Bahasa, Kekuasaan, dan Norma: Di Antara Triple Disruption dan Perebutan Makna
Indonesia berada dalam pusaran Triple Disruption mencakup disrupsi teknologi, ekologi, dan sosial-politik. Ketiga guncangan ini bukan hanya mengguncang fondasi ekonomi dan lingkungan, tetapi juga memaksa kita mempertanyakan ulang tatanan kekuasaan dan cara kita memahami makna, hukum, dan hidup bernegara. Dalam pusaran ini, bahasa menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi. Ia berubah menjadi arena politik, senjata ideologis, dan alat legitimasi. Bahasa menjadi pengatur makna yang menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang dikecualikan dari wacana publik. Manusia tidak dapat dilepaskan dari dimensi kebahasaan (Gadamer, 1985). Seperti yang diungkapkan Gadamer, hubungan manusia dengan dunia terjadi lewat bahasa. Dalam pusaran Triple Disruption ini, penting untuk memahami bagaimana bahasa bekerja sebagai instrumen kekuasaan dalam konteks disrupsi teknologi, ekologi, dan sosial-politik.
Disrupsi Teknologi dan Perubahan Struktur Kekuasaan
Dalam konteks Indonesia, kekuasaan linguistik ini sangat tampak dalam berbagai praktik politik. Istilah seperti “radikalisme”, “netralitas ASN”, “ekonomi hijau”, hingga “moderasi beragama” tidak netral. Mereka adalah bentuk framing, bahasa yang diselubungi otoritas. Bahkan dalam hukum pun, makna diproduksi, dikunci, dan diperebutkan Dalam negara demokrasi yang sedang berjuang memperkuat institusi dan masyarakat sipil, bahasa menjadi sarana kekuasaan untuk menciptakan legitimasi atau ilusi konsensus. Bahasa menjadi medan di mana makna diperebutkan antara mereka yang ingin mempertahankan status quo dan mereka yang menuntut perubahan. Dalam kerangka ini, pertanyaan tentang relasi antara perilaku nyata (tindakan) dan perilaku normatif (kehendak) menjadi krusial. Apakah norma hanya rumusan yang memandu tindakan? Atau apakah norma juga merepresentasikan makna etis yang berasal dari pengalaman hidup manusia? Jika norma hanya dianggap sebagai produk sistem bahasa normatif, maka hukum berisiko terjebak dalam positivisme sempit yang menafikan kenyataan sosial, budaya, dan moral (Manullang, 2023). Disrupsi teknologi semakin memperumit persoalan ini. Di era algoritma, makna tidak hanya dikonstruksi oleh hukum atau institusi formal, tetapi juga oleh mesin dan oleh platform digital, oleh sistem penyaring informasi yang dikendalikan oleh logika kapitalisme data. Realitas politik kita kini dibentuk oleh viralitas, bukan oleh validitas. Istilah seperti “buzzer”, “influencer”, dan “cancel culture” mencerminkan bagaimana makna diproduksi dan dikonsumsi dalam arus cepat tanpa ruang kritis.
Disrupsi Ekologi dan Politik Bahasa Pembangunan
Krisis ekologi di Indonesia bukan hanya soal kerusakan lingkungan, tapi juga soal bagaimana kita membahas dan memahami peristiwa itu. Pemerintah dan korporasi sering memakai istilah seperti “transisi energi hijau”, “ekonomi sirkular”, atau “pembangunan berkelanjutan” untuk memoles proyek-proyek yang terdengar progresif dan ramah lingkungan. Namun, di balik kata-kata itu, realitasnya sering kali bertolak belakang. Lahan masyarakat adat digusur atas nama “energi bersih”. Hutan tropis dibabat untuk tambang nikel demi mobil listrik. Sungai-sungai tercemar, dan warga kehilangan tempat tinggal. Semua dilakukan dengan dalih “kemajuan” dan janji “masa depan berkelanjutan”.
Fenomena ini adalah ironi linguistik, bahasa digunakan bukan untuk menerangi kenyataan, tapi menutupinya. Istilah seperti “pengembangan wilayah” atau “investasi” bisa membuat penggusuran terdengar seperti berkah, padahal itu menyakitkan. Dalam konteks ini, bahasa pembangunan berfungsi sebagai topeng kekuasaan. Istilah teknokratis digunakan untuk meredam konflik dan menyamarkan ketimpangan. Yang diuntungkan? Biasanya elitpolitik dan ekonomi. Sementara masyarakat lokal jarang diajak bicara dan sering dianggap menghambat proyek jika menolak. Karena itu, penting untuk membongkar makna-makna yang dipakai dalam wacana pembangunan. Pembangunan untuk siapa? Apa arti “berkelanjutan” jika masyarakat disingkirkan? Apakah cukup adil hanya karena diberi label “hijau”? Krisis ekologi menuntut kita tidak hanya mengubah teknologi, tetapi juga cara kita berpikir dan berbicara. Kita butuh bahasa yang jujur dan yang membuka ruang dialog antara negara, masyarakat, dan alam, bukan sekadar menjadi alat legitimasi kekuasaan. Karena seindah apa pun istilah yang dipakai, pembangunan yang menyingkirkan rakyat dan merusak alam tetaplah bentuk ketidakadilan.
Disrupsi Sosial-Politik: Fragmentasi dan Resistensi Bahasa
Lalu disrupsi sosial-politik memperjelas bagaimana bahasa dipakai untuk mengontrol atau melawan. Di satu sisi, penguasa menggunakan bahasa untuk membakukan makna, menyederhanakan realitas kompleks menjadi slogan yang mudah dikendalikan. Di sisi lain, komunitas akar rumput menggunakan bahasa untuk meresistensi, menciptakan narasi tandingan: “kedaulatan pangan”, “ekofeminisme”, “keadilan transisional”kosakata yang menandai perjuangan akan hak dan pengakuan. Atas kondisi itu, hukum tidak bisa hanya dilihat sebagai sekumpulan teks atau rumusan normatif. Ia adalah medan makna yang selalu bergerak, terbentuk dari interaksi antara bahasa, kekuasaan, dan pengalaman sosial (Chomsky, 1988). Makna hukum tidak hanya berada di dalam pasal-pasal, tapi juga lahir dari dialog antara teks dan kenyataan. Bahasa manusia selalu ambigu, ia bisa mengungkap, tapi juga bisa menyembunyikan (Gadamer, 1985). Maka, hukum sebagai bahasa juga rentan disalahgunakan jika tidak dikritisi secara terus-menerus. Transformasi kekuasaan hari ini bukan hanya tentang siapa yang memegang jabatan atau sumber daya, tapi siapa yang mengendalikan narasi. Dalam jaringan sosial yang kian horizontal, bahasa menjadi simpul kekuasaan yang menentukan arah transformasi (Winanti dan Mas’udi, 2023). Maka pertarungan politik ke depan adalah pertarungan memperebutkan definisi-definisi: tentang keadilan, tentang rakyat, tentang hukum itu sendiri
Merebut Kembali Bahasa sebagai Ruang Publik
Bahasa bukan milik elitIa adalah milik bersama. Bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi netral, melainkan arena politik yang penuh dengan perebutan makna. Sebagaimana disampaikan oleh Winanti dan Mas’udi (2023), dalam konteks Triple Disruption di Indonesia, bahasa menjadi medium utama untuk memaknai ulang relasi kekuasaan, hukum, dan kehidupan sosial. Bahasa tidak berdiri sendiri, ia bekerja bersama norma dan kekuasaan, membentuk cara kita memahami dunia dan siapa yang berhak bicara di ruang publik. Di tengah arus disrupsi ini, yang kita butuhkan adalah bahasa yang membuka ruang dialog, bukan sekadar jadi alat framing untuk kepentingan kekuasaan sempit. Perebutan makna lewat bahasa adalah medan pertarungan politik yang menentukan arah masa depan demokrasi kita (Winanti dan Mas’udi, 2023).
Referensi
Chomsky, N. (1988). Language and Problem of Knowledge: the Managua Lectures. Cambridge, MA: MIT Press.
Craid, M. N. (Ed.). (2007). Language, Power, and Identity Politics. New York: Palgrave Macmillan.
Gadamer, Hans Georg. (1985). Truth and Method. New York: Cross Road.
Manullang, E. F. M. (2023). Norma Hanyalah Makna, Grundnorm Malah Seperti Tuhan. Klaten: Nasmedia.
Thomas, L., et al. (2004). Language, Society, and Power: Introduction (2nd ed.). London and New York: Routledge Publishing.
Winanti, Poppy. S., dan Mas’udi, Wawan. (Eds.). (2023). Ilmu Sosial Politik Masa Depan: Menjawab Megashift? Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical Investigations. Oxford: Basil Blackwell & Mott.
.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!