Hang the DJ: Refleksi Hambarnya Kencan di Era Digital

Penggunaan aplikasi kencan online untuk mencari jodoh sudah menjadi hal yang lumrah di era digital. Ia menawarkan ekstensi domain bagi mereka yang terlalu sibuk atau bahkan ‘terlalu malu’ untuk menginisiasi sebuah perkenalan. Bagi beberapa orang, pengalaman menggunakan aplikasi ini bak seperti sedang Ikan Mas yang paling proporsional untuk ukuran akuariumnya, atau seperti memilih model baju paling pas di situs belanja online ketika memasukkan kata kunci “dress wanita”. Potret-potret yang ter-swipe kiri atau kanan seolah-olah hanya representasi dari sebuah objek. Tak jarang kita bahkan lupa pada wajah dan nama mereka.

Hang the DJ merupakan salah satu episode dari serial terkenal Netfilx, Black Mirror. Episode ini bercerita mengenai kisah Frank (diperankan oleh Joe Cole) dan Amy yang (diperankan oleh Georgina Campbell) bertemu melalui sebuah simulasi kencan bernama The System. Namun yang menjadikan Hang the DJ ini ‘agak’ ngeri adalah, alih-alih menjadi media untuk memilih orang yang ingin kita kencani, ia justru mengajak penontonnya untuk membayangkan sebuah aplikasi kencan yang dapat membantu penggunanya untuk mengatur janji first date, durasi hubungan yang bisa dijalani, dan bahkan seperangkat aturan yang wajib diikuti selama dalam simulasi lengkap dengan pria-pria seram sebagai penegak aturannya. The System memberi janji pada pengguna untuk dapat menemukan cinta sejati mereka dengan kecocokan 99,8%.

Hang the DJ dan Gambaran Hambarnya Kencan di Masa Depan

Ketika mendengar judulnya, kita mungkin berpikiran bahwa akan ada adegan horror di dalam film ini. Tapi ternyata judul “Hang the DJ” adalah bagian refrain dari lagu The Smith tahun 1986 berjudul “Panic” di mana penyanyi mereka, Morrissey, bersenandung tentang pembunuhan seorang disc jockey karena “music yang terus-menerus mereka mainkan, tidak mengatakan apa-apa tentang hidupku” (the music that they constantly play, it says nothing to me about my life) (Britt, 2017). Dalam episode Black Mirror ini, sentimen tersebut diterjemahkan ke dalam dunia di mana orang memasuki sebuah “sistem” yang dikendalikan komputer.

Dunia dalam simulasi The System tampak sangat sederhana, bahkan terlalu sederhana hingga tampak sangat artifisial. Sutradara mereka, Tim Van Pattern dan tim desainnya memang sengaja membuat tata visual sedemikian rupa guna menyampaikan semacam kekosongan, seolah semuanya seperti gambaran pada halaman majalah gaya hidup kelas atas. Sekilas tampak cantik, namun terasa sangat dingin dan hambar (Mellor, 2017).

The System pada dasarnya memiliki algoritma yang mirip dengan pada aplikasi kencan seperti Tinder, Bumble, TanTan dan lainnya hanya saja ia diselenggarakan secara lebih riil dalam bentuk simulasi. The System ini bekerja dengan memberikan orang-orang “jodoh” dan durasi kencan yang beragam. Ketika durasi tersebut habis, maka mereka harus segera berpisah dengan “jodoh” sebelumnya dan kembali mengencani orang lain yang direkomendasikan oleh aplikasi tersebut. Terkesan sangat fana, instan, dan rentan, namun itulah yang harus mereka lakukan sampai mendapat jodoh sejati yang dianggap sesuai oleh The System.

Frank dan Amy memulai kencan pertama mereka dengan durasi hubungan hanya 12 jam yang diatur oleh The System. Meskipun biasanya pasangan memanfaatkan waktu singkat itu untuk berhubungan seks, Frank dan Amy hanya berpegangan tangan dan berbaring di tempat tidur. Setelah 12 jam berlalu, mereka berpisah dan mendapat jodoh baru dari The System. Namun, baik Frank maupun Amy tidak menemukan perasaan yang sama seperti ketika mereka bersama. Amy menjalani beberapa hubungan singkat dengan berbagai pria, sementara Frank terjebak dalam hubungan 12 bulan dengan wanita yang tidak menyukainya sejak awal. Hubungan dalam episode ini terkesan salah, menggambarkan bagaimana kehidupan manusia bisa menjadi buruk dan aneh di masa depan, di mana hubungan dikendalikan oleh keinginan reproduksi semata.

Pada akhirnya, Frank dan Amy mendapat kesempatan dijodohkan lagi oleh The System dan berjanji untuk tidak melihat batas waktu hubungan mereka. Namun, Frank melanggar janji karena penasaran. Cerita kemudian mengungkap bahwa Frank dan Amy yang kita lihat adalah versi ke-1000 dari kepribadian digital mereka dalam simulasi The System, di mana dalam 998 kasus mereka memberontak melawan sistem yang memisahkan mereka. Keduanya berjuang keluar dari simulasi dan tiba-tiba berada di sebuah pesta, saling melirik, baru saja “match” di aplikasi kencan. Lagu “Panic” dari The Smiths menjadi latar musik adegan ini.

Aplikasi Kencan Online yang Mendesakralisasi Kencan

Simulasi yang diikuti oleh Frank, Amy, dan peserta lain dalam The System menggambarkan bagaimana aplikasi kencan online menawarkan kemudahan dan sensasi memilih dalam lautan pilihan yang luas. Hal ini mengubah esensi awal kencan sebagai jalan untuk menemukan pasangan seumur hidup menjadi hanya sekedar aktivitas rekreasi (Abisono, 2022). The System menciptakan efek pseudo-relationship, membuat peserta merasa bahwa hubungan mereka ditakdirkan atau diinginkan. Algoritma The System yang mampu mendeteksi perasaan psikologis pengguna untuk mencapai kecocokan 99,8%, mirip dengan cara algoritma aplikasi kencan online bekerja. Ia bekerja seperti fitur rekomendasi di Google, Facebook, atau Instagram (Parisi dan Comunello, 2020). Episode ini menunjukkan betapa hambarnya proses kencan di era digital, mengubahnya menjadi aktivitas scrolling dan liking, melupakan esensi awal kencan sebagai jalan untuk menemukan pasangan seumur hidup.

Algoritma yang memilihkan pasangan berdasarkan preferensi penggunanya ini adalah tidak lain sebagai bentuk kenarsisan mereka. Mereka memilih berdasarkan prasangka ideal mereka tentang tipe yang dianggap cocok bagi dirinya. Mereka tidak berusaha untuk mencari cinta dalam orang lain, melainkan mencari dirinya dalam orang lain. Padahal menurut Badiou (2012) cinta itu layaknya dua alat musik yang berbeda dari segi nada atau volume namun secara misterius dapat disatukan dengan baik oleh musisi yang hebat.

Proses kencan tak lagi jadi hangat dan penuh perjuangan seperti sebelumnya. Padahal kerijitan pemilah topik pembicaraan, menyesuaikan diri dengan minat pasangan, kecanggungan pada pertemuan pertama dan usaha untuk menjaga imej selama perkenalan adalah yang menjadi kenikmatan dalam berkencan. Kencan yang dimaknai sebagai sebuah upaya pencarian pasangan hidup mengalami proses desakralisasi. Max Weber berargumen bahwa gejala desakralisasi terjadi karena adanya rasionalisasi dan kuantifikasi, keduanya berperan dalam menghilangkan ‘pesona dunia’ atau yang disebut dengan disenchantment of the world (Nugroho, 2021).

Proses rasionalisasi meniadakan antusiasme masa penjajakan karena algoritma dari aplikasi kencan sudah mengatur pilihan-pilihan para pengguna berdasarkan preferensi yang sudah di-set sebelumnya. Model perjodohan seperti ini oleh Alain Badiou dan Nicolas Truong dalam bukunya In Praise of Love (2012) disebut sebagai risk-free love. Dia bebas dari resiko penolakan karena pelakunya sudah terlebih dahulu melakukan pra-kondisi sehingga ia hanya akan dipertemukan dengan pengguna lain yang memiliki preferensi yang sama. Hal ini tidak ada bedanya dengan perjodohan di zaman orangtua kita, namun yang mengatur kini adalah algoritma.

Lalu, apakah makna pencarian terhadap cinta sejati masih eksis di tengah ribuan swipe dan match dalam dunia kencan online? Di mana letak cinta ketika swipe right dilakukan hanya dengan melihat sekilas pada foto, nama, umur, dan jarak jangkauannya? Menurut seorang filsuf Irlandia, Richard Kearney, masyarakat sekarang tengah hidup dalam “age of excarnation”, di mana media digital membuat kita terobsesi terhadap tubuh justru dengan cara melenyapkan proses ketubuhan (Kearney, 2014). Sehingga dapat dikatakan bahwa aplikasi kencan online membuat para penggunanya hanya berfokus pada representasi identitas di aplikasi tersebut dan mengabaikan proses ketubuhan yang utuh. Hal ini pun disadari oleh tokoh Amy, ia merasa bahwa cara kerja The System membuatnya merasakan “keterpisahan” dan tidak benar-benar hadir (secara emosional) dalam tiap kencan yang dijalani.

Epilog

Sebagaimana produk-produk teknologi lainnya, aplikasi kencan online bisa saja menjadi sangat bermanfaat bagi para penggunanya. Namun, aplikasi ini dapat mengurangi makna cinta ketika para pengguna justru menggunakan aplikasi tersebut hanya sebagai alat untuk mengeliminasi hal-hal yang tidak sesuai dengan pendefinisian dirinya. Namun menjadi tidak bijak ketika cinta direduksi melalui cara kita bertemu dengan seseorang, terlebih pertemuan tersebut didasarkan oleh pengaturan robotik tanpa perasaan. Cinta itu idealnya melalui proses kurasi, meresap dan bertahan disaat-saat kontradiksi atau kesulitan terjadi. Namun hal tersebutlah yang membuatnya lantas menjadi kekal sebagaimana Amy dan Frank yang telah melawan kuasa algoritma sebanyak 998 kali untuk mencapai 99,8% kecocokan dan berhasil keluar dari simulasi The System.

Referensi

Abisono, F. Q. (2022, February 23). Hyperconnectivity on Online Dating Apps: When faced with an Ocean of Choices. Retrieved 13 October, 2022, from cfds.fisipol.ugm.ac.id: https://cfds.fisipol.ugm.ac.id/2022/02/23/hyperconnectivity-on-online-dating-apps-when-faced-with-an-ocean-of-choices/#_edn1

Badiou, A., & Truong, N. (2012). In Praise of Love. London: Serpent’s Tail.

Britt, R. (2017, December 29). Why ‘Black Mirror’ Standout “Hang the DJ” is Worthy of That Smiths Reference. Retrieved from Inverse: https://www.inverse.com/article/39703-black-mirror-season-4-hang-the-dj-song-the-smiths-panic-tinder

Kearney, R. (2014, September 2). In a Virtual World, Are We Losing Our Sense of Touch? Retrieved October 13, 2022, from The Irish Time: https://www.irishtimes.com/news/social-affairs/in-a-virtual-world-are-we-losing-our-sense-of-touch-1.1914545

Mellor, L. (2017, December 29). Black Mirror season 4: Hang The DJ review. Retrieved from Den of Geek: https://www.denofgeek.com/tv/black-mirror-season-4-hang-the-dj-review/

Nugroho, W. B. (2021). Sosiologi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Pustaka Egaliter.

Parisi, L., & Comunello, F. (2020). Dating in the time of “relational filter bubbles”: exploring imaginaries, perceptions and tactics of Italian dating app users. The Communication Review23(1), 66-89. doi:10.1080/10714421.2019.1704111

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.