Pendanaan Iklim Berbasis Utang: Agenda ‘Jebakan’ si Neoliberal
Ketika negara berkembang dipaksa meminjam uang untuk menyelamatkan planet yang rusak, coba pikir kembali: bantuan atau jebakan?
Bumi sedang terbakar! Pertanggungjawaban terhadap krisis iklim menjadi bahasan pokok dalam Conference of the Parties (COP) untuk salah satunya membicarakan skema pendanaan iklim. Pada awalnya, skema pendanaan ini ditujukan untuk untuk membantu berbagai program adaptasi dan mitigasi iklim di negara-negara berkembang melalui skema utang luar negeri (OECD, 2010). Kendati demikian, skema pendanaan iklim berbasis utang justru mengekspresikan logika neoliberal yang mengalihkan kekuasaan kepada para pelaku pasar, juga menciptakan kondisi yang sangat merugikan negara berkembang untuk semakin terpuruk dalam krisis ekonomi, alih-alih beradaptasi dengan cepat dalam menghadapi krisis iklim (Bracking & Leffel, 2021). Dengan berkaca pada hegemoni yang didefinisikan oleh Gramsci, tulisan ini dipandu oleh 1 (satu) pertanyaan: bagaimana pendanaan iklim berbasis utang merupakan instrumen hegemonisasi neoliberal dalam tatanan global?
David Harvey (2005) menjelaskan bahwa neoliberalisme merupakan sebuah skema politik yang merefleksikan perlawanan terhadap intervensi negara dan sentralisasi ekonomi. Oleh karena itu, neoliberalisme tidak jauh dari pemahaman yang menempatkan pasar di atas segalanya. Di sisi lain, Harvey (2005) juga menjelaskan bahwa melalui liberalisasi perdagangan yang membatasi hambatan; deregulasi pemerintah di ranah ekonomi; dan privatisasi perusahaan, masalah paling mendasar dari neoliberalisme adalah eksploitasi aset dari negara-negara ‘terbelakang’ ke negara-negara kaya.
Sedangkan pendanaan iklim, merujuk pada aliran dana yang diperuntukkan mendukung mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim terutama kepada negara-negara berkembang dengan kemampuan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang rendah. Hal ini diakui dalam kerangka United Nations Framework Convention on Climate Change dengan target mobilisasi dana sebesar USD 100 miliar setiap tahunnya (Imelda, 2023). Namun, sebagian besar dari pendanaan iklim yang berjalan, justru disalurkan dalam bentuk pinjaman atau skema investasi yang menuntut profitabilitas (Ciplet et al., 2015). IMF, misalnya, mempromosikan ‘green finance’ berbasis pinjaman yang disertai dengan preskripsi untuk mendorong liberalisasi sektor energi (Sward & Lannou, 2024; Lohmann, 2010; Huber, 2013). Di sisi lain, Oxfam–lembaga non-pemerintah asal Inggris–pada 2022 mencatat bahwa setidaknya skema utang luar negeri melalui pinjaman menutup sekitar 70% dari total pendanaan iklim global (Oxfam, 2022).
Praktik ini menunjukkan bahwa pendanaan iklim dijalankan dalam logika neoliberalisme, dimana pasar menjadi solusi dari segala hal, termasuk krisis iklim. Pendanaan iklim berbasis utang dikemas sebagai instrumen keuangan untuk menghasilkan profit bagi segelintir entitas, bukan lagi sebuah bantuan, apalagi solidaritas global. Perluasan prinsip pasar ke dalam konteks iklim merefleksikan penanggulangan krisis iklim yang ditransformasikan menjadi peluang akumulasi modal (Bracking & Leffel, 2021). Bukannya membantu, pendanaan iklim berbasis utang menciptakan sebuah kondisi yang mencelakakan negara berkembang, membuatnya justru jatuh dalam krisis utang. Alayza et al (2023) menunjukkan bahwa pendanaan iklim berbasis utang sudah cukup memperparah krisis utang di negara berkembang, dimana pada tahun 2022 negara-negara berkembang membayar utang sebesar USD 443,5 miliar, sedangkan besar pendanaan iklim yang disepakati oleh negara-negara maju hanya USD 300 miliar.
Pendanaan iklim berbasis utang akhirnya muncul seperti jebakan untuk tenggelam dalam tumpukan utang bagi negara-negara berkembang. Lantas, mengapa negara-negara berkembang ikut mengajukan pendanaan iklim berbasis utang ini? Hegemoni, menurut Antonio Gramsci (1971) merupakan bentuk kekuasaan yang dibangun berdasarkan pola pikir dominan (prevailing consciousness)yang diinternalisasi dan diterima oleh masyarakat umum sebagai common sense (Grundy, 2012). Dalam konteks pendanaan iklim, logika neoliberal telah secara dominan membentuk pola pikir masyarakat luas bahwa mekanisme pasar dengan pendanaan iklim berbasis utang merupakan solusi yang rasional.
Tentu, common sense bahwa pendanaan iklim berbasis utang bukanlah konsensus yang netral. Hal itu justru menjadi jebakan struktural, dengan membebani negara berkembang dalam tumpukan utang. Logika mekanisme pasar melalui ‘pendanaan berbasis utang sebagai solusi logis dari krisis iklim’ merupakan instrumen dominasi negara-negara elit global, sembari memastikan negara-negara berkembang tetap tergantung pada utang yang semakin melilitnya.
Meski begitu, bukan berarti hegemoni neoliberal tidak bisa dilawan. Gramsci (1971) menjelaskan ketika common sense tidak lagi bisa diintegrasikan dalam masyarakat, maka hegemoninya akan retak. Begitu juga menurut Hapsari (2023) yang menekankan bahwa tata kelola lingkungan yang adil perlu dibangun dengan ko-produksi pengetahuan oleh komunitas lokal. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dari logika neoliberal yang melihat krisis iklim sebagai perkara kelola finansial. Melalui pendekatan yang mengakar pada keberlanjutan ekologi dan solidaritas sosial–nilai-nilai yang tersisih dari skema pendanaan iklim berbasis utang, tumbuh benih untuk mendobrak dominasi ideologis neoliberal menuju climate resilience yang dimimpikan.
Referensi
Agus, N. (2023). ANALISIS KRITIS AGENDA UTANG NEOLIBERAL DALAM PENDANAAN IKLIM: Studi Kasus Indonesia – Repository UPN Veteran Jakarta [Thesis].
Alayza, N., Laxton, V., & Neunuebel, C. (2023). Developing Countries Won’t Beat the Climate Crisis Without Tackling Rising Debt. World Resources Institute.
Boer, B. (2024). Global South debt cancellation as a means to address climate breakdown: An exploration of possible pathways [Thesis]. In Research portal Eindhoven University of Technology.
Bracking, S., & Leffel, B. (2021). Climate finance governance: Fit for purpose? WIREs Climate Change, 12(4).
Ciplet, D., Roberts, J. T., & Khan, M. R. (2015). Power in a Warming World. The MIT Press.
Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks. International Publishers.
Grundy, C. (2012, June 8). What Is the Difference Between a Realist and a Gramscian Understanding of Hegemony? E-International Relations.
Hapsari, M. (2023). Environmental Governance as Knowledge Co-production: The Emergence of Permaculture Movements in Indonesia. Environment & Policy, 61, 205–220.
Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.
Huber, M. T. (2013). Lifeblood: Oil, freedom, and the forces of capital. University of Minnesota Press.
Imelda, H. (2023, January 3). Negosiasi Pendanaan Iklim UNFCCC: Membedakan Mobilisasi USD 100 Miliar, LTF vs NCQG – irid.or.id. Irid.or.id – Just Another WordPress Site.
Lohmann, L. (2010). Uncertainty Markets and Carbon Markets: Variations on Polanyian Themes. New Political Economy, 15(2), 225–254.
OECD. (2010). Closing the Gap on Climate Finance. Retrieved from Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
Parthasarathy, D. (2022, November 20). Landmark decision at COP27 to set up Loss and Damage Fund. Climate Action Network. Sward, J., & Lannou, L.-A. L. (2024). Year one of World Bank Paris Agreement alignment in the energy sector: “green conditionality” dwarfs green investments. Bretton Woods Project
.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!