Uis Neno ma Uis Pah: Konsep Ekologi Sakral dalam Agama Lokal Suku Boti di Pulau Timor

,

Modernisasi kehidupan menuntut manusia untuk selalu melakukan pembangunan dalam rangka peningkatan kualitas kehidupan. Masifikasi pembangunan tidak hanya menimbulkan pengaruh positif, tetapi juga menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan. Salah satu dampak negatif yang bersifat lokal adalah kerusakan alam. Kerusakan alam terjadi akibat pemanfaatan sumber daya alam bersifat eksploitatif. Sementara dampak negatif bersifat global adalah perubahan iklim. Menurut laporan dari World Meteorological Organization (WMO) (2022) mengenai keadaan iklim dunia tahun 2021, suhu permukaan bumi meningkat hingga 0,85°C dibanding suhu rata-rata tahunan periode 1951-1980. Ironisnya, pembangunan manusia tidak saja merusak alam dan meningkatkan resiko perubahan iklim namun dilakukan dengan memarjinalisasi kelompok masyarakat tertentu, termasuk kelompok masyarakat tradisional.

Masyarakat tradisional memiliki pola kehidupan berelasi kuat dengan kelestarian alam. Di Indonesia, ada masyarakat suku Boti di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Suku Boti merupakan salah satu sub suku dari suku Dawan atau Timor. Masyarakat Suku Boti kerap menyebut dirinya sebagai ‘Atoni Pah Meto’ bermakna manusia dari tanah kering. Masyarakat Suku Boti secara turun temurun konsisten mempertahankan kearifan lokal berporos pada penghormatan terhadap alam. Relasi Suku Boti dengan alam tersebut berdasarkan struktur kepercayaan masyarakat Suku Boti terhadap penguasa alam yang dikenal dengan ‘Uis Pah’ sebagai Tuhan yang bersemayam di bumi dan ‘Uis Neno’ sebagai Tuhan yang bersemayam di langit (Afi & Banamtuan, 2020). Kehadiran ‘Uis Pah’ dalam kehidupan masyarakat Suku Boti diibaratkan sebagai sosok ibu yang bertanggung jawab dalam mengatur dan menjaga relasi kehidupan manusia dengan alam semesta. Penghormatan terhadap ‘Uis Pah’ sebagai penguasa alam ini membangun pondasi keyakinan masyarakat Suku Boti bahwa keselamatan dan kesejahteraan hidup dapat diperoleh dengan senantiasa melestarikan keberlangsungan alam semesta (Somawati, 2019).

Ekologi Sakral: Uis Neno ma Neno ma Uis Pah

Pengetahuan tradisional yang tidak bersentuhan dengan dunia “ilmiah” pada hakikatnya memiliki unsur penghormatan praktis dengan meletakkan posisi dirinya sejajar dengan alam. Faktor ini pula yang membuat kearifan-kearifan lokal lebih berorientasi ekologis dibanding kepentingan pasar. Melalui corak berpikir tradisional, masyarakat suku Boti sangat menghormati alam melalui kearifan ekologis sebagai falsafah hidup. Ekologi

Sakral menjadi prinsip konservasi lingkungan dari keyakinan ‘Uis Neno ma Uis Pah’. Seluruh lapisan masyarakat Suku Boti bertanggung jawab untuk menjaga alam agar tetap seimbang. adalah tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat Suku Boti, sebab masyarakat Suku Boti menempatkan alam sebagai tempat untuk memperoleh sumber kehidupan dan berdialog dengan Tuhan “Yang Ilahi” yakni ‘Uis Pah’ (Pehiadang, 2019). Masyarakat Suku Boti percaya bahwa melakukan pengrusakan terhadap alam akan menimbulkan kemarahan

‘Uis Pah’ sebagai penguasa alam dan mendatangkan malapetaka dalam kehidupan manusia. Aspek filosofi yang terkandung dalam ajaran ‘Uis Neno ma Uis Pah’ dijadikan landasan bagi suku Boti dalam menjaga alam dan lingkungan sekitarnya. Penghormatan terhadap ‘Uis Pah’ menjadikan alam bagi masyarakat Suku Boti sebagai hal yang kudus karena alam merupakan representasi dari dunia sakral yang kelestariannya harus dijaga. Terdapat beberapa kearifan lokal suku Boti sebagai produk kebudayaan yang bersumber dari ajaran ‘Uis Neno ma Uis Pah’ seperti budaya menanam pohon, pengadaan hutan adat yang disebut sebagai ‘Fain Maten’, hingga konsep pengolahan limbah rumah tangga. .

Pertama, budaya menanam pohon. Masyarakat Suku Boti dipimpin oleh seorang raja yang biasa disebut “usif” yang memiliki kedudukan dan peran krusial dalam pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Usif menjadi sosok pemimpin yang dianggap memiliki kekuatan supranatural, ketajaman batin, dan kekuatan yang lebih sehingga masyarakat Suku Boti sangat taat dan hormat. Masyarakat Suku Boti akan senantiasa menaati setiap aturan, hukum adat, larangan, dan perintah yang berasal dari usif, misalnya apabila terdapat warga yang merusak hutan dengan cara menebang pepohonan, usif akan memberikan sanksi kepada warga tersebut berupa kewajiban menanam kembali sejumlah 5 hingga 10 bibit pohon sebagai pengganti pohon-pohon yang telah ditebang (Nope, 2019). Berdasarkan hasil wawancara bersama Raja Boti, masyarakat Suku Boti juga memiliki sistem tebang pilih untuk mempertahankan jumlah pohon dengan cara mempertimbangkan jenis dan usia pohon yang ditebang. Prinsip tebang pilih ini menjadikan masyarakat Suku Boti tidak akan menebang pohon yang masih berumur muda, pohon dari jenis tanaman herbal, dan pohon yang langka.

Kedua, masyarakat Suku Boti memiliki hutan adat yang berjarak sekitar 1,5 KM dari wilayah sonaf (istana) raja Boti yang disebut disebut Fain Maten. Hutan adat ini yang juga wilayah sakral Suku Boti ini memiliki luas sekitar 500 Ha. Menurut Raja Suku Boti, kesakralan hutan adat Suku Boti merupakan mekanisme spiritual untuk menjaga keseimbangan hubungan alam dan manusia. Setidaknya ada aturan adat tentang tata kelola hutan yang bekerja, pertama pembayaran denda adat dalam ritual Poi Pah, kedua melalui larangan untuk mengambil hasil alam dalam bentuk apapun, ketiga tidak diperkenankan berburu hewan dalam Fain Maten. Apabila ada yang melanggar tata kelola yang sudah disepakati tersebut maka masyarakat yang melanggar wajib membayarkan denda. Banyak ritual penting masyarakat Suku Boti yang dilaksanakan pada area hutan adat Fain Maten seperti pembayaran denda adat dalam ritual Poi Pah oleh masyarakat Suku Boti yang telah melanggar aturan yang berlaku. Kesakralan hutan adat Fain Maten juga diperkuat dengan dibuatnya beberapa larangan bagi masyarakat Suku Boti untuk mengambil hasil alam dalam bentuk apapun dari wilayah hutan ini. Masyarakat Suku Boti bahkan tidak diperkenankan untuk berburu hewan yang hidup pada wilayah hutan adat Fain Maten. Hutan adat Fain Maten menjadi perwujudan bahwa terdapat bagian dari wilayah masyarakat suku Boti yang tidak boleh diusik dan dijadikan sebagai tabungan masa depan serta sebagai titik keseimbangan hidup antara manusia dengan alam.

Ketiga, Masyarakat Suku Boti dalam pemanfaatan sumber daya alam khususnya bahan pangan juga mengenal konsep nol limbah (zero waste). Zero waste atau minim limbah adalah gaya hidup yang bertujuan untuk meminimalisasi pembuangan sampah rumah tangga dan memaksimalkan siklus penggunaan produk-produk agar dapat digunakan kembali. Zero waste merupakan salah satu solusi konkrit dalam menyelesaikan permasalahan global yakni food waste (limbah makanan). Food waste tercatat oleh FAO (2020), telah berkontribusi pada peningkatan green gases emission sebesar 3,3 miliar C02 menurut perhitungan jejak karbon. Pengaturan perilaku konsumsi masyarakat modern melalui pembiasaan hidup zero waste mutlak dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan food waste dan krisis pangan. Menurut Wardany selaku akademisi kebudayaan Boti dalam wawancaranya, konsep nol limbah pada masyarakat Suku Boti diterapkan dengan tujuan untuk mengurangi sampah rumah tangga yang dihasilkan dari proses pengolahan makanan pada setiap harinya. Makanan pokok masyarakat Suku Boti adalah jagung yang diolah menjadi berbagai jenis makanan seperti jagung bose. Pengolahan jagung menjadi makanan jagung bose dimulai dengan proses menumbuk jagung kering yang telah dipisahkan dari bonggol. Proses penumbukan jagung ini bertujuan untuk memisahkan jagung dengan kulit ari agar mendapatkan tekstur jagung yang lebih lunak. Proses penumbukan ini menghasilkan sampah berupa kulit ari jagung. Namun masyarakat Suku Boti memanfaatkan kulit ari yang jagung sebagai pakan harian ternak ayam yang dimiliki setiap keluarga. Selain itu, sampah rumah tangga seperti kulit buah pisang dan alpukat juga dimanfaatkan sebagai pakan harian ternak babi. Selain mengurangi sampah rumah tangga, pengolahan sampah masyarakat Suku Boti juga berpengaruh dalam mengurangi kadar metana yang dihasilkan sampah organik.

Refleksi Kritis: Belajar dari Suku Boti

Belajar dari agama lokal suku Boti yakni ‘Uis Neno ma Uis Pah’, sudah seharusnya kearifan lokal tidak hanya diposisikan secara murni yang tidak dapat dikaitkan sama sekali dengan aspek lingkungan, ekonomi, dan sektor kehidupan lainnya. Harapannya, penyelenggaraan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia mampu mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat, sehingga kearifan lokal tidak tergeser dari kedudukannya yang sangat krusial dalam kehidupan manusia Indonesia. Hal ini akan menciptakan pemaknaan kearifan lokal Indonesia memiliki martabat yang baik dan penyelenggaraan kebijakan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia dapat selaras dengan nilai-nilai luhur bangsa.

Referensi

Afi, Kristian E. Y. M dan Banamtuan. 2020. Kajian Sosio-Historis Tentang Pandangan Dunia Atoni Pah Meto dalam Ritus Poitan Liana. Paradigma Jurnal Kajian Budaya, 10(1), 57.

Bakker. 1993. Kosmologi & Ekologi: Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah

Tangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius

FAO. 2019. food wastage: keyfacts and figures. Dikutip melalui:https://www.fao.or/news/story/en/item/196402/. Daring. Diakses pada 11 Januari 2023.

Imaniar N, Aries M, Muhajirin MS, Syauqiyyah AN, Ahmad MZ. 2022. Pengaturan pola makan rendah karbon melalui pendidikan low carbon diet pada mahasiswa IPB. Jurnal Ilmu Gizi dan Dietetik, 1(1): 25-34

Nope, Hotlif A. 2019. Peran USIF dalam Pengelolaan Lingkungan Alam pada Masyarakat Adat Boti di Pulau Timor. Jurnal Talenta, 158-160

Pehiadang, N. A. 2019. Mendialogkan Kekristenan di Suku Boti dan Halaika; Upaya Berteologi Secara Kontekstual. Skripsi: 4.

Somawati, Ayu Veronika. 2021. Uis Pah dan Uis Neno dalam Kepercayaan Suku

Boti di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Prosiding Mistisisme Nusantara Brahma Widya: 129

World Meteorological Organization. 2022. State of the Global Climate 2021. World Meteorological Organization. Geneva.

Yapi, Taum Yoseph. 2021. Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat Dawan di Timor. Jurnal Penelitian Universitas Sanata Dharma, 10-15.

.