Digital Farming: Terima Kasih Sudah Menambah PR Perbaikan Penghidupan Petani di Indonesia

,

Digital Farming menjadi titik perubahan ekonomi politik penting dalam rezim pangan sejak terjadinya Revolusi Hijau pada tahun 1950-an dan 1960-an. Salah satu aspek perubahan penting tersebut adalah peran teknologi dalam integrasi pasar yang semakin luas dan konsentrasi jangkauan kekuatan dari korporasi pangan (Rotz et al., 2019). Adopsi teknologi yang menguat dalam digital farming memunculkan permasalahan baru seperti kemampuan petani dalam mengaksesnya di tengah harganya yang mahal dan fluktuasi harga penjualan komoditas pangan. Penguasaan atas aset, infrastruktur, peralatan dan sumber daya yang terbatas memengaruhi kemampuan petani dalam proses adopsi teknologi dalam mekanisme digital farming.

Korporasi pangan multinasional, perusahaan internasional produsen perangkat teknologi informasi, perusahaan rintisan pengelola platform aplikasi, dan perusahaan non-pertanian yang ikut memproduksi alat pertanian adalah penggerak proyek digital farming (Birner et al., 2021). Korporasi pangan menjadi pihak yang paling memiliki “keunggulan komparatif” dalam menentukan teknologi digital yang sesuai dengan produksi input pertanian mereka. Korporasi pangan memiliki kelebihan berupa kesiapan infrastruktur digital, akses ke lembaga keuangan, kemampuan memengaruhi proses pengambilan kebijakan dan keterampilan dalam digitalisasi. Korporasi pangan mampu menyediakan dana untuk melakukan penelitian dan pengembangan, menunjang inovasi bahkan membeli perusahaan rintisan yang memiliki platform tertentu untuk mencegah munculnya pesaing (Birner et al., 2021).

Korporasi memang membangun kemitraan dengan petani dalam adopsi teknologi, tetapi tetap saja mekanisme digital farming yang dijalankan memiliki persoalan dalam tiga aspek. Aspek yang pertama adalah penguasaan data dan terkait erat dengan siapa yang berhak melakukan pengambilan keputusan dalam moda produksi pertanian. Korporasi menjadi pihak yang memiliki kendali penuh atas pengelolaan data, sehingga petani hanya bisa mengikuti keputusan yang dibuat secara sepihak (Rotz et al., 2019).

Aspek kedua mengacu pada jenis dan desain teknologi yang digunakan dalam pemasaran produk pertanian. Korporasi sebagai pengelola teknologi seringkali menyiapkan desain dan mekanisme kerja yang tak sesuai dengan kebutuhan dan moda produksi petani. Petani semata menjadi “mesin sosial” yang harus melaksanakan dan mematuhi mekanisme kerja dari korporasi.

Aspek ketiga mengacu pada soal kepastian keamanan data pribadi para petani yang menjadi bagian dari skema digital farming. Petani harus menyerahkan data pribadi rumah tangga tani dan informasi kegiatan ekonomi mereka dalam kemitraan bersama korporasi. Korporasi mengendalikan sepenuhnya pengelolaan data, tetapi tak menjamin keamanan informasi dari serangan siber dan perdagangan. Petani bahkan tak mendapatkan penjelasan dan akses atas pemanfaatan data (Rotz et al., 2019).

Korporasi justru menganggap informasi yang diberikan oleh petani sebagai kekayaan intelektual mereka. Kewajiban untuk menyerahkan informasi moda produksi pertanian sebelum menjadi bagian dari kemitraan bersama korporasi menjadi bentuk lepasnya kendali kaum tani atas pengetahuan dalam produksi pangan (Stock & Gardezi, 2021). Posisi petani menjadi semakin termarjinalkan dibandingkan saat berlangsungnya Revolusi Hijau. Platform digital menjadi alat bagi korporasi untuk menentukan mekanisme produksi yang menguntungkan mereka. Platform digital hanya menjadi alat bagi korporasi untuk memperluas proses penetrasi modal ke pedesaan.

Monopoli teknologi oleh korporasi memungkinkan mereka untuk meningkatkan pangsa pasar dengan melakukan proses komodifikasi atas data yang dikelola. Korporasi juga memanfaatkan data yang dikelola untuk memetakan calon konsumen baru dan menjadi acuan dalam penentuan strategi promosi. Permainan algoritma membantu korporasi dalam penentuan pola moda produksi pertanian yang efisien. Algoritma menjadi acuan pula dalam menjual alat mesin pertanian, pupuk dan benih berdasarkan pemetaan tren pasar. Petani yang menjadi mitra dalam skema digital farming harus menggunakan input pertanian dan standar yang dibuat korporasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pasca Revolusi Hijau, petani harus kembali didoktrin oleh korporasi pangan (Fraser, 2019a).

Permainan algoritma juga membantu korporasi pangan dalam memetakan pesaing dan mengambil strategi yang tepat untuk menghadapi persaingan. Korporasi pangan akan mengambil langkah untuk memetakan pihak pemasok komoditas pangan, ekspektasi konsumen mengenai produk yang akan mereka konsumsi serta struktur pasar yang ada untuk dapat bertahan di tengah persaingan (Fraser, 2019b).

Korporasi pangan turut pula melakukan privatisasi tanah dengan memanfaatkan informasi dan peta bentang lahan. Informasi mengenai sertifikasi tanah, ketersediaan air, kualitas tanah, jenis komoditas, dan lain-lain justru membuat lahan dianggap sebagai objek investasi. Informasi tersebut juga membantu pemodal dalam menentukan risiko untuk berinvestasi di suatu wilayah penghasil pangan. Data sekali lagi menjadi mekanisme teritorialisasi untuk menafsirkan fungsi ruang secara sepihak untuk kepentingan akumulasi modal (Fraser, 2019a).

Digitalisasi pertanian telah menciptakan ketimpangan yang meluas dalam setidaknya dua wajah. Pertama, digitalisasi telah memperdalam kesenjangan digital antara pertanian skala besar (korporasi pangan) yang padat modal dan menjadi pengelola platform dengan petani kecil yang tak bisa mengakses apalagi membuat teknologi digital untuk menunjang penghidupannya (Hackfort, 2021). Kedua, digitalisasi memperdalam kesenjangan digital antara wilayah pedesaan dan perkotaan, di mana desa kurang memiliki kesiapan infrastruktur yang memadai. Petani harus menanggung sendiri beban finansial dalam layanan, penyediaan perangkat digital dan penggunaannya dalam menunjang penghidupan (Hackfort, 2021).

Tulisan ini setidaknya telah memberikan pijakan awal untuk memahami siapa di balik, bagaimana mekanisme ekonomi politik serta konsekuensi seperti apa yang muncul dari digital farming. Pemahaman awal itu menjadi penting untuk mementahkan janji-janji kesejahteraan di balik bekerjanya digital farming yang kenyataannya adalah bagian dari praktik peningkatan konsentrasi kekuasaan modal dari korporasi pangan. Korporasi pangan yang mengkooptasi, mengkomodifikasi dan memprivatisasi pengetahuan moda produksi pertanian telah mempersulit penghidupan petani. Hal tersebut menjadi bentuk penghancuran yang lebih serius dari sumber penghidupan petani dengan keharusan mengikuti mekanisme kerja korporasi pangan dan menjadi bagian dari pasar predatoris sektor pangan. Bentuk penaklukan yang lebih parah dari pelaksanaan Revolusi Hijau (tanpa bermaksud meremehkan dampak serius dari proyek ekopol ini), di mana terbatas pada introduksi input pertanian yang dihasilkan oleh korporasi pangan melalui tangan pemerintah.

Pekerjaan kita sebagai rakyat menjadi bertambah dalam usaha mengumpulkan pengetahuan dan berupaya membangun agenda penghidupan di Indonesia. Setidaknya terkait masalah digital farming ada beberapa pertanyaan kunci yang dapat memandu kita dalam mengantisipasi dengan penggalian pengetahuan maupun membangun agenda. Pertama, bagaimana perbedaan pola kemitraan di antara korporasi pangan multinasional, perusahaan rintisan pengelola platform, perusahaan produsen perangkat komunikasi dan perusahaan non-pertanian penyedia platform pertanian dengan berbagai kelas petani di pedesaan? Siapa kelas petani yang diuntungkan oleh mekanisme kemitraan seperti itu? Atau semua kelas petani terpinggirkan oleh pola kemitraan dalam digital farming?

Kedua, sejauhmana berbagai kelas petani mampu mempertahankan moda produksi dan sumber penghidupannya? Strategi apa yang diambil oleh berbagai kelas petani untuk mampu mendapatkan kesejahteraan dari mekanisme kemitraan digital farming? Ketiga, apa bentuk tantangan yang dihadapi oleh gerakan tani ataupun gerakan pedesaan dalam menghadapi proyek digital farming? Apa strategi bertahan yang diambil oleh gerakan pedesaan untuk menghadapi digital farming? Mekanisme apa dan yang bagaimana yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani di tengah gempuran pasar predatoris yang semakin gila? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita cari jawabannya untuk perbaikan penghidupan.

 

Referensi

Birner, R., Daum, T., & Pray, C. (2021). Who drives the digital revolution in agriculture? A review of supply-side trends, players and challenges. Appl Econ Perspect Policy, 1–26.

Fraser, A. (2019a). Land grab/data grab: precision agriculture and its new horizons. The Journal of Peasant Studies, 46(5), 893–912.

Fraser, A. (2019b). The digital revolution, data curation, and the new dynamics of food sovereignty construction. The Journal of Peasant Studies, 1–19.

Hackfort, S. (2021). Patterns of Inequalities in Digital Agriculture: A Systematic Literature Review. Sustainability, 13, 1–18.

Rotz, S., Duncan, E., Small, M., Botschner, J., Dara, R., Mosby, I., Reed, M., & Fraser, E. D. G. (2019). The Politics of Digital Agricultural Technologies: A Preliminary Review. Sociologia Ruralis, 59(2), 203–229.

Stock, R., & Gardezi, M. (2021). Make bloom and let wither: Biopolitics of precision agriculture at the dawn of surveillance capitalism. Geoforum, 122, 193–203.

 

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.