Eco-Feminism: Perempuan dan Kampanye Lingkungan Hidup di Media Sosial

, ,

Adaptasi terhadap modernisasi berdampak tidak hanya pada gaya hidup namun juga lingkungan hidup. Climate change atau perubahan iklim menjadi contoh kasus degradasi lingkungan hidup yang terus disoroti hampir di seluruh dunia. Gaya hidup manusia yang terus mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan produksi tidak mampu diimbangi oleh proses pelestarian lingkungan hidup. Lebih jauhnya, populasi manusia terus bertambah sedangkan ruang hijau semakin mengecil. Ekosistem menjadi tidak stabil dan menyebabkan banyak bencana tidak hanya bagi peradaban manusia namun juga makhluk lainnya. Seperti peningkatan suhu bumi yang diprediksi telah meningkat 0.8°C per dekade sejak tahun 1880. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, mencatat rata-rata suhu maksimum terdapat di tiga provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Rata-rata suhu maksimum di tiga provinsi tersebut di atas 35°C. Sebagai akibat dari degradasi lingkungan hidup, peningkatan suhu bumi berdampak pada aktivitas manusia terutama di kawasan perkotaan dan pembangunan berkelanjutan di kawasan rural.

Banyak dari kita, terutama perempuan yang tergerak dalam kampanye lingkungan hidup untuk memperjuangkan kestabilan ekosistem di Indonesia. Eco-feminism memandang bahwa keikutsertaan perempuan dalam kampanye lingkungan hidup sangat penting karena bumi diartikulasikan sebagai perempuan. Ibu Bumi merupakan salah satu slogan kampanye lingkungan hidup yang mengartikulasikan bumi sebagai perempuan dan melambangkannya sebagai seorang ibu yang memberikan kehidupan. Slogan Ibu Bumi tersebar luas di media sosial dengan menggunakan lambang bumi dan perempuan, sangat erat kaitannya dengan eco-feminism. Organisasi internasional seperti United Nations Development Programme (UNDP), European External Action Service (EEAS), dan lain sebagainya menggunakan slogan Ibu Bumi sebagai kampanye lingkungan hidup salah satunya untuk memperingati hari bumi. Melalui artikel ini, penulis akan membahas lebih lanjut terkait dengan eco-feminism dalam kampanye lingkungan hidup di media sosial. Diskusi tentang eco-feminism cukup menarik tidak hanya mengetahui perspektif feminism namun juga ikut serta dalam menelaah kompleksitas peradaban manusia.

Mengenal Eco-Feminism dalam Kampanye Lingkungan Hidup

Feminism merupakan sebuah movement untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Subordinasi perempuan dalam struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya menyebabkan hak-hak mereka tidak terakomodasi. Eco-feminism menyarankan konsep ulang apa itu alam dan jenis hubungan apa yang bisa ada antara manusia dan dunia non-manusia adalah bagian dari penghapusan penindasan yang dilembagakan berdasarkan jenis kelamin, ras, kelas, preferensi seksual dan bagian dari apa yang dapat membantu dalam mengubah praktik lingkungan yang kejam (Legler, 1997). Eco-feminism berusaha mengakomodasi kepentingan perempuan terutama dalam pemanfaatan lingkungan hidup. Berdasarkan eco-feminism, pohon, air, binatang, dan bahasa alam adalah isu feminis karena pemahaman terkait hal tersebut membantu dalam memahami status dan nasib perempuan secara lintas budaya (Warren, 1997). Pada dasarnya eco-feminism memperjuangkan subordinasi perempuan dalam struktur sosial di masyarakat. Secara filosofi, eco-feminism mengartikulasikan bumi sebagai perempuan dan melambangkannya sebagai seorang ibu karena manusia selalu bergantung dengan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan produksi. Lingkungan hidup memberikan kehidupan bagi keberlangsungan peradaban manusia. Seperti halnya seorang ibu yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya melalui nutrisi dan kasih sayang.

Dalam pandangan eco-feminism, degradasi lingkungan hidup erat kaitannya dengan degradasi dan devaluasi perempuan dengan berbasis pada ras dan kelas. Subordinasi terhadap perempuan terkait pemanfaatan lingkungan hidup masih terjadi dan menjadi bagian dari isu feminis. Sesuatu adalah isu feminis jika pemahamannya membantu memahami oppression atau subordinasi perempuan (Warren, 1997: 4). Dominasi patriarki menyebabkan para perempuan hidup dengan keterbatasan pilihan. Pengetahuan perempuan cenderung tidak dihargai ketika berhadapan dengan korpus patriarki dalam struktur sosial. Pekerjaan yang dikerjakan perempuan dianggap sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari dan merupakan translasi antara kebutuhan sosial dan lingkungan hidup. Terkait dengan degradasi lingkungan hidup, perempuan menjadi korban utama. Di negara berkembang seperti Indonesia, jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki kecenderungan lebih bergantung dengan hasil alam.

Terdapat perbedaan dampak degradasi lingkungan hidup terhadap perempuan di kawasan perkotaan dan rural. Di kawasan rural, perempuan semakin tersubordinasi karena semakin menipisnya sumber daya alam. Perempuan harus menempuh jarak sekian kilometer untuk mendapatkan air bersih dan mengumpulkan kayu bakar pada musim kemarau di Kabupaten Gunung Kidul, D.I Yogyakarta. Mayoritas perempuan di kawasan rural memiliki riwayat pendidikan terbatas sehingga hanya bergantung pada sumber daya hutan sebagai penyokong utama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Sedangkan di kawasan perkotaan, mayoritas perempuan cenderung memiliki riwayat pendidikan tinggi namun jumlah ini bervariasi karena faktor ekonomi dan fenomena urbanisasi, banyak perempuan yang juga memiliki riwayat pendidikan terbatas. Perempuan dengan riwayat pendidikan terbatas tidak hanya memiliki keterbatasan akses terhadap pekerjaan namun juga lingkungan hidup yang layak. Perempuan tersebut semakin tersubordinasi karena tidak memiliki pilihan atas ruang hijau di rumahnya yang mungkin juga dapat membantu perekonomian keluarga seperti kebutuhan akan sayur-mayur dan buah-buahan.

Korpus patriarki yang masih kuat di Indonesia menyebabkan perempuan menjadi pengasuh utama dalam keluarga baik di kawasan perkotaan maupun rural. Degradasi lingkungan hidup menyebabkan pencemaran air dan udara yang kemudian justru semakin menyulitkan perempuan atas tanggung jawabnya terhadap kesehatan keluarga. Degradasi lingkungan hidup menyebabkan kualitas hidup perempuan semakin buruk dan tersubordinasi karena sebagian perempuan masih sangat tergantung dengan hasil alam. Selain itu, degradasi lingkungan hidup juga menghambat pembangunan berkelanjutan di kawasan rural. Melalui slogan Ibu Bumi, eco-feminism dalam kampanye lingkungan hidup berusaha memperjuangkan kestabilan ekosistem untuk mengurangi eksploitasi terhadap lingkungan hidup yang berlebihan. Selain itu, dengan berorientasi pada Sustainable Development Goals (SDGs), melalui media sosial, eco-feminism juga berusaha menggalang keikutsertaan perempuan lainnya dalam kampanye lingkungan hidup.

 

Trend Kampanye Lingkungan Hidup di Media Sosial

Di media sosial, banyak orang yang tergerak dengan slogan Ibu Bumi untuk membentuk kampanye serupa di daerah maupun negaranya. Hal tersebut seiring dengan pengaruh konten di media sosial maupun pengaruh orang lain dari circle pertemanannya yang juga mengampanyekan lingkungan hidup. Seperti halnya domino effect, situasi di mana peristiwa memicu peristiwa lain yang serupa. Pemahaman dan keikutsertaan orang dalam kampanye lingkungan hidup yang ditularkan ke orang lain akan memicu orang tersebut melakukan hal yang serupa. Selain itu, keikutsertaan orang dalam kampanye lingkungan hidup bisa dipengaruhi oleh kesadaran dan pengalamanya atas dampak degradasi lingkungan hidup seperti perubahan iklim di sekitarnya. Di media sosial, banyak kampanye lingkungan hidup yang bermunculan dengan visi yang sama untuk memperjuangkan kestabilan ekosistem dengan berorientasi pada Sustainable Development Goals (SDGs).

Selain organisasi internasional, banyak organisasi non-profit dari komunitas masyarakat maupun keluarga ikut serta dalam mengkampanyekan lingkungan hidup. Seperti Mother Earth Project™ (MEP), organisasi non-profit yang diinisiasi oleh keluarga Barton Rubenstein pada tahun 2015, tahun yang sama dengan Paris Climate Agreement. Berpusat di Maryland USA, MEP menggunakan berbagai media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. MEP mendorong komunitas di seluruh dunia untuk berkomitmen pada tindakan berkelanjutan dengan menggunakan karya seni sebagai katalis untuk menyatukan orang dalam kampanye lingkungan hidup. Istilah “Mother Earth” dipromosikan sebagai nama organisasi tersebut. Penggunaan slogan “Ibu Bumi” juga banyak disebarluaskan oleh MEP di media sosial untuk mendorong keikutsertaan publik dalam pelestarian lingkungan hidup. Di Indonesia, organisasi non-profit yang sering melakukan kampanye lingkungan hidup adalah Greenpeace. Seperti MEP, Greenpeace Indonesia untuk menyebarluaskan slogan Ibu Bumi di media sosial. Penggunaan slogan Ibu Bumi dalam kampanye lingkungan hidup oleh MEP dan Greenpeace Indonesia tidak serta-merta mengindikasikan bahwa organisasi tersebut berbasis pada pandangan eco-feminism. Kedua organisasi tersebut memiliki kepedulian yang sama atas berbagai isu lingkungan hidup dengan pengartikulasian yang sama yaitu bumi sebagai perempuan, seorang ibu yang memberi kehidupan.

Greenpeace Indonesia menyebarluaskan slogan tersebut untuk mengkampanyekan berbagai isu lingkungan hidup. Slogan Ibu Bumi, digunakan salah satunya untuk memperingati hari bumi yang jatuh pada tanggal 22 April dengan diikuti hastag #EarthDay #RestoreOurEarth. Pada beberapa postingannya di media sosial, slogan Ibu Bumi disebarluaskan sebagai pendekatan untuk mendorong keikutsertaan publik dalam penyelamatan lingkungan hidup dan menginisiasi diskusi publik. Di Instagram, Greenpeace Indonesia memiliki 693.000 followers, di Facebook sebanyak 798.000 followers, dan di Twitter sebanyak 962.900 followers. Greenpeace Indonesia juga banyak mengkritik kebijakan perusahaan maupun pemerintah yang bertentangan dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Selain itu, Greenpeace Indonesia juga menginisiasi gerakan cinta lingkungan hidup seperti membawa alat makan dan kantong belanja sendiri untuk mengurangi limbah plastik hingga pengkategorian limbah menjadi 3 jenis seperti organik, anorganik, dan B3 untuk membantu proses daur ulang limbah. Greenpeace Indonesia juga menyuarakan aspirasi kelompok marginal seperti perempuan, masyarakat suku adat, dan masyarakat lokal yang terdampak oleh degradasi lingkungan hidup.

Kesimpulan

Degradasi lingkungan hidup erat kaitannya dengan degradasi dan devaluasi perempuan dengan berbasis pada ras dan kelas. Lebih jauhnya, para perempuan tersebut semakin tersubordinasi karena degradasi lingkungan hidup secara struktur sosial di masyarakat. Slogan Ibu Bumi merupakan contoh eco-feminism dalam kampanye lingkungan hidup yang tidak hanya untuk menyuarakan subordinasi terhadap perempuan namun juga mengafiliasikan dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Eco-feminism banyak dipromosikan untuk menggalang keikutsertaan perempuan lainnya dalam kampanye lingkungan hidup. Diharapkan perempuan dapat berkontribusi dalam memvisualisasikan isu feminis sebagai isu bersama dalam mengatasi degradasi lingkungan hidup yang semakin memburuk. Di tengah banyaknya gerakan maupun teori yang juga memperjuangkan kestabilan ekosistem, eco-feminism dapat menjadi alternatif dalam memahami dampak degradasi lingkungan hidup terhadap kelompok marginal seperti perempuan. Meskipun, eco-feminism mendapatkan banyak kritik secara teori karena dianggap tidak up to date, namun dalam implementasinya eco-feminism memiliki frame luas dalam menganalisis status dan nasib perempuan secara lintas budaya. Selain itu, eco-feminism juga dapat menjadi acuan terkait upaya pelestarian lingkungan hidup yang dapat menyeimbangkan kepentingan laki-laki dan perempuan. Eksploitasi terhadap lingkungan hidup perlu diminimalisir untuk menjamin eksistensi peradaban manusia di masa depan. Oleh karena itu, solusi konkrit dan kerja sama semua pihak diperlukan dalam mengatasi degradasi lingkungan hidup seiring semakin kompleksnya peradaban manusia.

Referensi

Badan Pusat Statistika/ BPS. (2021). Suhu Udara (Derajat Celcius), 2021. Jakarta: https://palembangkota.bps.go.id/indicator/151/102/1/suhu-udara.html

European External Action Service/ EEAS. (April 22, 2022). Mother Earth’s Heart Beats for Urgent Action. Brussels: https://www.eeas.europa.eu/node/412127_ar?s=211.

Legler, G. T. (1997). Ecofeminist literary criticism in Warren, K., & Erkal, N. (Eds.), Ecofeminism: Women, Culture, Nature. Indiana: Indiana University Press.

Lindsey, R. & Dahlman, L. (January 18, 2023). Climate Change: Global Temperature. United Stated: https://www.climate.gov/news-features/understanding-climate/climate-change-global-temperature#:~:text=According%20to%20NOAA’s%202021%20Annual,0.18%20%C2%B0C)%20per%20decade.

Mother Earth Project™/ MEP. (2023). Mother Earth Project. Maryland: https://motherearthproject.org/.

United Nations Development Programme/ UNDP. (December 01, 2015). Mother Earth: Women and Sustainable Land Management. New York: https://www.undp.org/publications/mother-earth-women-and-sustainable-land-management.

United Nation/ UN. (2023). The 17 Goals – Sustainable Development. New York: https://sdgs.un.org/goals.

Warren, K., & Erkal, N. (Eds.). (1997). Ecofeminism: Women, Culture, Nature. Indiana: Indiana University Press.

Greenpeace Indonesia. (2023). Official Account Greenpeace Indonesia on Instagram. Jakarta: https://www.instagram.com/greenpeaceid/.

Greenpeace Indonesia. (2023). Official Account Greenpeace Indonesia on Facebook. Jakarta: https://www.facebook.com/GreenpeaceIndonesia/.

Greenpeace Indonesia. (2023). Official Account Greenpeace Indonesia on Twitter. Jakarta: https://twitter.com/GreenpeaceID?ref_src=twsrc%5Egoogle%7Ctwcamp%5Eserp%7Ctwgr%5Eauthor.

.