Perempuan Adat dan Politik Periphery dalam Konservasi Hutan di Papua

Perebutan kepemilikan atas hutan masih terjadi di Indonesia. Pemerintah gagal membangun mekanisme pengawasan yang partisipatif, terutama dalam melindungi hak masyarakat adat, termasuk perempuan yang kehilangan akses terhadap sumber daya penghidupan (Savirani, 2018). Perempuan adat dihadapkan pada tanggung jawab dalam konservasi hutan, di samping itu mereka juga menjadi korban ketika akses mereka ke sistem penyangga kehidupan terputus. Berdasarkan data gabungan dari Global Forest Watch dan Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 10-15% dari total deforestasi di Indonesia telah diubah menjadi kawasan industri, perkebunan, dan infrastruktur selama satu dekade terakhir. Seperti di Papua, banyak hutan telah beralih fungsi karena kepentingan pihak-pihak swasta. United Nations Programme on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (UN-REDD Programme) mencatat sekitar 115.459 hektar kawasan hutan hilang pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam dua hal: (1) mengabaikan peran perempuan adat dalam konservasi hutan, (2) mempertahankan sentralisasi kekuasaan sehingga kebijakan kerap tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.

Sentralisasi kekuasaan di pulau Jawa seringkali menyebabkan sistem birokrasi tumpul di daerah-daerah pinggiran. Absennya pemerintah dalam pengawasan hutan bukanlah kelalaian, melainkan konsekuensi dari logika pembangunan yang memprioritaskan investasi (Lay, 2020). Masyarakat adat dipaksa bernegosisai dengan pihak-pihak swasta tanpa perlindungan hukum yang memadai. Adanya politik periphery juga semakin mempersulit implementasi kebijakan dari pusat. Melalui artikel ini, penulis akan membahas lebih lanjut tentang peran perempuan adat dalam politik periphery untuk mewujudkan konservasi hutan di Papua. Diskusi tentang politik periphery dan konservasi hutan cukup menarik, terutama untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya fungsi hutan di Papua bagi ketahanan nasional.

Perempuan Adat Papua: Korban atau Pejuang di Pinggiran?

Politik periphery di Papua tidak hanya mereproduksi ketimpangan, tetapi juga melahirkan resistensi kreatif di mana perempuan adat menempati posisi sentral dalam konservasi hutan yang berbasis pengetahuan lokal. Perempuan adat di Papua tidak hanya menjadi korban marginalisasi dalam kebijakan konservasi hutan, tetapi juga aktor politik melalui jaringan lokal dan internasional untuk memperjuangkan hak-hak mereka (Savirani, 2018). Dalam menjalankan perannya, para perempuan adat tidak hanya menjadi penjaga hutan, tetapi juga caregiver dalam keluarga. Ketika hutan tetap lestari, peran mereka sebagai caregiver pun terus berjalan harmonis, memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga. Dengan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun, para perempuan adat menguasai pengetahuan tentang obat-obatan tradisional dari hasil hutan. Di tengah keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan, mereka berperan sebagai tenaga medis lokal bagi anggota keluarga dan suku. Pengobatan tradisional bergantung pada keanekaragaman hayati hutan, tidak hanya berasal dari tumbuhan, tetapi juga hewan, jamur, mineral, dan lain sebagainya yang saling terhubung. Peran mereka, mulai dari caregiver hingga tenaga medis, menunjukkan bagaimana pelestarian sumber pangan dan obat-obatan sejalan dengan upaya menjaga keanekaragaman hayati hutan.

Bagaimanapun, hutan menjadi sistem penyangga kehidupan perempuan adat Papua melalui penyediaan sumber pangan dan obat-obatan, sementara program kesejahteraan sosial sering tidak berkelanjutan dan mengabaikan ketergantungan mereka pada hutan. Sistem birokrasi yang tumpul di daerah-daerah pinggiran selama ini telah meminggirkan mereka dari program kesejahteraan sosial. Di Papua distribusi bantuan sosial seringkali gagal menjangkau masyarakat adat secara menyeluruh. Sentralisasi kekuasaan menciptakan birokrasi yang tumpul, di mana kebijakan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan daerah (Lay, 2020). Pemberdayaan bagi perempuan adat Papua, terutama dari suku-suku minoritas, masih menghadapi tantangan besar. Sebagaimana tergambar dalam ketimpangan distribusi bantuan sosial hingga minimnya fasilitas publik.

Fenomena marginalisasi seperti di Papua bukanlah hal baru. Anna L. Tsing (1993) dalam bukunya “In the Realm of the Diamond Queen” tentang komunitas Meratus Dayak di Pulau Kalimantan, mengungkapkan bahwa politik periphery di Indonesia memang diperparah oleh kekuasaan yang terlalu tersentralisasi. Berdasarkan Tsing (1993), terungkap bagaimana daerah-daerah di luar Pulau Jawa sering memandang pemerintah pusat sekadar sebagai “Proyek Jakarta”. Dominasi politik suku mayoritas, terutama Jawa, tanpa disadari turut meminggirkan suku-suku minoritas, termasuk dalam distribusi bantuan sosial. Namun, kasus Papua menampilkan kompleksitas yang berbeda. Jarak antara pusat dan daerah-daerah pinggiran bukan sekadar masalah geografis, melainkan kegagalan dalam memahami kebutuhan masyarakat (Tsing, 1993). Ironisnya, kebijakan Otonomi Khusus yang seharusnya melindungi Papua justru membuka hutan untuk pihak-pihak swasta. Kompleksitas kasus Papua menunjukkan bagaimana perempuan adat terjepit antara pelestarian hutan dan pembangunan. Mereka menghadapi tantangan ganda dalam politik periphery, sebagai penjaga hutan sekaligus korban marginalisasi kebijakan yang tersentralisasi.

Kesimpulan

Perempuan adat Papua memiliki peran penting dalam konservasi hutan. Ketergantungan mereka pada hasil hutan tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga kultural karena hutan merupakan bagian dari identitas mereka. Namun, upaya konservasi hutan di Papua kerap berbenturan dengan kebijakan dari pusat yang cenderung mengutamakan kepentingan pihak-pihak swasta. Politik periphery di Papua menciptakan paradoks: di satu sisi meminggirkan perempuan adat, di sisi lain justru memicu resistensi kreatif mereka dalam mempertahankan hutan. Sentralisasi kekuasaan di Indonesia dan ekspansi swasta tidak hanya mengancam konservasi hutan, tetapi juga mengikis pengetahuan perempuan adat tentang hutan. Solusi ke depan memerlukan pendekatan yang mengakui peran perempuan adat dalam dalam konservasi hutan dan mendorong desentralisasi yang lebih inklusif. Konservasi hutan berbasis masyarakat hanya dapat dicapai dengan mengatasi akar masalah, yaitu dominasi investasi dan kekuasaan atas hak-hak masyarakat adat.

Referensi

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lahan dan Tata Ruang Indonesia. Jakarta: BPS.

Global Forest Watch. (2023). Indonesia deforestation data. Diakses dari https://www.globalforestwatch.org. Diakses pada 30 Juni 2024.

Greenpeace. (2022). Otonomi Khusus dan Kutukan Sumber Daya Alam Papua. Jakarta: Greenpeace. Diakses pada 30 Juni 2024.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (April 2021). Status hutan & kehutanan Indonesia 2020. Diakses dari https://www.menlhk.go.id/. Diakses pada 10 Juni 2024.

Lay, C. (2020). The Political Economy of Forest Governance in Eastern Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.

Savirani, A. (2018). Decentralization and gender in natural resource governance: Case from Indonesia. Jurnal Politika, Vol. 9: (1), pp. 45-62.

The Jakarta Post. (04 Juni 2024). All eyes on Papua’ movement gains momentum online. Diakses dari https://www.thejakartapost.com/indonesia/2024/06/04/. Diakses pada 10 Juni 2024.

Tsing, A. L. (2021). In The Realm of The Diamond Queen: Marginality in An Out-Of-The-Way Place. New Jersey: Princeton University Press.

United Nations on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Programme. (2024). Indonesia profile. Diakses dari https://www.un-redd.org/. Diakses pada 10 Juni 2024.

Walker, J. H., Banks, G., & Sakai, M. (2009). The Politics of The Periphery in Indonesia: Social and Geographical Perspectives. Singapore: NUS Press.

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.