E-Governance telah menjadi instrumen utama modernisasi tata kelola negara dengan memanfaatkan teknologi digital untuk memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi birokrasi, sembari menjamin hak warga atas informasi serta partisipasi publik. Regulasi nasional maupun internasional mendorong keterbukaan data, sementara Memorandum of Understanding (MoU) berfungsi sebagai instrumen tata kelola kolaboratif yang mencerminkan pergeseran dari model birokratis hirarkis menuju governance berbasis jejaring. Heywood (2014) menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “perancangan kembali” pemerintahan, di mana negara tidak lagi semata penyedia layanan langsung, melainkan fasilitator yang memberdayakan masyarakat atau menetapkan aturan umum. Namun, modernisasi yang cepat, responsif dan efisien ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keterbukaan digital sungguh menjamin transparansi substantif, atau justru menciptakan ilusi partisipatif? Apakah MoU menjadi instrumen demokratisasi atau sekadar legitimasi kekuasaan?
Aspek Kebijakan E-Governance dalam Framework Negara Indonesia
Secara normatif, E-Governance dirancang untuk mempercepat pelayanan publik, memperkuat kepercayaan masyarakat, dan menekan penyalahgunaan kekuasaan. Selain mempermudah administrasi, ia juga membuka interaksi baru antara elit politik dan warga secara lebih partisipatif. Regulasi mendorong pemerintah untuk memperluas akses informasi publik, mulai dari portal keterbukaan anggaran hingga dokumen kebijakan sektoral (Kumorotomo et al., 2020). Dalam konteks ini, MoU berperan penting bukan sekadar kontrak antar-lembaga, melainkan bagian dari mekanisme kolaborasi modern yang mengikat para pihak untuk berbagi data, menjamin transparansi, dan melegitimasi kerja sama digital (UK Government, 2024). Namun, kebijakan digital tidak pernah benar-benar netral. Ketika MoU disusun tanpa partisipasi publik, transparansi yang dihasilkan dapat bersifat semu. Informasi dapat dipublikasikan secara selektif untuk menjaga citra pemerintah, sementara substansi yang kontroversial justru disembunyikan (Klijn et al., 2025). Dengan demikian, E-Governance berpotensi berubah menjadi alat propaganda digital ketimbang instrumen demokratisasi.
Pengaruh sosial E-Governance dan Integrasi Kecerdasan Buatan di Indonesia
Perkembangan terbaru E-Governance di Indonesia menunjukkan integrasi yang semakin erat dengan teknologi kecerdasan buatan (AI), terutama melalui proyek GovTech INA Digital dan penerapan Smart Governance di berbagai sektor publik. AI digunakan untuk mengolah big data, melakukan analisis prediktif, dan mempercepat proses pelayanan publik, mulai dari sistem kependudukan, dan bantuan sosial. Namun di sisi lain, E-Governance menciptakan kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan, kelas masyarakat, serta memperbesar potensi keterbukaan yang semu (Fadrial et al., 2024). Masuknya AI dalam tata kelola publik menandai pergeseran paradigma dari birokrasi rasional (Weberian) menuju birokrasi algoritmik, sebuah tatanan di mana keputusan publik di otomatisasi berdasarkan model prediktif dan parameter teknis. Jika tidak diimbangi dengan algorithmic transparency, explainability, dan human oversight, maka E-Governance berisiko menjadi instrumen kontrol administratif digital yang memantau perilaku warga tanpa akuntabilitas substantif. Dalam kerangka kontrak sosial, pemanfaatan AI harus ditempatkan dalam prinsip keadilan distributif dan etika partisipatif: bukan untuk menggantikan kebijakan manusia, tetapi untuk memperluas ruang deliberasi publik yang adil dan berbasis bukti. Dengan demikian, kemajuan AI dalam E-Governance tidak boleh dipahami semata sebagai inovasi teknologis, melainkan juga sebagai ujian moral dan politik bagi demokrasi digital Indonesia, mencakup apakah ia akan memperkuat kebebasan warga, atau justru menempatkan warga di bawah bayang-bayang algoritma negara. (Kusumasari et al., 2025). Pemimpin digital ideal harus mampu berpikir antisipatif (think ahead), reflektif (think again), dan lintas disiplin (think across) agar tata kelola digital bersifat adaptif, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan publik. Dengan demikian, E-Governance seharusnya menjadi sarana partisipasi warga dalam menentukan arah kebijakan publik, bukan sekadar mesin administratif digital yang kehilangan rasionalitas etis.
Kritik Filosofis terhadap Mekanisme E-Governance di Indonesia
Kritik filosofis terhadap E-Governance di Indonesia berangkat dari kesadaran bahwa teknologi bukan entitas netral, melainkan sarana yang sarat dengan nilai, kepentingan, dan logika kekuasaan. Dalam praktiknya, transformasi digital pemerintahan seringkali menampilkan wajah modernisasi dan efisiensi, namun dibalik itu tersembunyi logika instrumentalisasi teknologi. Jika dibuat secara tertutup, hal ini menimbulkan defisit demokrasi (Open Government Partnership, 2023). Ketika big data dan kecerdasan buatan digunakan untuk memantau, menilai, dan bahkan memprediksi tindakan masyarakat, maka ruang otonomi individu dapat tereduksi menjadi sekadar variabel dalam sistem pengawasan administratif.
Lebih jauh, sebagaimana dikemukakan Hildebrandt (2016), muncul bahaya “akhir dari hukum” (the ends of law) ketika keputusan publik digantikan oleh rule by algorithm. Proses hukum dan kebijakan yang seharusnya mengandaikan pertimbangan moral, interpretasi, dan dialog publik dapat tergantikan oleh sistem prediktif yang tidak memiliki kapasitas etis. Dalam konteks Indonesia, proyek-proyek digitalisasi seperti INA Digital, sistem face recognition dalam kota cerdas, serta otomatisasi bantuan sosial menunjukkan gejala ambivalen, salah satunya efisiensi meningkat, tetapi mekanisme akuntabilitas dan partisipasi justru melemah. Transparansi digital berubah menjadi simulasi keterbukaan, di mana publik diberi akses pada data permukaan, namun terputus dari logika algoritma yang menentukan keputusan.
Catatan Penutup
E-Governance di Indonesia mencerminkan upaya besar negara untuk merombak wajah birokrasi tradisional menuju tata kelola yang lebih terbuka, efisien, dan inklusif melalui pemanfaatan teknologi digital serta kecerdasan buatan. Transformasi ini menunjukkan semangat modernisasi administrasi publik yang berorientasi pada transparansi dan partisipasi warga. Namun, di balik retorika kemajuan tersebut, tersimpan ketegangan mendasar antara logika teknokratis yang mengutamakan efisiensi dan nilai-nilai demokratis yang menuntut deliberasi, moralitas, serta akuntabilitas substantif. Ketika algoritma dan big data mulai mengambil alih fungsi analisis dan pengambilan keputusan, risiko reduksi nilai kemanusiaan dan hilangnya refleksi etis menjadi semakin nyata. Karena itu, tolok ukur keberhasilan E-Governance seharusnya tidak berhenti pada percepatan pelayanan publik, tetapi juga pada kemampuannya menjaga keadilan sosial, melindungi privasi warga, dan memperkuat ruang partisipasi publik. Dengan berlandaskan prinsip moral, dan keadilan substantif, modernisasi digital dapat berkembang bukan hanya sebagai simbol kemajuan teknologi, tetapi sebagai wujud nyata dari pemerintahan yang transparan, rasional, dan benar-benar demokratis.
Referensi
Fadrial, R., Sujianto, Simanjuntak, H. T. R. F., Wirman, W., Wibowo, W. S. (2024). Fostering Trust through Bytes: Unravelling The Impact of E-Government on Public Trust in Indonesian Local Government.” Interdisciplinary Journal of Information, Knowledge, and Management, Vol.19 (2024). https://doi.org/10.28945/5317.
Heywood, Andrew. (2014). Politik Edisi Keempat. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Hildebrandt, M. (2016). Smart technologies and the end(s) of law. Edward Elgar.
Klijn, E. H., Koppenjan, J. F. M., Spekkink, W., & Warsen, R. (2025). Governance networks in the public sector (2nd ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003402138.
Kumorotomo, W., Ngatikoh, S., dan Retnandari, N. D. (2020). Transparency in Government: A Review on the Failures of Corruption Prevention in Indonesia. Advances in Economics, Business and Management Research, 125, 36–41. Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/aebmr.k.200513.008.
Kusumasari, Bevaola, et.al. (2025). “Emojis in Digital Governance: Empirical Insights from Indonesian Ministries.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.28 Issue 3 (March 2025): 269-296. https://doi.org/10.22146/jsp.96402.
Open Government Partnership. (2023). Indonesia National Action Plan 2023–2024. https://www.opengovpartnership.org/wp-content/uploads/2023/01/Indonesia_Action-Plan_2023-2024_EN.pdf
Open Government Partnership. (2025). Indonesia Results Report 2022–2024. https://www.opengovpartnership.org/documents/indonesia-results-report-2022-2024/o
UK Government. (2024, November 29). Memorandum of understanding between Indonesia’s ESDM and the UK FCDO on critical minerals. https://www.gov.uk/government/publications/critical-minerals-uk-indonesia-memorandum-of-understanding.