Laki-Laki dalam Belenggu Patriarki dan Toxic Masculinity di Media Sosial: Apakah Laki-Laki Juga Mengalami Alienasi?

,

Di awal tahun 2020, krisis Covid-19 mengejutkan sebagian besar masyarakat meskipun terdapat peringatan dari para ahli bahwa ancaman pandemi global adalah nyata (Riou & Althaus, 2020). Pandemi Covid-19 telah menimbulkan krisis global, menyebabkan tantangan sosial, ekonomi, dan kesehatan yang serius (Huang et al., 2022). Selama pandemi Covid-19, kebijakan lockdown mempengaruhi rutinitas sehari-hari; memaksa orang untuk berhenti bersosialisasi secara langsung dan mengubah cara orang mengekspresikan perasaan dan interaksi mereka secara romantis (Gassó et al., 2021). Pandemi Covid-19 memaksa mereka untuk membatasi interkasi sosial secara langsung. Teknologi komunikasi menjadi media mengisi absennya interaksi sosial langsung selama menghadapi krisis Covid-19.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mendorong perubahan budaya manusia (Setiawan, 2018) dan sistem sosial seperti nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara komunitas dalam masyarakat (Cahyono, 2018). Perubahan sosial ini terlihat dari banyaknya media informasi yang beredar dalam masyarakat yang mengalami konvergensi menjadi bentuk yang lebih terintegrasi yakni: media sosial. Di era digital saat ini, media sosial dapat digunakan untuk berkomunikasi (Sari et al., 2018), melakukan kegiatan promosi (Puspitarini & Nuraeni, 2019), bahkan sampai digunakan untuk membentuk identitas diri (Ayun, 2015). Lebih lanjut Bouguettaya et al., (2020) menekankan bagaimana media mengadopsi gambar-gambar maskulinitas dalam mempromosikan perjudian, alkohol, dan penggunaan tembakau. Berbeda dengan media dulu, media baru memiliki kapasitas untuk membentuk norma-norma secara masif dan hegemonik. Salah satu implikasinya adalah pengaruh dalam pembentukan identitas maskulinitas dan “menjadi lelaki”.

Hadirnya media sosial memungkinkan untuk membangun versi ideal diri sendiri (Firmansyah, 2022). Media sosial sebagai media baru merupakan sebuah media untuk membentuk identitas diri, terutama identitas gender yang tak terlepas dari pengaruh konstruksi gender masyarakat. Konstruksi gender laki-laki diperlihatkan melalui wacana norma heteronormatif yang tersebar di media sosial. Media sosial mengonstruksikan pengguna laki-laki yang maskulin identik dengan kejantanan, macho, serba bisa, dan citra lain yang melekat pada maskulinitas (Risky, 2013). Saya juga mengamati bahwa dalam masyarakat yang mengacu pada sistem patriarki terkadang ditemukan upaya pemaksaan nilai maskulitas ini kepada laki-laki lainnya. Saya berargumen bahwa praktik toxic masculinity ini tercermin dari upaya pendisiplinan laki-laki untuk mengikuti nilai dan norma maskulinitas. Penolakan struktur pendisiplinan ini menyebabkan laki-laki mengalami keterasingan dalam masyarakat. Abai terhadap struktur pendisiplinan menjadi maskulin dan menjadi laki-laki berimplikasi masyarakat tidak mengganggap eksistensi mereka.

Laki-laki dengan tendensi ekspresi gender feminim akan lebih sulit untuk diterima eksistensinya oleh masyarakat (Coyle et al., 2016). Lebih lanjut Nilan & Demartoto (2012) menekankan laki-laki dengan ekspresi gender feminim tidak memiliki kebebasan berekspresi di tengah masyarakat. Penilaian dikotomis ekspresi gender bahwa feminim tergolong inferior dan maskulin tergolong superior (Nilan & Demartoto, 2012; Primiani et al., 2017) membuat laki-laki berekspresi dengan standar norma heteronormatif agar dapat diterima oleh masyarakat.

Di sisi lain, sistem patriarki membentuk pola relasi antara kelompok dominan dan kelompok non-dominan. Kelompok dominan memiliki kontrol dan kuasa untuk menentukan apa yang benar dan salah dengan melakukan labeling pada kelompok non-dominan yang merujuk pada laki-laki feminim. Hasilnya, labeling yang diberikan akan membentuk makna yang berpengaruh pada stigma, streotipe negatif, dan lebih buruk lagi diskriminasi bagi laki-laki feminim (Sumardiono, 2022). Ayuningrum (2021) menjelaskan dalam media sosial memungkinkan terjadinya kekerasan gender berbasis online yang dapat dialami oleh laki-laki. Laki-laki dengan ekspresi gender feminim masih menjadi tabu, di tengah masyarakat Indonesia yang nampak dari objektifikasi, pemberian stigma dan streotipe dalam media sosial kepada laki-laki.

Laki-laki dengan karakteristik maskulin akan dipandang sebelah mata jika memasuki arena perempuan yang feminim. Fenomena maraknya profesi beauty influencer  yang ditekuni sebagai profesi strategis di era digital membentuk persepsi masyarakat heteronormatif yang menganggap laki-laki yang berkecimpung dalam profesi ini adalah laki-laki homoseksual (Putri, 2021). Hal ini membuat laki-laki merasa asing dengan potensi diri yang dimiliki.

Tak hanya itu, Indonesia Judical Research Society (IJRS, 2021) menyatakan banyak laki-laki yang memilih bungkam ketika mereka mengalami kekerasan seksual karena toxic masculinity yang membelenggu mereka. Citra diri maskulinitas yang diasosiasikan dengan laki-laki tidak pernah menjadi korban kekerasan mendorong laki-laki mengalami alienasi berupa kekerasan simbolik yang menghambat mereka untuk berani memperjuangkan hak agar terbebas dari segala bentuk kekerasan apapun. Mereka lebih memilih bungkam mengenai masalah yang mereka alami daripada menyuarakannya. Hal ini disebabkan karena media sosial menjadikan kasus kekerasan seksual yang dialami laki-laki sebagai lelucon dengan berkonatasi seksis dan cabul (Santoso, 2021).

Toxic masculinity menghambat para laki-laki untuk memiliki kebebasan dalam mengekspresikan karya seni. Contoh konkretnya adalah ketika penulis melihat komentar disalah satu postingan video dalam media social (https://vt.tiktok.com/ZSeDqLke9/). Video tersebut menampilkan seorang kreator laki-laki sedang menari tarian tradisional. Memang tidak ada yang aneh dari video tersebut, tetapi ketika penulis melihat kolom komentar mengenai video tersebut, banyak warganet mengomentari bahwa laki-laki tersebut berekspresi feminim dan sampai menanyakan jenis kelamin. Masyarakat heteronormatif akan terus menekan laki-laki agar terus bisa bersikap kelaki-lakian yang diekspresikan melalui kekerasan verbal. Walaupun dalam kolom komentar video tersebut banyak komentar yang berhubungan dengan toxic masculinity, tidak sedikit juga yang membela sang kreator laki-laki. Banyak yang berkomentar bahwa dalam menari gerakan tubuh haruslah gemulai karena jika gerakan kaku maka membuat tarian akan berkesan jelek dan juga banyak yang memberikan dukungan dan apresiasi kepada kreator laki-laki agar tetap semangat melestarikan kebudayaan tarian tradisonal Hal ini menandakan ketika laki-laki tidak melakukan standar norma heteronormatif kelompok dominan menganggap hal itu merupakan suatu citra negatif diluar batas normal kejantanan.

  Menurut Grewal (2020) tekanan untuk menjadi laki-laki sesungguhnya telah melahirkan streotipe bagi laki-laki. Laki-laki tidak diizinkan bertindak dengan cara tertentu tanpa kejantanan mereka dipertanyakan. Toxic masculinity berdampak buruk untuk kesehatan mental laki-laki. Konstruksi sosial maskulinitas menjadikan laki-laki memiliki beban yang menyebabkan laki-laki kesulitan untuk mengekpresikan emosionalnya yang akan mendorong laki-laki merasa tertekan dan depresi. Lebih lanjut lagi, gagasan mengenai kejantanan tersebut berakibat pada tindakan kriminal, bunuh diri, hingga pelecehan seksual (Irvine et al., 2018).

Menurut (Sakina & Siti, 2017) sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Konstruksi gender laki-laki yang diperlihatkan melalui wacana norma heteronormatif yang tersebar di media sosial memunculkan narasi-narasi pendisiplinan laki-laki untuk menjadi maskulin. Sistem patriaki malah menindas dan menghegemoni laki-laki melalui norma dan standar-standar kejantanan yang dipaksakan (toxic masculinity) memicu segregrasi heteronormatif dan non-heteronormatif. Di media sosial bahkan menunjukan laki-laki juga dapat mengalami alienasi mulai dari asing dengan potensi diri, identitas gender, ekspresi gender, orang lain sampai asing hak asasi mereka. Konstruksi-konstruksi tersebut menjadi pengekang atas kebebasan mereka berekspresi. Terakhir, kita perlu mendiskusikan lebih lanjut apakah sistem partiakhi saat ini perlu untuk didekontruksi atau sebenarnya budaya masyatakat yang sering mengkotak-kotakanlah yang menyebabkan keterasingan mereka sendiri.

Referensi

Ayun, P. Q. (2015). Fenomena Remaja Menggunakan Media Sosial dalam Membentuk Identitas. CHANNEL, 3(2), 1–16.

Ayuningrum, N. G. (2021). Analisis Wacana Kritis Komentar Seksual dalam Media Sosial Twitter Laki-Laki Berekspresi Gender Feminin. Jurnal Wanita Dan Keluarga, 2(2), 117–126. https://doi.org/10.22146/jwk.3620

Bouguettaya, A., Lynott, D., Carter, A., Zerhouni, O., Meyer, S., Ladegaard, I., Gardner, J., & O’Brien, K. S. (2020). The relationship between gambling advertising and gambling attitudes, intentions and behaviours: a critical and meta-analytic review. Current Opinion in Behavioral Sciences, 31(Figure 1), 89–101. https://doi.org/10.1016/j.cobeha.2020.02.010

Cahyono, A. S. (2018). Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia. Jurnal Publiciana, 9(1), 140–157. https://journal.unita.ac.id/index.php/publiciana/article/view/79

Coyle, E. F., Fulcher, M., & Trübutschek, D. (2016). Sissies, Mama’s Boys, and Tomboys: Is Children’s Gender Nonconformity More Acceptable When Nonconforming Traits Are Positive? Archives of Sexual Behavior, 45(7), 1827–1838. https://doi.org/10.1007/s10508-016-0695-5

Firmansyah, M. A. (2022). Alienasi dan (Candu) Media Sosial. Kompasiania.Com. https://www.kompasiana.com/muhammad30488/62da21c108a8b563fe6acb74/alienasi-dan-candu-media-sosial

Gassó, A. M., Mueller-Johnson, K., Agustina, J. R., & Gómez-Durán, E. L. (2021). Exploring sexting and online sexual victimization during the covid-19 pandemic lockdown. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(12). https://doi.org/10.3390/ijerph18126662

Grewal, A. (2020). The Impact of Toxic Masculinity On Men’s Mental Health. Sociology Student Work Collection, 8.

Huang, X., Wang, S., Zhang, M., Hu, T., Hohl, A., She, B., Gong, X., Li, J., Liu, X., Gruebner, O., Liu, R., Li, X., Liu, Z., & Ye, X. (2022). International Journal of Applied Earth Observations and Geoinformation Social media mining under the COVID-19 context : Progress , challenges , and opportunities. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 113(March), 102967. https://doi.org/10.1016/j.jag.2022.102967

IJRS. (2021). Kekerasan Seksual pada Laki-Laki: Diabaikan dan Belum Ditangani Serius. Ijrs.or.Id.

Irvine, H., Livingstone, M., Flood, M., Armytage, J., & Bunn, A. (2018). The Man Box: A study on being a young man in Australia.

Nilan, P., & Demartoto, A. (2012). Patriarchal residues in Indonesia: Respect accorded senior men by junior men. European Journal of Social Sciences, 31(2), 279–293.

Primiani, N., Zakaria, M. M., & Priyatna, A. (2017). Konstruksi Gender Laki-Laki Homoseksual Dalam Serial Televisi Queer As Folk. Capture: Jurnal Seni Media Rekam, 9(1), 38–60.

Puspitarini, D. S., & Nuraeni, R. (2019). PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL SEBAGAI MEDIA PROMOSI ( Studi Deskriptif pada Happy Go Lucky House ). Jurnal Common, 3.

Putri, A. L. H. (2021). Jangan Malu, Cowok Juga Butuh Skrincare! Kompasiania.Com. https://www.kompasiana.com/aulialestarihp/6075086b8ede4843012b0e32/jangan-malu-cowok-juga-butuh-skincare?page=1&page_images=1

Riou, J., & Althaus, C. L. (2020). Pattern of early human-to-human transmission of Wuhan 2019 novel coronavirus ( 2019-nCoV ), December 2019 to January 2020. Eurosurveillance, 25(4), 1–5. https://doi.org/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.4.2000058

Risky, N. (2013). REPRESENTASI ‘LAKI-LAKI’ PADA MEDIA MASSA (STUDI KASUS PADA MAJALAH MEN’S HEALTH): SUATU KAJIAN SEMANTIK. Suluk Indo, 2(1), 278–298.

Sakina, A. I., & Siti, D. H. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia. Share : Social Work Journal, 7(1), 71. https://doi.org/10.24198/share.v7i1.13820

Santoso, B. (2021). Geger Remaja Pria Diperkosa Wanita Dewasa: “Stop Jangan Dijadikan Lelucon.” Suara.Com. https://www.suara.com/news/2021/04/27/075355/geger-remaja-pria-diperkosa-wanita-dewasa-stop-jangan-dijadikan-lelucon

Sari, A. C., Hartina, R., Awalia, R., Irianti, H., & Ainun, N. (2018). Komunikasi dan media sosial.

Setiawan, D. (2018). Dampak Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Terhadap Budaya Impact of Information Technology Development and Communication on Culture. SIMBOLIKA, 4(1), 62–72.

Sumardiono, N. (2022). Representasi identitas gender influencer laki-laki dengan ekspresi gender feminin di Instagram. Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi, 8(1), 109. https://doi.org/10.30813/bricolage.v8i1.3056

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.