Universitas Gadjah Mada
  • Article
    • Perubahan Iklim
    • Revolusi Digital
    • Pandemi
    • Brief Article
  • E-Book
  • Siniar
  • Video
  • Agenda
  • Berkontribusi
  • Tentang Megashift
  • Beranda
  • brief article
  • Transisi Energi dari Ladang: Agrivoltaics Bertemu Agroforestri

Transisi Energi dari Ladang: Agrivoltaics Bertemu Agroforestri

  • brief article
  • 13 August 2025, 11.34
  • Oleh: fisipol
  • 0

Bagaimana jika satu hektare tanah bisa menumbuhkan pangan, menghasilkan listrik, dan sekaligus menyelamatkan bumi?

Imajinasikan sebuah lahan pertanian yang ada di pedesaan terpasang panel surya yang diintegrasikan dengan pepohonan dan jahe, cabai, terong, atau bahkan kopi. Sinar matahari umumnya digunakan secara terpisah untuk pertanian dan panel surya, kini dapat digunakan secara bersamaan dalam satu sistem yang disebut agrivoltaics. Konsep ini bukan utopis, tapi merupakan solusi canggih yang mulai diuji dan diterapkan di berbagai negara.

Agrivoltaics merupakan pendekatan penggunaan lahan di mana panel surya dan sistem pertanian berada di unit pengelolaan lahan yang sama. Sistem ini diharapkan dapat menjawab dua tantangan sekaligus dalam satu lahan, yaitu kebutuhan energi terbarukan dan keberlanjutan produksi pangan. Namun, ada satu tantangan besar untuk menerapkannya secara efektif: bagaimana memprediksi hasil panen dan produksi listrik sebelum sistem ini dibangun? Panel surya bisa menghasilkan listrik, tapi ia memberikan naungan langsung ke tanaman yang dapat mempengaruhi fotosintesis, kelembaban tanah, iklim mikro, distribusi air hujan, dan sirkulasi angin. Dengan kata lain, agrivoltaics membuat mikroklimat baru dalam sistem pertanian. Hal ini bisa berdampak positif maupun negatif, tergantung bagaimana ia dirancang dan jenis tanaman apa yang akan dibudidayakan.

Sebuah studi dari Zainali dkk. (2025) memberikan informasi bahwa kunci utama dari keberhasilan agrivoltaics adalah simulasi dan optimalisasi desain sejak awal. Sebelum memasang satu panel surya, para insinyur dan ahli agronomi perlu membuat model yang menggambarkan interaksi kompleks dari bayangan, kelembaban, panas, hasil panen, dan efisiensi energi. Sayangnya, pembuatan model dari sektor pertanian dan energi masih sangat bervariasi dan tanpa standar baku. Hal ini berakibat pada sulitnya memilih model yang akurat dan efisien.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia mulai mengembangkan proyek agrivoltaics sejak tahun 2024. Alatas (2024) dalam ANTARA News melaporkan bahwa proyek ini diresmikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Rachmat Pambudy, sebagai hasil kolaborasi antara Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Korea Energy Agency, Korea East-West Power, ENVELOPS Korea, dan KLES Korea.

Sebagai negara tropis, Indonesia sangat potensial untuk penerapan agrivoltaics karena memiliki intensitas cahaya matahari yang tinggi sepanjang tahun. Di sisi lain, tekanan terhadap lahan pertanian makin meningkat: laju alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan perumahan semakin cepat (Arief, 2024). Jika tak ada solusi integratif, konflik antarsektor pangan, air, dan energi akan makin tajam.

Di sinilah agrivoltaics bisa bersanding dengan agroforestri.

Agroforestri telah lama dikembangkan petani Nusantara dalam mengelola lahan secara berkelanjutan. Paduan antara unsur pohon, tanaman pangan, dan/atau ternak dalam satu unit pengelolaan lahan dapat meningkatkan keragaman pangan, memperkuat ketahanan ekonomi, menjaga ketersediaan air, dan menjaga kesuburan tanah. Kedepannya, agroforestri dapat digabungkan dengan panel surya, sehingga dapat memperkuat peran agroforestri sebagai pemasok energi terbarukan. Hal ini akan menjadi paradigma baru dalam pertanian di indonesia.

Jika petani dalam sistem agroforestri juga memasang panel surya, ia tidak hanya bisa memasok listrik ke rumah dan sumur irigasi, tapi juga memberi naungan parsial untuk tanaman yang justru tumbuh lebih baik dalam kondisi teduh—seperti kopi dan kakao. Panel surya tersebut bisa diatur sudut dan ketinggiannya agar tidak mengganggu produktivitas, sehingga bisa menciptakan iklim mikro yang mengurangi stres panas dan penguapan air.

Daerah yang kekurangan air seperti Nusa Tenggara atau pesisir selatan Jawa, perkawinan agrivoltaics dan agroforestri dapat menghemat air irigasi sekaligus membuka akses listrik bersih untuk desa. Untuk daerah rawan bencana, sistem ini bisa menciptakan lanskap tangguh untuk mitigasi perubahan iklim.

Namun, transformasi ini tidak hanya soal teknologi. Ada dimensi politik dan tata kelola yang tak boleh diabaikan.

Selama ini, tata kelola keberlanjutan di sektor pertanian sering kali bergantung pada model sertifikasi global. Standar keberlanjutan ditentukan dari luar, dan seringkali justru menyisihkan petani kecil dari rantai nilai. Studi oleh Macdonald dkk. (2024) menyoroti bahwa tata kelola keberlanjutan global sering menjadi ajang kompetisi antar lembaga, di mana tekanan terhadap sistem verifikasi kepatuhan justru memperdalam kesenjangan antara aktor global dan lokal. Transformasi institusional pun tidak selalu membawa keadilan distribusi; justru bisa memunculkan bentuk-bentuk fragmentasi baru dalam kebijakan.

Untuk itu, implementasi sistem agrivoltaics dan agroforestri di Indonesia tidak copy-paste dari Eropa atau Amerika. Perlu pendekatan holistik dari sisi teknologi, budaya, maupun regulasi. Misalnya, standar pemodelan dan simulasi yang dikembangkan di negara subtropis harus disesuaikan dengan kondisi tropis, kelembaban tinggi, dan pola curah hujan yang unik. Di sinilah peran penting peneliti dalam menciptakan model sesuai dengan kondisi Indonesia. Dengan demikian, pemodelan ini dapat membantu merancang sistem yang efisien dan adaptif.

Pemerintah juga perlu mengambil peran aktif, bukan hanya dengan insentif energi terbarukan, tetapi dengan kebijakan yang mendorong integrasi lintas sektor: pertanian, kehutanan, energi, dan riset. Program perhutanan sosial bisa menjadi lahan percobaan yang ideal untuk integrasi agrivoltaics dan agroforestri. Petani tidak hanya sekadar menanam pohon, tetapi juga dapat mengelola energi dengan teknologi modern.

Lebih penting lagi, pembangunan ekonomi energi rakyat perlu dilakukan. Jangan sampai teknologi ini hanya dimonopoli oleh korporasi. Petani harus menjadi aktor utama, bukan buruh teknologi. Kelembagan petani, pelatihan teknis, dan skema pembiayaan mikro adalah elemen penting dari transisi ini.

Agrivoltaics tidak sekadar soal memasang panel surya di ladang. Ia adalah simbol masa depan: ketika kita bisa menumbuhkan pangan, menghasilkan energi, dan menyelamatkan bumi dalam satu hamparan tanah. Jika sistem ini dipadukan dengan agroforestri, Indonesia tidak hanya menciptakan sistem yang produktif dan efisien, tapi juga adil dan berdaulat.

Pertanyaannya tinggal satu: maukah kita bergerak bersama, atau terus menunggu sampai krisis memaksa?

Referensi

Alatas, M. B. I. (2024, Juni 6). Kepala Bappenas resmikan proyek agrivoltaic. ANTARA News. https://www.antaranews.com/berita/4505021/kepala-bappenas-resmikan-proyek-agrivoltaic

Arief, A. M. (2024, Maret 27). Zulhas perluas sawah dilindungi di 20 provinsi untuk tekan alih fungsi lahan. Katadata. https://katadata.co.id/berita/industri/67d918db247ef/zulhas-perluas-sawah-dilindungi-di-20-provinsi-untuk-tekan-alih-fungsi-lahan

Macdonald, K., Bahruddin, Hartoto, A. S., Unger, C., Cisneros, P., Pugley, D. D., Salazar, D. H., Winanti, P. S., & Kurniawan, N. I. (2024). The politics of accountability in global sustainable commodity governance: Dilemmas of institutional competition and convergence. Global Policy, 15(5), 838-854.

Zainali, S., Ma Lu, S., Fernández-Solas, Á., Cruz-Escabias, A., Fernández, E. F., Zidane, T. E. K., Honningdalsnes, E. H., Nygård, M. M., Leloux, J., Berwind, M., Trommsdorff, M., Amaducci, S., Gorjian, S., & Campana, P. E. (2025). Modelling, simulation, and optimisation of agrivoltaic systems: a comprehensive review. Applied Energy, 386, 125558.

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2025/08/Megashift__08-02-1.pdf “].
Tags: Fikri Danang Himawan Wigke Capri

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Universitas Gadjah Mada

© Universitas Gajah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY