact generated by the flood. For instance, people whose houses are flooded are more vulnerable to being infected by Covid-19 as they have a shortage of clean water and sanitation (Ishiwatari et al., 2020). Therefore, pandemic risk needs to be taken into account in flood risk management, those will bring Jakarta into a big catastrophe in the next pandemic.
Wigke Capri
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana inovasi sosial melalui tata kelola pedesaan diterapkan dalam memanfaatkan teknologi basic, seperti internet, handphone, dan media sosial. Sasaran inovasi tersebut adalah masyarakat desa yang notabenenya dikatakan belum mampu/tertinggal dalam memanfaatkan perkembangan teknologi karena berbagai faktor seperti tidak meratanya infrastruktur, kurangnya kemampuan mengakses teknologi karena rendahnya pendapatan, kurangnya literasi dan kemampuan digital, hingga penolakan terhadap teknologi (Dihni, 2022; Hadi, 2018; Oktavianoor et al., 2020).
Indonesia, known for its vast nickel deposits, is poised to become a major player in the global battery industry. Nonetheless, a pivotal choice looms on the horizon —one that could lead the country down a path of sustainability or prosperity. As many scientists have advocated for a shift towards greener living, electric vehicles (EVs) are gaining traction as one of the solutions to a green lifestyle. Indonesia was distributing 81,525 units of EVs by 2023 (Ika, 2023), a significant increase from previous years. Meanwhile, the number of electric motorcycles alone surged 13-fold from 2020 to 2023 (Annur, 2023).
As Gen-Z – a generation born between 1997-2012 – the author sees how international relations interactions have changed, including diplomacy. d’Hooghe (2015, in Furrer, 2020) describes two models of public diplomacy; the “state-centered”, which is often represented by the official state delegations, and the “network-based”, which also involves various non-state actors to encourage dialogue and collaboration between states. Nations need to combine the two models of public diplomacy to promote images, build relationships, and engage audiences. The categorization of d’Hooge’s public diplomacy sees soft power, such as media, events, human resources, and publications/promotions, as instruments of public diplomacy. Nye (2004, in Furrer, 2020) describes soft power as an ability to cooperate instead of coercion. Soft-powered public diplomacy can be accomplished through esports diplomacy.
Suatu waktu, saya teringat klaim Presiden Jokowi yang dengan bangganya mengklaim bahwa Indonesia tercatat sebagai negara terbaik dalam pertumbuhan ekonomi di masa pandemi. Menurut Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 berkembang sebesar 3,7% dan 5,31% pada tahun 2022 (CNN Indonesia, 2023). IMF juga memproyeksikan pertumbuhan Indonesia akan tetap dalam kinerja yang baik dengan hasil ekspor yang baik.
Namun, jika kita melihat kondisi perekonomian Indonesia tanpa perspektif yang lebih luas, kita akan melihat lanskap perekonomian yang sebetulnya tidak komprehensif menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia yang sesungguhnya. Data Credit Suisse mencatat 10% penduduk Indonesia memiliki 75% PDB Indonesia pada tahun 2020 (Credit Suisse, 2021). Artinya, hanya sebagian kecil dari populasi Indonesia memiliki sebagian besar sumber daya ekonomi atau kekayaan negara sehingga distribusi kekayaan tidak merata. Hal ini menjadi penanda bagi kita semua bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi semata tidak menjamin dalam menghadirkan kesejahteraan bagi semua.
[av_textblock fold_type=” fold_height=” fold_more=’Read more’ fold_less=’Read less’ fold_text_style=” fold_btn_align=” textblock_styling_align=” textblock_styling=” textblock_styling_gap=” textblock_styling_mobile=” size=” av-desktop-font-size=” av-medium-font-size=” av-small-font-size=” av-mini-font-size=” font_color=” color=” fold_overlay_color=” fold_text_color=” fold_btn_color=’theme-color’ fold_btn_bg_color=” fold_btn_font_color=” size-btn-text=” av-desktop-font-size-btn-text=” av-medium-font-size-btn-text=” av-small-font-size-btn-text=” av-mini-font-size-btn-text=” fold_timer=” z_index_fold=” av-desktop-hide=” av-medium-hide=” av-small-hide=” av-mini-hide=” id=” custom_class=” template_class=” element_template=” one_element_template=” show_locked_options_fakearg=” av_uid=’av-46z7st’ sc_version=’1.0′]
Transformasi digital telah mengubah cara masyarakat dalam memperoleh informasi dan berinteraksi satu sama lain. Hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang isu-isu sosial politik. Seorang netizen (panggilan bagi warga pengguna internet), Maulani (2017) di Twitter pernah melontarkan tweet “Lagu Taylor Swift manakah yang paling cocok untuk menggambarkan situasi politik saat ini?”. Celotehan tweet tersebut adalah salah satu contoh fenomena Swiftiesasi. Swiftiesasi adalah sebuah aktivisme yang dilakukan oleh penggemar Taylor Swift dalam mengekspresikan diri, menyuarakan pendapat tentang berbagai kegelisahan, dan melibatkan diri dalam percakapan publik tentang isu-isu penting melalui platform yang dimilikinya dengan menggunakan analogi karya musik Taylor Swift. Di luar negeri, beberapa lagu Taylor Swift sering digunakan oleh para penggemar untuk menyuarakan isu-isu penting seperti kesenjangan sosial (Gannaban, 2022), kesehatan mental (Serio, 2022), ketidakadilan gender (Mackay, 2020), perubahan iklim (Mlaba, 2023), hingga dukungan kepada kelompok minoritas (Capek, 2022).
Sebelum penulis mengajak pembaca untuk menjelajahi lebih jauh , penulis ingin menilik kembali perjalanan penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan hiruk pikuk merebut suara pemilih dalam kampanye politik menggunakan media sosial yakni pada pemilu 2014. Pemilu 2014 menjadi gambaran awal terjadinya pergeseran pola interaksi pemilih, penyelenggara pemilu, dan partai politik terhadap ruang digital. Fenomena pergeseran interaksi politik di ruang digital dilanjutkan dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah tahun 2015, 2017, dan terakhir pada pemilu 2019. Media sosial menjadi tempat perang baru dalam menyebarkan opini dan sekaligus informasi politik (Budiyono, 2016)
Tahun 2024 yang merupakan tahun demokrasi bagi Masyarakat Indonesia menjadi fokus utama untuk melihat perempuan di dalam arena politik terkhusus pada pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, menjadi pertanyaan penting dan perlu dievaluasi apakah perempuan dalam politik hanya dihadirkan sebagai simbol atau benar-benar memiliki pengaruh nyata dalam pembuatan kebijakan dan implementasinya. Representasi politik perempuan di Indonesia masih tergolong minim, banyak sekali persoalan diskriminasi gender di Indonesia yang masih perlu dibenahi terkhusus dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki sangat tidak proporsional, dilihat dari peran pengambilan keputusan dan kebijakan publik yang ada di Parlemen.
Fear of Missing Out (FoMO) tampaknya menjadi pengalaman umum dan baru-baru ini menjadi bagian dari kosakata, sering disebut dalam media popular di kalangan anak muda (Milyavskaya, Saffran, Hope, & Koestner, 2018). FoMO merupakan salah satu dampak perkembangan teknologi (Dewi, Hambali, & Wahyuni, 2022). Kenaikan tingkat konektivitas pada media sosial yang dialami oleh seseorang membuka peluang lebih luas untuk munculnya perasaan FoMO (Dewi, Hambali, & Wahyuni, 2022). Hal ini akan sejalan dengan adanya isu-isu populer yang memicu seseorang untuk mendapatkan validasi atas dirinya di media sosial atau lingkungan fisiknya. Fenomena FoMo juga menjalar pada trending-nya lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ ciptaan Guruh Soekarnoputra yang dinyanyikan oleh mendiang Chrisye pada tahun 1978, sebelum dibawakan oleh Nadin Amizah dalam Film Gadis Kretek (Alwin, 2023). Fenomena ini mendorong orang untuk ikut serta dalam percakapan sosial, mendengarkan lagunya, menonton film Gadis Kretek, menjadi seolah-olah bagian atau related dengan kisah dan makna dalam film Gadis Kretek dan lirik lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’, berpakaian seperti tokoh dalam filmnya atau bahkan hanya membicarakannya untuk merasa terhubung dengan tren budaya. Hal ini menjadi salah satu dampak sosial adanya media virtual yang saling menghubungkannya. FoMO kemudian akan merujuk pada kekhawatiran seseorang bahwa mereka sedang melewatkan pengalaman sosial, acara, atau kegiatan yang sedang berlangsung, terutama ketika melihat postingan teman-teman atau orang lain di media sosial yang menunjukkan kegiatan yang menyenangkan atau berharga yang bersumber dari tren seperti film dan lagu tersebut.
Lagu merupakan komposisi musik yang indah dan menghibur, tercipta dari gabungan suara vokal dan instrumental yang disusun dengan cermat dan menarik bagi pendengarnya (Menurut.id, t.t.). Lagu dapat tercipta dari kehidupan nyata di sekeliling kita, ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ menggambarkan kisah cinta sepasang kekasih yang tragis (Prayitno, 2023). Sedangkan, film Gadis Kretek seolah memvisualisasikan makna lagu yang membuat penontonnya terbawa suasana. Kekuatan media sosial membawa populernya kembali lagu tersebut, terlebih tokoh-tokoh dalam Gadis Kretek berperan dengan apik dan menjiwai. Film dan lagu dapat memiliki dampak sosial yang signifikan baik secara fisik maupun virtual di masyarakat. Populernya kedua karya tersebut membuat individu ingin ikut mengapresiasi sebagai bagian dari karya dengan membuat kembali (remake) dengan versi dirinya. Sebagai contoh adalah ketika orang-orang mulai mengenakan pakaian seperti tokoh Jeng Yah dalam Gadis Kretek yaitu Kebaya Janggan, dan orang-orang membuat video dirinya di mana lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ mengalun dengan suara Jeng Yah, pada penggalan monolognya, “Dan saya ingin membawa mimpi itu kemanapun saya melangkah (Gadis Kretek, 2023)”, ini menunjukkan bahwa seseorang telah mencoba menyampaikan atau merayakan identitas atau budaya tertentu melalui tren yang ada. Penggunaan pakaian tradisional seperti kebaya dan musik dengan elemen-elemen Jeng Yah dalam konteks ini mungkin juga menciptakan suatu bentuk ekspresi diri atau koneksi untuk mengekspresikan diri, mengeksplorasi identitas, atau bahkan mengikuti tren dan norma sosial yang ada.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa FoMo dalam kembali populernya lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ dalam film Gadis Kretek justru membawa social impact berupa apresiasi kultural melalui pelestarian budaya berkebaya, kesetaraan, dan peran perempuan dalam budaya patriarki. Popularitas lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ yang diromantisasi dalam film Gadis Kretek dan adanya fenomena FoMO justru memberikan momentum penting untuk mempromosikan keberlanjutan warisan budaya berkebaya. Pakaian tradisional ini, dengan desain yang khas dan simbolisme yang mendalam, menjadi lebih dari sekadar pilihan berpakaian. FoMO menciptakan semacam gerakan sosial di sekitar identitas kultural ini secara virtual maupun fisik, memotivasi individu untuk mengenakan kebaya sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian warisan budaya. Dengan melibatkan masyarakat dalam apresiasi terhadap kekayaan kultural ini, dampak positifnya dapat melampaui aspek individual dan berkontribusi pada pemeliharaan keberagaman budaya. Sementara itu, FoMO yang terkait dengan lagu diromantisasi dalam konteks perlawanan terhadap budaya patriarki memberikan ruang untuk membangun kesadaran masyarakat akan isu-isu kesetaraan gender. Dengan menggabungkan naratif perempuan yang berani melawan norma-norma patriarki, film Gadis Kretek yang didukung oleh lagu tersebut dapat menjadi katalisator dalam mengubah sikap dan pandangan sosial. Dampak sosial ini menciptakan peluang untuk memajukan dialog tentang pentingnya kesetaraan gender dalam budaya dan masyarakat, serta merangsang perubahan yang lebih luas menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Dalam lingkup kesetaraan gender, FoMO dalam konteks lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ dalam film Gadis Kretek dapat menciptakan ruang dan suasana untuk merangsang gerakan advokasi yang lebih besar. Efek ini dapat termanifestasi dalam pembentukan komunitas atau kelompok yang bersatu untuk mendukung hak-hak perempuan, memperjuangkan perubahan budaya patriarki yang tidak adil, dan mendorong inklusivitas dalam berbagai aspek budaya. Lagu dan film tersebut, melalui adanya FoMO dalam media sosial maupun secara langsung, memiliki potensi untuk menjadi suara yang menginspirasi, memotivasi, dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama menciptakan perubahan positif dalam pandangan terhadap perempuan di dalam budaya. Lebih dari sekadar tren atau popularitas, FoMO yang terkait dengan lagu dan film ini bisa menjadi alat yang kuat untuk membangun momentum sosial yang berkelanjutan. Dengan memanfaatkan kekuatan media dan seni, masyarakat dapat terlibat dalam pembentukan narasi yang mendukung kesetaraan dan pelestarian budaya, menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan sosial positif, dan membuka jalan menuju perubahan yang lebih besar dalam masyarakat.
Referensi
Aditia, R. (2021). Fenomena phubbing: Suatu degradasi relasi sosial sebagai dampak media sosial. KELUWIH: Jurnal Sosial Dan Humaniora, 2 (1), 8-14.
Alwin (2023). Lirik dan makna lagu Kala Sang Surya Tenggelam versi Nadin Amizah | Kisah cinta yang penuh rintangan. Rukita.co. Diakses pada 27 November 2023, melalui https://www.rukita.co/stories/kala-sang-surya-tenggelam/#:~:text=%E2%80%9CKala%20Sang%20Surya%20Tenggelam%E2%80%9D%20adalah%20soundtrack%20serial%20terbaru,pada%20tahun%201978%2C%20sebelum%20dibawakan%20oleh%20Nadin%20Amizah.
Dewi, N., K., Hambali, I., & Wahyuni, F. (2022). Analisis intensitas penggunaan media sosial dan social environment terhadap perilaku FoMo. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 5(1), 11-20.
Gadis Kretek (2023). Film Gadis Kretek. Netflix. Diakses pada 27 November 2023, melalui https://www.netflix.com/id/title/81476989
Menurut.id (t.t.) Pengertian lagu menurut para ahli. Menurut.id. Diakses pada 27 November 2023, melalui https://www.menurut.id/pengertian-lagu-menurut-para-ahli
Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out: prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FOMO. Motivation and emotion, 42 (5), 725-737.
Prayitno, P. (2023). Lirik hingga makna lagu Kala Sang Surya Tenggelam Ost film Gadis Kretek. Liputan6.com. Diakses pada 27 November 2023, melalui https://www.liputan6.com/regional/read/5458538/lirik-hingga-makna-lagu-kala-sang-surya-tenggelam-ost-film-gadis-kretek?page=2
Widada, C. K. (2018). Mengambil manfaat media sosial dalam pengembangan layanan. Journal of Documentation and Information Science, 6003, 23-30.
[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/01/Megashift__01-02-1.pdf”].