Universitas Gadjah Mada
  • Article
    • Perubahan Iklim
    • Revolusi Digital
    • Pandemi
    • Brief Article
  • E-Book
  • Siniar
  • Video
  • Agenda
  • Berkontribusi
  • Tentang Megashift
  • Beranda
  • Marwa
  • Marwa
Arsip:

Marwa

Rethinking the Architecture of Climate Finance: How Political Discretion Undermines Global Commitments

brief article Monday, 4 August 2025

The global climate finance target for developing countries has tripled from $100 billion to $300 billion per year by 2035 (United Nations Climate Change, 2024). This target did not emerge without reason. Out of 168 NDCs submitted as of 9 September 2024, 91% of countries stated that finance is a crucial component in the implementation of their climate targets. Of that number, 69% said they require international financial assistance (United Nations Climate Change, 2024). Yet, past experience shows that setting a number does not guarantee timely achievement. The previous target, which was expected to be reached by 2020, was only realized in 2022 when developed countries mobilized $115.9 billion (OECD, 2024). The problem lies not merely in the fiscal capacity of donor countries, but in an institutional framework that is weak and overly reliant on the political preferences of incumbent leaders in donor countries. When the system is driven by political considerations, uncertainty over the realization of climate finance targets becomes inevitable.

read more

The False Promise of ESG: How Green Governance Masks Global Inequality in Neoliberal Development

brief article Wednesday, 28 May 2025

Over the course of the past ten years, the Environmental, Social and Governance (ESG) framework has become the primary instrument employed by global corporate bodies and international financial institutions in various ways to transition to a sustainable economy. ESG is promoted as the practical, if not cynical, answer to social inequality and the climate crisis, the intellectual fix for capitalism whereby social change is engineered via the mechanisms of financial markets. On the whole, however, in contrast to this rosy perspective, ESG represents the new face of green neoliberalism, a mode of capitalism that uses sustainability covers to sustain market dominance and stabilize the unequal global economic order.

read more

Kurangi Anggaran, Rusak Lingkungan: Efisiensi Penuh Paradoks Ala Prabowo

brief article Thursday, 20 March 2025

Awal 2025, pemerintahan baru Prabowo Subianto telah membuat gebrakan baru dengan melakukan pemotongan anggaran besar-besaran. Kebijakan yang disebutnya “efisiensi” ini secara masif mengurangi anggaran berbagai lembaga negara yang dianggap pemborosan. Banyak yang mengeluhkan dampak langsung efisiensi ini, mulai dari pemecatan terhadap banyak tenaga honorer yang kerap berada di garis depan pelayanan, penurunan fasilitas kerja, sampai ancaman dihentikannya program-program bantuan pendidikan.

Namun, kritik terbesar bagi efisiensi ini sesungguhnya adalah kontradiksi pemerintahan Prabowo. Sejak awal, Prabowo membentuk kabinet yang dianggap tidak proporsional dengan banyaknya posisi dan jabatan yang diberikan (Sood, 2024). Kontradiksi ini makin terlihat dengan rencana Prabowo untuk mengalihkan dana pada program kontroversial Makan Bergizi Gratis (MBG), dan yang terbaru adalah lembaga kontroversial Danantara (Siswanto, 2025).

read more

Ekologi Politik Banjir Rob di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah

brief article Monday, 19 August 2024

Perubahan iklim tak dapat dipungkiri memperparah banjir rob dengan kenaikan muka air laut di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kenaikan pasang air laut di Sayung, Demak berkembang sebesar 18 cm per tahun dan diprediksi pada tahun 2025 pasang tertinggi akan mencapai 1,63 meter (Suryanti dan Marfai 2016). Banjir rob di Sayung, Demak harus kita cermati lebih lanjut, sebab kenyataannya bukan semata “realitas fisik dari alam.”

Kajian ini dibingkai dengan pemahaman dari Clark dan Clausen (2008) yang melihat bahwa perusakan sumber daya pesisir tak dapat dilepaskan dari industrialisasi kapitalis yang merombak alam terhubung dengan struktur produksi yang meluas (Clark dan Clausen 2008). Pemahaman tersebut membantu menjelaskan bahwa banjir rob di Sayung, Demak tak dapat dilepaskan dari penaklukan alam oleh pasar komoditas yang satu dengan yang lainnya. Proses ekonomi politik tersebut tak dilihat sebagai proses yang berlapis antara akar rumput, nasional sampai global. Sebab diasumsikan kapital yang berasal dari jangkauan luar bisa menjangkau dan merombak alam yang ada di akar rumput. Kapital yang satu bisa berganti dengan kapital lainnya seiring pertautan komoditas yang lainnya dan terhubung dengan ekstraksi alam yang ada di akar rumput.

Ekspansi Pasar Udang dan Kemunculan Banjir Rob

Ekspansi tambak udang di Sayung mulai terjadi semenjak tahun 1980-an dan tak hanya mengkonversi lahan mangrove, melainkan sawah pula. Uang tunai yang cepat didapatkan dari ekonomi tambak membuat warga Sayung terus mencari lahan baru. Sawah pun ikut dikonversi menjadi tambak sebab harga padi menurun serta letak sawah yang berdekatan dengan laut yang membuat adanya percampuran air laut dengan air tanah (Munasikhah dan Wijayati 2021).

Penggunaan lahan dari laut sampai permukiman warga secara berurutan pada tahun 1970 sampai 1980 adalah tambak, mangrove, sawah, dan rumah saat tambak belum banyak (Karmilah et al., 2023). Warga sebelumnya melaut di sela-sela waktu mengurus sawah. Pasar udang lah yang mendorong perluasan tambak di Sayung, Demak (Karmilah et al. 2023). Perluasan ini tak dapat dilepaskan dari “tren makanan sehat” yang dikenal sebagai fenomena sushi boom di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1970-an. Harga udang yang rendah membuat adanya dorongan permintaan dari warga Amerika Serikat untuk memenuhi konsumsinya (Karmilah et al. 2023). Amerika Serikat, Jepang, dan Masyarakat Ekonomi Eropa/MEE pada tahun 1980-an menjadi importir udang terbesar di dunia yang mendorong negara berkembang seperti Indonesia tertarik untuk memanfaatkan momentum pasar tersebut (Karmilah et al. 2023).

Indonesia mengambil langkah untuk mengenjot produksi udang. Produksi udang pada tahun 1980 saja mencapai 314 juta pounds (Karmilah et al. 2023). Peningkatan produksi terbukti pada tahun 1993 sudah mencapai 736 juta pounds, di mana kenaikan dapat terjadi didukung oleh kebijakan untuk memperluas tambak budidaya udang (Karmilah et al. 2023). Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang larangan penggunaan trawl  (pukat harimau) di perairan Indonesia diikuti dengan dorongan pihak swasta untuk berinvestasi pada tambak (Karmilah et al. 2023). Program Intensifikasi Tambak (INTAM) diterapkan di 11 provinsi termasuk Jawa Tengah dan masuk ke Rencana Pembangunan Lima Tahun pada 1984-1989, saat inilah tambak mengkonversi lahan lainnya di Sayung (Karmilah et al. 2023). Pantai utara Jawa Tengah sendiri saat itu menjadi bagian INTAM dengan skema zona pesisir percontohan (Karmilah et al., 2023).

Kerusakan ekosistem yang meluas pada tahun 1990-an sebenarnya sudah memberikan dampak pada penurunan harga jual udang yang dipanen. Harga udang pada pasar global yang anjlok akibat kelebihan suplai juga menjadi pemicu ekonomi tambak mulai surut semenjak tahun 1990-an (Munasikhah dan Wijayati 2021). Banjir rob akibat konversi lahan di Sayung sendiri memicu tambak saat ini tak lagi produktif, sehingga memicu warga beralih profesi. Warga beralih bekerja ke sektor manufaktur dan jasa di sekitar desanya (Fauzi dan Sukamdi 2017). Warga bekerja menjadi buruh pabrik maupun buruh bangunan, tetapi tidak sedikit yang menganggur dan mengantungkan hidupnya pada anggota keluarga lainnya. Hal tersebut sampai memicu munculnya istilah ‘mantan juragan tambak’ yang diberikan kepada para warga. Pengeluaran sehari-hari warga menjadi membengkak akibat lahan dan rumahnya diterjang abrasi, sementara sebagian dari mereka ada yang memilih untuk direlokasi di desa terdekat yang masih aman (Damaywanti 2013).  

Perluasan tambak sendiri menjadi penyebab utama menipisnya ekosistem mangrove di Kecamatan Sayung. Sebesar 82% garis pantai Kabupaten Demak sebenarnya berada pada kondisi yang sangat rentan sebab terdiri dari dataran pantai dan lumpur. Penipisan area mangrove memperparah erosi terhadap garis pantai. Mangrove yang masih ada tak mampu menahan berbagai tekanan lingkungan yang dipicu oleh tekanan antropogenik dari tambak (Sagala et al. 2024). Kawasan yang direncanakan sebagai area konservasi pun semakin tergerus oleh perkembangan rumah penduduk yang terus meluas seiring berjalannya waktu di tengah gerusan gelombang laut dan masuknya rob. Masyarakat sebenarnya juga memiliki drainase dan sanitasi yang terbatas, di mana bahkan genangan air rob juga menjadi lokasi jamban (Ristianti 2016).

Penipisan mangrove membuat Sayung tanpa perlindungan alami dari terjangan gelombang. Keberadaan mangrove penting untuk menahan terjangan gelombang (Perdana 2019). Muara sungai di sekitar Sayung mengalami pendangkalan akibat penipisan mangrove. Empat sungai yang berkontribusi terhadap banjir rob di Sayung adalah sungai Babon, Dombo, Sayung, dan Bonjol. Hutan bakau yang banyak ditebang untuk dijadikan tambak sendiri, lahannya ada yang diperjualbelikan. Lahan di pesisir utara Sayung terkesan dalam keadaan open access akibat keterbatasan pengawasan (Awaliyah 2021).  Lebih lanjut proses ekonomi politik antara ekspansi tambak yang memicu banjir rob di Sayung Demak ditunjukkan oleh gambar 1 berikut:

Gambar 1. Feedback Loop Proses Ekonomi Politik Banjir Rob Kecamatan Sayung tahun 1980-an s.d. 1990-an

Diolah oleh Penulis

Ekspansi tambak sebenarnya adalah cara lainnya dari kuasa pasar untuk terus mengejar keuntungan di luar penangkapan udang secara langsung di laut. Ekspansi tambak udang pada dasarnya mirip dengan pertanian monokultur yang menundukan alam dengan modal. Warga yang menjadi petambak pada dasarnya harus terus mengejar produksi yang harus meningkat untuk memenuhi pasokan pasar global dengan konsekuensi tak memperhatikan dampak lingkungan dalam jangka panjang (Clark dan Clausen 2008). Ekpansi tambak justru terus meningkatkan permintaan produk di pasaran, sehingga berbagai upaya termasuk dengan mengubah penggunaan lahan.

Permukiman Terendam, Modal Lainnya Membuat Gempuran

     Banjir rob di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung yang berbatasan langsung dengan Kota Semarang terjadi akibat reklamasi di Pantai Marina yang menyebabkan arus laut memutar kembali ke arah timur ke Kabupaten Demak yakni Kecamatan Sayung. Hal tersebut membuat pesisir Desa Sriwulan menjadi lebih rendah (Asiyah et al. 2015; Batubara et al. 2020; Munasikhah dan Wijayati 2021). Desa Sriwulan sendiri juga berkembang menjadi wilayah yang dipenuhi pabrik, sebab berdekatan dengan kawasan industri Terboyo di Semarang. Reklamasi di kawasan Tanah Mas, Tanjung Mas, dan Terboyo di Semarang memperparah pula banjir rob yang melanda Kecamatan Sayung, Demak  (Asiyah et al. 2015; Batubara et al. 2020; Munasikhah dan Wijayati 2021).

Reklamasi Pantai Marina berawal dari proyek Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan ( PRPP ) Jawa Tengah yang didorong oleh Soeharto pada tahun 1986 yang awalnya dilaksanakan oleh PT Uber Vista Indah sebagai investor, tetapi digantikan oleh PT Indo Permata Usahatama (IPU) di lahan seluas 237 ha termasuk wilayah laut yang direklamasi, di mana seluas 108 ha adalah area daratan sesungguhnya. Proyek tersebut terkait pula dengan pengembangan hunian (Batubara et al. 2021). Berbagai proyek yang ada di pesisir Semarang tak dapat dilepaskan dari penerbitan PP No 16/1976 tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang yang memicu masuknya investor (Batubara et al. 2021).

Reklamasi dilakukan oleh perusahaan dengan dalih mencegah abrasi masuk ke Kota Semarang, padahal reklamasi yang berjalan semenjak tahun 1987 belum disertai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) (Batubara et al. 2021). Intervensi terhadap daerah aliran sungai (DAS) dan reklamasi pantai kenyataannya justru memperparah abrasi dan memicu banjir rob  (Batubara et al. 2021). Abrasi di Sriwulan mulai terlihat pada tahun 1989 dan semakin parah pada tahun 2002. Banjir rob sampai-sampai mendorong warga Desa Sriwulan untuk mengikuti program transmigrasi akibat desanya tak lagi bisa menopang kehidupannya (Rindarjono 2021).

Air buangan yang berasal dari kawasan industri Kota Semarang saat musim penghujan menambah parah ketinggian banjir rob di Sayung, Demak (Haloho dan Purnaweni 2020). Desa Bedono adalah desa lainnya di Kecamatan Sayung yang terendam rob akibat reklamasi pelabuhan Tanjung Mas di Semarang. Warga juga menyadari bahwa situasi perubahan iklim memperparah kondisi banjir rob yang mereka hadapi. Reklamasi untuk pelabuhan Tanjung Mas membuat gelombang laut berubah dan memicu abrasi di Desa Bedono. Warga di sisi lain menyadari bahwa sumur bor yang mereka pakai sebagai satu-satunya sumber air bersih telah memicu penurunan muka tanah, sehingga menimbulkan abrasi  (Pamungkas 2011).

Kajian Rahmawan et al. (2016) secara geologis menunjukkan bahwa penggunaan sumur bor mendorong adanya penurunan permukaan tanah di Kecamatan Sayung. Penurunan muka air tanah terutama terjadi akibat aktivitas industri yang ada di sepanjang jalan Pantura (Pantai Utara Jawa) di Kecamatan Sayung. Penurunan muka tanah sendiri berkisar sebesar 4 sampai 5 cm/tahun. Pengambilan air melalui sumur bor sepanjang tahun 2015 saja tercatat terus mengalami peningkatan, sehingga penurunan muka air tanah terus terjadi (Rahmawan et al., 2016) (Rahmawan et al. 2016). Peningkatan pengambilan air melalui sumur bor juga meningkat sepanjang tahun 2016-2017 terutama di Kecamatan Sayung bagian barat yang menjadi bagian dari perluasan kawasan industri Kota Semarang (Afif et al. 2018).

Kecamatan Sayung yang terendam rob tak lantas membuat pemerintah daerah dan pemodal berhenti memperluas pabrik. Kawasan industri PT Aroma Kopikrim misalnya berada di Jalan Raya Semarang-Demak. Area dekat perusahaan tersebut bahkan ditawarkan sebagai Kawasan Industri Demak sejak tahun 2010 dikelola oleh Bumimas Group (Karmilah et al., 2023) (Karmilah et al. 2023). Bumimas Group terus memperluas area kawasan industri yang ditawarkan bahkan mencaplok area tambak seluas 600 ha di Desa Bedono. Pemerintah Kabupaten Demak sendiri dalam rencana tata ruang wilayah telah memposisikan Kecamatan Sayung sebagai kawasan peruntukan industri  (Karmilah et al. 2023).

Proyek Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) yang dibuat oleh pemerintah pusat di pesisir Sayung sendiri ditakutkan semakin memperparah kondisi ekosistem mangrove maupun fenomena banjir rob (Alifiansyah, 2023) (Alifiansyah 2023). Proyek TTLSD yang dimulai sejak tahun 2018 sendiri ditakutkan akan membuat semakin banyak air laut yang mengarah ke daerah yang ada di luar kurva tanggul dan menenggelamkan wilayah yang berada di Kabupaten Demak. Proyek TTLSD ditakutkan pula membuat penurunan permukaan tanah, sehingga banjir rob dicemaskan akan meluas (Koalisi Maleh Dadi Segoro 2023).

ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan Hidup) dari proyek TTLSD juga diduga tak melibatkan konsultasi publik dengan mereka yang bersikap kritis terhadap proyek tersebut. ANDAL juga dilihat kurang mendalami potensi perubahan arus laut, jejak kesejarahan banjir rob dan amblesan tanah (Koalisi Maleh Dadi Segoro 2024). Koalisi Maleh Dadi Segoro sendiri mencatat akibat proyek TTLSD telah terjadi perubahan gelombang laut dan memperparah kondisi desa-desa di pesisir Kecamatan Sayung, Demak. Sumur-sumur warga juga terdampak intrusi air laut akibat perubahan gelombang laut (Koalisi Maleh Dadi Segoro 2024). Lebih lanjut gambaran interaksi ekonomi politik yang memperparah banjir rob setelah meredupnya ekonomi tambak udang ditunjukkan oleh gambar 2 sebagai berikut:

Gambar 2. Feedback Loop Proses Ekonomi Politik yang Memperparah Banjir Rob di Kecamatan Sayung, Demak Setelah Meredupnya Ekonomi Tambak

Diolah oleh Penulis

Ekspansi berbagai bisnis di sekitar Sayung, Demak menjadi bentuk penataan ulang alam dan sosial untuk membentuk Sayung dan sekitarnya sebagai suatu kawasan “yang ramah terhadap akumulasi modal yang berasal dari wilayah lainnya.” Penataan ulang wilayah pesisir tersebut melibatkan proses komodifikasi, privatisasi, dan regulasi yang disokong pemerintah. Kapitalisasi wilayah pesisir membuat kerusakan ekologis yang sudah terjadi akibat banjir rob yang muncul dari ekspansi modal tak dihiraukan, di mana penduduk lokal justru ingin dirubah mengikuti kepentingan akumulasi modal (Kahrl 2020). Lebih lanjut perubahan ekonomi politik yang memicu terjadinya banjir rob di Sayung, Demak dapat dilihat pada gambar 3 berikut:

Gambar 3. Perubahan Ekonomi Politik Pemicu Banjir Rob di Sayung, Demak.

Diolah oleh Penulis

Perubahan ekonomi-politik yang terjadi di Sayung, Demak sayangnya membuat tergerusnya ekosistem mangrove sejak tahun 1980-an, sehingga memicu abrasi sampai dengan banjir rob. Luas administrasi dari desa-desa yang berada pada wilayah pesisir Kecamatan Sayung bahkan telah berkurang. Kondisi ekosistem mangrove yang tersisa pun mengalami kerusakan akibat hempasan gelombang laut. Desa-desa pesisir di Kecamatan Sayung mengalami penurunan luas wilayah secara masif, permukiman dan fasilitas umum yang terendam menjadi tak bisa lagi digunakan (Asiyah et al. 2015).

Desa-desa di Kecamatan Sayung yang terendam oleh air rob adalah Sriwulan, Purwosari, Bedono, Timbulsloko, Sidomegah, Gemuluk, dan Surodadi. Desa-desa tersebut memiliki ketinggian kurang dari 0,2 m di atas permukaan laut, bahkan Desa Sriwulan memiliki elevasi -0,9 meter di atas permukaan laut (Widada et al. 2012). Beberapa bentuk perubahan ekonomi politik yang berbeda mulai dari ekspansi tambak udang, pasar properti yang memicu reklamasi sampai dengan perpindahan pabrik dan proyek infrastruktur menjadi sumber dan memperparah banjir rob di Sayung, Demak.

Refleksi

Tulisan ini sudah menunjukkan banjir rob di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak bukanlah sebatas fenomena fisik maupun masyarakat di tingkat lokal, melainkan terjadi sebagai bagian dari konfigurasi ekonomi-politik yang lebih luas dari level daerah, nasional, mau;pun global. Banjir rob berkelindan pada ekspansi modal dari luar wilayah Sayung yang menancapkan kekuasaanya di akar rumput dengan komoditas yang berbeda-beda. Hal tersebut menunjukkan bahwa banjir rob tak sekadar menjadi fenomena fisik.

Modal yang pertama masuk berasal dari pasar komoditas udang yang muncul sebagai konsekuensi dari tren konsumsi makanan sehat di Amerika Serikat dan Eropa, kemudian direspon oleh pemerintah Indonesia untuk mendorong proyek INTAM untuk memenuhi pasokan udang. Proyek INTAM memicu konversi mangrove dan sawah di Sayung, Demak dengan gairah mendapatkan uang tunai secara cepat, tetapi berujung pada kemunculan rob akibat kerusakan ekologis. Modal lainnya yang tak dapat dilepaskan adalah ekspansi properti di wilayah utara Kota Semarang yang didorong pula oleh pemerintah pusat yang memunculkan adanya reklamasi berujung pada perubahan gelombang laut ke arah Sayung. Perkembangan ekspansi properti itu bahkan berujung pada pencaplokan ruang hidup warga di Sayung, meskipun sudah terdampak banjir rob. Realitas tersebut membantu memperlihatkan bahwa pada dasarnya banjir rob tak terjadi disebabkan oleh fenomena yang semata ada di tingkat tapak, melainkan terhubung pada proses ekonomi politik yang kompleks dalam mengekstraksi alam.

Referensi

Afif M, Yuwono BD, Awaluddin M. 2018. Studi Penurunan Tanah Periode 2016 – 2017 Menggunakan GAMIT 10.6 (Studi Kasus : Pesisir Kecamatan Sayung, Demak). Jurnal Geodesi Undip. 7(1):46–56.

Alifiansyah J. 2023. Analisis Struktur Dan Profil Vegetasi Mangrove Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak [Undergraduate Thesis]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Asiyah S, Rindarjono MohG, Muryani C. 2015. Analisis Perubahan Permukiman Dan Karakteristik Permukiman Kumuh Akibat Abrasi Dan Inundasi Di Pesisir Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Tahun 2003 – 2013. Jurnal GeoEco. 1(1):83–100.

Awaliyah DN. 2021. Resolution Of Demak Coastal Conflict. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik. 3(2):147–152.

Batubara B, Kausan BY, Handriana E, Salam S, Ma’rufah U. 2021. Banjir Sudah Naik Seleher ekologi politis urbanisasi das-das di semarang. Semarang: Cipta Prima Nusantara (CPN).

Batubara B, Warsilah H, Wagner I, Salam S, Koalisi Pesisir Semarang-Demak. 2020. Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak. Bantul: CV Lintas Nalar.

Clark B, Clausen R. 2008. The Oceanic Crisis Capitalism and the Degradation of Marine Ecosystems. Monthly Review., siap terbit. [diakses 2023 Des 20]. https://monthlyreview.org/2008/07/01/the-oceanic-crisis-capitalism-and-the-degradation-of-marine-ecosystem/.

Damaywanti K. 2013. Dampak Abrasi Pantai terhadap Lingkungan Sosial (Studi Kasus di Desa Bedono, Sayung Demak). Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. hlm 363–367.

Fauzi NA, Sukamdi S. 2017. Analisis Kemiskinan Di Wilayah Bencana Banjir Rob Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Jurnal Bumi Indonesia., siap terbit. [diakses 2023 Des 20]. https://www.neliti.com/publications/228707/analisis-kemiskinan-di-wilayah-bencana-banjir-rob-desa-timbulsloko-kecamatan-say.

Haloho EH, Purnaweni H. 2020. Adaptasi Masyarakat Desa Bedono Terhadap Banjir Rob Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Journal Of Public Policy And Management Review. 9(4):1–9.

Kahrl AW. 2020. From Commons to Capital: The Creative Destruction of Coastal Real Estate, Environments, and Communities in the US South. Transatlantica. 2:1–16.

Karmilah M, Handriana E, Atia S, Nihayah U. 2023. Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung. Bantul: Mata Kata Inspirasi.

Koalisi Maleh Dadi Segoro. 2023. Laporan Investigasi Banjir Jawa Tengah Akhir 2022 – Awal 2023: Pemerintah “Hanya Lihat-Lihat.” Semarang. [diakses 2023 Feb 21]. https://lbhsemarang.id/wp-content/uploads/2023/01/FINAL-Laporan-Investigasi-Banjir-Jawa-Tengah-Akhir-2022-Awal-2023.pdf.

Koalisi Maleh Dadi Segoro. 2024. Studi Ekologi Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak? Semarang. [diakses 2024 Feb 20]. https://www.walhijateng.org/2024/01/17/studi-ekologi-proyek-tol-dan-tanggul-laut-semarang-demak/.

Munasikhah S, Wijayati PA. 2021. Dari Hutan Mangrove Menjadi Tambak: Krisis Ekologis Di Kawasan Sayung Kabupaten Demak 1990-1999. Journal of Indonesian History. 10(2):129–140.

Pamungkas C. 2011. Tanggapan Dan Antisipasi Masyarakat Menghadapi Rob Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak (Studi Kasus Masyarakat Desa Bedono) [Undergraduate Thesis]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Perdana TA. 2019. Assessing Willingness-To-Pay for Coastal Defenses: A Case Study in Timbulsloko Village, Sayung, Demak, Indonesia. Di dalam: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. hlm 1–5.

Rahmawan LE, Yuwono BD, Awaluddin M. 2016. Survei Pemantauan Deformasi Muka Tanah Kawasan Pesisir Menggunakan Metode Pengukuran Gps Di Kabupaten Demak Tahun 2016 (Studi Kasus : Pesisir Kecamatan Sayung, Demak). Jurnal Geodesi Undip. 5(4):44–55.

Rindarjono MohG. 2021. Reklamasi, Risiko, Dan Ketimpangan Perkotaan: Genangan, Abrasi Dan Dampak Sosial Di Jawa Tengah. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional “Kebijakan Satu Peta dan Implementasinya untuk Perencanaan Wilayah (DAS) dan Mitigasi Bencana.” hlm 381–392.

Ristianti NS. 2016. S.M.A.R.T. eco-village for hazardous coastal area in Bedono Village, Demak Regency. Di dalam: Procedia – Social and Behavioral Sciences. hlm 593–600.

Sagala PM, Bhomia RK, Murdiyarso D. 2024. Assessment of coastal vulnerability to support mangrove restoration in the northern coast of Java, Indonesia. Reg Stud Mar Sci. 70:1–13.

Suryanti NMdWA, Marfai MuhA. 2016. Analisis Multibahaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Demak. Jurnal Bumi Indonesia. 5(2):1–7.

Widada S, Rochaddi B, Endrawati H. 2012. Pengaruh Arus Terhadap Genangan Rob Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Buletin Oseanografi Marina. 1:31–39.

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/08/Megashift__08-03.pdf “].

Pertanian Lestari: Peran Perempuan Petani Karisma di Era Krisis Iklim dan Pangan

brief article Monday, 5 August 2024

“Revolusi dari meja makan” merupakan salah satu motto dari kelompok Perempuan Petani Karisma. Kalimat ini memiliki makna bahwa setiap keluarga harus dapat mengontrol dan memastikan makanan yang dihidangkan di meja makan keluarga memiliki kualitas yang baik dan dihasilkan dari proses yang berdampingan dengan alam. Kelompok Tani Karisma merupakan perkumpulan petani perempuan yang ada di desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Riak-riak memasifkan perjuangan mereka dalam hal menyebarluaskan nilai-nilai dalam pertanian lestari sudah dimulai sejak tahun 2006. Pergerakan mereka dimulai dari menerapkan pola pertanian lestari oleh setiap anggota kelompok guna pemenuhan pangan rumah tangga masing-masing anggota. Pola pertanian lestari sebenarnya merupakan pola pertanian tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Akan tetapi kemudian pola pertanian ini tergerus akibat dari kebijakan pemerintah pada masa orde baru yaitu revolusi hijau, salah satunya yaitu ragam benih lokal yang digantikan dengan benih industri, seperti benih padi Makmur yang menjadi benih unggulan di wilayah Kalibawang dan saat setelah revolusi hijau benih ini sudah tidak dapat ditemukan lagi (Ullaili, 2024). Walaupun dengan tantangan yang ada, pola pertanian lestari terus dirawat oleh kelompok Perempuan Petani Karisma dan menjadi strategi dalam menghadapi tantangan krisis iklim dan kelangkaan pangan yang menjadi persoalan di berbagai belahan dunia hari ini.

Pola Pertanian lestari yang diterapkan adalah bentuk pergerakan ekofeminisme. Hal ini dikarenakan pola pertanian yang mereka lakukan mengedepankan keseimbangan kehidupan ekosistem yang hidup di alam. Adapun contohnya yaitu menggunakan pupuk organik seperti dari kompos, kotoran hewan dan abu dapur serta buah-buahan dan sayur-sayuran yang telah difermentasi. Hal ini dilakukan karena kesadaran bahwa pertanian dengan menggunakan pupuk pestisida akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup.

Krisis Iklim Sebagai Tantangan dalam Pertanian

Salah satu persoalan krusial di berbagai belahan dunia saat ini adalah krisis iklim dan krisis pangan. Hasil penelitian Megatrends Watch Institute (MWI) menjelaskan bahwa ada 10 (sepuluh) megatrend yang akan mengubah lanskap global di masa yang akan datang, dua diantaranya adalah perubahan iklim (Climate Change) dan kelangkaan pangan (Resource Scarcity). Persoalan krisis iklim telah berdampak pada berbagai kehidupan masyarakat, salah satunya berdampak pada bidang pertanian yang mengakibatkan krisis pangan. Krisis iklim juga sangat berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia. Dilansir dari (BMKG, 2023) Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati  menjelaskan bahwa pertanian merupakan sektor yang paling berdampak akibat adanya krisis iklim.

Tentunya persoalan krisis iklim juga berdampak pada aktivitas pola pertanian lestari. Dalam pola pertanian lestari, mereka memiliki kalender musim yang disebut sebagai “mongso”. Dari kalender musim ini mereka dapat mengetahui jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam, ketersediaan air dan hama apa saja yang akan muncul pada setiap periodenya (Ullaili, 2024). Sehingga dalam konteks ini dapat menanggulangi tantangan yang ada, diantaranya adalah memprediksi persoalan kekeringan dan kemudian menanami lahan mereka sesuai jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi.

Akan tetapi akibat adanya krisis iklim, musim tanam mereka sesuai dengan “mongso” menjadi kacau karena musim hujan dan panas yang berubah dari biasanya dan sulit untuk diprediksi. Contohnya adalah dalam satu tahun petani Karisma  memiliki tiga kali musim tanam yaitu September-Januari dan Februari-Juni, pada awal bulan September dan Februari biasanya diprediksi sebagai musim hujan sehingga cocok untuk menanam Padi, serta bulan Juli-Agustus diprediksi sebagai musim kemarau yang cocok untuk menanam Palawija. Setelah hadirnya persoalan krisis iklim, kalender musim ini sering tidak dapat digunakan.

Pertanian Lestari Sebagai Bentuk Mitigasi dan Adaptasi Krisis Iklim

Prinsip pola pertanian lestari yang dilakukan oleh Kelompok Perempuan Petani Karisma adalah memastikan adanya kesimbangan lingkungan dan manusia. Maka daripada itu mereka tidak menggunakan pupuk pestisida dan kimia dalam keseharian pertanian yang mereka lakukan. Bagi mereka pupuk pestisida akan mematikan fauna tanah yang akan berdampak pada berkurangnya kesuburan tanah dari masa ke masa. Dalam pola pertanian lestari yang dilakukan mereka berkomitmen untuk menggunakan pupuk organik atau alami yang mereka dapatkan dari alam dan kemudian mereka olah menjadi pupuk.

Selain pupuk alami, bibit dan benih lokal juga menjadi ciri khas Kelompok Perempuan Petani Karisma dalam bertani. Mereka terus merawat bibit dan benih lokal dalam pertanian mereka yang hampir punah karena industri global. Adapun keanekaragaman bibit dan benih lokal diantaranya adalah Padi Bongkar, Merah Molok, Padi Makmur, Ketan Tolo dan lain sebagainya. Selain itu, ada juga jenis bibit dan benih seperti  umbi-umbian, pisang, jagung dan kacang. Jenis benih ini mereka dapatkan dari hasil turun temurun nenek moyang mereka. Dilansir dari (detiknews, 2022) menjelaskan bahwa pergantian varietas tanaman lokal dengan impor yang dikelola industri besar untuk kepentingan komersial telah meningkatkan ketergantungan petani pada bahan kimia dan benih yang dibeli. Hal ini kemudian berdampak pada hilangnya varietas lokal, sedikitnya ada 9.000 varietas benih padi lokal yang hilang dari total keseluruhan sekitar 12.000 varietas di Indonesia.

Walaupun demikian, pertanian lestari ternyata  mampu untuk menghadapi dan beradaptasi dengan krisis iklim yang hari ini merugikan banyak petani. Salah satu anggota Kelompok Perempuan Petani Karisma ini menjelaskan pupuk alami yang mereka gunakan telah mampu mengurangi dampak panas yang ekstrim terhadap varietas tanaman yang sedang mereka tanam. Selain itu, benih lokal yang mereka tanam juga ternyata memiliki daya tahan yang lebih baik dari pada benih hasil industri. Hal ini dapat dilihat ketika angin kencang  melanda tanaman padi mereka, dari sini dapat membandingkan bahwa tanaman dari bibit lokal tidak mudah tumbang jika dibandingkan dengan dari benih industri. Selain dapat beradaptasi dengan krisis iklim, pertanian lestari yang dilakukan oleh kelompok Perempuan Petani Karisma juga sebagai mitigasi dari krisis iklim.

Mengembalikan Pola Pertanian yang Memiliki Ketersalingan Antar Alam dan Manusia

read more

Breaking Petro-Pedagogy with Green Education: Holding The Big Business Accountable for Climate Change

brief article Monday, 29 July 2024

Since the world has embraced the green narrative, the focus has shifted more towards individual responsibility rather than holding fossil fuel industries accountable for their extractive activities. This shift has had a long-lasting impact on policymakers and society’s perspective on the urgent climate crisis. For years, the oil industry has spent over $3 billion to control the discourse on these issues, with one of the prominent channels being education (Holden, 2020). As a long-term solution to many global issues, the power embedded in the production and dissemination of knowledge is immensely significant. Even the formulation of education policies is constantly influenced by political factors (Nordensvärd, 2014). Those who control education have the power to shape the societal thinking of children and youth, steering them towards specific regimes of knowledge. This is what academics call: petro-pedagogy, a promotion of teaching practices that legitimize energy-related activities, and trigger awareness of personal responsibilities. However, such pedagogy extends beyond classroom activities to include industry infiltration through philanthropic initiatives.

read more

To Care in a Changing Climate: Impact of Climate Change to Care Migration in Asia

brief article Monday, 22 July 2024

As a region with an enormous ageing population, the flow of migrants who perform care work is prominent in Asia. Migrants from less affluent countries such as Indonesia, the Philippines, and Vietnam have been flocking to more affluent countries such as Japan, Korea, Singapore, Hong Kong, and Taiwan to fulfil care needs. According to the ILO (2015), out of 23.7 million care or domestic workers in the Asia and Pacific regions, 3.34 million are migrants.

Despite the high numbers of migrant care workers already attending to care needs, the condition of care work in Asia is getting increasingly dire. The region is already grappling with a severe lack of care needs being met: It is estimated that to sufficiently fulfil care needs in the region, an additional 8.2 million more care workers is needed (Sato et. al, 2022). Furthermore, this need was previously put under strain during the COVID-19 pandemic where the virus disproportionately affects vulnerable care recipients, thus further increasing care needs. The question then, is how will care migration fare under another crisis namely climate change? This article looks at previous migrant patterns and motivations between East and Southeast Asia to argue that climate change will make the current care crisis in Asia even more complex.

Contextualizing Care

Care can be broadly defined as “all the supporting activities to make, remake, maintain, contain and repair the world we live in” (Dowling, 2022). In a narrower sense, care has several characteristics. First, care work can be both direct and indirect. Direct care work refers to care work with direct contact to people being cared for, while indirect care work refers to care activities such as cooking or cleaning. Second, care work can be paid or unpaid. In both cases, care work is a highly undervalued sector due to its perceived lack of skill needed to perform the work, not to mention the gendered and racial aspects of this work (Dowling, 2022). As a result, care work is still categorised as informal work, which in turn opens the door for care workers to be underpaid, exploited, and abused without any substantial intervention from the state.

This article will focus on paid direct care work by Southeast Asian migrants in East Asia countries. There are several justifications as to why this article zooms in towards East and Southeast Asia specifically. First, care needs are disproportionately high in Asia, specifically in East Asia. East Asia’s population is ageing rapidly, and it is happening at a significantly faster rate than other regions. Citing Peng (2017), by 2030, out of the projected 1.4 billion increase in the ageing population across the world, 31.3% will be in East Asia.

Second, the ethics of care in Asia is strong, though the responsibility of care is steadily more displaced. Asia, in general, still holds the belief that the care needs of the elderly should be met by younger family members instead of being relegated to market solutions (Peng, 2017). However, young people in present-day Asia often prioritise work over family. This trend is accompanied by the decreasing taboo towards outsourcing care. Thus, the responsibility of care is now displaced from younger family members to migrants from less affluent regions in Southeast Asia. This demand made way for a budding “migrant broker” business which is supported by Southeast Asia governments’ regulations, thereby steadily facilitating more care migration to East Asia (Peng, 2017).

Despite the high importance of care migration in East Asia, the sector is still mired with problems both in meeting care demand and ensuring migrant care workers rights. For example, though regulation on care work across the region varies, care work remains largely under regulated. This  presents challenges in ensuring consistent standards and protections within the sector. The lack of regulation ultimately contributes to care workers being abused and underpaid, which creates a high turnover rate in the sector, making it hard to provide long-term care (LTC) (Peng, 2017). The problem is even more dire under conditions of crisis where vulnerabilities in systems of care are further exposed. The COVID-19 pandemic presents a good case. During the pandemic, the elderly people in Japan make up not only 20.2% of confirmed cases, but also 83% of total deaths (Suzuki, Morikawa & Wakabayashi, 2020). The same goes for Indonesia, where nearly half of deaths are of the elderly (UNFPA, 2022). On the other hand, providing intra-regional care was difficult as borders between countries were tightened. The case of COVID-19 poses an important question to our readiness for crises. This article now turns to the climate crisis as its primary focus.

The Climate Crisis and Its Impact on Care Migrants

The world faces a triple planetary crisis where climate change, worsening pollution and biodiversity loss are happening simultaneously. In its wake, the global population is more often ill-prepared to understand the impact this crisis might bring thus making our response to the crisis reactionary and incomprehensive. This article attempts to chart how the current crisis will affect care work in Asia by focusing on three aspects of care: the demand, supply and conditions for the provision of care.

First, climate change will cause an uptick in demand for care work. Climate change is projected to increase the intensity and frequency of extreme weather events, heighten the vulnerability of communities due to climate-related disease outbreaks and worsen food insecurity, all of which will lead to an uptick in the number of people needing care (MacGregor, S, Arora-Jonsson, & Cohen, 2022). It is not hard to see this projection turn into reality. All across East and Southeast Asia, communities have seen unusual cases of severe flooding, extreme heat and cyclones. Citing the World Meteorological Organization (2024), regarding water-hazard-related disasters specifically, over 9 million lives are directly affected in Asia. Climate-related outbreaks such as malaria are also on the rise in Indonesia, Malaysia, and Taiwan (Zain, Sadarangani, Shek & Vasoo, 2024). Thus, considering the interconnectedness of our climate system, the uptick in demand for care work will not only be felt by East Asia as the care migrant receiving region, but also by sending countries in Southeast Asia.

Second, there will be more outflow of migrants to perform care work, contributing to a “care drain” in the sending country. Though migration motives are non-linear – meaning that it is hard to pinpoint to one phenomena as the exact reason why people choose to migrate – climate change is considered a significant threat multiplier for reasons to migrate (OECD, 2023). Climate change leads to the increase of both rapid and slow onset disasters, making swathes of regions uninhabitable or markedly deteriorating communities’ quality of life. All of this can become the undeniable push factor of migration in the region. The Southeast Asia lower Mekong region is projected to be the hotspot for climate-induced outmigration, with a projected 3.3 to 6.3 million new climate migrants between 2023 and 2050 (Soo-Chen & McCoy, 2023). Though the outflow might help provide care needs for East Asians, it is important to keep in mind that Southeast Asia care needs might also increase due to climate change. Thus, the outflow of climate migrants might create a shortage of care workers or a “care drain” in Southeast Asia countries.

Third, care work will be done in an increasingly more precarious condition leading to the decrease of quality of care. Incidents of extreme weather, water scarcity, and energy and fuel shortages will rise, which will obligate care work to be done in unsafe conditions (MacGregor, S, Arora-Jonsson, & Cohen, 2022). As direct care work is not only physical but also relational, the quality of care work rests upon the physical and mental well-being of the carers. Climate change might put carers under such physical and mental toll in conducting their care work that the quality of care will inevitably worsen.

Caring in a changing climate

This article is by no means an exhaustive account of how climate change will affect care work in Asia. With climate change worsening and with little to no political will to change the status quo, the effect of climate change will continue to be more unpredictable, and the ways it will affect our lives might be even more complex. However, previous crises like the COVID-19 pandemic and current trends of climate change have given us a peek at how care migration will look in the years to come: the demand for care will continue to increase, a shortage of care workers will ensue and providing care will be more arduous as well as dangerous. Solving this issue requires a collective effort, one that can begin with understanding the importance of care and the urgency of the climate crisis.

References

Dowling, E. (2022). The Care Crisis: What Caused It and How Can We End It? Verso Books.

MacGregor, S., Arora-Jonsson, S., & Cohen, M. (2022). Caring in a changing climate: Centering care work in climate action.

OECD. (2023, November). What role for migration and migrants in climate adaptation? OECD Migration Policy Debates. https://www.oecd.org/migration/mig/What-role-for-migration-and-migrants-in-climate-adaptation-MPD-32-November-2023.pdf

Peng, I. (2017). Transnational Migration of Domestic and Care Workers in Asia Pacific. International Labour Organization. https://www.ilo.org/media/425986/download

Sato, A., Dempster, H., Leab, D., Nguyen, H., & Hoang, L. (2022, May 9). Migrant Care Workers in Asia: How Has COVID-19 Affected Them, and What’s Next? Center for Global Development. https://www.cgdev.org/blog/migrant-care-workers-asia-how-has-covid-19-affected-them-and-whats-next

Soo-Chen, K., & McCoy, D. (2023, February 28). Climate displacement & migration in South East Asia. ReliefWeb. https://reliefweb.int/report/viet-nam/climate-displacement-migration-south-east-asia

Suzuki, M., Morikawa, M., & Wakabayashi, M. (2020). Healthcare challenges for elderly people in Japan during COVID-19 pandemic. Deloitte. https://www2.deloitte.com/jp/en/pages/life-sciences-and-healthcare/articles/hc/en-hc-covid19-02.html

UNFPA. (2022, September 30). Older persons in Indonesia most vulnerable during the COVID-19 pandemic. UNFPA Indonesia. https://indonesia.unfpa.org/en/news/older-persons-indonesia-most-vulnerable-during-covid-19-pandemic

World Meteorological Organization. (2024, April 23). Climate change and extreme weather impacts hit Asia hard. Wikipedia. https://wmo.int/news/media-centre/climate-change-and-extreme-weather-impacts-hit-asia-hard

Zain, A., Sadarangani, S. P., Shek, L. P., & Vasoo, S. (2024). Climate change and its impact on infectious diseases in Asia. Singapore medical journal, 65(4), 211–219. https://doi.org/10.4103/singaporemedj.SMJ-2023-180

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/07/Megashift__07-04.pdf”].

Masyarakat Pesisir dalam Pusaran Blue Economy: Antara Growth versus Community Engagement

brief article Monday, 8 July 2024

Hingga kini, masyarakat pesisir seolah menjadi kelompok marjinal yang tereksklusi dari gemerlap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dari data jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir tahun 2022 yang begitu besar hingga mencapai 17,74 juta jiwa atau setara dengan 68% dari jumlah keseluruhan angka kemiskinan di Indonesia (Nugraheni, 2023). Apabila dirunut secara historis, penderitaan existing tersebut didorong oleh adanya penetrasi kebijakan neoliberal revolusi biru di sektor pengelolaan maritim yang telah berjalan sejak 1970-an dan mengakibatkan dampak nan luas meliputi hilangnya akses sumber daya, penggusuran lahan, hingga hilangnya kohesi sosial masyarakat pesisir (Bennett et al., 2021).

read more

Towards Community-Led Disability Climate Action: Sebuah Rekomendasi Pengarusutamaan People with Disability (PWD) dalam Tata kelola Adaptasi Perubahan Iklim (API) di Indonesia

brief article Monday, 24 June 2024

Salah satu komunitas yang paling terdampak akibat terjadinya perubahan iklim yaitu penyandang disabilitas. (IPCC, 2014; Ngcamu, 2023; Kosanic et.al 2022). Degradasi lingkungan yang terjadi karena perubahan iklim menyebabkan penurunan kualitas air, udara, makanan serta  berdampak pada kesehatan fisik maupun non fisik semakin melemahkan penyandang disabilitas. (WHO, 2011; Ernawati, 2022; Cianconi, 2021; Haines et.al, 2006).  Selain daripada kerentanan, penyandang disabilitas juga terkena dampak yang tidak sama dibandingkan dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas. (Saxton, 2018). Namun, meskipun berbagai temuan menyatakan bahwa komunitas disabilitas merupakan kelompok yang paling mengalami kerentanan akibat perubahan iklim, berbagai penelitian lain memperlihatkan bahwa penyandang disabilitas tidak diikutsertakan dalam perencanaan maupun upaya-upaya adaptasi dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim.

read more

Energi Bersih untuk Kualitas Hidup Anak Indonesia yang Lebih Baik

brief article Monday, 17 June 2024

Government policy and personal action are needed to protect children from pollutants effectively. And when we protect our families, we usually save the planet too.

(Coelen F Moere dalam Children and Pollution, Why Scientists Disagree?)

Laporan IQAir pada Juni 2023 menunjukkan bahwa Jakarta menempati peringkat pertama selama dua minggu berturut-turut sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Pada waktu yang sama, terjadi peningkatan drastis dari infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang dilaporkan di Jakarta. Sebanyak 156.000 orang terdiagnosis penyakit ISPA,  dengan 41.000 di antaranya merupakan bayi di bawah lima tahun. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 31% dari jumlah penderita ISPA yang terlaporkan dari bulan sebelumnya(Zhuhri, 2023). Peningkatan penyakit ISPA tersebut berkorelasi dengan kondisi polusi udara pada titik terburuk yang pernah tercatat di Jakarta.

Permasalahan polusi udara di Jakarta merupakan masalah yang tidak kunjung usai. Menurut laporan Kompas (2023), rerata jumlah partikel polusi (PM 2.5) secara konsisten bernilai 7 sampai 10 kali lipat lebih tinggi dari standar polusi udara WHO (Yuniarto, 2023). PM 2.5 merupakan polutan  berukuran kecil yang memiliki ukuran kurang dari 2.5 mikrogram. Partikel polusi tersebut dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan dan mengakibatkan berbagai masalah kesehatan. Polusi udara di Jakarta menyebabkan lebih dari 10.000 kematian, 5.000 pasien dirujuk ke rawat inap, dan 7.000 anak mengalami berbagai masalah kesehatan setiap tahunnya(Arif, 2023a).

Terdapat perdebatan mengenai sumber utama polusi udara di Jakarta. Pemerintah, melalui menteri Kementerian Lingkungan Hidup  dan Kehutanan,  menjelaskan bahwa sumber polutan berasal dari emisi transportasi dan manufaktur industri (CNN Indonesia, 2023). Sementara itu, lembaga riset independen Indonesia menyebutkan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi sumber utama  polusi di Jakarta (BBC Indonesia, 2023). Terdapat 14 PLTU dalam radius 100 Km dari Jakarta. Pembakaran batubara menghasilkan asap dan residu yang mencemari udara Jakarta(Arif, 2023a). Tidak adanya keterbukaan data dan sumber data yang valid mengenai emisi PLTU menyebabkan perbedaan tafsir dan narasi berkaitan dengan sumber emisi di  Jakarta. Keterbukaan data terkait sumber emisi dapat berperan dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah polusi udara dan masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh polusi udara(Safitri, 2023). Namun demikian, di balik beragam perspektif mengenai sumber polusi utama di Jakarta, polusi udara di Jakarta berasal dari energi kotor yang berasal dari batu bara dan fosil.

Permasalahan polusi udara berdampak secara multidimensi pada kehidupan anak. Polusi udara tidak hanya berdampak pada kesehatan anak(WHO, 2023), tetapi juga akan berdampak pada kecerdasan, daya ingat, dan gangguan neurologis. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan paparan polusi tinggi cenderung mendapatkan skor lebih rendah dalam tes kemampuan kognitif. Polusi udara akan berdampak pada sepanjang hidup anak. (Arif, 2023b) Secara jangka panjang, polusi udara berkaitan dengan penurunan kualitas Sumber Daya Manusia dan kerugian ekonomi bagi negara (Greenpeace Indonesia, 2020). Pencegahan dan penanggulangan terhadap polusi udara tidak cukup dengan aksi personal. Beberapa aksi personal misalnya; aksi mengurangi penggunaan kantong plastik, aksi menggunakan sepeda ke kantor, dan aksi membawa botol minum pribadi. Aksi personal perlu diiringi dengan perubahan dalam tataran sistem karena keduanya saling berkaitan. Lebih lanjut, esai ini akan menjelaskan pentingnya transisi  menuju energi bersih untuk kesejahteraan anak yang lebih baik di masa mendatang.

Polusi Udara dan Kesehatan Anak

Polusi udara memberikan dampak yang tidak proporsional pada masyarakat dari kelompok sosio-demografi tertentu. Kelompok anak-anak memiliki kerentanan yang unik terhadap dampak dari polusi udara. Kerentanan dampak polusi  bahkan terjadi semenjak masa kandungan. Beberapa jenis polutan udara, seperti timbal (Pb) yang dihasilkan dari PLTU dan bahan bakar fosil dari kendaraan, dapat masuk ke dalam janin melalui plasenta (Yulinawati et al., 2019). Paparan polusi pada ibu hamil berkaitan dengan dampak buruk terhadap perkembangan janin, peningkatan risiko kelainan bawaan, peningkatan risiko kematian, dan bahkan keguguran janin (Huang et al., 2018). Polusi udara yang terhirup juga dapat masuk ke peredaran darah dan akhirnya terkumpul dalam air susu ibu (ASI). Partikel polusi udara  berukuran kecil dan tidak kasat mata  dapat dengan mudah masuk ke tubuh bayi melalui berbagai macam jalur (Goldizen et al., 2016).

Selain itu, dalam pola pertumbuhan yang sehat, anak-anak memiliki fase eksplorasi dimana mereka akan cenderung berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Anak-anak juga  gemar melakukan aktivitas di luar ruangan seperti bermain dan berolahraga. Aktivitas demikian merupakan cara anak untuk bertumbuh, berkembang, serta memahami dunianya (Bento & Dias, 2017). Namun, aktivitas anak-anak di luar ruangan menyebabkan peningkatan laju pernapasan dan menyebabkan mereka menghirup polusi lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa (Vanos, 2015). Menurut data Unicef (2016), terdapat 300 juta anak di seluruh dunia tinggal di lingkungan polusi udara luar ruangan yang paling beracun. Anak-anak di seluruh dunia terpapar oleh polusi di luar dan di dalam ruangan. Hampir 80% anak di rumah tangga di pedesaan  India terpapar polusi udara di dalam ruangan karena pembakaran biomassa. Rumah tangga di pedesaan  terutama di keluarga  ekonomi rendah cenderung menggunakan energi kotor seperti kayu dan arang untuk memasak (World Economic Forum, 2016).

Lebih jauh,  fisiologis anak yang masih berkembang dibandingkan dengan kelompok dewasa menjadikan anak-anak lebih rentan terhadap masalah kesehatan. Paru-paru anak masih belum berkembang sempurna setidaknya hingga usia 8 tahun. Paru-paru anak juga belum memiliki kemampuan regenerasi sebaik kelompok dewasa(Bateson & Schwartz, 2008). Paparan paru-paru yang sedang berkembang terhadap polusi udara dapat mempengaruhi sistem pernapasan anak secara jangka panjang. Di masa yang akan datang, anak-anak yang terpapar polusi udara akan lebih rentan mengidap komplikasi terkait sistem pernapasan dan bahkan mengalami kematian (Bateson & Schwartz, 2008; Korten et al., 2017). Laporan UNICEF (2016) mengenai Udara Bersih untuk Anak menjelaskan bahwa hampir 600.000 anak setiap tahunnya meninggal karena polusi udara di dalam dan luar ruangan.

Akan tetapi tentunya, kondisi paparan anak-anak terhadap polusi udara berbeda-beda pada setiap kelompok sosial dan ekonomi. Anak-anak yang tinggal di pemukiman kumuh mengalami kondisi paparan polusi yang berbeda dengan anak-anak yang tinggal di pemukiman layak. Misalnya, pemukiman kumuh seringkali memiliki tingkat polusi udara yang lebih tinggi. Kondisi ventilasi yang kurang terstandar juga membuat pemukiman kumuh rentan terhadap paparan polusi sepanjang waktu. Kondisi demikian menyebabkan anak-anak di lingkungan kumuh memiliki risiko dan dampak yang lebih besar terhadap penyakit ISPA (Douglass, 2004; Rentschler & Leonova, 2023).  Menurut data BPS, terdapat 42,14% dari anak-anak Indonesia yang berada di usia 0-17 tahun masih belum memiliki hunian yang layak pada tahun 2022 (BPS, 2023). Sementara itu, di DKI Jakarta, tercatat sebanyak 1,77 juta rumah tangga belum mempunyai hunian layak (Ato & Dany, 2023).

Kelompok masyarakat  miskin dan kelompok minoritas   merupakan kelompok yang paling dirugikan dalam kasus polusi udara. Masyarakat miskin dan kelompok minoritas  cenderung menetap di lingkungan berpolusi karena keterbatasan dana yang mereka hadapi (Thiaragajan, 2023). Pabrik dan aktivitas industri umumnya berada di daerah dengan ekonomi masyarakat yang rendah (World Economic Forum, 2016). Kasus PLTU Indramayu menjadi salah satu contoh bagaimana masyarakat bergulat dengan polusi udara. PLTU Indramayu menggunakan sistem cofiring yang mana PLTU menggunakan campuran batu bara dan biomassa sebagai sumber energi. Alih-alih mengurangi emisi karbon, sistem cofiring justru melepaskan emisi karbon yang lebih besar. Asap pekat menyelimuti perkampungan mereka dan berdampak pada peningkatan ISPA pada bayi setiap tahunnya di dua kecamatan yang berdekatan dengan PLTU Indramayu(Sawal, 2024).

Kematian akibat polusi udara umum terjadi di negara berkembang. Peraturan perundang-undangan yang lemah, banyaknya pemukiman kumuh, standar emisi kendaraan yang kurang ketat,  PLTU masih jamak ditemui merupakan beberapa alasan dari masalah polusi udara di negara berkembang (UNICEF, 2019).  Sistem kesehatan yang buruk di negara berkembang juga semakin memperburuk kondisi yang ada. Polusi, keterpaparan, dan kemiskinan merupakan tiga hal yang saling saling berkaitan (Rentschler & Leonova, 2023). 

Transisi Energi untuk Kesejahteraan Hidup Anak

 Transisi energi merupakan salah satu jalan menuju peningkatan kualitas hidup anak-anak Indonesia. Energi bersih berkaitan erat dengan kualitas udara yang lebih baik. Pemerintah mendorong pengurangan penggunaan batu bara dan mendorong pembangunan pembangkit listrik dari sumber terbarukan sebagai upaya transisi energi. Akan tetapi, penurunan penggunaan batu bara masih  menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Emisi yang ditimbulkan oleh tenaga batu bara di Indonesia melonjak 56 persen dari 2015 sampai 2022(Kompas, 2023). Sementara itu, energi terbarukan masih belum meningkat secara signifikan di Indonesia. Pada 2022, sebagian besar energi di Indonesia masih bersumber dari energi kotor dengan bauran paling besar adalah batu bara (42,4%)(Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional, 2024). Rendahnya kesiapan teknologi Indonesia dalam menyambut EBT menimbulkan persepsi bahwa bahan bakar fosil dinilai masih lebih menggiurkan dibandingkan dengan EBT(Alexander, 2023).

Beberapa pihak menyebutkan bahwa pemerintah kurang konsisten dalam upaya transisi energi. Indonesia berupaya untuk menjaring dana untuk program transisi energi dari Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun di sisi lain,  Indonesia masih merencanakan pembangunan PLTU berkapasitas 18,8 gigawatt. Indonesia juga telah merilis izin untuk pembangunan PLTU bagi sektor pengelolaan mineral dan industri manufaktur. Langkah pemerintah berbanding terbalik dengan tujuan pengurangan emisi karbon hingga 290 juta ton di sektor kelistrikan(Tempo, 2023)[23]. JETP menargetkan Indonesia mencapai 34 persen listrik dari energi terbarukan pada 2030 (Edianto, 2022b). Indonesia harus mulai menghentikan penggunaan PLTU pada 2020 untuk mencapai bebas emisi pada 2050 (Edianto, 2022a). Laporan Institute for Essential Service Reform (IESR) menjelaskan bahwa salah satu kemajuan Indonesia dalam transisi energi adalah Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN-2019-2028)(IESR, 2023). RUKN menjadi dasar rencana untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) dalam pengurangan emisi dalam bidang kelistrikan. Indonesia telah memiliki basis hukum yang kuat terkait dengan pengembangan EBT dalam sektor kelistrikan. Akan tetapi, instrumen hukum tersebut masih belum diikuti dengan implementasi yang baik.

Sejauh ini, pembahasan mengenai urgensi transisi energi dalam upaya pemenuhan hak anak belum banyak dibahas dalam RPJMN 2025-2029. Pembahasan mengenai Energi Terbarukan masih terbatas pada pembahasan teknologi energi terbarukan (IESR, 2022).  Padahal, pembahasan mengenai anak dan transisi energi berkaitan dengan transisi yang berkeadilan. Salah satu poin dari transisi berkeadilan dari ILO dalam Perjanjian Paris adalah untuk membangun komunitas yang tangguh dan adaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim. Pembahasan mengenai transisi yang berkeadilan baru sebatas pembahasan mengenai program-program proteksi sosial dalam kerangka transisi yang berkeadilan. Laporan International Labour Organisation (ILO) mengenai transisi berkeadilan menjelaskan bahwa terdapat beberapa program pemerintah yang disiapkan dalam kerangka transisi energi. Pemerintah memastikan bahwa program-program proteksi sosial yang ada mencakup anak dan kelompok rentan (Tsuruga & Brimblecombe, 2024). Jarangnya diskusi mengenai kondisi rentan yang dialami oleh anak dalam situasi rentan disebabkan karena pemerintah dan pihak terkait kerap kali melupakan diskusi  mengenai hak  dan perspektif anak (UNICEF, 2022).

Belajar dari kasus Jakarta, penggunaan energi kotor dari transportasi dan PLTU berdampak buruk pada kesehatan anak. Keseriusan pemerintah untuk mencapai energi bersih adalah upaya pencegahan masalah serupa di daerah-daerah lainnya. Transisi menuju energi bersih menjadi upaya untuk mencapai keadilan antar generasi dengan memenuhi hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara layak. Kebijakan yang tegas dalam upaya transisi energi untuk dapat melindungi anak, keluarga, dan juga bumi kita. Aksi pribadi untuk mengurangi polusi udara tidaklah cukup untuk menghentikan kerusakan lingkungan yang terjadi secara sistemik (Moore, 2009). Aksi pribadi perlu dibarengi dengan keseriusan pemerintah dalam menciptakan serta mengupayakan energi bersih.

Referensi

Alexander, H. B. (2023). Kesiapan Transisi Energi di Indonesia Jalan di Tempat. Kompas.com. https://lestari.kompas.com/read/2023/12/18/110000586/kesiapan-transisi-energi-indonesia-jalan-di-tempat

Arif, A. (2023a). Umur dan Masa Depan Anak yang Hilang dalam Polusi Udara Jakarta. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/29/umur-dan-kesehatan-yang-hilang-dalam-polusi-udara-jakarta?open_from=Search_Result_Page

Arif, A. (2023b, September 20). Paparan Polusi Udara Saat Kanak-kanak Dikaitkan dengan Kematian Dini. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/09/20/paparan-polusi-udara-saat-kanak-kanak-dikaitkan-dengan-kematian-dini

Ato, S., & Dany, F. W. (2023). Jakarta Krisis Hunian Layak. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/metro/2023/08/05/jakarta-krisis-hunian-layak

Bateson, T. F., & Schwartz, J. (2008). Children’s response to air pollutants. Journal of Toxicology and Environmental Health – Part A: Current Issues, 71(3), 238–243. https://doi.org/10.1080/15287390701598234

BBC Indonesia. (2023). Polusi udara Jakarta: PLTU berbasis batu bara di sekitar ibu kota “berkontribusi besar” mengotori udara – Mengapa pemerintah dinilai “tidak berani perketat aturan”? BBC Indonesia.

Bento, G., & Dias, G. (2017). The importance of outdoor play for young children’s healthy development. Porto Biomedical Journal, 2(5), 157–160. https://doi.org/10.1016/j.pbj.2017.03.003

BPS. (2023). Kesejahteraan Anak Indonesia: Analisis Kemiskinan Anak Moneter 2022.

CNN Indonesia. (2023). Bukan Kendaraan, Studi Ungkap Sumber Polusi Udara Sesungguhnya. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230830150226-199-992444/bukan-kendaraan-studi-ungkap-sumber-polusi-udara-sesungguhnya

Douglass, M. (2004). The livability of mega-urban regions in Southeast Asia-Bangkok, Ho Chi Minh City, Jakarta and Manila compared. International Conference on The Growth Dynamics of Mega-Urban Region in East and Southeast Asia, 284–319.

Edianto, A. S. (2022a). Can Indonesia really achieve a net zero power sector by 2040? Ember Climate. https://ember-climate.org/insights/commentary/can-indonesia-really-achieve-a-net-zero-electricity-sector-by-2040/

Edianto, A. S. (2022b). How does Indonesia’s JETP compare to net zero pathways? Ember Climate. https://ember-climate.org/insights/commentary/how-does-indonesias-jetp-compare-to-net-zero-pathways/

Goldizen, F. C., Sly, P. D., & Knibbs, L. D. (2016). Respiratory effects of air pollution on children. Pediatric pulmonology, 51(1), 94–108. https://doi.org/10.1002/ppul.23262

Greenpeace Indonesia. (2020). Kerugian Ekonomi akibat Polusi Udara Capai 11 Miliar USD. Greenpeace Indonesia. https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/4613/kerugian-ekonomi-akibat-polusi-udara-capai-11-miliar-usd/

Huang, S., Xia, W., Sheng, X., Qiu, L., Zhang, B., Chen, T., Xu, S., & Li, Y. (2018). Maternal lead exposure and premature rupture of membranes: A birth cohort study in China. BMJ Open, 8(7), 1–7. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2018-021565

IESR. (2022). Pensiun Dini PLTU Faktor Penentu Capai NZE yang Ambisius. IESR. https://iesr.or.id/tag/rpjmn

IESR. (2023). Policy Assessment: Renewable Energy Development in Indonesia’S Power Sector.

Kompas. (2023). Komitmen Indonesia Menurunkan Emisi. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/04/komitmen-menurunkan-emisi

Korten, I., Ramsey, K., & Latzin, P. (2017). Air pollution during pregnancy and lung development in the child. Paediatric Respiratory Reviews, 21, 38–46. https://doi.org/10.1016/j.prrv.2016.08.008

Moore, C. F. (2009). Protect Your Familiy, Protect Our Planet. In Children and Pollution (hal. 239). Oxford University Press.

Rentschler, J., & Leonova, N. (2023). Global air pollution exposure and poverty. Nature Communications, 14(1), 1–11. https://doi.org/10.1038/s41467-023-39797-4

Safitri, I. (2023). Polemik Sumber Polusi Udara Pemerintas Vs Non Pemerintah: Pentingnya Keterbukaan Data Emisi PLTU. Megashift Fisipol UGM. https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2023/11/08/polemik-sumber-polusi-udara-pemerintah-vs-nonpemerintah-pentingnya-keterbukaan-data-emisi-pltu/

Sawal, R. (2024). Polusi Udara dari PLTU Co-Firing Indramayu, Balita Rawan Terserang ISPA. Mongabay. https://www.mongabay.co.id/2024/01/30/polusi-udara-dari-pltu-co-firing-indramayu-balita-rawan-terserang-ispa-1

Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional. (2024). Laporan Analisis Neraca Energi. https://den.go.id/publikasi/neraca-energi

Tempo. (2023). Inkonsistensi Program Transisi Energi. Tempo.co. https://majalah.tempo.co/read/opini/169463/inkonsistensi-transisi-energi

Thiaragajan, K. (2023). Why clean air is a luxury that many can’t afford. BBC. https://www.bbc.com/future/article/20231017-why-clean-air-is-a-luxury-that-many-cant-afford

Tsuruga, I., & Brimblecombe, S. (2024). Just Energy Transition in Indonesia: The Role of Social Protection in Facilitating the Process. https://webapps.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_908915.pdf

UNICEF. (2016). Pollution: 300 million children breathing toxic air. Unicef. https://www.unicef.org/press-releases/pollution-300-million-children-breathing-toxic-air-unicef-report

UNICEF. (2019). Air pollution hurts the poorest most. Unicef. https://www.unep.org/news-and-stories/story/air-pollution-hurts-poorest-most

UNICEF. (2022). Discussion brief – achield rights lens to just transition.

UNICEF. (2016). Clear the air for children. Unicef.

Vanos, J. K. (2015). Children’s health and vulnerability in outdoor microclimates: A comprehensive review. Environment International, 76, 1–15. https://doi.org/10.1016/j.envint.2014.11.016

WHO. (2023). More than 90% of the world’s children breathe toxic air every day. WHO. https://www.who.int/news/item/29-10-2018-more-than-90-of-the-worlds-children-breathe-toxic-air-every-day

World Economic Forum. (2016). This map shows how many millions of children are exposed to dangerously high levels of pollution. World Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2016/12/300-million-children-are-breathing-extremely-polluted-air-here-s-where-the-problem-is-worst

Yulinawati, H., Zulaiha, S., Pristianty, R., & Siami, L. (2019). Kontribusi Metropolitan terhadap Polutan Udara Berbahaya Timbal dan Merkuri dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Batu Bara). Seminar Nasional Pembangunan Wilayah dan Kota Berkelanjutan, 1(1), 21–30. https://doi.org/10.25105/pwkb.v1i1.5256

Yuniarto, T. (2023). Polusi Udara di Jakarta Semakin Parah. Kompas.id. https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/polusi-udara-di-jakarta-semakin-parah

Zhuhri, M. F. (2023). Polusi Udara Jakarta, 41 Ribu Balita Terkena ISPA. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/megapolitan/608848/polusi-udara-jakarta-41-ribu-balita-terkena-ispa

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/06/Megashift__06-03.pdf”].

1234
Universitas Gadjah Mada

© Universitas Gajah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY