Inovasi Tata Kelola dalam Pembangunan Desa Melalui Pemanfaatan Basic Digital Technology

,

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana inovasi sosial melalui tata kelola pedesaan diterapkan dalam memanfaatkan teknologi basic, seperti internet, handphone, dan media sosial. Sasaran inovasi tersebut adalah masyarakat desa yang notabenenya dikatakan belum mampu/tertinggal dalam memanfaatkan perkembangan teknologi karena berbagai faktor seperti tidak meratanya infrastruktur, kurangnya kemampuan mengakses teknologi karena rendahnya pendapatan, kurangnya literasi dan kemampuan digital, hingga penolakan terhadap teknologi (Dihni, 2022; Hadi, 2018; Oktavianoor et al., 2020).

Penulis mengambil kasus yang terjadi di Karangrejek, Gunungkidul, Yogyakarta, kelompok masyarakat yang penulis dan tim dampingi. Permasalahan utama yang terjadi di sana bukan tentang infrastruktur atau penolakan akan hadirnya teknologi, tetapi lebih ke mindset dan kemampuan dalam penggunaan teknologi digital. Teknologi basic belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal. Kondisi yang terjadi justru memunculkan kekhawatiran bahwa masyarakat akan kecanduan dalam penggunaan teknologi tersebut karena hanya digunakan untuk mencari hiburan. Contohnya seperti anak-anak yang sering bermain game dan anak yang seharusnya memasuki masa kerja, tetapi justru menganggur dan sering bermain gadget entah untuk apa.

Kasus lain adalah para pelaku usaha belum mampu memanfaatkan teknologi digital untuk aktivitas jualannya. Di era sekarang, media sosial dan platform jual-beli online menjadi senjata utama untuk melakukan promosi hingga transaksi. Hal tersebut juga terbukti bahwa penggunaan media sosial dapat meningkatkan performa dan pendapat bisnis (Subagja et al., 2022). Namun, para pelaku usaha di Karangrejek cenderung masih mengandalkan mekanisme tradisional dalam berjualan.

Permasalahan yang terjadi di masyarakat Karangrejek menyebabkan runtutan permasalahan lainnya, baik yang sudah maupun yang dikhawatirkan akan terjadi. Hal tersebut seperti peningkatan rasa malas untuk melakukan aktivitas produktif, kurangnya kemampuan berpikir kreatif dan inovatif, hingga terancamnya keberlanjutan aktivitas dan perekonomian pedesaan di masa depan.

Inovasi Tata Kelola “4 + 4 = 8”

Christian Lous Lange, Norwegian historian, mengatakan bahwa “Teknologi adalah hamba yang berguna, tetapi tuan yang berbahaya.” Dari ungkapan tersebut, dapat dijabarkan bahwa teknologi semestinya perlu dipandang sebagai alat yang dapat memudahkan aktivitas manusia seperti dalam mengakses informasi maupun meningkatkan ekonomi. Lebih lanjut, teknologi juga perlu selalu dimanfaatkan secara bijak (teknologi yang humanis) agar tidak menguasai manusia (kecanduan) untuk mengimbangi perkembangan zaman, sehingga aktivitas manusia tetap dapat berjalanan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan di masyarakat Karangrejek, inovasi sosial untuk penggunaan teknologi digital dilakukan melalui pendekatan tata kelola yang sistematis. Melalui program Visit Karangrejek, penulis dan tim memperkenalkan konsep “4 + 4 = 8”, atau empat proses keberlanjutan + empat aktor penggerak = keberlanjutan yang tidak terhingga (∞).

Empat proses keberlanjutan, mencakup empat hal utama, yaitu menjaga, menciptakan, meningkatkan, dan mempertahankan. Pertama, Menjaga, berarti bahwa teknologi harus tidak mengubah aktivitas sebagai ciri khas lokal masyarakat, terutama terkait mata pencaharian, kegiatan, tradisi, dan budaya. Kedua, Menciptakan, berarti membuat sesuatu yang baru berdasarkan potensi. Misalnya, membuat media promosi digital untuk para pelaku usaha desa atau menciptakan media promosi untuk memperkenalkan tradisi dan budaya. Ketiga, Meningkatkan, berarti bahwa apa yang sudah dijaga dan diciptakan perlu ditingkatkan melalui peningkatan kapasitas masyarakat agar masyarakat dapat semakin kreatif dan inovatif, terutama berkaitan dengan skill digital. Terakhir, Mempertahankan, berarti menjaga seluruh proses agar tetap berlanjut, misalnya mengeksplorasi lebih tentang tradisi, budaya, dan potensi, menyelenggarakan event, dan yang paling penting meningkatkan jejaring kerja sama.

Kolaborasi adalah kunci keberhasilan program (Ansell & Gash, 2008). Oleh sebab itu, seluruh proses di atas perlu dilakukan melalui kolaborasi. Terdapat empat aktor berdasarkan fungsinya, yaitu Mentor, Local Hero, Fasilitator, dan Masyarakat. Pertama, Mentor, berfungsi untuk memberikan masukan secara global hingga support pendanaan. Dalam hal ini, mentor bisa berasal dari pemerintah, swasta (CSR), atau individual. Kedua, Local Hero, berfungsi untuk menjadi koordinator penggerak masyarakat. Bisa terdiri atas kepala wilayah, ketua pemuda, atau tokoh masyarakat. Ketiga, Fasilitator, berfungsi untuk mendampingi secara teknis terkait pelaksanaan empat proses di atas. Aktornya bisa terdiri atas para pemuda penggerak, seperti mahasiswa atau volunter. Keempat, Masyarakat, berfungsi sebagai penerima manfaat. Akan tetapi, agar lebih terlembaga dan memudahkan koordinasi, masyarakat juga perlu dibentuk menjadi kelompok-kelompok masyarakat, seperti kelompok kesenian, kelompok pengusaha, kelompok literasi, dll.

Di Karangrejek, inovasi tata kelola tersebut sudah dimulai dengan memanfaatkan penggunaan media sosial sebagai langkah awal pemanfaatan teknologi digital. Penulis dan tim (dalam hal ini sebagai fasilitator) mencoba mengeksplorasi tradisi dan budaya yang dimiliki, kemudian menciptakan konsep desa wisata/pembelajaran sebagai wadah masyarakat berkreasi dan berinovasi sekaligus menjadi saluran promosi melalui media sosial. Pelatihan-pelatihan untuk masyarakat sebagai penguatan komunitas juga telah dilakukan. Proses menuju keberlanjutan pun terus diupayakan melalui penciptaan kegiatan-kegiatan baru dan perluasan jejaring.

Dampak yang diharapkan dari penerapan inovasi tata kelola “4 + 4 = 8” adalah keberlanjutan komunitas yang tidak terbatas. Keberlanjutan tersebut memiliki makna bahwa kehidupan lokal harus tetap terjaga dengan diimbangi kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan perkembangan teknologi. Meskipun tinggal di desa, pikiran/mindset-nya harus mendunia.

Dari serangkaian proses tersebut, kemenangan kecil yang didapatkan saat ini adalah anak-anak mulai terpapar dengan kegiatan positif karena banyaknya tamu yang memberikan wawasan lain kepada mereka. Selain itu, anak-anak juga aktif dalam pembuatan konten promosi wisata ketika libur sekolah dan saat ini aktif belajar gamelan (musik tradisional Jawa) untuk ditampilkan ketika para tamu wisata datang. Selain itu, pelatihan digitalisasi UMKM juga telah dicanangkan dengan berkolaborasi dengan akademisi. Lebih lanjut, kemenangan kecil lainnya adalah jumlah tamu dalam kurun waktu satu tahunan ini mencapai hampir 2000 tamu. Otomatis hal tersebut juga meningkatkan pendapatan para pelaku wisata di Karangrejek. Kemudian, beberapa perlombaan juga diikuti dan mendapatkan berbagai penghargaan, seperti Juara 1 Lomba Kreasi Tiktok Indonesia Emas 2045 yang diselenggarakan oleh Bappenas RI, Juara Harapan 1 Lomba Video Potensi Desa Wisata yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata DIY, dan Peringkat 4 Nasional Inovasi Sosial yang diselenggarakan oleh Pertamina Foundation.

Dengan memanfaatkan teknologi digital secara basic saja, asalkan secara tepat dan bijak, seperti internet, handphone, dan media sosial, telah terbukti membawa banyak perubahan di lingkup desa. Kemudian, dengan penerapan inovasi tata kelola “4 + 4 = 8”, peluang penggunaan teknologi digital oleh masyarakat desa semakin meningkat di masa depan. Sehingga, diharapkan masyarakat desa tidak lagi khawatir, tidak bisa menggunakan, atau merasa sendirian dalam memanfaatkan teknologi digital untuk menunjang kehidupan lokalnya.

Referensi

Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571. https://doi.org/10.1093/JOPART/MUM032

Dihni, V. A. (2022). Gambaran Kesenjangan Akses Internet di Kota-Desa Skala Global. Databoks. Diakses pada 4 Februari 2024 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/13/gambaran-kesenjangan-akses-internet-di-kota-desa-skala-global

Hadi, A. (Aulia). (2018). Bridging Indonesia’s Digital Divide: Rural-Urban Linkages? Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 22(1), 17–33. https://doi.org/10.22146/JSP.31835

Oktavianoor, R., Dalam, J. D., & Airlangga, S. (2020). Kesenjangan Digital Akibat Kondisi Demografis di Kalangan Masyarakat Rural. Palimpsest: Jurnal Ilmu Informasi Dan Perpustakaan, 11(1), 9–19. https://doi.org/10.20473/PJIL.V11I1.21888

Subagja, A. D., Ausat, A. M. A., & Suherlan, S. (2022). The Role of Social Media Utilization and Innovativeness  on SMEs Performance. Jurnal Iptekkom: Jurnal Ilmu Pengetahuan & Teknologi Informasi, 24(2), 85–102. https://doi.org/10.17933/IPTEKKOM.24.2.2022.85-102

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.