Memahami Terorisme Melalui Perspektif Retorika: Praktik Fourth-Generation Warfare
Saat ini, media digital telah memfasilitasi kebutuhan kontemporer masyarakat global. Kita harus mengatakan bahwa media digital telah memberikan kemudahan dalam mengakses informasi dan berkomunikasi. Namun, media digital juga menimbulkan resiko baru terkait penggunaannya oleh kelompok teroris guna mendiseminasikan ideologi dan merekrut anggota. Fakta memperlihatkan remaja di negara eropa dan asia yang banyak menghabiskan waktu di dunia virtual lebih mudah teradikalisasi dan bergabung ke dalam kelompok teroris (Bastug, et al, 2018 & Nuraniyah, 2018). Perkembangan jaringan teroris semakin luas sejak pandemi COVID-19, sebab masyarakat global banyak menghabiskan waktu di dunia virtual (Basit, 2020). Paparan digital ini dilihat kelompok teroris sebagai peluang untuk mengintensifkan pesan persuasi guna meradikalisasi dan merekrut anggota baru. Oleh sebab itu, tulisan ini menjelaskan bagaimana kelompok teroris menggunakan media digital untuk memperluas jaringannya.
Cyber-terrorism
Perkembangan teknologi yang semakin maju dari tahun 2000 telah merevolusi terorisme dengan menggunakan media digital seperti media sosial, website, dan platform gim untuk memperluas jangkauan mereka dan merekrut individu-individu yang rentan (Basit, 2020). Teknologi tersebut telah dieksploitasi oleh kelompok teroris sehingga menciptakan ancaman baru atau yang disebut sebagai dark web (Doai, 2015). Pertama, media digital memungkinkan kelompok teroris dapat memproduksi, memodifikasi dan mendiseminasikan informasi yang menyimpang dan berbahaya secara anonim sehingga mengurangi deteksi penegakan hukum. Kedua, kelompok teroris dapat meradikalisasi secara simultan dengan cara berinteraksi online dan memaparkan berbagai konten kekerasan, sebagai metode yang dianggap benar untuk menyelesaikan konflik sosial dan politik. Masyarakat yang terus-menerus mengonsumsi konten kekerasan akan melahirkan persepsi pada diri mereka. Bastug et al (2018) mengatakan individu yang teradikalisasi akan menentang sudut pandang alternatif, namun terus-menerus mengejar informasi yang menegaskan keyakinannya. Di sisi lain, fitur media digital yang dapat menyeleksi informasi berdasarkan minat dan kesukaan berpotensi mencegah penggunanya terpapar informasi, yang bertentangan dengan keyakinan atau disebut sebagai filter bubble (Parises, 2011).
Selama pandemi COVID-19 penggunaan jaringan internet di dunia meningkat antara 50 hingga 70 persen (Basit, 2020). Paparan digital tersebut memberikan peluang kelompok teroris untuk memperluas jaringannya dengan meradikalisasi dan merekrut anggota yang berumur dibawah 30 tahun (Avis, 2020), karena mereka menjadi kelompok sosial yang paling banyak menghabiskan waktu di dunia digital khususnya platform gim (Basit, 2020). United Nation Counter-Terrorism Committee Executive Directorate (UN-CTED, 2021) menunjukkan bahwa anak remaja mudah terpapar radikalisme karena minim pengawasan orang dewasa. Sementara itu, Nuraniyah (2018) mengatakan masalah sosial, seperti pengangguran, kemiskinan, kerawanan pangan, disfungsional keluarga, dan diskriminasi menjadi pintu masuk radikalisasi (Nuraniyah, 2018). Jika dilihat dari perspektif retorika, model komunikasi yang dilakukan kelompok teroris untuk mendistribusikan pesan melalui media diterjemahkan oleh khalayak dengan metode yang berbeda bergantung pada relasi antara pengirim dengan khalayak, hubungan sosial mereka, faktor pribadi, dan lingkungan khalayak (Hall, 1993).
Fourth-generation warfare (4GW)
Sekarang, kelompok teroris berperang dengan memanipulasi media baru untuk mengubah opini dunia. Pada prinsipnya, taktik perang dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) lebih berfokus kepada non-nasional atau transnasional (ideologi atau agama), dan operasi psikologis daripada peperangan secara fisik (Phelan, 2011; Benbow, 2008; Lele, 2005). Menurut Lind et al (1989) operasi psikologis bisa menjadi senjata operasional dan strategis yang dominan dalam bentuk intervensi media. Mereka (teroris) yang bertarung telah mahir memanipulasi media untuk mengubah opini di dalam negeri dan dunia untuk meningkatkan dukungan. Jika dilihat dari perspektif ilmu komunikasi, tindakan kelompok teroris didefinisikan sebagai perilaku organisasi yang mengeksploitasi dunia maya untuk memaksimalkan publisitas agar memengaruhi khalayak guna mencapai tujuan politiknya (Rothenberger, 2015). Oleh sebab itu, kelompok teroris sangat bergantung pada teknologi komunikasi dan informasi (TIK) sebagai alat persuasi, sementara TIK memberikan peluang teroris untuk mencapai tujuan psikologis seperti mempromosikan cita-cita, mendapatkan dukungan, merekrut dan memotivasi simpatisan dan melakukan pelatihan (Phelan, 2011; Benbow,2008).
Contoh 4GW
Taktik perang psikologis yang digunakan oleh kelompok teroris di media digital sangat beragam. Mereka seringkali menampilkan visualisasi kekerasan sebagai perilaku heroik di media digital untuk publisitas (Rothenberg, 2015). Tetapi, instrumen koersif tersebut dinilai tidak signifikan sehingga ISIS mengubahnya dengan persuasi yang lebih halus dengan menunjukkan kerentanan pemerintah, menggunakan simbol agama, dan mendistribusikan pernyataan palsu (Schmid & de Graaf, 1982; Gerrits, 1992). Contohnya, ISIS menggunakan social media communication seperti Facebook, Twitter, Telegram dan Youtube untuk mempromosikan wacana legitimasi mereka di tingkat global. Diestimasi ada sekitar 46.000 akun ISIS di Twitter di tahun 2014, sementara pada tahun 2018 ada 11.000 konten Youtube yang mendukung kelompok ISIS (KhosraviNik & Amer, 2020). Konten ISIS tersebut telah berhasil menarik banyak anggota dari berbagai negara. Faktor lain yang membuat komunikasi ISIS efektif adalah pendekatan aspek kultural dengan memakai bahasa yang berbeda pada konten media digitalnya dan menjanjikan kepuasan pada anggotanya (Pashentsev & Bazarkina, 2021). Baqiyah United dan Penjaga Dien adalah contoh kelompok virtual yang dibentuk ISIS guna memfasilitasi kebutuhan simpatisan mereka (Nuraniyah 2018).

Most Common Language used by ISIS (Pashentsev & Bazarkina, 2021)
Contoh lain, seperti kelompok Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia, Irish Republican Army, Red Army Faction dan Liberation Tigers of Tamil Eelam yang menggunakan media sosial untuk mempromosikan aktivitas mereka (Rothenberg, 2015). Banyak simpatisan dari kelompok teroris yang membuat situs pribadi, dan platform gim guna memperluas jaringannya. Contohnya, situs Dabiq Journal Download, jihadology.net dan clarionproject.org yang dibuat oleh kelompok ISIS (Pashentsev & Bazarkina, 2021). Terdapat simpatisan ISIS yang berasal dari Indonesia yang juga membuat situs pribadi, seperti “Perjalanan Hijrah Ummu Sabrina” yang memotivasi banyak simpatisan wanita dan laki-laki. Para anggota kelompok teroris biasanya menampilkan fasilitas yang disediakan oleh kelompok teroris seperti apartemen beserta narahubung (Nuraniyah, 2018). Di Indonesia, kelompok radikal, Hizbut Tahrir atau HTI juga menggunakan media komunikasi, seperti majalah untuk menyebarkan ideologinya (Alvian, 2023).
Sementara itu, pandemi COVID-19 telah menginspirasi kelompok teroris untuk mengintensifkan konten-konten virtual dengan menyebarkan teori konspirasi dan narasi ketuhanan untuk merekrut anggota dan mengintimidasi (Kruglanski et al, 2020). Misalnya, pemimpin keamanan Hizbullah menyalahkan negara kapitalis sebagai pencetus pandemi COVID-19 di Twitter, kelompok teroris juga mendiseminasikan narasi COVID-19 sebagai senjata biologis NATO, upaya percepatan 5G dan surveillance melalui vaksinasi massal (Kruglanski et al, 2021). Di samping itu, kelompok teroris juga mengklaim dan menyebarkan narasi COVID-19 sebagai “tentara tuhan” yang dikirim untuk membalaskan penderitaan manusia. Narasi tersebut menggema dan diterima oleh individu di seluruh dunia. Mereka menulis narasi tersebut melalui twitter dan platform pro teroris, bahkan terdapat aktivis menyerukan penderita COVID-19 untuk tidak dirawat di rumah sakit, melainkan mengunjungi pemerintah sekuler guna menyebarkan virus (Kruglanski et al, 2021).
Kelompok teroris juga memperkuat dan memotivasi simpatisannya lewat permainan video gim. Robinson & Whittaker (2021) mengatakan bahwa ikonografi video gim seperti simbol, gambar dan suara yang digunakan oleh kelompok teroris dapat memberikan pesan-pesan radikal. Di sisi lain, mereka melatih anggotanya lewat permainan video gim karena interaktivitas yang menarik sehingga peperangan terlihat lebih nyata karena memungkinkan player berposisi menjadi teroris. Beberapa video gim buatan kelompok teroris seperti Special Force dan ARMA III (Robinson & Whittaker, 2021). Pengaruh penetrasi media digital oleh kelompok teroris yang tinggi berhasil memotivasi 40.000 lebih individu dari 100 negara untuk pergi ke suriah, diantaranya berasal dari Kanada dan Indonesia (Kruglanski et al, 2021; Bastug et al 2018; Tempo.co, 2017).
Kesimpulan
Konsep 4GW bukan hanya menjelaskan perbuatan kelompok teroris, melainkan bagaimana TIK dimanfaatkan menjadi senjata terorisme berskala transnasional. Perbuatan tersebut dilihat lewat model ilmu komunikasi sebagai who-says what-in what channel-to whom and what effect. Dalam kasus ini, kelompok teroris menyebarkan pesan persuasif melalui media digital kepada khalayak guna memotivasi, merekrut dan memperluas jaringannya. Khalayak yang terpapar konten negatif berpotensi terlibat perilaku kriminal sehingga menstimulasi perilaku non-etis secara massal. Hal tersebut mengancam sistem demokrasi karena negara memberikan warga negaranya keleluasaan untuk mengakses TIK. Mengingat TIK telah disalahgunakan untuk mencapai tujuan kelompok teroris, maka penggunaan TIK perlu diawasi. Negara perlu mengembangkan pengawasan yang bukan sebatas pemblokiran situs, namun penyediaan pendidikan anti radikalisme dan bela negara sejak dini.
Daftar Pustaka
Alvian, R. A. (2023). How Extremist Movements Delegitimize Religious Moderation Campaigns: A Case of Hizbut Tahrir Indonesia (2018-2022). Perspectives on Terrorism, 17(3), 23–41. https://www.jstor.org/stable/27255603.
Avis, W. (2020). The COVID-19 Pandemic and Response on Violent Extremist Recruitment and Radicalisation. Retrieved from https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/808_COVID19%20_and_Violent_Extremism.pdf
Basit, A. (2020). COVID-19: A Challenge or Opportunity for Terrorist Groups? Journal of Policing, Intelligence and Counter Terrorism, 15:3, 263-275, 10.1080/18335330.2020.1828603
Bastug, M., F. Douai, A. & Akca, D. (2018). Exploring the “Demand Side” of Online Radicalization: Evidence from the Canadian Context, Studies in Conflict & Terrorism. 10.1080/1057610X.2018.1494409.
Benbow, T. (2008). Talking ‘bout Our Generation? Assessing the Concept of “Fourth-Generation Warfare”, Comparative Strategy, 27:2, 148-163, 10.1080/01495930801944685.
Douai, A. (2015). “Technology and Terrorism: Media Symbiosis and the ‘Dark Side’ of the Web,” in Communication and Technology. Lorenzo Cantoni and James A. Danowski (Ed). De Gruyter Mouton: Berlin.
Gerrits, R. P. J. M (1992). Terrorists’ perspectives: Memoirs. In D. L. Paletz, & A. P. Schmid (Eds.). Terrorism and the Media. Sage: Newbury Park, CA.
Hall, S. (1993). “Encoding, Decoding,” in the Cultural Studies Reader. Simon During (Ed), Routledge: London.
KhosraviNik, M., & Amer, M. (2020). Social media and Terrorism Discourse: the Islamic State’s (IS) Social Media Discursive Content and Practices, Critical Discourse Studies, 10.1080/17405904.2020.1835684.
Kruglanski, A., W. Gunaratna, R. Ellenberg, M. & Speckhard, A. (2020). Terrorism in Time of the Pandemic: Exploiting Mayhem, Global Security: Health, Science and Policy, 5:1, 121-132, 10.1080/23779497.2020.1832903.
Lele, G. (2005). Terorisme dan Demokrasi: Masalah Global dan Solusi Lokal. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11040.
Lind, W. S., Nightengale, K., Schmitt, J. Sutton, J.W., &.Wilson, G. I. (1989) “The Changing Face of War: Into the Fourth Generation,” Marine Corps Gazette.
Nuraniyah, N. (2018). Not just Brainwashed: Understanding the Radicalization of Indonesian Female Supporters of the Islamic State, Terrorism and Political Violence, 10.1080/09546553.2018.1481269.
Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: What the Internet is Hiding from You. The Penguin Press: New York.
Pashentsev, E., N. & Bazarkina, D., Y. (2021). ISIS Propaganda on the Internet, and Effective Counteraction, Journal of Political Marketing, 20:1, 17-33, 10.1080/15377857.2020.1869812.
Phelan, P. (2011). Fourth Generation Warfare and its Challenges for the Military and Society, Defence Studies, 11:1, 96-119,10.1080/14702436.2011.553105.
Robinson, N., & Whittaker, J. (2021). Playing for Hate? Extremism, Terrorism, and Videogames, Studies in Conflict & Terrorism, 10.1080/1057610X.2020.1866740.
Rothenberger, L. (2015), Terrorism as Strategic Communication. In Derina Holtzhausen and Ansgar Zerfass (Ed). The Routledge Handbook of Strategic Communication. Routledge: New York.
Schmid, A. P., & de Graaf, J. (1982). Violence as Communication. Insurgent Terrorism and the Western News Media. Sage: London.
Tempo.co. (2017). Immigration Helps Detecting 600 Indonesians Affiliated to ISIS. Retrieved from https://en.tempo.co/read/889877/immigration-helps-detecting-600-indonesians-affiliated-to-isis.
Ummu Sabrina. (2015). Perjalanan Hijrah Ummu Sabrina. Retrieved from http://sisilainis.blogspot.com/2015/08/.
United Nations Security Council Counter-Terrorism Committee Executive Directorate. (2020). The Impact of Covid-19 Pandemic on Terrorism, Counterterrorism and Countering Violent extremism. Retrieved from https://www.un.org/sc/ctc/wp-content/uploads/2020/06/CTED-Paper–-Theimpact-of-the-COVID-19-pandemic-on-counter-terrorism-and-countering-violent-extremism.pdf.
.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!