Demokratisasi Listrik Lewat Panel Surya: Dari, Oleh, Dan Untuk Siapa?

, ,

Tak ada transisi yang mudah, apalagi jika dimaknai untuk mengubah kemapanan yang berabad lamanya. Termasuk mapannya dominasi listrik batubara di Indonesia yang ternyata menghadirkan kesejahteraan semu belaka.

Sebenarnya ada banyak opsi yang memungkinkan bagi kita untuk move on dari batubara. Salah satunya adalah beralih ke panel surya yang teknologinya tidak rumit, praktis dalam instalasinya, dan harga yang kian terjangkau.

Bagaimana peluang panel surya menggeser peran listrik batubara?

Karakteristik Panel Surya yang Intermiten

Tantangan terbesar panel surya adalah sifatnya yang intermiten alias tidak stabil atau berjeda. Berbeda dengan pembangkit batubara yang pembakaranya dapat disesuaikan dengan permintaan listrik di sepanjang 24 jam, panel surya hanya bisa bekerja selama terpapar sinar matahari. Selebihnya, panel surya membutuhkan baterai untuk menyimpan cadangan listriknya dan menggunakannya di malam hari. Termasuk dalam sifat intermiten adalah pola penyinaran matahari yang seringkali terhalang mendung bahkan hujan.

Sifat intermiten memang menjadi ciri khas energi terbarukan yang alamiah ini. Seperti halnya energi angin memiliki tantangan berupa hembusan angin yang tak mungkin stabil 24 jam terus menerus. Sementara sifat intermiten bagi energi air di antaranya diselesaikan dengan pembangunan bendung: mengatur air agar tak berjeda pasokannya untuk memutar turbin.

Kelemahan panel surya ini terselesaikan dengan kemajuan teknologi melalui sistem smart grid. Smart grid dimaknai sebagai jaringan listrik yang membuka komunikasi antara pemasok dan pengguna, mengatur permintaan, memproteksi jaringan distribusi, menghemat energi, dan mengurangi biaya (Kylili dan Fokaides, 2015). Smart grid didesain untuk berfungsi pada listrik yang dibangkitkan dari banyak sumber, yang intermiten satu sama lain, namun stabilitasnya dapat dicapai dengan saling support satu sama lain.

Artinya, pada sistem smart grid, sumber listriknya tidak tunggal alias beragam, dengan spesifikasi yang konteksnya sangat lokal, di mana lebihnya listrik pada sebuah tempat digunakan untuk memasok kurangnya listrik di tempat yang lain. Sistem smart grid memungkinkan bagi dimanfaatkannya banyak sumber energi terbarukan yang intermiten untuk menggeser hegemoni energi fosil. Pada konteks panel surya, menjadi sangat memungkinkan bagi banyak pihak untuk memasangnya secara independen namun dipersatukan secara sistemik oleh smart grid. Hadirlah era kewargaan berbasis listrik, yang bukan hanya tentang memakai listrik saja, tetapi juga bagaimana memproduksinya. Membangkitkannya.

Sounds familiar? Ya! Mirip dengan prinsip demokrasi yang mampu menyatukan banyak perbedaan (ketimpangan sumber sekaligus kebutuhan energi) untuk mencapai tujuan bersama (semua mendapat akses energi), lewat partisipasi yang berkeadilan (dikomunikasikan oleh smart grid). Para akademisi seperti Wahlund dan Palm (2022) mengelompokkan dinamika semacam ini dalam terminologi “transisi energi partisipatif” (participatory energy transition) yang merupakan irisan dari isu “demokrasi energi” (energy democracy) dan “kewargaan energi” (energy citizenship).

Revolusi Teknis, Finansial, dan Kelembagaan PLN

Namun sayangnya upaya demokratisasi energi tersebut belum terwujud lantaran membutuhkan revolusi teknis dan finansial, utamanya pada diri PT PLN (Persero) sebagai satu-satunya entitas bisnis yang mendapatkan privilege oleh negara untuk melistriki Indonesia.

Sistem listrik Indonesia terlanjur mapan dengan ‘model searah’ di mana listrik mengalir dari pembangkit, dialirkan melalui jaringan transmisi, kemudian masuk ke jaringan distribusi untuk diantar ke para konsumen. Kehadiran demokratisasi energi, di mana konsumen juga punya kemampuan memproduksi listrik, menuntut model aliran baru yang ‘banyak arah’. Model yang memungkinkan konsumen juga saling berbagi listrik. Sesuatu yang disruptif karena PLN akan membutuhkan investasi teknologi baru yang berbiaya mahal.

Sementara dari segi finansial, kondisi normalnya adalah: listrik hasil produksi pembangkit dibeli oleh PLN berdasarkan perjanjian jual beli (PPA, power purchase agreement) dan PLN kemudian menjualnya kepada konsumen dengan harga yang ditentukan oleh negara. Jadilah ini barang sebagai bisnis yang menggiurkan: PPA mewajibkan PLN membeli setiap listrik yang diproduksi pembangkit (baca: jaminan produknya laku) dan PLN menjualnya kepada masyarakat dengan harga yang diatur (baca: dijamin stabil) oleh negara.

Bayangkan ketika demokratisasi energi berlangsung, di mana berkat panel surya, rumah-rumah masyarakat menjadi ‘pembangkit’ listrik mandiri. Masyarakat akan saling memasok listrik satu sama lain, sehingga permintaan listrik PLN dari masyarakat menurun drastis. Datanglah disrupsi finansial: PLN tetap membeli listrik dari pembangkit sebagai ketundukan atas PPA, sekalipun tak dibeli oleh masyarakat.

Dua realitas teknis dan finansial tersebut yang menjadikan PLN enggan mengizinkan masyarakat memasang panel surya yang dikoneksikan dengan jaringan distribusi PLN, sekalipun Peraturan Menteri ESDM RI No. 26 Tahun 2021 telah mengatur caranya bagaimana agar perizinan tersebut diajukan dan diproses. Apalagi ditambah dengan pasokan listrik dari pembangkit konvensional yang saat ini posisinya sedang oversupply akibat kesalahan proyeksi pembangunan di masa lalu, membuat PLN tak mau menambah lagi suplai listrik. Termasuk menutup peluang tumbuhnya produksi listrik dari masyarakat lewat panel surya.

Meskipun dua ajang internasional yang diselenggarakan di Indonesia, KTT G20 (2022) dan KTT ASEAN Plus Three (2023), side events-nya menggambarkan ingar bingar visi Pimpinan PLN yang terus menjanjikan transisi energi, realitasnya di lapangan jauh panggang dari api. Nyata adanya bahwa PLN tak hanya membutuhkan revolusi teknis dan finansial, tetapi juga revolusi kelembagaan, sehingga visi pimpinan yang optimis terkait transisi energi dapat tercermin pula secara kelembagaan.

Pembiayaan untuk Revolusi Energi dari Masyarakat

Mengingat revolusi di PLN membutuhkan keberanian politik yang kuat dan stabil, serta sangat mungkin membutuhkan waktu yang tidak sebentar, bolehlah masyarakat memulai revolusi menuju demokratisasi energi dengan memasang panel surya untuk kebutuhan sendiri. Kiat ini akan secara alamiah mengurangi konsumsi listrik PLN dan secara bertahap tergantikan oleh listrik panel surya yang berbaterai.

Harga panel surya saat ini relatif terjangkau, namun untuk beberapa merek baterai masih agak mahal. Untungnya, Indonesia sedang merintis industri baterai di kawasan Sulawesi dan Maluku. Meskipun industri tersebut spesifik memproduksi baterai untuk mobil listrik, ada baiknya lini produksi baterai panel surya juga disiapkan karena pasarnya yang terus tumbuh. Tentu saja isu dampak lingkungan yang menjadi efek samping industri baterai serta membebani lingkungan alam dan sosial masyarakat wajib untuk terus disuarakan, agar negara tegas menegakkannya dan entitas bisnis taat menjalankannya. Hal serupa wajib pula diserukan pada pembangunan industri sel dan manufaktur panel surya dalam negeri yang kabarnya akan hadir di masa mendatang.

Lembaga keuangan perlu membuka opsi kredit murah untuk memberi kesempatan masyarakat memulai demokratisasi listrik lewat panel surya. Opsi lain adalah bagaimana perusahaan pengembang panel surya menyediakan jasa one stop service yang bukan hanya teknologi, instalasi, dan pemeliharaan, tetapi juga mencakup pembiayaan dengan sistem leasing. Model semacam ini secara natural akan turut mendidik masyarakat untuk lebih melek di sektor keuangan sekaligus mampu mempraktikkan manajemen energi yang efisien.

Opsi lain adalah revolusi di tingkat komunitas. Masyarakat dapat menghimpun dana melalui koperasi, lembaga keuangan mikro, atau bentuk lain (CSR, wakaf produktif BAZDA atau BAZNAS, BUMDES) untuk menghadirkan secara mandiri panel surya. Pembiayaan model komunitas diarahkan pada produktivitas yang menghasilkan barang dan jasa. Produktivitas tersebut akan menghasilkan profit yang dapat digunakan untuk memelihara sistem panel surya dan mengembangkan skala usahanya. Pada titik inilah, peran komunitas keteknikan dari sekolah kejuruan dan perguruan tinggi perlu terlibat aktif menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan revolusi untuk demokratisasi listrik bersama masyarakat.

Bagaimanapun, gagasan demokratisasi listrik tersebut didasari pada perspektif tentang rantai karma buruk akibat pemenuhan rantai pasok batubara berupa kerusakan lingkungan. Perspektif serupa harus menjadi point of view semua pihak, ya PLN, ya masyarakat, ya utamanya bagi pemain di sektor batubara sendiri. Kesuksesan transisi dari batubara ke panel surya juga membutuhkan kesadaran hakiki dari orang batubara untuk mengalihkan sumber dayanya ke arah yang lebih sustainable secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Lebih dari itu, gagasan revolusioner demokratisasi listrik dari rakyat melalui berbagai opsi pembiayaan tersebut sebenarnya merupakan persiapan nyata untuk menyambut revolusi teknis, finansial, dan kelembagaan yang diharapkan segera hadir di tubuh PLN. Revolusi yang sifatnya semesta dan menyeluruh: dari, oleh, dan untuk Indonesia.

Referensi

Kylili A. dan Paris A. Fokaides. 2015. European smart cities: The role of zero energy buildings. Sustainable Cities and Society, Vol. 15: 86-95. https://doi.org/10.1016/j.scs.2014.12.003.

Wahlund, M., & Palm, J. (2022). The role of energy democracy and energy citizenship for participatory energy transitions: A comprehensive review. Energy Research and Social Science, 87. https://doi.org/10.1016/j.erss.2021.102482.

 

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.