Posts

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana inovasi sosial melalui tata kelola pedesaan diterapkan dalam memanfaatkan teknologi basic, seperti internet, handphone, dan media sosial. Sasaran inovasi tersebut adalah masyarakat desa yang notabenenya dikatakan belum mampu/tertinggal dalam memanfaatkan perkembangan teknologi karena berbagai faktor seperti tidak meratanya infrastruktur, kurangnya kemampuan mengakses teknologi karena rendahnya pendapatan, kurangnya literasi dan kemampuan digital, hingga penolakan terhadap teknologi (Dihni, 2022; Hadi, 2018; Oktavianoor et al., 2020).

Penulis mengambil kasus yang terjadi di Karangrejek, Gunungkidul, Yogyakarta, kelompok masyarakat yang penulis dan tim dampingi. Permasalahan utama yang terjadi di sana bukan tentang infrastruktur atau penolakan akan hadirnya teknologi, tetapi lebih ke mindset dan kemampuan dalam penggunaan teknologi digital. Teknologi basic belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Kondisi yang terjadi justru memunculkan kekhawatiran bahwa masyarakat akan kecanduan dalam penggunaan teknologi tersebut karena hanya digunakan untuk mencari hiburan. Contohnya seperti anak-anak yang sering bermain game dan anak yang seharusnya memasuki masa kerja, tetapi justru menganggur dan sering bermain gadget entah untuk apa.

Kasus lain adalah para pelaku usaha belum mampu memanfaatkan teknologi digital untuk aktivitas jualannya. Di era sekarang, media sosial dan platform jual-beli online menjadi senjata utama untuk melakukan promosi hingga transaksi. Hal tersebut juga terbukti bahwa penggunaan media sosial dapat meningkatkan performa dan pendapat bisnis (Subagja et al., 2022). Namun, para pelaku usaha di Karangrejek cenderung masih mengandalkan mekanisme tradisional dalam berjualan.

Permasalahan yang terjadi di masyarakat Karangrejek menyebabkan runtutan permasalahan lainnya, baik yang sudah maupun yang dikhawatirkan akan terjadi. Hal tersebut seperti peningkatan rasa malas untuk melakukan aktivitas produktif, kurangnya kemampuan berpikir kreatif dan inovatif, hingga terancamnya keberlanjutan aktivitas dan perekonomian pedesaan di masa depan.

Inovasi Tata Kelola “4 + 4 = 8”

Christian Lous Lange, Norwegian historian, mengatakan bahwa “Teknologi adalah hamba yang berguna, tetapi tuan yang berbahaya.” Dari ungkapan tersebut, dapat dijabarkan bahwa teknologi semestinya perlu dipandang sebagai alat yang dapat memudahkan aktivitas manusia seperti dalam mengakses informasi maupun meningkatkan ekonomi. Lebih lanjut, teknologi juga perlu selalu dimanfaatkan secara bijak (teknologi yang humanis) agar tidak menguasai manusia (kecanduan) untuk mengimbangi perkembangan zaman, sehingga aktivitas manusia tetap dapat berjalanan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan di masyarakat Karangrejek, inovasi sosial untuk penggunaan teknologi digital dilakukan melalui pendekatan tata kelola yang sistematis. Melalui program Visit Karangrejek, penulis dan tim memperkenalkan konsep “4 + 4 = 8”, atau empat proses keberlanjutan + empat aktor penggerak = keberlanjutan yang tidak terhingga (∞).

Empat proses keberlanjutan, mencakup empat hal utama, yaitu menjaga, menciptakan, meningkatkan, dan mempertahankan. Pertama, Menjaga, berarti bahwa teknologi harus tidak mengubah aktivitas sebagai ciri khas lokal masyarakat, terutama terkait mata pencaharian, kegiatan, tradisi, dan budaya. Kedua, Menciptakan, berarti membuat sesuatu yang baru berdasarkan potensi. Misalnya, membuat media promosi digital untuk para pelaku usaha desa atau menciptakan media promosi untuk memperkenalkan tradisi dan budaya. Ketiga, Meningkatkan, berarti bahwa apa yang sudah dijaga dan diciptakan perlu ditingkatkan melalui peningkatan kapasitas masyarakat agar masyarakat dapat semakin kreatif dan inovatif, terutama berkaitan dengan skill digital. Terakhir, Mempertahankan, berarti menjaga seluruh proses agar tetap berlanjut, misalnya mengeksplorasi lebih tentang tradisi, budaya, dan potensi, menyelenggarakan event, dan yang paling penting meningkatkan jejaring kerja sama.

Kolaborasi adalah kunci keberhasilan program (Ansell & Gash, 2008). Oleh sebab itu, seluruh proses di atas perlu dilakukan melalui kolaborasi. Terdapat empat aktor berdasarkan fungsinya, yaitu Mentor, Local Hero, Fasilitator, dan Masyarakat. Pertama, Mentor, berfungsi untuk memberikan masukan secara global hingga support pendanaan. Dalam hal ini, mentor bisa berasal dari pemerintah, swasta (CSR), atau individual. Kedua, Local Hero, berfungsi untuk menjadi koordinator penggerak masyarakat. Bisa terdiri atas kepala wilayah, ketua pemuda, atau tokoh masyarakat. Ketiga, Fasilitator, berfungsi untuk mendampingi secara teknis terkait pelaksanaan empat proses di atas. Aktornya bisa terdiri atas para pemuda penggerak, seperti mahasiswa atau volunter. Keempat, Masyarakat, berfungsi sebagai penerima manfaat. Akan tetapi, agar lebih terlembaga dan memudahkan koordinasi, masyarakat juga perlu dibentuk menjadi kelompok-kelompok masyarakat, seperti kelompok kesenian, kelompok pengusaha, kelompok literasi, dll.

Di Karangrejek, inovasi tata kelola tersebut sudah dimulai dengan memanfaatkan penggunaan media sosial sebagai langkah awal pemanfaatan teknologi digital. Penulis dan tim (dalam hal ini sebagai fasilitator) mencoba mengeksplorasi tradisi dan budaya yang dimiliki, kemudian menciptakan konsep desa wisata/pembelajaran sebagai wadah masyarakat berkreasi dan berinovasi sekaligus menjadi saluran promosi melalui media sosial. Pelatihan-pelatihan untuk masyarakat sebagai penguatan komunitas juga telah dilakukan. Proses menuju keberlanjutan pun terus diupayakan melalui penciptaan kegiatan-kegiatan baru dan perluasan jejaring.

Dampak yang diharapkan dari penerapan inovasi tata kelola “4 + 4 = 8” adalah keberlanjutan komunitas yang tidak terbatas. Keberlanjutan tersebut memiliki makna bahwa kehidupan lokal harus tetap terjaga dengan diimbangi kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan perkembangan teknologi. Meskipun tinggal di desa, pikiran/mindset-nya harus mendunia.

Dari serangkaian proses tersebut, kemenangan kecil yang didapatkan saat ini adalah anak-anak mulai terpapar dengan kegiatan positif karena banyaknya tamu yang memberikan wawasan lain kepada mereka. Selain itu, anak-anak juga aktif dalam pembuatan konten promosi wisata ketika libur sekolah dan saat ini aktif belajar gamelan (musik tradisional Jawa) untuk ditampilkan ketika para tamu wisata datang. Selain itu, pelatihan digitalisasi UMKM juga telah dicanangkan dengan berkolaborasi dengan akademisi. Lebih lanjut, kemenangan kecil lainnya adalah jumlah tamu dalam kurun waktu satu tahunan ini mencapai hampir 2000 tamu. Otomatis hal tersebut juga meningkatkan pendapatan para pelaku wisata di Karangrejek. Kemudian, beberapa perlombaan juga diikuti dan mendapatkan berbagai penghargaan, seperti Juara 1 Lomba Kreasi Tiktok Indonesia Emas 2045 yang diselenggarakan oleh Bappenas RI, Juara Harapan 1 Lomba Video Potensi Desa Wisata yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata DIY, dan Peringkat 4 Nasional Inovasi Sosial yang diselenggarakan oleh Pertamina Foundation.

Dengan memanfaatkan teknologi digital secara basic saja, asalkan secara tepat dan bijak, seperti internet, handphone, dan media sosial, telah terbukti membawa banyak perubahan di lingkup desa. Kemudian, dengan penerapan inovasi tata kelola “4 + 4 = 8”, peluang penggunaan teknologi digital oleh masyarakat desa semakin meningkat di masa depan. Sehingga, diharapkan masyarakat desa tidak lagi khawatir, tidak bisa menggunakan, atau merasa sendirian dalam memanfaatkan teknologi digital untuk menunjang kehidupan lokalnya.

Referensi

Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571. https://doi.org/10.1093/JOPART/MUM032

Dihni, V. A. (2022). Gambaran Kesenjangan Akses Internet di Kota-Desa Skala Global. Databoks. Diakses pada 4 Februari 2024 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/13/gambaran-kesenjangan-akses-internet-di-kota-desa-skala-global

Hadi, A. (Aulia). (2018). Bridging Indonesia’s Digital Divide: Rural-Urban Linkages? Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 22(1), 17–33. https://doi.org/10.22146/JSP.31835

Oktavianoor, R., Dalam, J. D., & Airlangga, S. (2020). Kesenjangan Digital Akibat Kondisi Demografis di Kalangan Masyarakat Rural. Palimpsest: Jurnal Ilmu Informasi Dan Perpustakaan, 11(1), 9–19. https://doi.org/10.20473/PJIL.V11I1.21888

Subagja, A. D., Ausat, A. M. A., & Suherlan, S. (2022). The Role of Social Media Utilization and Innovativeness  on SMEs Performance. Jurnal Iptekkom: Jurnal Ilmu Pengetahuan & Teknologi Informasi, 24(2), 85–102. https://doi.org/10.17933/IPTEKKOM.24.2.2022.85-102

 

.

Indonesia, known for its vast nickel deposits, is poised to become a major player in the global battery industry. Nonetheless, a pivotal choice looms on the horizon —one that could lead the country down a path of sustainability or prosperity. As many scientists have advocated for a shift towards greener living, electric vehicles (EVs) are gaining traction as one of the solutions to a green lifestyle. Indonesia was distributing 81,525 units of EVs by 2023 (Ika, 2023), a significant increase from previous years. Meanwhile, the number of electric motorcycles alone surged 13-fold from 2020 to 2023 (Annur, 2023).

While often perceived as a solution, producing Li-ion batteries includes a protracted process that ironically relies on exploiting natural resources through mining. Nickel extraction, in particular, has devastated vast forest areas, raising concerns about accelerating EV adoption (Bhawono, 2021). This trend of EVs negatively impacts society, highlighting the need for an energy transition solution that reduces dependence on nickel-based battery production. Amidst the energy transition paradox, lithium ferrophosphate (LFP) technology holds promise as a greener alternative, mitigating the environmental concerns caused by nickel exploitation. Nevertheless, many challenges might arise in the process, mainly due to Indonesia’s nickel-focused economic policy. The dilemma between economic profitability versus ecological sustainability is predicted to emerge from the political and policy-level contestation.

Nickel: A Double-Edged Sword?

Without a doubt, nickel is a critical ingredient for lithium batteries that will power up electric vehicles. Transitioning to sustainable energy requires concerted efforts across sectors and governance levels, mainly concentrated on attaining a low-carbon and high-renewable integration society. Among various levels of life, the transportation sector is particularly noteworthy, as it accounts for more than 20% of global greenhouse gas emissions (Gil‐García et al., 2021). These findings are corroborated by research conducted in China, indicating that achieving full adoption of electric vehicles (EVs) can lead to energy conservation and a reduction in carbon emissions of up to 11% in urban regions (Yuan et al., 2021). However, the nickel potential in Indonesia lies beneath the soil, which forms the surface of a tropical forest landscape near bodies of water that serve as a source of life for the locals.

Three words: human rights, deforestation, and pollution. The nickel industry in Indonesia has been singled out for its adverse effects on the environment and communities, serving to advance an elitist energy transition agenda centred on nickel dependency. One such case is in Halmahera, Maluku, where PT Indonesia Weda Bay Industrial Park has been implicated as the perpetrator by the Climate Rights International (CRI) report in January 2024. Five steam power plant units the company used polluted the air, 5,331 hectares of tropical forest were lost, and 2.04 metric tons of greenhouse gases were released into the atmosphere (CRI, 2024). Conversely, the availability of clean water and marine resources —a fundamental aspect of human rights deserving protection— is almost non-existent (Aranditio, 2024).

This was merely one of the numerous harmful actions that were justified within President Jokowi’s plan to enhance nickel production downstream, aiming to capitalize on Indonesia’s significant resources. The idea did not come out of nowhere; according to figures from the Central Statistics Agency (BPS), Indonesia’s nickel exports surged from 91,408.6 tonnes in 2019 to 777,411.8 tonnes in 2022 (Ahdiat, 2023). Interestingly, the upward trend persists despite the government’s imposition of a ban on raw nickel ore exports in 2020, which was problematized by the European Union (EU). As the need for nickel worldwide has increased, Jokowi aims to emerge as a frontrunner in the EV sector. The government will focus on manufacturing lithium batteries by harnessing the country’s substantial nickel reserves, which is crucial in triggering the global energy transition.

Iron Versus Nickel? Why Should Indonesia Shift

This is where the paradox is (almost) solved; LFP has been proven to be more environmentally friendly than lithium-ion batteries (Wang & Sun, 2012). More or less, since LFP does not contain either cobalt or nickel, two metals notorious for environmentally damaging extraction methods. Through their research, llamas-Orozco et al. (2023) indicate that the widespread use of nickel batteries may increase emissions to 8.1 GtCO2eq, but switching to LFP batteries could cut emissions by about 1.5 GtCO2eq. The LFP battery emits less greenhouse gases than nickel-based types, with an intensity of 55 kgCO2eq/kWh. Continuing on that, the constituent materials utilized in LFP (lithium iron phosphate) batteries, such as iron, phosphate, and lithium, are not only abundant but also readily accessible on a global scale. This highlights the feasibility and also alleviates environmental and societal pressures associated with the extraction of rare materials, or in this case, nickel-based ones.

Aligning with the idea, Indonesia, which is rich in resources, possesses an abundance of iron and phosphate. Every year, 2.14 million metric tons of iron ore are extracted across provinces, notably in South Sulawesi, Jambi, and Maluku (Soedarsono et al., 2013). As for phosphate, the Indonesian Minerals Year Book 2018 found that Indonesia possesses a significant potential for phosphate, totalling roughly 23.33 million tons (Nurbaiti, 2023). Regarding resource availability, transitioning to LFP has never been a problem for the country.

Moreover, LFP batteries boast an extended lifespan compared to other batteries. With a potential longevity of 10 years or more, they relieve the need for frequent replacements and disposal of used batteries. The hazardous properties of battery components directly harm organisms, including humans. Around the world, only 5% of disposed batteries are recycled properly (BBC News Indonesia, 2022). While in Indonesia, the people of Kebasen in Central Java have seen firsthand that lead exposure from battery smelters could cause damaging health issues, pollute the rich soil, and contaminate the fresh air (Fauzi et al., 2022; Paddock, 2021).         

Furthermore, looking at the financial feasibility of LFP, it is much cheaper than other alternatives (Wentker et al., 2019). An LFP battery typically costs less, averaging around $70-80 per kilowatt-hour (kWh), approximately 20-30% lower than the price range of NMC batteries (Shafa, 2024). Talking about accessibility, all of its metals and minerals can be obtained from most parts of the world, especially for North American companies, which are often struggling to maintain their global supply chain (Popien et al., 2023). As a middle-income country, Indonesia and its population might prefer LFP over lithium-ion ones if cheaper.

Iron Wins, Would Indonesia Follow?

Even though the data suggests that LFP batteries are more sustainable than nickel-based ones, Indonesia might be reluctant to adopt this pathway. President Joko Widodo, in 2020, implemented a ban on nickel ore while EVs were rising as a global trend (Gupta, 2024). This was accomplished as a part of his grand strategy of downstream, driving foreign investors to build their manufacturing facilities inside Indonesia (Pandyaswargo et al., 2021).

One of the recent partnerships with South Korean companies also reflected the commitment to focus on nickel by constructing lithium-ion battery plants in Karawang (Maulia, 2021). This strategic approach involves the establishment of supplementary domestic smelting facilities to promote the onshore processing of Class 2 nickel. Additionally, the establishment of the Indonesia Battery Corporation (IBC) also demonstrates President Joko Widodo’s consistent ambition. At the same time, in many international conferences, especially the G20, the nation has repeatedly promised a move towards sustainable energy transition.

Indonesia stands at a crossroads between economic profitability and environmental conservation. Even though using nickel can be profitable financially for the developing country, one must remember its commitment to saving the earth. The emergence of LFP technology offers a solution, providing more eco-friendly alternative to traditional lithium-ion batteries. By adopting LFP, Indonesia can navigate the energy transition paradox and move towards a more sustainable future. Nonetheless, this can only be fully accomplished if President Joko Widodo and his successor ease down his developmental goals for sustainable development.

Referensi

Ahdiat, A. (2023, June 7). Ekspor Nikel Indonesia Meroket pada 2022, Rekor Tertinggi Sedekade. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/07/06/ekspor-nikel-indonesia-meroket-pada-2022-rekor-tertinggi-sedekade

Annur, C. M. (2023, September 15). Riset Deloitte dan Foundry: Penggunaan Motor Listrik di Indonesia Naik 13 Kali Lipat dalam Dua Tahun. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/15/riset-deloitte-dan-foundry-penggunaan-motor-listrik-di-indonesia-naik-13-kali-lipat-dalam-dua-tahun

Aranditio, S. (2024, January 17). Damaging the Environment, Downstreaming of the Nickel Industry Needs to be Evaluated. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/english/2024/01/17/en-merusak-lingkungan-hilirisasi-industri-nikel-perlu-dievaluasi

BBC News Indonesia. (2022, February 23). Mobil listrik dan baterai litium: Bagaimana upaya mendaur ulang baterai yang kebanyakan akan menjadi sampah? BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-60474372

Bhawono, A. (2021). Pertambangan Nikel Biang Hilangnya 16 Ribu Ha Hutan di Malut. betahita.id. https://betahita.id/news/detail/7934/pertambangan-nikel-biang-hilangnya-16-ribu-ha-hutan-di-malut.html?v=1664564533

Climate Rights International. (2024, January 17). Indonesia: Huge Nickel project driving climate, rights, environmental harms. https://cri.org/indonesia-huge-nickel-project-driving-climate-rights-environmental-harms/

Fauzi, R., Rita, R., & Masitoh, S. (2022). Management of lead (Pb) waste post-closing of used battery smelter. Jurnal Litbang Industri, 12(2), 89. https://doi.org/10.24960/jli.v12i2.7628.89-96

Gil‐García, I. C., García-Cáscales, M. S., Dagher, H. J., & Molina‐García, Á. (2021). Electric Vehicle and Renewable Energy Sources: Motor Fusion in the Energy Transition from a Multi-Indicator Perspective. Sustainability, 13(6), 3430. https://doi.org/10.3390/su13063430

Gupta, K. (2024, January 21). Indonesia doubles down on nickel export bans and downstreaming | East Asia Forum. East Asia Forum. https://eastasiaforum.org/2023/12/07/indonesia-doubles-down-on-nickel-export-bans-and-downstreaming/

Ika, A. (2023, June 5). Jumlah Penggunaan Kendaraan Listrik di Indonesia Sudah 63.105 Unit Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.com. https://money.kompas.com/read/2023/06/05/200000526/jumlah-penggunaan-kendaraan-listrik-di-indonesia-sudah-63.105-unit?page=all

Llamas-Orozco, J. A., Meng, F., Walker, G. S., Abdul-Manan, A. F., MacLean, H. L., Posen, I. D., & McKechnie, J. (2023). Estimating the environmental impacts of global lithium-ion battery supply chain: A temporal, geographical, and technological perspective. PNAS Nexus, 2(11). https://doi.org/10.1093/pnasnexus/pgad361

Maulia, E. (2021, September 15). Hyundai and LG start building $1.1bn EV battery plant in Indonesia. Nikkei Asia. https://asia.nikkei.com/Business/Technology/Hyundai-and-LG-start-building-1.1bn-EV-battery-plant-in-Indonesia

Nurbaiti, I. (2023, July 10). Fosfat, Mineral Industri untuk Pupuk Hingga Kendaraan Listrik. Bisnis Indonesia. https://bisnisindonesia.id/article/fosfat-mineral-industri-untuk-pupuk-hingga-kendaraan-listrik

Paddock, R. C. (2021, May 3). The toxic toll of Indonesia’s battery recyclers. Science. https://www.nationalgeographic.com/science/article/indonesia-s-toxic-toll

Pandyaswargo, A. H., Wibowo, A. D., Maghfiroh, M. F. N., Rezqita, A., & Onoda, H. (2021). The Emerging Electric Vehicle and Battery Industry in Indonesia: Actions around the Nickel Ore Export Ban and a SWOT Analysis. Batteries, 7(4), 80. https://doi.org/10.3390/batteries7040080

Popien, J., Husmann, J., Barke, A., Thies, C., Cerdas, F., Herrmann, C., & Spengler, T. (2023). Comparison of lithium-ion battery supply chains – a life cycle sustainability assessment. Procedia CIRP, 116, 131–136. https://doi.org/10.1016/j.procir.2023.02.023

Shafa, J. (2024). Bahlil denies nickel being less popular than LFP batteries. Jakarta Globe. https://jakartaglobe.id/business/bahlil-denies-nickel-being-less-popular-than-lfp-batteries

Soedarsono, J. W., Kawigraha, A., Sulamet-Ariobimo, R. D., Johansyah, D., Kusuma, G. D., Suprayogi, S., Yosi, A., Saputro, N. L., Sidiq, A., Erwin, E., & Natanael, D. (2013). Potential Indonesia ores as raw material for producing iron nugget. Advanced Materials Research, 652–654, 2529–2533. https://doi.org/10.4028/www.scientific.net/amr.652-654.2529

Wang, J., & Sun, X. (2012). Understanding and recent development of carbon coating on LiFePO4cathode materials for lithium-ion batteries. Energy and Environmental Science, 5(1), 5163–5185. https://doi.org/10.1039/c1ee01263k

Wentker, M., Greenwood, M., & Leker, J. (2019, February 5). A Bottom-Up Approach to Lithium-Ion Battery Cost Modeling with a Focus on Cathode Active Materials. Energies. https://doi.org/10.3390/en12030504

Yuan, M., Thellufsen, J. Z., Lund, H., & Liang, Y. (2021). The electrification of transportation in energy transition. Energy, 236, 121564. https://doi.org/10.1016/j.energy.2021.121564

.

As Gen-Z – a generation born between 1997-2012 – the author sees how international relations interactions have changed, including diplomacy. d’Hooghe (2015, in Furrer, 2020) describes two models of public diplomacy; the “state-centered”, which is often represented by the official state delegations, and the “network-based”, which also involves various non-state actors to encourage dialogue and collaboration between states. Nations need to combine the two models of public diplomacy to promote images, build relationships, and engage audiences. The categorization of d’Hooge’s public diplomacy sees soft power, such as media, events, human resources, and publications/promotions, as instruments of public diplomacy. Nye (2004, in Furrer, 2020) describes soft power as an ability to cooperate instead of coercion. Soft-powered public diplomacy can be accomplished through esports diplomacy.

Oxford Dictionary defines esports as a video game played as a competition for people to watch as entertainment. The estimated number of esports consumers in China and Southeast Asia (SEA) is 956 million (Ouarit, 2022; ReportLinker, 2022). With that amount of reach, esports is strategic to play a more significant role in society. Esports can potentially be a form of diplomacy that involves youth. China and SEA’s esports audience demographic data showed that Gen-Z and Millennials are the most dominant (Thomala; 2021, Aziziah & Fijriah, 2022).

However, there are still many challenges with esports as a diplomatic tool. The refusal of esports to compete at the 2024 Paris Olympics as a peaceful diplomatic tool was mumbled that it was “incompatible with Olympic values” and “not value-based” (IOC, 2018). This is inseparable from the stigma of esports and gaming, which are often considered “just a waste of time” (Bodmer, 2020). The argument is in line with the stigma against youth, who are considered apathetic and “far from political issues” (Alteri et al., 2016). The Global Report on Ageism by the United Nations highlights the many data gaps concerning ageism against youth (UN, 2022). Diplomacy has been state-centered and far from society itself. Wirasenjaya (2012) criticized international relations for focusing only on grand narratives from elite figures. International relations must be transformed into international society, with the presence of actors beyond the state.

Soft power, including esports, offers this opportunity as diplomacy that is close to the community, especially youth. Youth participation can be a source of creativity, innovation, and an essential driver of change (UN Youth, 2013).

Esports has been recognized in most Asian countries, including China and SEA, by holding official tournaments at international events such as the 2018 Asian Games and the 2021 SEA Games. It is considered “a breakthrough for esports” by interpreting esports as a sport with tension, mentality, cooperation, and passion (Bratu, 2018). The economy is one of the sectors most affected by the development of the esports industry. China’s esports industry earned $11.3 billion from January to June 2022 (Chen, 2022). SEA’s esports profits have also reached $4.4 billion in 2019 (Weustink, 2020). The profit comes from esports games, streaming, tournaments, and organization revenue.

China has implemented esports as a form of public diplomacy (Furrer, 2020). ASEAN and China have committed to cooperate in the form of the ASEAN-China Comprehensive Strategic Partnership (CSP). CSP also reaches out to digital advancement, information, and media. These goals can be implemented through esports public diplomacy. As one of the countries with the most prominent esports and digital technology development, China can be an opportunity for industry and trade diplomacy growth in ASEAN. With the increasing technology investments between China and ASEAN, esports can be an opportunity to be the first application of various new technologies and lead to even greater investment. Take one of the biggest Chinese mobile phone companies as an example, OPPO, which has promoted and marketed its new products and innovations as a “gaming device” in SEA countries and collaborated with local esports teams and events as a form of modern free trade development (OPPO Philippines, 2020; Reza, 2021).

Esports diplomacy can introduce cultural diversity, create positive images, and strengthen relations between countries. Esports diplomacy raises cultural and linguistic diversity between nations through national esports events and tournaments. These opportunities can be enhanced as a CSP collaboration form. Collaborations can be held on esports teams comprising a mix of ASEAN and China to be ambassadors at international conferences to voice messages from/to the youth community. Cultural exchanges can occur through representations in esports products, such as the presence of game characters based on the SEA and Chinese folklore and history. This in-game content can introduce traditional attire, weapons, and languages. For example, “Mobile Legends”, a Chinese-based mobile game that is played by millions of users in SEA, has various cultural adaptation characters from multiple countries such as Gatotkaca (Indonesia), Lapu-Lapu (Philippines), and more (Ringgo, 2021).

Moreover, each nation can hold esports events annually. This can encourage cultural awareness, increase tourism, and boost the host country’s economy (Frascarelli, 2022). Take an example of an “Honor Kings” game event held in China in 2019. The event promotes Harbin City tourism by combining the real “Harbin Ice and Snow World” tourist attraction and the “Honor Kings” game scene in a virtual form at the same time (Zhou, 2019).

In education, esports diplomacy can contribute through scholarships and curriculum to develop the industry in terms of economy, technology, and science. For example, Nanguang College, China, has opened esports scholarships for outstanding esports geeks (Davis, 2017). Several educational institutions in China and SEA have integrated esports into their curriculum (Davis, 2017; Aziziah & Fijriah, 2022). Developing students’ interests and talents in esports through formal education and also a comprehensive esports curriculum can reduce the chances of students becoming gaming addicts (Mumtaz. et al., 2021).

Esports is not just a “children’s games as mere entertainment”, but it has the potential to become a diplomatic tool between nations. Esports diplomacy needs to be developed for bigger purposes. Esports diplomacy plays a role in increasing the participation and awareness of the youth in international relations.

References

Alteri, Luca, Carmen Leccardi, and Luca Raffini. (2016). Youth and the Reinvention of Politics: New Forms of Participation in the Age of Individualization and Presentification. Partecipazione e conflitto, 9(3): 717-747.

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). (2022). ASEAN, China reaffirm commitment    to         strong  partnership. Accessed         from https://asean.org/asean-china-reaffirm-commitment-to-strong-partnership-2/#:~:t ext=JAKARTA.

Aziziah,   S.,  &  Fijriah,  N.      L. (2022). Games dnd Esports Join the Curriculum in Southeast                            Asia.  Accessed from https://nikopartners.com/games-and-esports-join-the-curriculum-in-southeast-asi a/

Bodmer,     M.    (2020).    Gaming    is    still    stigmatized.  Accessed   from  https://bold.expert/gaming-is-still-stigmatized/

Bratu, E. (2018). Why the 2018 Asian Games is a breakthrough for eSports. Accessed from https://qualitance.com/blog/2018-asian-games-esports-breakthrough/

Chen, H. (2022). China reports $11.3B esports revenue so far in 2022, a 10.12% decrease      YoY. Accessed from https://www.sportsbusinessjournal.com/Esports/Sections/Finance/2022/07/China-esports-revenue-$11B-first-half-2022

Davis,       K.      (2017).      China’s      Gamers      Get      Schooled.  Accessed  from https://www.sixthtone.com/news/1001123/chinas-gamers-get-schooled

Frascarelli, V. (2020). The economic spillover of the esports industry. Accessed from https://esportsinsider.com/2022/06/economic-spillover-esports-industry-isfe/

Furrer, Micaela (2020). Esports Diplomacy in China. Final paper presentado el en marco del Seminario Awakening China? Deconstructing Chinese Foreign Policy dictado por Federico Verly.

Mumtaz, EF, Ragamustari, SK, & Hirawan, FB (2021). The Impact of the E-Sport Curriculum Toward Online Game Addiction. TAZKIYA: Journal of Psychology, 9(1), 29-39.

Oxford    Dictionary.   (n.d.).   Esports.   In oxfordlearnersdictionaries.com dictionary, Accessed         from https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/e-sport

Quarit,     H.    (2022).    2022:    The    Gaming    Market    in    China.  Accessed from https://www.sekkeistudio.com/blog/2022-the-gaming-market-in-china/

ReportLinker. (2022). Southeast Asia Gaming Market – Growth, Trends, COVID-19 Impact,        and        Forecasts       (2022        –        2027).           Accessed     from https://finance.yahoo.com/news/southeast-asia-gaming-market-growth-112200285.html?

Reza. (2021). Gandeng Bigetron Esports, OPPO Pamerkan 5 Keunggulan Performa Gaming OPPO Reno6.  Accessed from https://www.liputan6.com/tekno/read/4621613/gandeng-bigetron-esports-oppo-p amerkan-5-keunggulan-performa-gaming-oppo-reno6

Ringgo. (2020). 6 Heroes Inspired by Southeast Asian Heroes Mobile Legends (ML). Accessed from https://en.esportsku.com/6-heroes-inspired-by-southeast-asian-heroes-mobile-leg ends-ml /

Sri, D. (2021). Esports revenues in Southeast Asia to hit $72.5m by 2024, says report. Accessed from https://www.techinasia.com/esports-revenues-southeastasia-hit-725m-2024-report

Thomala, L. L. (2021). Share of eSports game users in China as of April 2021, by age group.       Accessed         from https://www.statista.com/statistics/1019069/china-esports-game-usershare-by-age-group

UN Youth. (2013). Youth, Political Participation   and Decision-Making. UN Facts Sheet UN Department of Economic and Social Affairs Youth. (2022). International Youth Day 2022. UN. Accessed         from https://www.un.org/development/desa/youth/iyd2022.html.

Weustink, J. (2020). Gaming in Southeast Asia: The Playing, Spending & Viewing Behavior of a Fast-Growing Games Market. Accessed         from https://newzoo.com/insights/articles/southeast-asia-games-market-esports-gamestreaming-spending-playing-engagement

Wirasenjaya, Ade Marup. (2012). Keluar dari “Teks Besar” Gagasan Post-Positivist dalam Studi Hubungan Internasional. Jurnal Hubungan Internasional, 1(1): 63-69.

Zhou, Huiying. (2019). Chinese cities tying up with esport events to bolster tourism.  Accessed from https://global.chinadaily.com.cn/a/201910/05/WS5d97fb84a310cf3e3556ed3d.html

.

In the midst of a variety of troubling contemporary global issues, climate migrants are frequently overlooked, particularly in the context of the reality of climate migrants in the Mekong River region. Climate change and migration appear to be treated as secondary issues in this region compared to other current political issues. Data show that the river basin was extremely rich, with enormous valuable resources critical for the communities living near the river. The Lower Mekong Basin is home to approximately 65 million people, 50 million of whom rely directly on the river for socioeconomic and livelihood activities (Pal et al., 2023). The current climate crisis and environmental degradation have contributed to a significant dramatic shift in seasonal and weather patterns in the region, making them more severe and extreme. The Standardized Precipitation Index projection for 2020 showed that drought caused by the combination of El Nino has contributed to more severe and extreme conditions in the south of Cambodia, Thailand, and Vietnam (Dutta, 2020). This climate projection undeniably has had devastating consequences for people who rely on them.

LMB’s unlivable and dangerous landscapes have forced communities to flee, making them more vulnerable as climate migrants looking for a way to survive. Drought and heavy flooding in LMB have significantly contributed to increased water demand and food insecurity, decreased agricultural and aquaculture productivity, disruption of fish migration, and other multi-hazard disasters. It then connects to the socioeconomic sphere, where it has directly forced people to change their livelihoods in order to avoid disasters. According to OCHA, the lower Mekong subregion in Southeast Asia anticipates between 3.3 million and 6.3 million new climate migrants between now and 2050 (1.4% to 2.7% of the country’s population) (Soo-Chen & McCoy, 2023). However, the problem stems from the tendency to generalize about people who have been directly affected by disasters. Marginalized people who have been in a vulnerable position must face the consequences of ‘natural’ disasters that put them in more extreme vulnerability.

As an instance, older people or senior citizen, have faced significant challenges as climate migrants. According to Nguyen (2022), there are some stories about the elderly struggling to survive due to the Mekong River’s environmental degradation. Nguyen Thi Ngoc and her husband left from their farm in the Mekong Delta at the age of 63. Their farm experienced increased saltwater intrusion, making it difficult to cultivate rice and fruits. This phenomenon was caused by Vietnam’s severe drought, which left 600.000 people unable to access safe drinking water. Upstream hydropower dams also helped trap river water, resulting in an extreme drought that reduced the flow of water and allowed salt water to penetrate the inland. As a result, Nguyen and her husband relocated to Ho Chi Minh City to work as security guards (Nguyen, 2022).

Migrating appears to be a ‘coping mechanism’ for rural citizens, but it is not a fully effective ‘safety net’ for mitigating their vulnerabilities. Migration rarely reduces vulnerability to socioeconomic and climate stressors but rather shifts one set of climate risks and health-related vulnerabilities to another (Ngo et al., 2022). Referring back to the preceding story, older people from rural areas do not necessarily want to migrate to cities, where they are often ill-prepared to face a fiercely competitive workforce. This financial challenge and other structural issues may not be solved solely through migration (Nguyen, 2022).

The tendency to overlook climate migrant issues itself highlights at least four problems that need addressing in future policymaking or research. First, there is a lack of use of the intersectionality lens to contextualise different groups’ experiences. Using intersectionality, we can see that there is a tendency to generalize victims of climate change, which is one of the main reasons why older people receive less attention in the public or policy realm. Intersectionality will assist in identifying multiple burdens carried by marginalized groups, which may help contextualize policy or regulation to be more relevant and reflective of them. Second, there is a lack of understanding about how the Mekong River has shifted from a source of livelihood and civilization to a dangerous place to live . Livelihoods are defined as people’s economic and non-economic self-reliance strategies for survival and prosperity (Ellis, 2008). According to estimates, the net preserve value (NPV) of the fisheries sector will fall by 16.5 million in 2020 and 22.6 million in 2040 in all lower Mekong countries: Cambodia, Lao PDR, Thailand, and Vietnam.  According to Yoshida et al. (2020), the total loss of fish caused by dams on the Mekong mainstream could be between 0.7 and 1.6 million tonnes per year. These data demonstrate how the cultural legacy of preserving livelihood has been drastically reduced. Third, there is a lack of comprehensive international or regional agreements that benefit local communities. The lack of a precise legally binding international agreement—the 1951 Convention, the Paris Agreement, and other international agreements—may be failing to protect climate migrants (Noel, 2023). The debates are still stagnant, revolving around the discussion of the lack of a broad definition for climate refugees. It then has an impact on the qualification process for seeking asylum, which later fails to establish states for providing asylum to refugees and instead leaves the decision-making process to their own states’ legislature. This pattern is similar to how ASEAN, as a regional organization, lacks a legally binding agreement to address the issue of climate migrants. There are several environmental cooperation frameworks to address climate change in the Mekong region, but there are no efforts to address climate migrant or refugee issues, leaving it up to each state’s legislature and domestic regulation to address this problem. It demonstrates an underestimation of the slow-onset phenomenon, which is actually dangerous to a country’s security and survival (Petz & Rum, 2020). Fourth, the association of the terms ‘natural disasters’ and ‘natural hazards’ has contributed to a confusion of responsibility in disaster response, prevention, and adaptation. According to Mileti’s work (1999), a natural disaster differs from a natural hazard. Hazards occur naturally, but disasters are predictable outcomes of interactions between the physical environment, the built environment, and the communities that experience them. The ‘natural’ in natural disasters is now blurred or irrelevant, reflecting the interconnectedness of human influences (land use, logging, industrialization, etc.) that contributed to the slow yet long-term effects on the environment, demonstrating that human-induced factors can transform natural hazards into disasters. In the context of LMB, it was not the drought or flood that left people homeless; it was poorly built housing, government inefficiency, and underlying corruption (Puttick et al., 2018). Natural hazards combined with social and human vulnerability lead to many disasters (Puttick et al., 2018). Bosher (2008) emphasized this crucial point, arguing that labelling a disaster as “natural” essentially releases many involved parties from accountability, contributing to the prevailing public perception that “natural” disasters are unaffected by human intervention or accountability (Puttick et al., 2018).

In conclusion, the essay calls for a more nuanced understanding of the complex issues surrounding climate migration in the Mekong River region, advocating intersectionality, comprehensive agreements, and a re-evaluation of the distinction between natural hazards and natural disasters. It underscores the urgent need to unveil the unique challenges faced by vulnerable communities in the face of environmental changes.

References

Bergeron, T. (2023). No Refuge for “Climate Refugees” in International Law . Www.lclark.edu. https://www.lclark.edu/live/blogs/200-no-refuge-for-climate-refugees-in-international

Dutta, R. (2020). Food at risk: The repercussions of climate change and drought in the Lower Mekong region. In ASEAN Risk Monitor and Disaster Management Review (ARMOR) 2nd edition. AHA Centre.

Ellis, F. (2008). The Determinants of Rural Livelihood Diversification in Developing Countries. Journal of Agricultural Economics, 51(2), 289–302. https://doi.org/10.1111/j.1477-9552.2000.tb01229.x

Mach, L. T., Cau, H. L., & Cuoung, V. T. (2022, February 9). Floods and Migrants of Vietnam’s Mekong Delta: 25 Lessons from the Data. Earth Journalism Network. https://earthjournalism.net/stories/floods-and-migrants-of-vietnams-mekong-delta-25-lessons-from-the-data

Mekong River Commission (MRC). (2018). Fisheries. Www.mrcmekong.org. https://www.mrcmekong.org/our-work/topics/fisheries/

Mileti, D. (1999). Disasters by Design: A Reassessment of Natural Hazards in the United States. National Academies Press.

Ngo, H., Vo, D. C., Ebi, K. L., & Hagopian, A. (2022). Health trade-offs in pursuit of livelihood security: exploring the intersection of climate, migration and health from the perspective of Mekong Delta migrants in Ho Chi Minh City, Vietnam. Climate and Development, 1–11. https://doi.org/10.1080/17565529.2022.2077691

Nguyen, N. (2022, October 24). Climate change and dams force older residents to leave Vietnam’s Mekong Delta. The Third Pole. https://www.thethirdpole.net/en/livelihoods/climate-change-dams-force-migration-older-residents-vietnam-mekong-delta/

Noel, M. (2023). Here’s how international law can protect people fleeing environmental disaster. World Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2023/03/as-people-flee-environmental-disasters-how-can-international-law-help-them/

Pal, I., Dhungana , G., Baskota, A., Udmale, P., Gadhawe, M. A., Doydee, P., Nguyen, N., & Sophat, S. (2023). Multi-Hazard Livelihood Security and Resilience of Lower Mekong Basin Communities. Sustainability, 15(11), 8469–8469. https://doi.org/10.3390/su15118469

Petz, D., & Rum, M. (2020). Where To Go? Finding Durable Solutions for Disaster-Displaced Persons in Southeast Asia. In ASEAN Risk Monitor and Disaster Management Review (ARMOR) 2nd edition. AHA Centre.

Puttick, S., Bosher, L., & Chmutina, K. (2018). Disasters are not natural. Teaching Geography, 43(3), 118–120. https://www.jstor.org/stable/26538739

Soo-Chen, K., & McCoy, D. (2023). Climate displacement & migration in South East Asia – Viet Nam | ReliefWeb. Reliefweb.int. https://reliefweb.int/report/viet-nam/climate-displacement-migration-south-east-asia#:~:text=The%20lower%20Mekong%20subregion%20in

Yoshida, Y., Lee, H. S., Trung, B. H., Tran, H.-D., Lall, M. K., Kakar, K., & Xuan, T. D. (2020). Impacts of Mainstream Hydropower Dams on Fisheries and Agriculture in Lower Mekong Basin. Sustainability, 12(6), 2408. https://doi.org/10.3390/su12062408

.

Transformasi digital telah mengubah cara masyarakat dalam memperoleh informasi dan berinteraksi satu sama lain. Hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang isu-isu sosial politik. Seorang netizen (panggilan bagi warga pengguna internet), Maulani (2017) di Twitter pernah melontarkan tweet “Lagu Taylor Swift manakah yang paling cocok untuk menggambarkan situasi politik saat ini?”. Celotehan tweet tersebut adalah salah satu contoh fenomena Swiftiesasi. Swiftiesasi adalah sebuah aktivisme yang dilakukan oleh penggemar Taylor Swift dalam mengekspresikan diri, menyuarakan pendapat tentang berbagai kegelisahan, dan melibatkan diri dalam percakapan publik tentang isu-isu penting melalui platform yang dimilikinya dengan menggunakan analogi karya musik Taylor Swift. Di luar negeri, beberapa lagu Taylor Swift sering digunakan oleh para penggemar untuk menyuarakan isu-isu penting seperti kesenjangan sosial (Gannaban, 2022), kesehatan mental (Serio, 2022), ketidakadilan gender (Mackay, 2020), perubahan iklim (Mlaba, 2023), hingga dukungan kepada kelompok minoritas (Capek, 2022).

Mengapa Taylor Swift memiliki pengaruh yang begitu besar?

Beberapa waktu lalu, Taylor Swift dinobatkan sebagai Person of the Year versi majalah Time (2023) karena pengaruhnya yang cemerlang di bidang musik, budaya, dan sosial. Swift (2024) dengan pengikutnya di Instagram yang mencapai 279 juta, ia dikenal memiliki kecerdasan dan kreativitas yang luar biasa. Sebab ia mampu melihat potensi internet dan memanfaatkannya untuk membangun karir industri musiknya (Pattinson, 2023). Dalam konteks ini, Swift memanfaatkan komunitas daring di seluruh saluran platform yang berkembang di era digital saat ini, untuk membangun basis hubungan yang kuat dengan penggemarnya dan berinteraksi dengan intens (Caroll, 2023; Woodbury, 2023).  Penggemar Swift yang begitu besar di seluruh dunia, tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan Swift dalam menulis lagu yang dapat dinikmati oleh berbagai kelompok usia, gender, ras, dan latar belakang sosial ekonomi (Gordon, 2023; Pattinson, 2023; Time, 2023). Kolaborasi antara pengaruh kekuatan kosa     kata yang diciptakan Swift dan antusiasme penggemar berbasis komunitas daring, berhasil membentuk pemaknaan kondisi sosial politik dan pola interaksi baru. Lirik lagu Swift kerap dianggap dekat dengan situasi terkini yang sedang terjadi di sekitar, tak terkecuali di Indonesia.

Sebagaimana yang ditampilkan oleh platform media independen, ‘What Is Up, Indonesia? (WIUI)’, yang secara konsisten menyajikan berita dan informasi sosial-politik di Indonesia dalam Bahasa Inggris, dengan format yang mudah dimengerti, dan menggunakan kemasan budaya populer. Platform ini telah berhasil menjembatani kesenjangan informasi dan meningkatkan kesadaran akan isu-isu penting di Indonesia, khususnya bagi target audiens sasarannya, yaitu orang Indonesia yang lebih fasih menggunakan Bahasa Inggris dan kurang terbiasa mengikuti pemberitaan politik di Indonesia. Baru-baru ini, tim dibalik akun Instagram WIUI secara terang-terangan mengaku sebagai Swifties. Hal ini ditunjukkan dalam postingannya di Instagram yang kerap memasang meme dengan lirik lagu Taylor Swift untuk mengilustrasikan dinamika kondisi terkini menjelang Pemilu 2024. Bentuk Swiftiesasi ini dapat dikatakan sebagai strategi mereka untuk menjangkau audiens yang lebih luas.

Sebagai contoh, pertama, dalam menyajikan berita kasus putusan Hakim Mahkamah Konstitusi, yang dinilai berupaya untuk memuluskan langkah salah satu kandidat untuk melaju sebagai calon wakil presiden, tim WIUI mengutip penggalan lirik lagu Taylor Swift yang berbunyi “What if I told you I’m mastermind? And now you’re mine. It was all my design. Cause I’m a mastermind”. Kedua, pada saat memberitakan masa awal pembentukan peta koalisi partai politik pengusung capres-cawapres, yang arahnya sangat tidak terprediksi, tim WIUI melukiskan kondisi tersebut lewat bait lagu Taylor Swift berjudul New Romantics, tepatnya pada bagian “We need love, but all we want is danger. We team up, then switch sides like a record changer. The rumors are terrible and cruel. But honey, most of them are true”. Ketiga, ketika menyuguhkan berita Nadiem Makarim yang sedang dalam proses menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan, yang menuai kontoversi karena dianggap mempromosikan seks bebas. Tim WIUI bersikap lewat lirik lagu Taylor Swift yang berlafal “Maybe we got lost in translation? Maybe I asked for too much? But maybe this thing was a masterpiece, till you tore it all up” (What Is Up, Indonesia? 2023a; 2023b; 2022). Di luar negeri, fenomena Swiftiesasi di dunia digital juga kerap digunakan. Analisis Haris (2023) membuktikan bahwa penggunaan nama Swift dalam salah satu postingan Gubernur New Jersey di Instagramnya, telah berhasil meraih publisitas, mampu mendulang perhatian, dan keterlibatan para Swifties lewat jumlah total likes terbanyak di antara semua postingannya.

Praktik yang dilakukan WIUI melalui jurus Swiftiesasinya, adalah bukti bagaimana transformasi digital telah mampu membuat masyarakat lebih mudah dalam menciptakan medianya sendiri, dengan gaya dan ciri khasnya, untuk menemukan audiensnya, untuk mengartikulasikan kepeduliannya pada isu tertentu, untuk memberikan suara pada kelompok-kelompok yang sebelumnya kurang diperhatikan. Dalam konteks WIUI, mereka telah berhasil merangkul kelompok masyarakat yang jarang dilibatkan dalam pembicaraan, yakni masyarakat Indonesia yang telah lama tinggal di luar negeri, atau dibesarkan di luar negeri dengan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama dan kurang memahami gejolak perpolitikan di Indonesia. Fenomena Swiftiesasi adalah bagian dari demokratisasi ide untuk meningkatkan aksesibilitas informasi yang menyenangkan untuk dipelajari. Hal ini memungkinkan orang-orang untuk memahami isu sosial politik agar lebih mudah dicerna. Beberapa netizen di Instagram memberikan apresiasi kepada WIUI dan mengaku lebih tertarik untuk mempelajari isu sosial-politik yang dibungkus dengan lagu Taylor Swift, bahkan ada netizen kritis yang menimpali komentar atas konten yang disajikan WIUI dengan menggunakan lirik lagu Taylor Swift sebagai sebuah bahasa baru (Hanifa, 2022; Shidqi, 2023; Pratama, 2023).

Ke depannya, tren memanfaatkan kekuatan media digital dengan menggunakan narator ulung di era modern dapat ditiru, karena telah terbukti mampu menemukan para pendengarnya, untuk menceritakan kepentingannya. Muatan lirik lagu yang dibawakan Swift merupakan ruang interaktif yang cair, sehingga dapat berubah bentuk bergantung pada kebutuhan interpretasi kita dalam kehidupan berdemokrasi di era digital. Kebutuhan interpretasi ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh WIUI, dengan menyediakan platform untuk kelompok yang tidak diberi platform. Selain itu juga membuka jalan bagi kelompok lain secara umum, terutama bagi anak muda di Indonesia berusia 16-30 tahun yang hidupnya sangat terpapar internet, dengan angka ketergantungan mencapai 93,9% (Doni, 2021).

Referensi

Capek, V. (2022, 16 Desember). Why taylor swift’s ‘Midnights’ is a queer album. USC Annenberg Media. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.uscannenbergmedia.com/2022/12/16/why-taylor-swifts-midnights-is-a-queer-album/

Caroll, G. (2023, 21 Juni). How does a taylor swift fan prove their love? Money. The Conversation. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://theconversation.com/how-does-a-taylor-swift-fan-prove-their-love-money-208177

Doni. (2021, 21 April). Politik digital anak muda. Kominfo.go.id. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.kominfo.go.id/content/detail/34036/politik-digital-anak-muda/0/artikel

Gannaban, V. L (2022, 14 Juni). Taylor Swift’s songs about social issues. Village Pipol. Diakses pada 15 Januari 2024 melalui https://villagepipol.com/taylor-swifts-songs-about-social-issues/

Gordon, C. (2023, 7 Juli). The linguistic phenomenon behind taylor swift’s superstardom. Georgetown University News. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.georgetown.edu/news/the-linguistic-phenomenon-behind-taylor-swifts-superstardom/

Hanifa, P [@pashahanifa]. (2022, 21 April). Mate, whoever came up with this meme format for a content is a genius! It’s so enganging and easy to follow, like a narrative [Instagram Comment]. Instagram. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.instagram.com/p/CcmhCu4vX6_/?img_index=5

Haris, M. (2023, 7 Desember). Taylor Swift: Person of the year and political influencer. The Conversation. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://theconversation.com/taylor-swift-person-of-the-year-and-political-influencer-208631

Shidqi, R. A [@rafid.shidqi]. (2022, 5 Mei]. Loved those little images. Well thoughtout and spot on [Instagram Comment]. Instagram. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.instagram.com/p/Cr3Df6ePGnB/?img_index=1

Pratama, A. P. P [@adya952002_]. (2023, 9 November). Also when is mastermind/vigilante shit (Jokowi’s ver) (10 minutes ver) going to come out? [Instagram Comment]. Instagram. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.instagram.com/p/CzbGf-mRHUa/?g=5&img_index=7

Maulani, A. M [@animenur]. (2017, 14 Februari). Lagu Taylor Swift manakah yang paling cocok untuk menggambarkan situasi politik saat ini? [Twitter Post]. Twitter. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://twitter.com/animenur/status/831473003456139264

Mlaba, K. (2023, 13 April). 8 songs that aren’t about climate change but could be. Global Citizen. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.globalcitizen.org/en/content/songs-that-could-be-about-climate-change/

Serio, B. (2022, 31 Januari). How taylor swift’s songs heal your mental health & aspire environmental activism. Peaceful Dumpling. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.peacefuldumpling.com/taylor-swift-mental-health-environmental-activism

Swift. T [@taylorswift]. (2024). 289 juta pengikut [Instagram Followers]. Instagram. Diakses pada 15 Januari 2024 melalui https://www.instagram.com/taylorswift/

Time. (2023, 6 Desember). 2023 person of the year: Taylor Swift. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://time.com/6342806/person-of-the-year-2023-taylor-swift/

Pattinson, K. (2023, 20 November). Mengapa taylor swift begitu populer? Karena dia tidak pernah ketinggalan zaman. The Conversation. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui  https://theconversation.com/mengapa-taylor-swift-begitu-populer-karena-dia-tidak-pernah-ketinggalan-zaman-217801

What Is Up, Indonesia? [@whatisupindonesia]. (2023a, 9 November). WIUI election gossip girl, October 2023 edition [Instagram Post]. Instagram. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.instagram.com/p/Cr3Df6ePGnB/?img_index=9

What Is Up, Indonesia? [@whatisupindonesia]. (2023b, 5 Mei). WIUI election gossip girl, April 2023 edition [Instagram Post]. Instagram. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.instagram.com/p/CzbGf-mRHUa/?g=5&img_index=7

What Is Up, Indonesia? [@whatisupindonesia]. (2022, 21 April). Permen PPKS (Taylor’s Version) [Instagram Post]. Instagram. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.instagram.com/p/CcmhCu4vX6_/?img_index=2

Woodbury, R. (2023). What taylor swift can teach us about business. Digital Native. Diakses pada 9 Desember 2023 melalui https://www.digitalnative.tech/p/what-taylor-swift-can-teach-us-about

.

Sebelum penulis mengajak pembaca untuk menjelajahi lebih jauh , penulis ingin menilik kembali perjalanan   penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan hiruk pikuk merebut suara pemilih dalam kampanye politik  menggunakan media sosial yakni pada pemilu 2014. Pemilu 2014 menjadi gambaran awal terjadinya pergeseran pola interaksi pemilih, penyelenggara pemilu, dan partai politik terhadap ruang digital. Fenomena pergeseran interaksi politik di ruang digital dilanjutkan   dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah tahun 2015, 2017, dan terakhir pada pemilu 2019. Media sosial menjadi tempat perang baru dalam menyebarkan opini dan sekaligus informasi politik  (Budiyono, 2016)

Media sosial menjadi tempat peluang terjadinya manipulasi opini dalam perbincangan politik yang dikhususkan pada mempengaruhi psikologis pemilih untuk bertindak emosional ataupun untuk tertarik dalam memilih kepemimpinan politik. Fenomena ini terjadi juga di wilayah Asia yang menerapkan sistem pemilu dalam sirkulasi kepemimpinan. Beberapa tahun terakhir ini, Kamboja, Vietnam, Myanmar, Thailand, Hong Kong, Cina, Indonesia, Sri Lanka, dan Malaysia telah melaporkan adanya akun media sosial anonim yang terlibat dalam upaya manipulasi opini  (Stieglitz & Dang-Xuan, 2013). Sebelum pemilu Malaysia 2018, ribuan bot tiba-tiba muncul untuk menyebarkan berita pro-pemerintah (Zhang et al., 2020), dan troll ditemukan menyebarkan pelecehan dan propaganda untuk mendukung calon presiden Rodrigo Duterte dalam pemilu Filipina 2017 (Etter, 2017)

Manipulasi opini ini biasanya berbentuk propaganda yang mengarah pada disinformasi atau informasi yang tidak sepenuhnya benar untuk mempengaruhi individu. Kerapkali propaganda mengarah pada narasi ujaran kebencian untuk memainkan psikologis pemilih. ujaran kebencian adalah narasi yang bersifat diskriminatif dan berusaha untuk merendahkan individu atau kelompok berdasarkan isu-isu identitas seperti agama, etnisitas, ras, atau gender (Handini & Dunan, 2021).

Hoaks politik dalam upaya mendelegitimasi hasil pemilu

Pengalaman Indonesia di pemilu 2019, gangguan informasi pemilu didominasi hoaks  politik yang menyerang badan penyelenggara pemilu sasaran utama ialah menggiring opini publik untuk tidak percaya pada kelembagaan yang menyelenggarakan pemilu yang berujung mendelegitimasi hasil pemilu. Penulis menelusuri data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sejak bulan Agustus 2018 hingga November 2019 terdapat 3.901 hoaks. Dari total 3.901 hoaks tersebut yang diidentifikasi, diverifikasi dan divalidasi oleh Tim Automatic Identification Systems (AIS) Kemenkominfo yang mengais konten negatif di internet, hoaks kategori politik mendominasi di angka 973, disusul 743 hoaks kategori pemerintahan, 401 hoaks kategori kesehatan, 307 hoaks kategori lain-lain, 271 hoaks kategori 4 kejahatan, 242 hoaks kategori fitnah, 216 hoaks kategori internasional, dan sisanya hoaks terkait bencana alam, agama, penipuan, mitos, perdagangan dan pendidikan (Kominfo.go.id 2019). Hoaks politik yang marak muncul di bulan Januari hingga April 2019 didominasi kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta Pemilu, maupun penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu (Kominfo.go.id, 2019)

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) mengumpulkan contoh hoaks yang bertujuan mendelegitimasi hasil pemilu. Pertama, tentang sebuah narasi dan foto tentang “hoaks server KPU diSetting Memenangkan Jokowi”. Kedua, hoaks yang dilontarkan oleh tokoh keagamaan yang berpengaruh ini berdampak memainkan peran psikologis publik yakni hoaks yang dilontarkan Tengku Zulkarnain mengenai “hoaks Tujuh Kontainer surat suara tercoblos” dan hoaks ini diviralkan dalam bentuk konten yang berbeda dengan dilengkapi foto-foto. Ketiga, muncul sebuah konten narasi berupa foto yang menjelaskan adanya pengerahan WNI di Arab Saudi untuk mencoblos salah satu calon presiden. Dan sesungguhnya masih banyak lagi mengenai manipulasi informasi yang mendelegitimasi hasil pemilu (Fauzi et al., 2019).

Fenomena ini tentu menjadi pengalaman yang baik untuk stakeholder pemangku kebijakan seperti pemerintah dan badan penyelenggara pemilu karena potensi terjadi kembali pada pemilu 2024 ini akan sangat besar mengingat situasi media sosial saat ini telah muncul platfom-platfom  dengan modifikasi yang lebih canggih seperti Tiktok dengan model algoritma yang luas dan berbentuk video. Ditamah lagi kehadiran Aritificial Intelegence berbentuk suara yang bisa sangat mirip dengan orang aslinya akan menjadi  rawan untuk dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Kepemimpinan Digital (Digital Leadership) diperlukan dalam menghadapi situasi Politik di era media sosial

Dalam menghadapi pemilu serentak 2024 yang begitu kompleks baik kompleks secara teknis kepemiluan maupun kompleks dalam interaksi di media sosial yang dapat mendelegitimasi hasil pemilu atau memicu sebuah konflik maka diperlukan sebuah mindset kepemimpinan  digital di tubuh badan penyelenggara pemilu baik Komisi Pemilihan Umum maupun Badan Pengawas Pemilu sebagai lembaga yang diberi mandat Undang-Undang untuk menyelenggarakan pemilu serta mengawasi pemilu di dalam mengelola tantangan ini.

Diskursus mengenai kepemimpinan digital (Digital Leadership) ada tiga artikel yang paling banyak dikutip para peneliti mengenai digital leadership yaitu: (1) “E-leadership: Implications for theory, research, and practice”(Avolio et al., 2000) ; (2)  “Investing in the IT that makes a competitive difference” (McAfee & Brynjolfsson, 2008); (3) “Leadership, capabilities, and technological change: The transformation of NCR in the electronic era” (Rosenbloom, 2020). Avolio et al., (2000) mendefinisikan kepemimpinan digital atau e-leadership sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang dimediasi oleh teknologi digital untuk menghasilkan perubahan sikap, perasaan, cara berpikir, perilaku dan/atau kinerja pada level individu, tim, dan/atau organisasi. Berdasarkan definisi tersebut, dampak jelas sekali bahwa kepemimpinan digital adalah kepemimpinan berbasis teknologi yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan pada seluruh lapisan organisasi.

Ada empat elemen utama kebijakan kepemimpinan digital yang dapat dilakukan KPU dan Bawaslu yaitu: (1) menciptakan kebijakan mengenai visi digital—yang  diartikulasikan dengan ambisi, bermakna, holistik, dan berkelanjutan artinya perlu adanya membangun sebuah sistem kerja kelembagaan dalam membangun narasi konten di digital; (2) kebijakan membangun pikiran progresif dan inovatif pada anggota/karyawan (Kelembagaan) menjadikan transformasi digital menjadi peluang dalam keberhasilan organisasi. Apalagi badan penyelenggara pemilu memiliki struktur hingga di tingkat desa (3) kebijakan membentuk keahlian digital agar dapat menampilkan perilaku digital dalam memimpin, atasan haruslah memiliki keterampilan digital yang berupa paham dan menggunakan teknologi digital, mencari peluang dan mengantisipasi risiko dari teknologi digital, dan mengembangkan entrepreneurial capability; (4) kebijakan membangun jejaring pemangku kepentingan (Kolaborasi) artinya Menciptakan Kemitraan yang baik secara internal dan eksternal dan Menjadikan isu digital sebagai tanggung jawab bersama . (5) Berkemampuan dan menilai dan mengambil keuntungan dari big data (Infrastruktur) artinya penggunaan teknologi sebagai sumber referensi pengambilan keputusan.

Referensi

Avolio, B. J., Kahai, S., B, G. E. D., & More, S. (2000). E-leadership: Implications for theory, research, and practice. The Leadership Quarterly, 11(4), 615–668. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S104898430000062X?via%3Dihub

Budiyono, M. (2016). Media Sosial Dan Komunikasi Politik: Media Sosial Sebagai Komunikasi Politik Menjelang Pilkada Dki Jakarta 2017. Jurnal Komunikasi, 11(1), 47–62. https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol11.iss1.art4

Fauzi, I. A., Rafsadia, I., Nursahid, A., Astuti, S. I., Kartika, D. A., Mulyartono, S., & Khairil, M. (2019). Buku Panduan Melawan Hasutan Kebencian. In Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina Masyarakat Anti Fitnah Indonesia.

Handini, V. A., & Dunan, A. (2021). Buzzer as the Driving Force for Buzz Marketing on Twitter in the 2019 Indonesian Presidential Election. International Journal of Science, Technology & Management, 2(2), 479–491. https://doi.org/10.46729/ijstm.v2i2.172

Lauren Etter. (2017). What Happens When the Government Uses Facebook as a Weapon? Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/features/2017-12-07/how-rodrigo-duterte-turned-facebook-into-a-weapon-with-a-little-help-from-facebook

McAfee, A., & Brynjolfsson, E. (2008). Investing in the IT That Makes a Competitive Difference. Havard Business Review. https://hbr.org/2008/07/investing-in-the-it-that-makes-a-competitive-difference

Rosenbloom, R. S. (2020). Leadership, Capabilities, and Technological Change: The Transformation of NCR in the Electronic Era. Strategic Management Journal, 21. https://doi.org/10.1002/1097-0266(200010/11)21:10/11<1083::AID-SMJ127>3.0.CO;2-4

Setu, F. (2019, December 2). Selama November 2019, Kementerian Kominfo Identifikasi 260 Hoaks, Total Hoaks Sejak Agustus 2018 Menjadi 3.901. Kominfo. https://www.kominfo.go.id/content/detail/23054/siaran-pers-no-217hmkominfo122019-tentang-selama-november-2019-kementerian-kominfo-identifikasi-260-hoaks-total-hoaks-sejak-agustus-2018-menjadi-3901/0/siaran_pers

Stieglitz, S., & Dang-Xuan, L. (2013). Social media and political communication: a social media analytics framework. Social Network Analysis and Mining, 3(4), 1277–1291. https://doi.org/10.1007/s13278-012-0079-3

Zhang, Y., Jiang, B., Yuan, J., & Tao, Y. (2020). The impact of social distancing and epicenter lockdown on the COVID-19 epidemic in mainland China: A data-driven SEIQR model study. MedRxiv, 2019(December 2019), 2020.03.04.20031187. https://doi.org/10.1101/2020.03.04.20031187

           

.

Tahun 2024 yang merupakan tahun demokrasi bagi Masyarakat Indonesia menjadi fokus utama untuk melihat perempuan di dalam arena politik terkhusus pada pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, menjadi pertanyaan penting dan perlu dievaluasi apakah perempuan dalam politik hanya dihadirkan sebagai simbol atau benar-benar memiliki pengaruh nyata dalam pembuatan kebijakan dan implementasinya. Representasi politik perempuan di Indonesia masih tergolong minim, banyak sekali persoalan diskriminasi gender di Indonesia yang masih perlu dibenahi terkhusus dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki sangat tidak proporsional, dilihat dari peran pengambilan keputusan dan kebijakan publik yang ada di Parlemen.

Jika laki-laki lebih dominan dalam proses perumusan kebijakan, ini dapat menggambarkan ketidakproporsionalan yang lebih dalam dalam hal pengaruh politik. Menjadi perhatian khusus bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan, karena implementasi yang adil dan inklusif juga menjadi faktor penting dalam mencapai kesetaraan gender. Setelah muncul banyak sekali tuntutan agar perempuan memiliki kuota tersendiri dalam keterlibatannya di dunia politik, Indonesia kemudian menjamin keterwakilan perempuan dalam sejumlah undang-undang.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 dijelaskan mengenai keterwakilan perempuan di dalam pemilihan umum yang menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada urusan politik tingkat pusat dan pendaftaran calon legislatif. Terdapat beberapa negara yang saat ini keterwakilan perempuan dalam parlemen diatas 30%. Posisi pertama ditempati oleh Rwanda dengan total 61,3% keterwakilan perempuan, lalu diikuti oleh Kuba (53,2%) pada posisi kedua dan Bolivia (53,1%) di posisi ketiga. Untuk saat ini Indonesia berada pada posisi ke-104 dengan keterwakilan perempuan hanya 20,3% (IPU, 2020).

Ada perbedaan yang signifikan antara jumlah perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan di parlemen. Ini menunjukkan bahwa perempuan masih belum sepenuhnya diwakili dalam arena politik, meskipun ada peningkatan dalam partisipasi perempuan dalam politik. Penting untuk menilai sejauh mana peran mereka dalam merumuskan kebijakan yang berdampak pada masyarakat. Penjaminan hak politik perempuan di Indonesia belum berjalan seutuhnya. Kebijakan yang dibuat tidak semudah itu bisa masuk di lingkungan masyarakat dan banyak sekali hambatan dalam implementasi kebijakan tersebut. Perempuan di Indonesia masih tergolong minim dalam keterwakilan politik dikarenakan banyak faktor yang memberikan dampak tidak seimbang antara hak perempuan dan hak laki-laki.

Perbedaan perempuan dan laki-laki dalam segala bidang sudah mengakar erat di masyarakat, sehingga perempuan merupakan golongan yang sulit terkhusus untuk memasuki dunia politik karena stereotip yang telah mengakar bahwa dunia politik sudah kental isi dan kaitannya dengan laki-laki memberikan stigmatisasi tersendiri, padahal pada dasarnya perempuan dalam politik merupakan suatu keseimbangan peran dalam pengambilan suatu regulasi di negara yang masyarakatnya bukan hanya laki-laki saja tapi terdapat perempuan juga. Budaya patriarki memberikan stereotip terhadap perempuan dan politik sehingga membangun stigma yang menjadikan suatu pola pikir yang mengakar, kebanyakan beranggapan bahwasanya perempuan dan politik itu memiliki dinding besar penghalang seolah dua dunia yang berbeda.

Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (2023) memberikan pandangan bahwa seringkali ditemukan penilaian bahwa calon legislatif perempuan kurang dianggap memiliki kapasitas yang memadai untuk menjadi wakil rakyat, sementara calon legislatif laki-laki jarang mendapat pertanyaan mengenai kemampuan kepemimpinan mereka.  Pandangan seperti ini harus diluruskan karena perempuan juga memiliki kapabilitas dalam memasuki dunia politik untuk itu dalam perumusan suatu kebijakan perempuan harus diikutsertakan, sehingga regulasi yang dihasilkan tidak mengalami ketimpangan karena perempuan juga memiliki suara atas kebutuhan mereka dalam kehidupan bermasyarakat di negara Indonesia. Keterwakilan perempuan dalam politik bukan untuk menyudutkan dominasi laki-laki akan tetapi lebih kepada keseimbangan peran dalam pengambilan keputusan, politik bukan soal menang-kalah dalam pemilu atau berebut jabatan tinggi, melainkan politik ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan hak asasi manusia dan kebijakan seluruh warga negara di wilayah tersebut yang lebih inklusif.

Keterwakilan perempuan di parlemen juga sangat penting dalam pengambilan keputusan publik karena akan berimplikasi pada kualitas legislasi yang dihasilkan lembaga negara dan publik (Wahyudi, 2019). Perlu adanya sosialisasi mengenai kuota perempuan dalam politik di Indonesia kepada masyarakat sehingga kebijakan ini akan mampu memberikan pandangan baru terhadap perempuan dalam politik di masyarakat. Partisipasi perempuan dalam posisi kepemimpinan memiliki signifikansi yang besar dalam upaya menghindari peningkatan jumlah peraturan dan kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan (Fitriyani dkk, 2022).

 Marginalisasi kelompok perempuan di Indonesia menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya keterwakilan politik perempuan (Budiatri, 2011). Perempuan dipandang menjadi pilihan kedua dalam kontestasi politik di Indonesia dikarenakan dominasi politik oleh laki-laki. Kelompok perempuan dalam struktur kepengurusan legislatif di Indonesia masih dikesampingkan dan selalu menjadi objek dalam pengambilan suatu keputusan bukan sebagai subjek, hal ini akan menjadi lumrah ketika dibiarkan berulang, dalam mengatasi hal ini pemerintah harus mampu mengakomodir jabatan penting terkhusus bagi perempuan, agar dapat memberikan suara terkait isu perempuan di negara dan mendapat hak dalam menentukan serta merumuskan suatu kebijakan pemerintah.

Partai politik menjadi suatu perantara yang memiliki fokus utama dalam pengembangan partisipasi politik di Indonesia, akan tetapi kebanyakan partai politik hanya berorientasi pada elektabilitas partai. Kebijakan ini harus dapat diarahkan dan dioptimalkan dalam pelaksanaannya agar mampu memberikan ruang pada perempuan untuk bukan hanya menyuarakan tapi dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang ada. Kebijakan kuota perempuan menjadi salah satu pertanyaan dikarenakan apabila hanya dikeluarkan menjadi suatu kebijakan hanya akan menjadi sia-sia, dalam implementasinya dibutuhkan mekanisme yang memastikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki pengawasan terhadap kuota yang harus ditekankan ke setiap partai politik.

Dukungan partai politik merupakan tonggak acuan bagi perempuan untuk memasuki dunia politik, partisipasi politik perempuan akan bertambah jika partai politik peka terhadap kebijakan kuota perempuan sehingga mampu menaikkan proporsi calon perempuan dalam politik dan juga sarana pemberdayaan perempuan (Balington, 2011). Kuota perempuan dalam keterwakilan politik harus dikaji ulang, jika dalam pelaksanaannya perempuan masih ditempatkan pada posisi akar rumput pada suatu lembaga, sama saja perempuan tidak punya ruang untuk menyuarakan aspirasi dalam penentuan suatu keputusan, disebabkan tidak adanya kekuatan dalam pengambilan keputusan sehingga masih ada ketidaksetaraan dalam posisi jabatan strategis di lembaga negara terkhusus pada penentuan keputusan publik.

            Partisipasi politik harus mampu menyelaraskan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, yang di mana partisipasi politik perempuan dan laki-laki harus ditentukan oleh kualitas dan kapabilitas seseorang untuk menghadirkan suatu rakyat dalam parlemen, apabila pandangan dan kontribusi perempuan sudah dapat diterima hal tersebut merupakan salah satu hal untuk menguatkan demokrasi sehingga mampu menghidupkan good governance di Indonesia. Mencapai kesetaraan dengan keadilan bukanlah tujuan yang bisa dicapai hanya dengan peningkatan jumlah perempuan yang terwakili di lembaga legislatif dan instansi pemerintahan lainnya. Tujuan ini perlu didukung oleh berbagai tindakan pendukung lainnya (Minch, 2012) tindakan pendukung tersebut terkhusus dalam iklim masyarakat yang inklusif dan adil yang lebih harus didukung untuk pengembangan kesetaraan gender yang mengedepankan pendewasaan intelektual dari masyarakat.

            Perempuan harus mampu untuk bergerak bersama dalam menyuarakan hak mereka dalam politik dan turut berperan aktif menyosialisasikan politik sehingga mampu mengubah pandangan masyarakat Indonesia yang telah mengakar mengenai politik dan perempuan, agar kedepannya masyarakat juga berperan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia. Penting untuk disadari bahwa kemajuan suatu bangsa bergantung pada penggunaan sumber daya manusia dengan optimal. Masyarakat yang lebih maju adalah masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam proses politik bukan hanya untuk menangani isu-isu gender khusus, melainkan juga merupakan langkah signifikan menuju politik yang lebih inklusif (Pandit, 2010). Perubahan inklusif diharapkan mampu melibatkan perubahan fundamental menjelang tahun 2024 yang penuh huru-hara politik dan mampu menjadi prioritas dalam pendekatan pembangunan, dengan fokus lebih besar pada pelayanan kepada dan perhatian terhadap kelompok-kelompok yang cenderung berada dalam posisi rentan dan terpinggirkan.

Referensi

Ballington, Julie. “Praktek Panduan Terbaik Untuk Meningkatkan Partisipasi Dan Politik Perempuan.” UNDP, 2011.

Budiatri, Aisah Putri. “Bayang-Bayang Afirmasi Keterwakilan Perempuan Di Parlemen Lndonesia.” Jurnal Studi Politik Universitas Indonesia l, no. 2 (2011). http://jurnalpolitik.ui.ac.id/index.php/jp/issue/download/19/6.

Fitriyani, V. N., Marsingga, P., & Hidayat, R. (2022). Pemerintahan dan Gender Studi Tentang Peran Perempuan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 8.

Minch, M. I. (2012). WOMEN AND POLITICS. The Indian Journal of Political Science, 73(3), 489–492. http://www.jstor.org/stable/41852121

Pandit, L. A. (2010). POLITICAL LEADERSHIP OF WOMEN: CONSTRAINTS AND CHALLENGES. The Indian Journal of Political Science, 71(4), 1139–1148. http://www.jstor.org/stable/42748942

Wahyudi, Very. “Peran Politik Perempuan Dalam Persfektif Gender.” Politea : Jurnal Politik Islam 1, no. 1 (2019): 63–83. https://doi.org/10.20414/politea.v1i1.813.

Inter-Parliamentary Union. (2020). Women in Politics: 2020. www.ipu.org diakses pada tanggal 23 Oktober 2020

Perludem. (2023, Mei). Masa Pencalonan Bacaleg Berakhir, Perludem: Ada Kemunduran Terkait Keterwakilan Perempuan – Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi. Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi. https://perludem.org/2023/05/18/masa-pencalonan-bacaleg-berakhir-perludem-ada-kemunduran-terkait-keterwakilan-perempuan/

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017

.

Perjalanan gelap dan terang ke dalam labirin relasi sosial dapat terjadi secara spontan melalui apa yang dilihat dan dirasakan. Relasi sosial adalah jalinan kompleks antara individu-individu yang saling mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan (Aditia, 2021). Dalam interaksi ini, munculnya norma, nilai, dan ekspektasi saling membentuk kerangka kerja yang mengarah pada pembentukan ikatan sosial yang dapat bersifat sementara atau mendalam, memainkan peran penting dalam membentuk struktur masyarakat secara keseluruhan. Ikatan sosial adalah dampak sosial yang muncul melalui hubungan antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Selain secara fisik, ikatan sosial dapat terjadi secara virtual karena adanya media sosial (Widada, 2018). Lingkungan masa kini seringkali membawa kita mengikuti hal-hal yang populer di media sosial. Fenomena ini sering disebut sebagai “trending,” di mana topik atau konten tertentu mendapatkan perhatian besar dari pengguna media sosial dan dengan cepat menyebar luas. Dalam era digital ini, kemampuan media sosial untuk memviralkan informasi dan tren membuat kita cenderung ikut serta dalam pembicaraan yang sedang berkembang. Hal ini dapat mencakup segala hal, mulai dari isu-isu global, tren fashion, lagu, film, hingga peristiwa sehari-hari. Mengejar tren ini dapat memberikan rasa keterikatan sosial dan keinginan untuk tetap terhubung dengan perkembangan terkini. Namun, sekaligus juga menimbulkan pertanyaan tentang seberapa autentik dan berkelanjutan keterlibatan tersebut dalam menciptakan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari atau hanyalah keadaan sementara waktu.

Fear of Missing Out (FoMO) tampaknya menjadi pengalaman umum dan baru-baru ini menjadi bagian dari kosakata, sering disebut dalam media popular di kalangan anak muda (Milyavskaya, Saffran, Hope, & Koestner, 2018). FoMO merupakan salah satu dampak perkembangan teknologi (Dewi, Hambali, & Wahyuni, 2022). Kenaikan tingkat konektivitas pada media sosial yang dialami oleh seseorang membuka peluang lebih luas untuk munculnya perasaan FoMO (Dewi, Hambali, & Wahyuni, 2022). Hal ini akan sejalan dengan adanya isu-isu populer yang memicu seseorang untuk mendapatkan validasi atas dirinya di media sosial atau lingkungan fisiknya. Fenomena FoMo juga menjalar pada trending-nya lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ ciptaan Guruh Soekarnoputra yang dinyanyikan oleh mendiang Chrisye pada tahun 1978, sebelum dibawakan oleh Nadin Amizah dalam Film Gadis Kretek (Alwin, 2023). Fenomena ini mendorong orang untuk ikut serta dalam percakapan sosial, mendengarkan lagunya, menonton film Gadis Kretek, menjadi seolah-olah bagian atau related dengan kisah dan makna dalam film Gadis Kretek dan lirik lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’, berpakaian seperti tokoh dalam filmnya atau bahkan hanya membicarakannya untuk merasa terhubung dengan tren budaya. Hal ini menjadi salah satu dampak sosial adanya media virtual yang saling menghubungkannya. FoMO kemudian akan merujuk pada kekhawatiran seseorang bahwa mereka sedang melewatkan pengalaman sosial, acara, atau kegiatan yang sedang berlangsung, terutama ketika melihat postingan teman-teman atau orang lain di media sosial yang menunjukkan kegiatan yang menyenangkan atau berharga yang bersumber dari tren seperti film dan lagu tersebut.

Lagu merupakan komposisi musik yang indah dan menghibur, tercipta dari gabungan suara vokal dan instrumental yang disusun dengan cermat dan menarik bagi pendengarnya (Menurut.id, t.t.). Lagu dapat tercipta dari kehidupan nyata di sekeliling kita, ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ menggambarkan kisah cinta sepasang kekasih yang tragis (Prayitno, 2023). Sedangkan, film Gadis Kretek seolah memvisualisasikan makna lagu yang membuat penontonnya terbawa suasana. Kekuatan media sosial membawa populernya kembali lagu tersebut, terlebih tokoh-tokoh dalam Gadis Kretek berperan dengan apik dan menjiwai. Film dan lagu dapat memiliki dampak sosial yang signifikan baik secara fisik maupun virtual di masyarakat. Populernya kedua karya tersebut membuat individu ingin ikut mengapresiasi sebagai bagian dari karya dengan membuat kembali (remake) dengan versi dirinya. Sebagai contoh adalah ketika orang-orang mulai mengenakan pakaian seperti tokoh Jeng Yah dalam Gadis Kretek yaitu Kebaya Janggan, dan orang-orang membuat video dirinya di mana lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ mengalun dengan suara Jeng Yah, pada penggalan monolognya, “Dan saya ingin membawa mimpi itu kemanapun saya melangkah (Gadis Kretek, 2023)”, ini menunjukkan bahwa seseorang telah mencoba menyampaikan atau merayakan identitas atau budaya tertentu melalui tren yang ada. Penggunaan pakaian tradisional seperti kebaya dan musik dengan elemen-elemen Jeng Yah dalam konteks ini mungkin juga menciptakan suatu bentuk ekspresi diri atau koneksi untuk mengekspresikan diri, mengeksplorasi identitas, atau bahkan mengikuti tren dan norma sosial yang ada.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa FoMo dalam kembali populernya lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ dalam film Gadis Kretek justru membawa social impact berupa apresiasi kultural melalui pelestarian budaya berkebaya, kesetaraan, dan peran perempuan dalam budaya patriarki. Popularitas lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ yang diromantisasi dalam film Gadis Kretek dan adanya fenomena FoMO justru memberikan momentum penting untuk mempromosikan keberlanjutan warisan budaya berkebaya. Pakaian tradisional ini, dengan desain yang khas dan simbolisme yang mendalam, menjadi lebih dari sekadar pilihan berpakaian. FoMO menciptakan semacam gerakan sosial di sekitar identitas kultural ini secara virtual maupun fisik, memotivasi individu untuk mengenakan kebaya sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian warisan budaya. Dengan melibatkan masyarakat dalam apresiasi terhadap kekayaan kultural ini, dampak positifnya dapat melampaui aspek individual dan berkontribusi pada pemeliharaan keberagaman budaya. Sementara itu, FoMO yang terkait dengan lagu diromantisasi dalam konteks perlawanan terhadap budaya patriarki memberikan ruang untuk membangun kesadaran masyarakat akan isu-isu kesetaraan gender. Dengan menggabungkan naratif perempuan yang berani melawan norma-norma patriarki, film Gadis Kretek yang didukung oleh lagu tersebut dapat menjadi katalisator dalam mengubah sikap dan pandangan sosial. Dampak sosial ini menciptakan peluang untuk memajukan dialog tentang pentingnya kesetaraan gender dalam budaya dan masyarakat, serta merangsang perubahan yang lebih luas menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil.

Dalam lingkup kesetaraan gender, FoMO dalam konteks lagu ‘Kala Sang Surya Tenggelam’ dalam film Gadis Kretek dapat menciptakan ruang dan suasana untuk merangsang gerakan advokasi yang lebih besar. Efek ini dapat termanifestasi dalam pembentukan komunitas atau kelompok yang bersatu untuk mendukung hak-hak perempuan, memperjuangkan perubahan budaya patriarki yang tidak adil, dan mendorong inklusivitas dalam berbagai aspek budaya. Lagu dan film tersebut, melalui adanya FoMO dalam media sosial maupun secara langsung, memiliki potensi untuk menjadi suara yang menginspirasi, memotivasi, dan mengajak masyarakat untuk bersama-sama menciptakan perubahan positif dalam pandangan terhadap perempuan di dalam budaya. Lebih dari sekadar tren atau popularitas, FoMO yang terkait dengan lagu dan film ini bisa menjadi alat yang kuat untuk membangun momentum sosial yang berkelanjutan. Dengan memanfaatkan kekuatan media dan seni, masyarakat dapat terlibat dalam pembentukan narasi yang mendukung kesetaraan dan pelestarian budaya, menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan sosial positif, dan membuka jalan menuju perubahan yang lebih besar dalam masyarakat.

Referensi

Aditia, R. (2021). Fenomena phubbing: Suatu degradasi relasi sosial sebagai dampak media sosial. KELUWIH: Jurnal Sosial Dan Humaniora, 2 (1), 8-14.

Alwin (2023). Lirik dan makna lagu Kala Sang Surya Tenggelam versi Nadin Amizah | Kisah cinta yang penuh rintangan. Rukita.co. Diakses pada 27 November 2023, melalui https://www.rukita.co/stories/kala-sang-surya-tenggelam/#:~:text=%E2%80%9CKala%20Sang%20Surya%20Tenggelam%E2%80%9D%20adalah%20soundtrack%20serial%20terbaru,pada%20tahun%201978%2C%20sebelum%20dibawakan%20oleh%20Nadin%20Amizah.

Dewi, N., K., Hambali, I., & Wahyuni, F. (2022). Analisis intensitas penggunaan media sosial dan social environment terhadap perilaku FoMo. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 5(1), 11-20.

Gadis Kretek (2023). Film Gadis Kretek. Netflix. Diakses pada 27 November 2023, melalui https://www.netflix.com/id/title/81476989

Menurut.id (t.t.) Pengertian lagu menurut para ahli. Menurut.id. Diakses pada 27 November 2023, melalui https://www.menurut.id/pengertian-lagu-menurut-para-ahli

Milyavskaya, M., Saffran, M., Hope, N., & Koestner, R. (2018). Fear of missing out: prevalence, dynamics, and consequences of experiencing FOMO. Motivation and emotion, 42 (5), 725-737.

Prayitno, P. (2023). Lirik hingga makna lagu Kala Sang Surya Tenggelam Ost film Gadis Kretek. Liputan6.com. Diakses pada 27 November 2023, melalui https://www.liputan6.com/regional/read/5458538/lirik-hingga-makna-lagu-kala-sang-surya-tenggelam-ost-film-gadis-kretek?page=2

Widada, C. K. (2018). Mengambil manfaat media sosial dalam pengembangan layanan. Journal of Documentation and Information Science, 6003, 23-30.

.

Particularly, social media was not novel in Indonesia prior to the COVID-19 pandemic. According to data from We Are Social and Hootsuite, the proportion of internet users in Indonesia stood at 196.7 million during January 2020, constituting 73.7% of the overall populace. About 56% of this population, or 150 million, utilize social media. At that time, social media usage primarily facilitated individual existence and social interaction, as evidenced by the prevalence of personal communication via WhatsApp, information sharing and engagement with friends and family via Facebook, and photos and videos on Instagram.

During the pandemic, social media usage is expanding and increasing. We Are Social and Hootsuite reported that the number of active social media users reached 170 million in 2021. This upward trend appears to be intensifying once the pandemic has passed in Indonesia. The data indicates that in 2023, the total of internet consumers in Indonesia amounted to 215.63 million. From before the pandemic to the present, the proportion of internet users has increased by around 23.16%.

This article aims to review how transformations in the behavior of social media users in Indonesia have coincided with the widespread adoption of social media platforms during the pandemic. User objectives are broadening to encompass not only the necessities of personal existence and social connections but also engagement concerning matters of economy, politics, culture, and even law. We discuss shifts in public sentiment regarding legal matters as expressed via social media using the hashtag “no viral, no justice.” This phenomenon is unique because legal justice concerns can encourage participation on social media through the monitoring of law enforcement performance.

The pandemic exacerbates the social impact of digital transformation as people express their views on legal matters. As evidenced by the hashtag “no viral no justice”, in addition to social and political issues, social media can be used to mobilize and convey community participation in the form of a justice campaign.  In other words, the pandemic has encouraged society to utilize social media more strategically in its pursuit of legal justice.

The hashtag “no viral, no justice” was coined in 2021, after the publication by the Multatuli Project of the rape cases in North Luwu in 2019. The hashtag evolved from an initial expression of public dissatisfaction to a stance that exerted pressure on the police to re-examine a legal case in an accountable manner. Several incidents involving law enforcement have surfaced during this hashtag’s development, contributing to its ubiquitous status; further hashtags, including the hashtag “useless to report the police”. The hashtag’s development has led to a crisis of public trust due to the police’s lack of transparency, which is inextricably linked to the dissatisfaction expressed via the hashtag. Human rights activist Haris Azhar, believes that the mobilisation of participation in the digital domain is motivated by this crisis.

According to our analysis, this hashtag phenomenon also demonstrates the growing societal reliance on social media. There exists a perspective that regards social media as a strategic instrument to pursue justice. When it comes to advocating for justice, people rely more on social media to seek and speak out for justice than on the formal law enforcement and judicial systems. Put simply, the use of social media platforms to spread the hashtag “no viral, no justice” can be interpreted as public distrust towards the justice system, especially the police. This analysis is in line with Mahfud MD’s statement that people rely more on social media to seek and speak out for justice.  The public exerts pressure on the police to expeditiously handle legal cases more equitably and transparently via social media. Social media is regarded as a more efficacious method compared to formal channels, which are often impeded by bureaucratic processes.

The hashtag also represents a novel form of engagement that can interpret civil society’s (CS) strength against state instruments (police). This hashtag offers an additional academic perspective, discussing the fact that the presence of CS is not consistently apparent concerning institutions and social capital. The presence of CS via hashtags represents CS engagement that takes place in the digital realm. Using advocacy, participation evolves from an initial state of sympathy to one of collective consciousness. All of this is performed voluntarily, serves the same purpose, and is distinct in that it does not centre on an organization (CSO). They are motivated solely by disillusionment with the protracted legal disputes, which extend to advocacy in a variety of legal cases. The dissemination of the hashtag throughout social media to urge police leaders to intervene against members who abused their authority demonstrated the efficacy of CS.

Nonetheless, this hashtag phenomenon  merits a more critical examination, given that hasty information dissemination on social media is prone to impulsive behaviour, including unverified data. Furthermore, public oversight of law enforcement in the digital realm in Indonesia is limited to the police. Meanwhile, the performance of law enforcement is also related to other law institutions, such as the judiciary and the prosecutor’s office. Another analysis is the potential for inequality, which ultimately also creates injustice in the handling of legal cases. Because certain cases go viral, the hashtag “no viral, no justice” does attract attention and prompt reconsideration of their treatment. Nonetheless, this appears to increase the police’s urgency to respond swiftly to legal cases that only gain notoriety through social media. Conversely, non-viral cases might not garner the same level of attention. Additionally, despite the widespread influence of this hashtag, case resolution is confined to law enforcement. The progression of case management towards achieving equitable legal judgements does not end with law enforcement; rather, it extends to the prosecutor’s office and culminates in the court’s verdict. In the “Sambo” case, the judiciary, police, and prosecutor’s office reached a legally sound verdict that the public deemed “fair”. However, that verdict was overturned by the Supreme Court.

As a result, the disruption of social media caused by the pandemic has led to a surge in social media usage, including user engagement and content trends. As demonstrated by the hashtag “no viral, no justice,” social media can be utilised to advocate for legal causes. This is a democratic phenomenon in the digital space in which CS can independently and unofficially exert pressure on state instruments. However, this still raises the issues discussed previously. It is necessary to increase awareness and the capacity to verify information prior to its social media dissemination in order to address these issues. Regarding law enforcement, particularly the police, it is time to transform quick responses to CS advocacy on social media into community-based legal case complaints. Simultaneously, endeavours are underway to enhance confidence in additional law enforcement agencies, including the judiciary and the prosecutor’s office, in order to improve their professionalism and efficacy. in order to facilitate the achievement of social justice for the entire Indonesian populace, which is one of the state’s objectives.

References

Arianto, B. (2021). Pandemi Covid-19 dan Transformasi Budaya Digital di Indonesia. Titian: Jurnal Ilmu Humaniora, 5(233–250).

Kharisma, B. (2022). Surfng alone? The Internet and social capital: evidence from Indonesia. Journal of Economic Structures, 11(8), 1–17. https://doi.org/10.1186/s40008-022-00267-7

Meiliana, A. R. D. (2023). Soal “No Viral No Justice”, Mahfud Klaim Ribuan Kasus Selesai meski Tak Viral.

Nurhayati-Wolff, H. (2023). Internet usage in Indonesia – statistics & facts. Statista. https://www.statista.com/topics/2431/internet-usage-in-indonesia/#topicOverview

Project Multatuli. (2021). Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan. https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/

Putri, Z. (2023). MA Sebut Tak Adil, Kuat Ma’ruf Sebelumnya Divonis 15 Tahun Bui. https://news.detik.com/berita/d-6899882/ma-sebut-tak-adil-kuat-maruf-sebelumnya-divonis-15-tahun-bui

Riyanto, A. D. (2021). Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2021. https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2021/

Rosyad, T. A. R. A. S. (2023). The Viral Phenomenon on Social Media is a New Legal Norm-No Viral, No Justice. International Journal of Advanced Multidisciplinary Research and Studies, 3(4), 277–282.

.

Peningkatan Penyakit Akibat Kualitas Udara

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mengalami peningkatan seiring rendahnya kualitas udara. Data Kementerian Kesehatan menunjukan peningkatan ISPA non-pneumonia di wilayah Jabodetabek pada 29 Agustus hingga 6 September 2023 mencapai 90.546 orang. Perlu dipahami bersama bahwa rendahnya kualitas udara tidak hanya disebabkan oleh emisi PM 2.5, yang merupakan parameter untuk mengukur kualitas dan tingkat polusi udara. Lebih dari itu, emisi polutan lain, seperti SO2 dan NOx, yang berasal dari sumber seperti pembakaran bahan bakar fosil, kendaraan bermotor, industri, dll. juga berkontribusi dalam pembentukan partikel PM 2.5. Menurut laporan Air Quality Index (AQLI, 2021), pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, tidak hanya secara langsung meningkatkan konsentrasi PM 2.5, tetapi juga berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Polemik Sumber Polusi Udara

Pemerintah dan aktor nonpemerintah mencapai ketidaksepakatan tentang apa yang menjadi penyebab polusi udara. Situasi ini menyebabkan polemik yang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Pada rapat terbatas pertama, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menampik bahwa PLTU bukan merupakan sumber polusi udara, melainkan sektor transportasi (sebesar 44%) sebagai penyebab utama rendahnya kualitas udara dan diikuti industri energi (25,17%), manufaktur industri (10%), perumahan (14%) dan komersial (1%). Sejalan dengan hal itu, Katadata Insight Center mengeluarkan data hasil survei di bulan Agustus 2023 tentang persepsi masyarakat terhadap pencemaran udara. Hasil survei tersebut menempatkan sektor transportasi (82,2%) sebagai peringkat pertama sumber pencemaran udara, diikuti oleh pembakaran sampah (72,3%), asap rokok (57%), dan kebakaran hutan (54,4%). Sedangkan PLTU batubara berada pada peringkat kelima (39,8%) sebagai sumber pencemaran udara.

Data pemerintah tersebut diperkuat oleh pendapat akademisi dan pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, yang meyakini bahwa polusi udara di Jakarta bukan bersumber dari beroperasinya sejumlah PLTU di sekitar Jabodetabek. Karena pembangkit–pembangkit tersebut memiliki emisi karbon rendah dan telah memenuhi ketentuan Peraturan Menteri (Permen) KLHK no 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Sehingga tidak mencemari udara.

Direktur Utama PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha, juga menyatakan bahwa PLTU Suralaya telah memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengurangan operasional PLTU Suralaya sebanyak 4 unit, setara 1600 Megawatt (MW) pun dilakukan sebagai respon terhadap pandangan bahwa PLTU berkontribusi pada polusi Jakarta. Namun nyatanya polusi di Jakarta tetap tinggi.

Berbeda dengan pemerintah, CREA (2023), lembaga riset independen, mengeluarkan analisa yang menunjukan bahwa sektor utama penyebab polusi udara yang terjadi di Jakarta antara tahun 2020 hingga 2023 diantaranya adalah pembangkit listrik, industri, transportasi, dan pembakaran lahan terbuka. Pandangan bahwa PLTU batubara tidak berkontribusi signifikan terhadap polusi udara di Jakarta berseberangan dengan hasil studi yang dilakukan oleh CREA dan IESR, 2023 tentang “Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia”. Studi tersebut menyatakan bahwa PLTU yang berlokasi di sekitar Jakarta (PLTU Suralaya, PLTU Lontar, PLTU Banten, PLTU Cirebon 1 dan 2, PLTU

Batang, dan PLTU Tanjung Jati) menjadi kontributor dominan tingginya polusi udara di Jakarta.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), lembaga non pemerintah, juga berpendapat jika masalah polusi udara di Jakarta akibat dari polutan yang terbawa angin dari PLTU batubara yang tidak jauh dari ibu kota. Mengacu pada data Global Energy Monitor, ada 16 PLTU batubara yang letaknya tidak jauh dari Jakarta, di mana sepulu (10) PLTU di Banten dan enam (6) lainya di Jawa Barat. Nafas, aplikasi penyedia data kualitas udara, juga melansir jika PLTU merupakan penyumbang besar polusi udara yang disebabkan oleh lokasi delapan PLTU batubara yang beradius 100 km dari Jakarta.

Melihat dampak negatif PLTU batubara, penghapusan penggunaan batubara di Indonesia pada tahun 2040 yang sesuai dengan target Persetujuan Paris (Paris Agreement) setidaknya akan menghindarkan 182.000 kematian yang ditimbulkan oleh polusi udara serta mengurangi beban biaya kesehatan mencapai USD 130 miliar (1,9 kuadriliun rupiah) hingga 2060 (CREA & IESR, 2023). Sejauh ini, perbedaan data sumber polusi udara baik antara pemerintah dan lembaga nonpemerintah perlu menjadi perhatian serius sebagai fondasi dalam penentuan program kebijakan publik. Walaupun pada rapat terbatas kedua, KLHK telah merevisi sumber polusi udara Jabodetabek menjadi 44% berasal dari kendaraan, 34% PLTU, disusul industri, rumah tangga dan sumber lainnya.

Keterbukaan Data

Diskursus terkait sumber polusi udara perlu didukung dengan keterbukaan dan sumber data yang valid. Data yang kredibel akan menjadi dasar pengambilan keputusan, kebijakan, dan program yang baik. Belajar dari polemik sumber polusi ini, seyogyanya pemerintah dapat memberikan akses data dan informasi dari seluruh sumber pengemisi. Misalnya saat ini yang menjadi perdebatan adalah apakah PLTU juga merupakan kontributor utama terhadap penurunan kualitas udara? Alih-alih mengelak data-data yang tidak sama dengan pemerintah, akan lebih baik jika pemerintah dapat memberikan akses keterbukaan data. Hal ini dapat menjadi peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam mendukung pemerintah melalui monitoring emisi PLTU, pemantauan kebijakan terkait polusi udara, dan program-program yang ada di lapangan.

Ragam data sumber polusi yang tersedia baik dari pemerintah dan nonpemerintah menjadi tantangan tersendiri dalam menginterpretasi dan menarasikannya ke publik. Keterbukaan data emisi PLTU tentu akan membantu dalam mengelola dampak penggunaan energi, khususnya terhadap kesehatan publik. Baik pemerintah dan nonpemerintah harus memastikan bahwa sumber data emisi terbuka untuk publik. Sehingga publik dapat membandingkan secara langsung dan terbuka atas perbedaan yang ada. Namun demikian, hingga saat ini keterbukaan data emisi PLTU belum menemukan titik terang. Hal itu juga yang menjadi faktor ketidakpastian bagaimana PLTU berpengaruh terhadap rendahnya kualitas udara, tidak hanya di wilayah Jabodetabek tapi juga seluruh Indonesia. Mengingat isu kualitas udara merupakan isu lintas batas. Keterbukaan data emisi PLTU akan menekan polemik sumber polusi dan dapat menjadi acuan masyarakat dalam memahami dasar pengambilan keputusan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Haruskah menutup PLTU seperti yang sudah dilakukan oleh India, misalnya. Pada 2021 silam, parahnya polusi udara juga sempat terjadi di New Delhi, ibu kota India. Pemerintah India memutuskan untuk menutup lima pembangkit listrik tenaga PLTU Batubara. Saat itu, India memiliki kadar partikulat tujuh kali lipat di atas batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mencapai 300 mikrogram. Pada saat itu, sekitar 70% pasok energi listrik India berasal dari bahan bakar fosil. Pembangkit batubara tersebut menghasilkan listrik mencapai 200 Gigawatt (GW). Dalam konteks Indonesia, boleh jadi terdapat strategi lain yang relevan untuk diterapkan dalam upaya menekan polusi.

Keterbukaan data dan informasi sumber polusi, termasuk PLTU batubara di Indonesia, menjadi krusial dalam upaya menganalisis dan memahami akar permasalahan polusi udara. Termasuk menentukan strategi jangka pendek dan panjang yang perlu dilakukan. Pendapat bahwa emisi PLTU merupakan rahasia dagang perusahaan yang tidak berkaitan dengan kebijakan publik dan kekhawatiran penolakan apabila data emisi PLTU dapat diakses publik perlu dikritisi bersama. UU Keterbukaan Informasi Publik No.14/2008, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri LHK Nomor

P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 dapat menjadi landasan keterbukaan informasi emisi PLTU untuk publik. Aksesibilitas data tersebut tentu dapat membantu anailsa yang lebih akurat serta edukasi mitigasi risiko kepada masyarakat khususnya di tingkat akar rumput.

Terlepas dari polemik sumber polusi udara, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan dengan serius. Percepatan transformasi pembangkit energi fosil (batubara) ke sumber energi ramah lingkungan, dekarbonisasi sektor industri yang didukung dengan keterbukaan informasi data emisi industri dan kepatuhan standar baku mutu lingkungan, serta partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya transformasi energi dibutuhkan untuk mendorong kualitas udara yang lebih baik serta menjamin transisi energi yang berkeadilan. Transisi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan akan menurunkan emisi, memberikan dampak berganda baik dari aspek ekonomi, kesehatan, sosial, serta turut andil dalam mendukung pemenuhan hak atas udara bersih. Momentum rendahnya kualitas udara sejatinya dapat menjadi pembelajaran bahwa kebutuhan dasar manusia termasuk di dalamnya udara, energi, air yang bersih dan terjamin bukan hal yang dapat dikompromikan.

Referensi

CNBC, “Bukti Nyata PLTU Bukan Biang Utama Polusi Jakarta”, 04 September 2023. https://www.cnbcindonesia

Dunia Energi, “KLHK Sebut PLTU Bukan Sumber Polusi di Jakarta”, 16 September 2023.

https://www.dunia-energi.com

Katadata, “Apa Sumber Pencemaran Udara di Indonesia”, 23 Agustus 2023.

https://databoks.katadata.co.id

Kompas, “ISPA Kembali Meningkat Mayoritas Pasien Usia Produkti”, 09 September 2023. https://www.kompas.id

Kompas, “Polusi Udara Semakin Parah, India Hentikan Sementara Lima PLTU”, 18 November

  1. https://www.kompas.id/baca/internasional

Kompas, “ PLN Digugat Buka Data Emisi PLTU Suralaya dan Ombilin”, 13 September 2023.

https://www.kompas.id

Lee and Greenstone, 2021. Polusi Udara Indonesia dan Dampaknya Terhadap Usia Harapan

Hidup. Air Quality Life Index.https://aqli.epic.uchicago.edu.

Media Indonesia, “Pengamat: PLTU Bukan Biang Kerok Parahnya Polusi di Jakarta”, 16

Agustus 2023.https://mediaindonesia.com

Myllyvirta, Lauri dkk, 2023. Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia”.Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR)

Myllyvirta, Lauri, 2023.“Work From Home (WFH) and other gimmicks cannot clear Jakarta’s air”.

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA).https://energyandcleanair.org

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008. Keterbukaan Informasi Publik

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Menteri (PERMEN) No.15. 2019. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal.

Peraturan Menteri (PERMEN) No. P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018. Pelayanan Informasi

Publik di Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

 

 

.