Kuasa Big Data, Penargetan Mikro dan Pemilu 2024
brief article, Revolusi DigitalInstagram mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan banjir sorotan netizen pada hari-hari terakhir ia menjabat sebagai gubernur. Ratusan ribu like dan ribuan komentar warganet membanjiri postingan Instagram dengan 5,8 juta pengikut itu . Warganet ingin mengucapkan salam perpisahan, memuji kerja-kerjanya selama lima tahun terakhir dan tak sedikit pula yang mengkritik Anies, yang jabatannya berakhir pada 16 Oktober 2022.
Popularitas bakal calon presiden 2024 usungan Partai NasDem itu direkam oleh lembaga analisa data media sosial Drone Emprit. Belum lama ini Drone Emprit mengeluarkan hasil survei yang menyebut popularitas Anies Baswedan di media sosial sepanjang awal hingga pertengahan Oktober telah jauh mengungguli pesaing-pesaingnya di bursa capres 2024. Nama Anies Baswedan paling banya dibicarakan publik di media sosial. (Tempo, 26 Oktober 2022).
Kabar data popularitas Anies hasil analisa Drone Emprit itu bergulir dan menyebar di berbagai media massa, berpotensi menguatkan popularitasnya jelang Pemilu 2024. Drone Emprit hanya satu contoh bagaimana big data yang bersumber dari aktivitas netizen di media sosial dikumpulkan, dinalisa dan disajikan sebagai sebuah wawasan informasi baru mengenai popularitas tokoh politik. Aktivitas pengumpulan dan analisa data semacam ini bukan tidak mungkin juga tengah dikerjakan lembaga lain yang serupa untuk memotret persepsi publik terhadap tokoh-tokoh lain seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maupun tokoh lain yang digadang-gadang bakal berlaga di Pemilu 2024.
Di tatataran global, penggunaan big data untuk memotret dinamika politik semakin lazim digunakan. Publik tentu masih ingat skandal Cambridge Analytica. Lembaga yang menggunakan big data dari media sosial Facebook untuk memenangkan Donald J Trump di pemilu Amerika Serikat pada 2016. Salah satu strategi yang digunakan Cambridge Analytica kala itu adalah mengidentifikasi pemilih yang dapat dibujuk (persuadable voters) dan isu-isu yang para pemilih itu pedulikan. Lembaga itu lantas mengirimkan pesan-pesan yang berdampak pada sikap pemilih. Dengan big data, mereka memprediksi kebiasaan pemilih dan menyarankan kampanye model apa yang seharusnya dilakukan untuk memenangkan Trump.
Big Data sebagai Kekuasaan
Big data memungkinkan penggunanya mengetahui kecenderungan pilihan publik dan isu-isu apa yang mereka minati. Seperti yang diungkapkan Seth Stephens-Davidowitz dalam
Everybody Lies: Big Data New Data and What Internet Can Tell Us Who We Really Are (2017). Big data memungkinkan kita untuk akhirnya melihat apa yang benar-benar diinginkan dan dilakukan orang, bukan apa yang mereka katakan. Menyediakan data yang jujur adalah kekuatan big data.
Lebih jauh adalah bagaimana merespons kecenderungan perilaku pemilih itu dengan isu atau kampanye yang tepat dan bisa mempengaruhi pilihan mereka tanpa pemilih sadari. Cara-cara ini tentu sangat berguna untuk kepentingan politik elektoral.
Di era banjir informasi, big data telah menjadi kuasa baru dalam dinamika politik elektoral. Bila selama ini kekuasaan hanya dipahami sebagai yang terlihat layaknya pemerintah dengan segala otoritasnya untuk memaksakan kebijakan, era disrupsi telah memperlihatkan bekerjanya kekuasaan yang tak terlihat dan mungkin tak disadari melalui kerja-kerja big data. Kekuasaan yang digambarkan oleh Steven Lukes dalam A Radical View (2005), sebagai lapis ketiga kekuasaan. Dalam konteks ini kuasa ideologi yang bekerja dengan didukung big data.
Ancaman Demokrasi
Peran besar big data dalam pemilihan elektoral telah disadari oleh partai politik dan para politisi di banyak negara. Big data semakin diandalkan untuk membuat profil pemilih dan menargetkan kelompok pemilih tertentu. Kondisi ini didukung dengan meningkatnya ketergantungan publik pada media sosial sebagai sumber ide dan informasi. Media sosial akhirnya semakin banyak digunakan untuk menyasar pemilih.
Normann Witzleb, Moira Paterson dan Janice Richardson dalam Big Data, Political Campaigning and the Law: Democracy and Privacy in the Age of Micro-Targeting (2020) menyebut kondisi ini sebagai penargetan mikro politik. Suatu penggabungan penelitian pemilih berbasis data dengan iklan politik yang dipersonalisasi.
Melalui penargetan mikro, sebuah partai politik dapat mengidentifikasi pemilih individu yang kemungkinan besar akan diyakinkan dan mencocokkan pesan yang akan disampaikan pada mereka. Entah pesan yang disampaikan tersebut merupakan informasi palsu atau bukan.
Penggunaan big data tersebut di satu sisi memang meningkatkan efisiensi kampanye politik namun mudarat yang dihasilkannya juga tidak main-main. Dampak paling nyata adalah ancamannya terhadap demokrasi. Penargetan mikro dengan operasi big data bagaimanapun dibuat dengan tidak transparan.
Lebih jauh, target memanipulasi pilihan masyarakat jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan melemahkan upaya kolektif yang selama ini dibangun untuk menopang tegaknya nilai-nilai demokrasi substansial selama pemilu, seperti nilai transparansi dan pemilu yang adil. Demokrasi elektoral pada akhirnya hanya sebatas sukses dari sisi pelaksanaan bukan pada proses yang lebih substansial. Belum lagi efek negatif seperti masalah privasi yang ditimbulkannya dan potensi keterbelahan masyarakat.
Kita belum berbicara mengenai kualitas kebenaran pesan-pesan kampanye yang ditebar di media sosial. Pesan-pesan kampanye itu belum tentu ada kaitannya dengan kualitas program yang ditawarkan kepada masyarakat. Fakta itu nyata pada kasus terpilihnya Donlad J Trump.
Mengawal Demokrasi Substansial
Apa yang terjadi pada pemilu 2016 di Amerika Serikat bukan tidak mungkin berulang di Indonesia pada Pemilu 2024, mengingat analisa big data telah menjadi hal lazim di era disrupsi. Di sisi lain tingkat literasi masyarakat Indonesia masih kalah jauh dengan negara-negara lain, meski pengguna internet terus meningkat.
UNESCO menyebut masyarakat Indonesia memiliki minat baca sangat rendah. Lembaga itu mencatat, hanya 0,001 persen atau 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang rajin membaca. Di sisi lain, ketergantungan pada media sosial tetap tinggi. Kondisi ini potensial menjadi lahan subur penargetan mikro lewat big data jelang Pemilu 2024.
Kuasa big data dan rendahnya tingkat literasi selayaknya menjadi tantangan bagi Indonesia menjelang Pemilu 2024. Kita perlu mengawal agar proses demokrasi pada pemilu mendatang tidak tercederai oleh praktek-praktek tak beretika berupa penggunaan big data untuk memanipulasi informasi.
Setiap pemilih bepeluang untuk terhindar dari jebakan informasi palsu yang mungkin ditebar menjelang Pemilu 2024. Dalam konteks ini literasi digital menjadi penting. Secara teknis, pemilih bisa menghindari jebakan algoritma yang mengarahkan kecenderungan pemilih untuk meangakses informasi tertentu. Referensi tips menghindari jebakan algoritma bertebaran di internet.
Terpenting lagi adalah kerja sama dan kolaborasi antara pihak pemerintah, masyarakat umum, perguruan tinggi maupun penyelenggara pemilu dalam menyosialisasikan pendidikan politik. Pemilih semestinya cerdas mencerna program-program politik yang bertebaran di media sosial. Mengkajinya secara lebih dalam apakah itu realistis dan berkelanjutan demi kebaikan publik.
Isu-isu mengenai penargetan mikro politik, informasi palsu dan pentingnya etika dalam era big data perlu menjadi perhatian banyak pihak sejak dini. Harald Stelzer dan Hristina Veljanova dalam Big Data and Democracy (2020) menawarkan kerangka kerja etik dalam isu big data yang potensial mengancam demokrasi. Antara lain terkait dengan pengembangan seperangkat kriteria etik dan indikator dalam pemanfaatan big data. Seperangkat etika ini setidaknya perlu memuat sejumlah nilai penting antara lain perlunya penghargaan terhadap privasi, otonomi, transparansi, tanggung jawab serta keamanan dari tindakan diskriminatif. Seperangkat etika ini seharunya menjadi panduan dalam evaluasi aktivitas big data di Tanah Air oleh pemangku kepentingan.
Referensi
Davidowitz, Seth Stephens, (2017). Everybody Lies: Big Data New Data and What Internet Can Tell Us Who We Really Are. Dey Street Books
Lukes, Steven, (2005), Power: A Radical View. Macmillan Education
Witzleb, Normann & Moira Paterson, (2020). Big Data, Political Campaigning and the Law: Democracy and Privacy in the Age of Micro-Targeting. Routledge.
Macnish, Kevin., Jai Gallio., Harald Stelzer & Hrisna Veljanova, (2020). Big Data and Democracy. Edinburgh University Press
Tempo. (2022). Temuan Drone Emprit, Anies Baswedan Paling Riuh Dibicarakan Media Online dan Media Sosial. Diakses pada 28 Oktober 2022 melalui https://metro.tempo.co/read/1649407/temuan-drone-emprit-anies-baswedan-paling-riuh-dibicarakan-media-online-dan-media-sosial
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!