Upaya Implementasi Pajak Lingkungan di Negara Selatan: Hambatan dan Tantangan

,

Berbagai upaya mitigasi dampak buruk dari perubahan iklim dan pemanasan global utamanya sangat bergantung pada keberhasilan pengendalian emisi karbon. Pajak lingkungan, dalam hal ini, dapat menjadi jawaban atas permasalahan tersebut. Diadopsi pertama kali pada tahun 1970-an oleh negara-negara OECD, pajak lingkungan dianggap sebagai instrumen ekonomi dengan potensi pengendalian emisi karbon yang relatif hemat biaya dan efisien untuk memerangi perubahan iklim (Baranzini et al., 2016; He et al., 2023). Selama hampir enam dekade semenjak pertama kali digunakan, pajak lingkungan memiliki jejak secara signifikan untuk memperbaiki kualitas ekosistem. Menggunakan data dari negara-negara OECD dari tahun 2005 – 2019, penelitian He dkk. (2023) menunjukkan bahwa penarikan pajak lingkungan telah berhasil mengurangi frekuensi anomali suhu dan emisi karbon per kapita yang berdampak pada perlambatan proses perubahan iklim. Doğan dkk. (2022) juga mencermati bahwa di negara-negara G7, penerapan pajak terhadap emisi karbon dapat secara signifikan mengurangi jumlah emisi dan secara bersamaan mendorong transisi penggunaan energi terbarukan. Namun demikian, meskipun pajak lingkungan sudah sangat populer dan diterapkan di banyak pemerintahan negara-negara Utara, nyatanya penggunaan pajak ini untuk memerangi masalah perubahan iklim masih dalam tahap embrionik di negara Selatan. Skema pajak lingkungan sendiri pada dasarnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi domestik masing-masing negara. Akan tetapi, situasi di banyak negara berkembang membuat upaya penerapan pajak lingkungan ini seringkali menemui resistensi sosial dan politik.

Tentang Pajak Lingkungan, Potensi Dividen Ganda dan Hambatan Sosial Politik di Kawasan Selatan

Kemunculan konsep pajak lingkungan dapat ditarik kembali ke tahun 1920-an ketika Pigou (1920) mengajukan sebuah teori bahwa  pajak dapat digunakan untuk menutupi biaya lingkungan dari aktivitas usaha yang seharusnya tidak ditanggung oleh masyarakat dengan menerapkan prinsip pencemar membayar (polluters pays). Memasuki tahun 1970-an, ketika krisis lingkungan semakin terlihat dampaknya, OECD mengusulkan penerapan pajak lingkungan sebagai salah satu solusi melalui skema tradisional untuk menutupi biaya lingkungan. Dalam tiga dekade berikutnya, pajak lingkungan ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan mulai diterima secara bertahap, utamanya oleh negara-negara maju. Meningkatnya popularitas penerapan pajak lingkungan juga tidak bisa dilepaskan dari kemunculan teori dividen ganda (double dividend). Teori ini berangkat dari ide bahwa pajak lingkungan tidak hanya membawa dampak lingkungan positif dengan mengubah perilaku konsumsi dan produksi masyarakat, tapi juga memainkan andil dalam meningkatkan pendapatan pemerintah (Pearce, 1991; Tan et al., 2022). Dengan mewajibkan ‘pencemar’ membayar, pemungutan pajak ini berpotensi untuk memberikan insentif bagi pencemar untuk mengambil langkah-langkah strategis guna mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan secara bersamaan dapat menyumbang pada kenaikan PDB sehingga pemerintah bisa menyediakan layanan masyarakat yang lebih baik (Deng et al., 2023; Kamalu & Wan Ibrahim, 2023). Bahkan, dalam konteks negara-negara – negara Selatan, penerapan pajak lingkungan diperkirakan dapat memberikan dividen ganda yang jauh lebih besar. 

Heine dan Black (2018) berargumen bahwa manfaat pajak lingkungan memiliki kemungkinan untuk berdampak lebih positif di negara-negara berkembang daripada yang selama ini dipahami secara umum. Heine dan Black (2018) juga menyatakan bahwa terdapat manfaat tambahan dari pemungutan pajak lingkungan seperti peningkatan langsung terhadap tingkat kesehatan – yang dampaknya seringkali lebih besar dibandingkan di negara maju – dan menambah dana dalam negeri yang sangat dibutuhkan untuk menaikkan belanja publik. Lebih jauh lagi, dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh Kamalu dan Ibrahim (2023), terdapat indikasi bahwa pajak lingkungan tidak hanya sekedar memperbaiki kualitas lingkungan, tetapi juga mendorong dekarbonasi penuh di negara-negara berkembang. Meskipun demikian, terlepas dari banyaknya impresi positif dari ajak lingkungan, penggunaan instrument ini di negara Selatan masih tergolong sangat minimal. Tidak jarang, upaya institusionalisasi pajak lingkungan juga menuai resistensi sosial dan memperoleh dukungan politik yang rendah. Situasi ini disebabkan setidaknya oleh dua alasan.

Pertama, berkaitan dengan insentif sosial. Salah satu masalah umum yang ditemui di banyak negara Selatan adalah tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Data UNDP terbaru menunjukkan bahwa 1.1 milyar orang hidup dalam kemiskinan dan sekitar 80 persen dari populasi miskin global tersebut berada di negara- negara Selatan – setengahnya tinggal di wilayah Sub-Sahara Afrika, sementara sepertiga sisanya berada di wilayah Asia Tengah  (OPHI & UNDP, 2023). Mengupayakan pemberantasan kemiskinan dan secara bersamaan mengelola perubahan iklim menjadi tantangan tersendiri bagi negara Selatan. Ketika mempertimbangkan penerapan pajak lingkungan, negara harus melihat apakah kebijakan pajak tersebut selain dapat mengatasi masalah lingkungan juga dapat berkontribusi lebih besar dalam mencapai tujuan sosial dan ekonomi lainnya (Kuralbayeva, 2019). Dalam konteks negara-negara Selatan dimana arus investasi langsung menjadi salah satu motor penting penggerak ekonomi, penerapan pajak lingkungan ini dapat memicu kenaikan biaya produksi sehingga negara tersebut tidak lagi menarik bagi investor. Menurut Xu dan Wu (2021) iinvestasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment/FDI) memiliki hubungan yang negatif dengan tarif pajak, terlebih lagi di negara berkembang yang arus FDI-nya sangat sensitif pajak. Di kawasan Sub-Sahara Afrika, misalnya, dampak pajak karbon terhadap FDI bersifat represif (Yiadom et al., 2024), artinya penerapan instrumen pajak ini berdampak buruk pada kemampuan negara untuk menarik investasi. 

Lebih jauh lagi, dengan menggunakan prinsip pencemar membayar, maka pajak lingkungan tidak hanya akan dikenakan pada level industri tetapi juga pada level individual, sehingga masyarakat secara umum memiliki kekhawatiran terhadap kenaikan biaya hidup. Menurut Ewald dkk. (2022), masyarakat memiliki pandangan konvensional bahwa pajak lingkungan akan berdampak lebih buruk bagi perekonomian dibandingkan dengan kebijakan subsidi untuk alternatif yang ramah lingkungan. Hal ini didukung pula oleh berbagai studi empiris. Penelitian yang dilakukan oleh Okonkwo (2021) di Afrika Selatan, misalnya, menunjukkan bahwa penerapan pajak karbon telah berdampak pada kenaikan harga listrik dan angkutan umum dan secara simultan menyebabkan penurunan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Bahkan, dalam konteks Afrika Selatan terindikasi bahwa masyarakat miskin dan berpendapatan menengah menderita kerugian kesejahteraan yang lebih besar dari pajak karbon dibandingkan dengan masyarakat kelas atas. Vietnam juga mengalami kemunduran daya beli dan peningkatan persentase kemiskinan sebesar 3.4 persen akibat kenaikan harga barang setelah diterapkannya Environmental Tax Protection di tahun 2012 (Truong, 2021). Tidak hanya di negara berkembang, penurunan tingkat kesejahteraan akibat kenaikan biaya hidup terjadi pula di negara-negara maju, seperti Finlandia dimana pajak karbon memiliki korelasi yang negatif dengan kemakmuran (Khastar et al., 2020). Rendahnya insentif sosial yang berkaitan langsung dengan masyarakat inilah yang membuat pajak lingkungan menjadi lebih sulit untuk diterima baik secara sosial maupun politik, utamanya di negara berkembang dengan tingkat kesejahteraan sosial yang lebih rendah.

Kedua, berkaitan dengan kompleksitas desain skema pajak lingkungan. Heine dan Black (2018) berargumen bahwa kebijakan pajak lingkungan merupakan instrumen yang hemat biaya dan layak diaplikasikan secara politik, namun bisa jadi sangat menantang secara administratif. Emission Tax System (ETS) di Uni Eropa misalnya, merupakan salah satu kebijakan pajak lingkungan yang mampu secara efektif mengurangi emisi karbon, akan tetapi desain dan proses implementasinya sangatlah kompleks sehingga cukup sulit untuk diterapkan dalam konteks negara dengan kapasitas administratif yang terbatas. Kompleksitas ini juga membuat proses reformasi pajak menjadi sangat lama. Bahkan negara otoritarianisme seperti Vietnam membutuhkan kurang lebih 8 tahun untuk mendesain dan mengimplementasikan skema pajak lingkungan pertamanya (Truong, 2021). Terlebih lagi di negara demokrasi yang tonggak kepemimpinannya bisa berganti dalam kurun empat sampai lima tahun sekali. Situasi ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa dukungan politik terhadap pajak lingkungan masih relatif rendah.

Kemunculan resistensi sosial dan kurangnya dukungan politik terhadap reformasi pajak lingkungan di negara Selatan utamanya disebabkan oleh insentif sosial yang rendah dan kompleksitas penerapannya. Meskipun demikian, bukan berarti pajak lingkungan tidak sesuai untuk diimplementasikan dalam konteks negara berkembang. Perlu ditekankan bahwa kerangka pajak lingkungan sendiri berakar dari negara-negara maju, sehingga standar pajak lingkungan yang ada tentunya tidak bisa serta merta diaplikasikan dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik yang tidak sama. Upaya reformasi pajak lingkungan di negara Selatan membutuhkan banyak hal yang berbeda. Selain penyederhanaan skema pajak, diperlukan pula perumusan strategi kebijakan mitigasi pajak sehingga pajak lingkungan dapat lebih adaptif. Lebih dari itu, ada baiknya pula bagi sistem internasional untuk mulai meninjau standar pajak lingkungan global agar tidak melulu berkaca pada situasi di negara Utara.

Referensi

Deng, J., Yang, J., Liu, Z., & Tan, Q. (2023). Environmental protection tax and green innovation of heavily polluting enterprises: A quasi-natural experiment based on the implementation of China’s environmental protection tax law. PLOS ONE, 18(6), e0286253. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0286253

Doğan, B., Chu, L. K., Ghosh, S., Diep Truong, H. H., & Balsalobre-Lorente, D. (2022). How environmental taxes and carbon emissions are related in the G7 economies? Renewable Energy, 187, 645–656. https://doi.org/10.1016/j.renene.2022.01.077

Ewald, J., Sterner, T., & Sterner, E. (2022). Understanding the resistance to carbon taxes: Drivers and barriers among the general public and fuel-tax protesters. Resource and Energy Economics, 70, 101331. https://doi.org/10.1016/j.reseneeco.2022.101331

He, P., Zhang, S., Wang, L., & Ning, J. (2023). Will environmental taxes help to mitigate climate change? A comparative study based on OECD countries. Economic Analysis and Policy, 78, 1440–1464. https://doi.org/10.1016/j.eap.2023.04.032

Heine, D., & Black, S. (2018). Benefits beyond Climate: Environmental Tax Reform. In Fiscal Policies for Development and Climate Action (pp. 1–63). The World Bank. https://doi.org/10.1596/978-1-4648-1358-0_ch1

Kamalu, K., & Wan Ibrahim, W. H. B. (2023). Towards full decarbonization: does environmental tax and renewable energy matters in developing countries? Journal of Environmental Economics and Policy, 1–16. https://doi.org/10.1080/21606544.2023.2279963

Khastar, M., Aslani, A., & Nejati, M. (2020). How does carbon tax affect social welfare and emission reduction in Finland? Energy Reports, 6, 736–744. https://doi.org/10.1016/j.egyr.2020.03.001

Kuralbayeva, K. (2019). Environmental Taxation, Employment and Public Spending in Developing Countries. Environmental and Resource Economics, 72(4), 877–912. https://doi.org/10.1007/s10640-018-0230-3

Okonkwo, J. U. (2021). Welfare effects of carbon taxation on South African households. Energy Economics, 96, 104903. https://doi.org/10.1016/j.eneco.2020.104903

OPHI, & UNDP. (2023). Global Multidimensional Poverty Index 2023, Unstacking Global Poverty: Data for High Impact Action.

Pearce, D. (1991). The Role of Carbon Taxes in Adjusting to Global Warming. The Economic Journal, 101(407), 938. https://doi.org/10.2307/2233865

Pigou, A. (1920). The economics of welfare. MacMillan.

Tan, Z., Wu, Y., Gu, Y., Liu, T., Wang, W., & Liu, X. (2022). An overview on implementation of environmental tax and related economic instruments in typical countries. Journal of Cleaner Production, 330, 129688. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.129688

Truong, D. D. (2021). Economic Instrument in Environmental Management: A Case Study of Environmental Protection Tax in Vietnam. Environment and Ecology Research, 9(5), 300–313. https://doi.org/10.13189/eer.2021.090509

Xu, C., & Wu, A. M. (2021). International tax competition and foreign direct investment in the Asia–Pacific region: a panel data analysis. Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, 33(2), 157–176. https://doi.org/10.1108/JPBAFM-04-2020-0054

Yiadom, E. B., Mensah, Lord, Bokpin, G. A., & Mawutor, J. K. M. (2024). Carbon tax adoption and foreign direct investment: Evidence from Africa. Cogent Economics & Finance, 12(1). https://doi.org/10.1080/23322039.2024.2312783

 

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.