Merumuskan Ulang Strategi Perdagangan Indonesia di Era Disrupsi


Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI pada 13 November 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan pentingnya industri berorientasi ekspor untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi delapan persen (Nugroho, 2024). Namun, penulis melihat bahwa pemerintah juga perlu mengintensifkan ekspor jasa mengingat kondisi perdagangan global yang semakin proteksionis, terutama dengan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Penjualan jasa digital semakin menjanjikan berkat kemajuan teknologi yang memberi peluang bagi masyarakat untuk dapat mengakses pasar yang lebih mengglobal (Winanti et al., 2021: 17).

Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala (2023) menyebut perdagangan jasa global tumbuh 8,1 persen dari 2005 hingga 2022, sedangkan perdagangan barang hanya 5,6 persen. Selain itu,  intensitas perdagangan barang global telah memasuki titik jenuh, berbeda dengan intensitas perdagangan jasa yang terus bertumbuh (Baldwin et al, 2023: 19-22). Pemerintah harus memanfaatkan potensi ini dan merancang strategi untuk keuntungan maksimal pembangunan ekonomi.

Memaksimalkan Ekspor Jasa

Behuria & Khullar (1994: 6) mendefinisikan sektor jasa sebagai lapangan kerja selain sektor ekstraktif—agrikultur, kehutanan, perikanan, pertambangan, serta penggalian—dan sektor manufaktur—memproduksi barang-barang. Sama seperti manufaktur yang memproduksi barang jadi maupun barang setengah jadi, jasa pun terdiri dari jasa akhir, seperti sektor pariwisata, dan jasa perantara, yang memberi input bagi produksi barang atau jasa lainnya. Layanan jasa perantara mencakup sektor-sektor seperti jasa profesional, informasi dan komunikasi, konstruksi, pelatihan dan pendidikan komersial, transportasi, serta asuransi dan keuangan.

Sektor jasa pun semakin mendapat tempat di tengah disrupsi yang dimunculkan pandemi COVID-19. Mobilitas sosial yang terbatas demi mencegah penularan virus memunculkan layanan telekonferensi video berbasis komputasi awan seperti Zoom, yang merupakan “inovasi disruptif tingkat tinggi” (Kodama & Hashimoto, 2024). Kehadiran layanan tersebut memberikan alternatif dan memudahkan pekerja untuk bekerja jarak jauh.

Kehadiran teknologi telekonferensi seperti Zoom meruntuhkan hambatan perdagangan jasa. Alhasil sektor jasa menjadi lebih mudah diperdagangkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ekspor jasa pun lebih gesit dibanding barang di tengah kemunculan berbagai diskursus proteksionis yang menghasilkan berbagai hambatan bagi barang-barang impor. Hal ini karena layanan jasa tidak memiliki wujud layaknya barang, maka hampir tidak mungkin perdagangannya dikenakan tarif impor (Baldwin et al, 2023: 33). Menurut Baldwin (2022), halangan utama bagi perdagangan jasa bukanlah regulasi atau pajak, melainkan urusan teknis, seperti misalnya mengoordinasikan para pekerja jarak jauh yang tinggal di lokasi berbeda.

Di Indonesia, sektor jasa memiliki peranan penting dengan menyumbang 34 persen dari PDB Indonesia tahun 2023 (Badan Pusat Statistik, 2024b). Sektor jasa juga menyumbang jumlah pekerja terbanyak dibanding sektor ekstraktif dan industri (Badan Pusat Statistik, 2024a). Apabila kemudian dipecah ke setiap subsektor, maka perdagangan besar dan ritel merupakan subsektor dengan jumlah pekerja terbanyak kedua, yakni mencapai 27,1 juta orang. Angka tersebut setara dengan 19 persen dari jumlah pekerja di Indonesia pada Februari 2024.

Masalahnya, subsektor tersebut relatif tidak produktif jika dibandingkan subsektor informasi dan komunikasi serta subsektor real estate. Data Kementerian Ketenagakerjaan (2024) mencatat produktivitas subsektor perdagangan besar dan ritel bernilai Rp 60,4 juta per tenaga kerja, sedangkan dua sektor tadi mencatatkan nilai produktivitas masing-masing hingga Rp 815,6 juta dan Rp 713,8 juta per tenaga kerja. Ekonom Iwan Jaya Azis menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia kurang produktif karena ketergantungan pada sektor-sektor jasa dengan produktivitas rendah (Theodora, 2023).

Bank Dunia (t.t.) mencatat bahwa nilai ekspor jasa Indonesia pada 2021 mencapai $ 13,95 miliar atau setara dengan 5,65 persen nilai ekspor Indonesia tahun tersebut. Riset OECD (2024: 25) menemukan bahwa jasa perjalanan–pariwisata dan bisnis–menjadi subsektor dengan kontribusi terbesar dalam ekspor jasa Indonesia tahun 2019, yakni sebesar 60 persen. Studi tersebut juga menemukan bahwa ekspor jasa Indonesia memiliki keunggulan komparatif di level dunia pada subsektor perjalanan, dan konstruksi (OECD, 2024: 28).

Apabila mengacu data Kementerian Ketenagakerjaan (2024), dua subsektor tersebut tergolong lapangan usaha dengan produktivitas relatif rendah. Bidang perjalanan terkait erat dengan lapangan usaha transportasi dan pergudangan, serta penyediaan akomodasi dan makan minum. Dua lapangan usaha tersebut hanya mencatatkan produktivitas masing-masing per tenaga kerja sebesar Rp 90,26 juta dan Rp 35,48 juta. Sedangkan bidang konstruksi mencatatkan produktivitas yang lebih tinggi, yakni sebesar Rp 127,54 juta per tenaga kerja, namun masih kalah dibanding sektor manufaktur.

Di sisi lain, minat penduduk Indonesia untuk terlibat dalam pekerjaan internasional yang dapat dilakukan secara jarak jauh mengalami peningkatan menurut hasil survei berjudul Decoding Global Talent 2024. Pada tahun 2020, sebanyak 55 persen pekerja Indonesia bersedia bekerja secara jarak jauh. Kemudian, pada tahun 2023, angka ini meningkat tajam menjadi 71 persen (Jasmine, 2024).

Pekerjaan-pekerjaan jarak jauh pada dasarnya sangat erat kaitannya dengan lapangan pekerjaan berproduktivitas tinggi dibanding perjalanan dan konstruksi, seperti bidang informasi dan komunikasi, jasa keuangan dan asuransi, hingga jasa profesional. Pekerjaan-pekerjaan tersebut mencakup staf teknologi dan informasi (TI), pengembang perangkat lunak, desainer grafis, copyeditor, konsultan keamanan siber, analis keuangan, dan berbagai pekerjaan lain yang dapat dikerjakan secara jarak jauh (remote).

Baldwin (2022) menyebut bahwa pekerjaan-pekerjaan di atas tergolong dalam layanan jasa perantara yang tidak terhalang oleh batas fiskal dan regulasi. Mengingat pekerjaan-pekerjaan tersebut memiliki kemudahan lintas batas, ia pun percaya bahwa masa depan globalisasi ada pada perdagangan jasa perantara. Studi Behuria & Khullar (1994: 18) menyebut bahwa pekerjaan tersebut memiliki peranan lebih penting dalam menyerap pekerja-pekerja ahli dibanding manufaktur. Mengingat kenaikan upah pada manufaktur dapat mengurangi aspek kompetitif harga barang, maka lebih realistis untuk menyediakan pekerjaan dengan keahlian dan upah tinggi pada sektor jasa yang produktif.

Penulis menyarankan solusi agar pemerintah dapat menggenjot kuantitas dan kualitas pendidikan vokasi di level sekolah menengah hingga pendidikan tinggi yang dapat menghasilkan talenta-talenta dengan keahlian di atas. Pemerintah juga dapat mengucurkan insentif bagi pihak swasta yang menawarkan jasa pendidikan keahlian di atas, sehingga masyarakat dapat mengakses berbagai pelatihan keahlian di atas yang diadakan swasta dengan harga terjangkau atau bahkan gratis.

Agar solusi tersebut berjalan optimal, penulis melihat sejumlah hambatan yang perlu ditangani pemerintah. Pertama, adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang menghadapi tantangan untuk terlibat dalam perdagangan jasa yang membutuhkan keterampilan tinggi. Pada paragraf berikutnya, penulis menyinggung sejumlah indikator SDM yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Kedua, faktor struktural berupa deindustrialisasi prematur yang justru menyebabkan banyak tenaga kerja terserap ke sektor jasa berproduktivitas rendah.

Terkait kualitas SDM, Bank Dunia (2023) mencatat bahwa Indonesia memperoleh skor 0,54 dari 1 pada metriks modal SDM yang meliputi pengetahuan, keahlian, dan kesehatan. Skor itu lebih rendah dari rata-rata sesama negara kelas menengah atas (0,56), dan negara Asia Timur dan Pasifik (0,59). Kemudian, kompetensi pelajar Indonesia di bidang matematika, membaca, dan sains di level ASEAN relatif lebih rendah dibanding negara-negara tetangga (Javier, 2024). Padahal tiga kemampuan tersebut merupakan fundamental bagi seseorang yang ingin menguasai kemampuan coding.

Pemerintah juga perlu meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris para talenta Indonesia agar mereka dapat lebih bersaing di pasar jasa global. Riset yang dilakukan Education First (2024) menempatkan kemampuan bahasa Inggris penduduk dewasa Indonesia pada ranking 80 dari 116 negara. Kemampuan bahasa Inggris penduduk Indonesia masih tertinggal dari Singapura (3), Filipina (22), Malaysia (26), dan Vietnam (63).

Terkait kondisi struktural, pemerintah tidak dapat abai terhadap fenomena deindustrialisasi dini di Indonesia (Basri, 2023). Sektor manufaktur merupakan kunci bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang agar mereka dapat menyamai capaian negara-negara maju sebelum berpindah ke sektor jasa. Hal ini karena manufaktur yang terorganisir dan formal dapat menyerap para pekerja dari wilayah pedesaan ke dalam sektor berproduktivitas lebih tinggi. Sebaliknya, deindustrialisasi prematur menyebabkan tenaga kerja justru terserap ke sektor informal atau jasa berproduktivitas rendah (Rodrik, 2016: 28; Bank Dunia, 2021). Sedangkan sektor jasa berproduktivitas tinggi seperti TI dan finansial bukanlah sektor padat karya yang dapat menyerap pekerja-pekerja berketerampilan rendah. Oleh karena itu, sambil mengintensifkan potensi di ekspor jasa, pemerintah tidak dapat meninggalkan manufaktur sepenuhnya untuk dapat menyerap pekerja-pekerja dengan keterampilan rendah ke sektor tersebut. Mengutip pendapat Drysdale & Joshi (2023) bahwa pembangunan adalah, “tentang menyerap tenaga kerja yang melimpah ke lapangan kerja yang semakin produktif, meningkatkan produktivitas dan pendapatan nasional.”

Referensi

Badan Pusat Statistik. (2024a). Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 1986 – 2024 – Tabel Statistik. Diakses 30 Desember 2024, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/OTcwIzE=/penduduk-15-tahun-ke-atas-yang-bekerja-menurut-lapangan-pekerjaan-utama-1986—2024.html

Badan Pusat Statistik. (2024b). [Seri 2010] PDB Menurut Lapangan Usaha Seri 2010 (Milyar Rupiah), 2023. Diakses 30 Desember 2024, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NjUjMg==/-seri-2010–pdb-menurut-lapangan-usaha-seri-2010–milyar-rupiah-.html

Baldwin, R. (2022). The peak globalisation myth: Part 4 – Services trade did not peak. VoxEU. https://cepr.org/voxeu/columns/peak-globalisation-myth-part-4-services-trade-did-not-peak

Baldwin, R., Freeman, R., & Theodorakopoulos, A. (2023). Deconstructing Deglobalization: The Future of Trade is in Intermediate Services. Asian Economic Policy Review, 19(1), 18–37. https://doi.org/10.1111/aepr.12440

Bank Dunia. (t.t.). Indonesia Service exports  in BoP, current US$ 2017 – 2021. Diakses 30 Desember 2024, dari https://wits.worldbank.org/CountryProfile/en/Country/IDN/StartYear/2017/EndYear/2021/Indicator/BX-GSR-NFSV-CD

Bank Dunia. (2021). Pathways to Middle-Class jobs in Indonesia. Bank Dunia. https://doi.org/10.1596/35848

Bank Dunia. (2023). Human Capital Country Brief: Indonesia. Diakses 30 Desember 2024, dari https://thedocs.worldbank.org/en/doc/64e578cbeaa522631f08f0cafba8960e-0140062023/related/HCI-AM23-IDN.pdf

Basri, F. (2023). Gejala Dini Deindustrialisasi. Kajian Tengah Tahun (KTT) INDEF 2023, Indonesia. https://indef.or.id/publikasi/menolak-kutukan-deindustrialisasi/

Behuria, S., & Khullar, R. (1994). Intermediate services and economic development: The Malaysian Example. Asian Development Bank.

Drysdale, P., & Joshi, R. (2023). Import substituting industrial policy threatens India and Indonesia’s development success. East Asia Forum Quarterly, 4, 3–5. https://doi.org/10.59425/eabc.1699221623

Education First. (2024). EF English Proficiency Index: A Ranking of 116 Countries and Regions by English Skills. Diakses 30 Desember 2024, dari https://www.ef.com/assetscdn/WIBIwq6RdJvcD9bc8RMd/cefcom-epi-site/reports/2024/ef-epi-2024-english.pdf

Jasmine, A. (2024). Minat Pekerja Indonesia ke Luar Negeri Turun, 71 Persen Pekerja Pilih Remote Working. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/minat-pekerja-indonesia-ke-luar-negeri-turun-71-persen-pekerja-pilih-remote-working-49849

Javier, F. (2023). Bagaimana Skor Indonesia di PISA 2022 Dibanding Negara-negara ASEAN Lain? Tempo. https://www.tempo.co/data/data/bagaimana-skor-indonesia-di-pisa-2022-dibanding-negara-negara-asean-lain–991961

Kementerian Ketenagakerjaan. (2024). Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja Tahun 2023. Diakses 30 Desember 2024, dari https://satudata.kemnaker.go.id/data/kumpulan-data/1789

Kodama, M., & Hashimoto, K. (2024). Research on High-End Disruptive Innovations – Analysis and insights from the video conferencing systems market. Technology in Society, 77, 102576. https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2024.102576

Nugroho, R. A. (2024). Sri Mulyani Ungkap 3 Jurus Prabowo Kejar Ekonomi 8%. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20241114061454-4-588036/sri-mulyani-ungkap-3-jurus-prabowo-kejar-ekonomi-8

OECD. (2024). Services Trade in Indonesia: Exploring Patterns, Policies, and Reform Scenarios. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/3bcc85bc-en

Okonjo-Iweala, N. (2023). Why the World Still Needs Trade: The Case for Reimagining—Not Abandoning—Globalization. Foreign Affairs.

Rodrik, D. (2015). Premature deindustrialization. Journal of Economic Growth, 21(1), 1–33. https://doi.org/10.1007/s10887-015-9122-3

Theodora, A. (2023). Bergantung pada Sektor Jasa, Ekonomi RI Tumbuh Kurang Produktif. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/11/14/terlalu-bergantung-ke-sektor-jasa-ekonomi-ri-tumbuh-kurang-produktif

Winanti, P. S., Mas’udi, W., & Mugasejati, N. P. (2021). Triple Disruption: Karakteristik, Wujud, dan Implikasinya. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2021/12/07/triple-disruption-karakteristik-wujud-dan-implikasinya/

.
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.