Menjaga Budaya, Menjaga Alam Semesta: Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Keberlanjutan Lingkungan

Intensifikasi pembangunan dewasa ini telah mereduksi lingkungan dan memarginalisasi esensi masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang eksistensinya selaras dengan alam membuatnya kian tergerus seiring masifnya deforestasi dan komodifikasi karena pengalihan lahan hijau ke industri ekstraktif maupun berbasis sumber daya alam lainnya. Proliferasi industri ini menambah signifikansi krisis iklim karena kehilangan keseimbangan untuk menampung emisi yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang berlebihan. Padahal, faktanya keberadaan masyarakat lokal atau yang sering kita kenal dengan masyarakat adat justru membantu meminimalisir perubahan iklim yang signifikan (afd.fr, 2023; thegef, 2019). Kehidupan mereka yang selaras dengan alam disinyalir mampu menjaga keberlanjutan lingkungan di masa mendatang. Prinsip sustainability yang mereka jaga dan terapkan tak lain adalah untuk mewariskan alam kepada generasi keturunan mereka di masa  mendatang.

Aktivitas pembangunan yang diterapkan saat ini seringkali mengacu pada dikotomi antara manusia dan alam.  Manusia ditempatkan sebagai puncak tertinggi dari kesatuan ekosistem yang ada bumi, sebab sebagai subjek yang dirasa memiliki akal dan kemampuan mengelola kehidupan. Semakin banyaknya transformasi alam yang berimplikasi pada perubahan iklim menunjukkan bahwa manusia hanya memanfaatkan alam sebatas ladang bagi akumulasi kapital semata. Oleh karena itu, diperlukan etika atau peralihan paradigma untuk melihat dikotomi alam dan manusia sebagai wujud mitigasi perubahan iklim serta mendukung kehidupan yang sustainability. Paradigma ini merupakan kesatuan antara manusia dengan alam tanpa adanya strata dan ketimpangan pada subjek tertentu (Sholihin, 2019). Dengan paradigma ini, tak hanya hanya mampu menjaga keberlanjutan alam dan memitigasi perubahan iklim, tetapi turut menjaga eksistensi masyarakat lokal yang ada. Meskipun di satu sisi keberadaan masyarakat lokal diperlukan sebagai komunitas pelestarian alam, di sisi lain akibat proliferasi industri ekstraktif dan perkebunan membuat jaminan atas eksistensi mereka kian dipertanyakan.

Seiring masifnya transformasi lingkungan untuk aktivitas industri, korelasi reduksi masyarakat lokal dalam hal ini terus terjadi, khususnya dalam konteks lokal dan ekspansi industri perkebunan kelapa sawit. Sebaran ekspansi industri ini sebagai dalang konflik yang menyasar hutan dan Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Masyarakat Suku Awyu dan Suku Moi di Papua, perselisihan Masyarakat Tano Batak dengan perusahaan kertas pulp, bahkan ekspansi perusahaan kelapa sawit telah merusak aset masyarakat adat seperti makam leluhur Masyarakat Suku Mapur di Bangka Belitung. Ekspansi industrialisasi di segala penjuru memaksa mereka tersisihkan dan menyesuaikan perkembangan zaman. Padahal peran mereka telah diakui mampu menjaga kelestarian dan ekosistem kehidupan, yang mana 80% hutan dengan keanekaragaman hayati saat ini berada dalam perlindungan dan naungan masyarakat adat (Rahman, 2022).

Menelusuri Kontribusi Masyarakat Adat dalam Perlindungan Alam

Populasi masyarakat adat memang hanya berkisar 4-5 % dari populasi dunia, namun peran mereka begitu signifikan dalam pelestarian keanekaragaman dunia (Garnett dkk, 2018; Sobrevila, 2008). Pentingnya peran masyarakat adat ini tercermin seperti di Malaysia yang mana mereka memiliki andil dalam perlindungan dan konservasi biodiversitas (Teow & Tang, Sunway University), di Filipina dan di daerah Amazon keanekaragaman hayati bergantung pada pengetahuan dan inovasi dari masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam (thegef.org, 2019; afd.fr, 2023). Di Indonesia juga membuktikan demikian, kehidupan masyarakat adat melalui kearifan lokal di Desa Kemiren Banyuwangi, masyarakat Kampung Dukuh Kabupaten Garut, dan dan masyarakat di Dusun Belanak Bangka Barat yang selaras dengan alam diterapkan dalam penjagaan sumber penghidupan seperti air dan pertanian (Pratama, 2018; Sufia dkk, 2016; Wijanarko, 2013). Peran masyarakat lokal dalam kajian literatur di atas merupakan bukti nyata bahwa keberadaan mereka dalam menjaga alam begitu krusial dan diperlukan.

Sebagai bukti konkret, mengetahui peranan masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan secara lebih jauh akan membantu memperluas dan mempekuat posisi mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Islamy (2023) lalu, memaparkan bahwa masyarakat adat yakni Suku Mapur di Bangka Belitung di samping menjaga dan melindungi lingkungan juga tak terlepas dari berbagai konflik yang berusaha melemahkan posisi mereka seperti ekspansi perkebunan kelapa sawit. Di samping giat ekspansi ini, mereka juga kian memperkuat posisi dengan membentuk komunitas masyarakat berupa Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kini semakin terwujudkan dengan menjadikan daerah mereka sebagai tempat wisata kultural. Hal ini sebagai bentuk penguatan keberadaan mereka di masyarakat, termasuk dengan menyebarluaskan informasi perkembangan mereka dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat Suku Mapur, hutan merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hutan sebagai entitas yang melekat dengan kehidupan mereka memunculkan keterikatan dan rasa memiliki yang perwujudannya mengharuskan mereka menjaga keberadaannya dari generasi ke generasi. Mereka menempatkan keberadaan alam bukanlah sesuatu yang berada di bawah mereka, melainkan sebagai sumber kehidupan dan setara layaknya keluarga manusia lainnya. Posisi ini mengisyaratkan paradigma deep ecology yang tanpa sadar telah diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hutan dan alam telah menyediakan segalanya bagi kelangsungan kehidupan mereka, dengan begitu mereka juga harus melakukan hal yang sama dalam bentuk perawatan dan penjagaan hutan secara turun-temurun dalam berbagai aspek, seperti kegiatan berburu, berkebun, dan segala bentuk pemanfaatan hutan tak terlepas dari kepercayaan yang telah mereka wariskan.

Untuk menjaga kelestarian dan perlindungan hutan sebagai sumber kehidupan, mereka menerapkan berbagai pantangan dan larangan di kala beraktivitas di dalam hutan. Keingintahuan berlebihan di satu sisi memberikan dampak yang positif karena mendorong kita mencari tahu secara lebih apa yang ingin diketahui. Namun, berbeda dengan kepercayaan masyarakat Suku Mapur. Keingintahuan yang berlebihan menurut mereka akan berpotensi membawa pulang barang apapun yang ditemukan di dalam hutan, dan ini sebagai sebuah larangan. Pohon-pohon yang rindang di dalam hutan tak serta merta mereka gunakan seenaknya karena merupakan bagian dari kawasan tempat tinggalnya. Melainkan dengan ketentuan pemanfaatan kayu dari pohon-pohon yang sudah layak untuk ditebang dan tidak digunakan secara berlebihan. Segala jenis binatang boleh diburu asalkan tidak secara liar dan ugal-ugalan, karena akan merusak habitat hewan yang bersangkutan jika diburu secara masif. Pada intinya, semua yang ada di dalam hutan boleh dimanfaatkan, asalkan tidak berlebihan dan melanggar aturan. Larangan yang mereka percayai juga bukan sekedar aturan semata, namun ada sanksi balasan jika terbukti melanggar. Mereka percaya, jika ada yang melanggar aturan yang sudah ditetapkan maka akan mendapat balasan keburukan atas perlakuannya seperti gagal panen, terkena penyakit, hingga tertimpa musibah.

Keberadaan masyarakat adat yang mendorong perubahan paradigma dalam berinteraksi dengan lingkungan hendaknya menjadi pelajaran bagi kita di masa kini. Perannya yang krusial dalam keberlanjutan lingkungan menunjukkan paradoks pada realita di lapangan yang semakin menyisihkan mereka. Oleh karena itu, masyarakat Suku Mapur sangat antusias mendukung terbentuknya Masyarakat Hukum Adat (MHA), hal ini karena akan memperkuat penjagaan dan pelestarian hutan adat maupun budaya mereka. Dengan adanya MHA ini diharapkan dapat memperkuat posisi masyarakat adat di mata masyarakat dan bisa lebih optimal menerapkan pengetahuan dan kearifan lokal sembari melindungi dan memanfaatkan hutan. Pada 2023 lalu, mahasiswa Universitas Bangka Belitung juga turut melakukan pemetaan partisipatif untuk membantu posisi sebaran hutan adat di wilayah mereka (fisip.ubb.ac.id, 12/11/23). Pemetaan ini sebagai langkah bagi masyarakat adat untuk mengklaim hak-hak mereka, termasuk dengan melibatkan berbagai aktor untuk memperkuat hal tersebut, salah satunya lembaga mahasiswa. Kedepannya, masyarakat adat tak hanya diharapkan bisa mendapatkan hak-hak atas wilayah mereka semata, melainkan turut menjalankan aktivitas mereka secara leluasa dan berkontribusi bagi penjagaan alam semesta untuk generasi mendatang.

Referensi

Afd.fr. (2024). Protecting Biodiversity: The Key Role of Indigenous Communities Diakses di https://www.afd.fr/en/actualites/protecting-biodiversity-key-role-indigenous-communities yang pada 25 Agustus 2024

Al-Islamy, M. H. (2023). Peranan Masyarakat Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Adat di Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka. Skripsi. Universitas Sriwijaya

Fisip.ubb.ac.id. (2023). Mengabdi Pada Suku Mapur, DPM FISIP UBB Lolos Abdidaya Ormawa 2023 di UNEJ. Artikel Opini pada 13 November 2023 dari https://fisip.ubb.ac.id/berita/2023/11/13/171/mengabdi-pada-suku-mapur-dpm-fisip-ubb-lolos-abdidaya-ormawa-2023-di-unej yang diakses pada 17 September 2024

Garnett, S. T., Burgess, N. D., Fa, J. E., Fernández-Llamazares, Á., Molnár, Z., Robinson, C. J., … & Leiper, I. (2018). A spatial overview of the global importance of Indigenous lands for conservation. Nature Sustainability, 1(7), 369-374.

Pratama, W. (2018). Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Adat (Studi Pada Hutan Adat Dusun Belanak, Desa Air Menduyung, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat). Bangka: Universitas Bangka Belitung.

Rahman, F. (2022). Peranan Masyarakat Adat dalam Konservasi Lingkungan. Diakses di https://pslh.ugm.ac.id/peranan-masyarakat-adat-dalam-konservasi-lingkungan/ pada 20 Agustus 2024

Sholihin, E. B. (2019). Kontestasi Wacana Lingkungan dan Gerakan Perlawanan Offshore Tin Mining di Belitung Timur. Universitas Gadjah Mada. Tesis

Sobrevila, C. (2008). The Role of Indigenous Peoples in Biodiversity Conservation The Natural but Often Forgotten Partners. The World Bank

Sufia, R,. Sumarmi,. Amirudin, A. (2016). Kearifan Lokal dalam Melestarikan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Adat Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Pendidikan. Vol. 1 No. 4

Teow,. H,. H. & Tang, S. Roles of Malaysian indigenous communities in biodiversity conservation: A case study approach. Sunway University

Thegef.org. (2019). Indigenous peoples in the Philippines leading conservation efforts Diakses di https://www.thegef.org/newsroom/feature-stories/indigenous-peoples-philippines-leading-conservation-efforts pada 25 Agustus 2024

Wijanarko, B. (2013). Pewarisan Nilai-Nilai Kearifan Tradisional dalam Masyarakat Adat (Peranan Kepala Adat dalam Mewariskan aturan Adat di Kampung Adat Dukuh Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat). Jurnal Pendidikan Geografi. Vol. 13 No. 2

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.