Digital Leadership: Upaya Menghadapi Kampanye Politik di Era Siber
brief article, Revolusi DigitalSebelum penulis mengajak pembaca untuk menjelajahi lebih jauh , penulis ingin menilik kembali perjalanan penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan hiruk pikuk merebut suara pemilih dalam kampanye politik menggunakan media sosial yakni pada pemilu 2014. Pemilu 2014 menjadi gambaran awal terjadinya pergeseran pola interaksi pemilih, penyelenggara pemilu, dan partai politik terhadap ruang digital. Fenomena pergeseran interaksi politik di ruang digital dilanjutkan dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah tahun 2015, 2017, dan terakhir pada pemilu 2019. Media sosial menjadi tempat perang baru dalam menyebarkan opini dan sekaligus informasi politik (Budiyono, 2016)
Media sosial menjadi tempat peluang terjadinya manipulasi opini dalam perbincangan politik yang dikhususkan pada mempengaruhi psikologis pemilih untuk bertindak emosional ataupun untuk tertarik dalam memilih kepemimpinan politik. Fenomena ini terjadi juga di wilayah Asia yang menerapkan sistem pemilu dalam sirkulasi kepemimpinan. Beberapa tahun terakhir ini, Kamboja, Vietnam, Myanmar, Thailand, Hong Kong, Cina, Indonesia, Sri Lanka, dan Malaysia telah melaporkan adanya akun media sosial anonim yang terlibat dalam upaya manipulasi opini (Stieglitz & Dang-Xuan, 2013). Sebelum pemilu Malaysia 2018, ribuan bot tiba-tiba muncul untuk menyebarkan berita pro-pemerintah (Zhang et al., 2020), dan troll ditemukan menyebarkan pelecehan dan propaganda untuk mendukung calon presiden Rodrigo Duterte dalam pemilu Filipina 2017 (Etter, 2017)
Manipulasi opini ini biasanya berbentuk propaganda yang mengarah pada disinformasi atau informasi yang tidak sepenuhnya benar untuk mempengaruhi individu. Kerapkali propaganda mengarah pada narasi ujaran kebencian untuk memainkan psikologis pemilih. ujaran kebencian adalah narasi yang bersifat diskriminatif dan berusaha untuk merendahkan individu atau kelompok berdasarkan isu-isu identitas seperti agama, etnisitas, ras, atau gender (Handini & Dunan, 2021).
Hoaks politik dalam upaya mendelegitimasi hasil pemilu
Pengalaman Indonesia di pemilu 2019, gangguan informasi pemilu didominasi hoaks politik yang menyerang badan penyelenggara pemilu sasaran utama ialah menggiring opini publik untuk tidak percaya pada kelembagaan yang menyelenggarakan pemilu yang berujung mendelegitimasi hasil pemilu. Penulis menelusuri data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sejak bulan Agustus 2018 hingga November 2019 terdapat 3.901 hoaks. Dari total 3.901 hoaks tersebut yang diidentifikasi, diverifikasi dan divalidasi oleh Tim Automatic Identification Systems (AIS) Kemenkominfo yang mengais konten negatif di internet, hoaks kategori politik mendominasi di angka 973, disusul 743 hoaks kategori pemerintahan, 401 hoaks kategori kesehatan, 307 hoaks kategori lain-lain, 271 hoaks kategori 4 kejahatan, 242 hoaks kategori fitnah, 216 hoaks kategori internasional, dan sisanya hoaks terkait bencana alam, agama, penipuan, mitos, perdagangan dan pendidikan (Kominfo.go.id 2019). Hoaks politik yang marak muncul di bulan Januari hingga April 2019 didominasi kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta Pemilu, maupun penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu (Kominfo.go.id, 2019)
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) mengumpulkan contoh hoaks yang bertujuan mendelegitimasi hasil pemilu. Pertama, tentang sebuah narasi dan foto tentang “hoaks server KPU diSetting Memenangkan Jokowi”. Kedua, hoaks yang dilontarkan oleh tokoh keagamaan yang berpengaruh ini berdampak memainkan peran psikologis publik yakni hoaks yang dilontarkan Tengku Zulkarnain mengenai “hoaks Tujuh Kontainer surat suara tercoblos” dan hoaks ini diviralkan dalam bentuk konten yang berbeda dengan dilengkapi foto-foto. Ketiga, muncul sebuah konten narasi berupa foto yang menjelaskan adanya pengerahan WNI di Arab Saudi untuk mencoblos salah satu calon presiden. Dan sesungguhnya masih banyak lagi mengenai manipulasi informasi yang mendelegitimasi hasil pemilu (Fauzi et al., 2019).
Fenomena ini tentu menjadi pengalaman yang baik untuk stakeholder pemangku kebijakan seperti pemerintah dan badan penyelenggara pemilu karena potensi terjadi kembali pada pemilu 2024 ini akan sangat besar mengingat situasi media sosial saat ini telah muncul platfom-platfom dengan modifikasi yang lebih canggih seperti Tiktok dengan model algoritma yang luas dan berbentuk video. Ditamah lagi kehadiran Aritificial Intelegence berbentuk suara yang bisa sangat mirip dengan orang aslinya akan menjadi rawan untuk dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik.
Kepemimpinan Digital (Digital Leadership) diperlukan dalam menghadapi situasi Politik di era media sosial
Dalam menghadapi pemilu serentak 2024 yang begitu kompleks baik kompleks secara teknis kepemiluan maupun kompleks dalam interaksi di media sosial yang dapat mendelegitimasi hasil pemilu atau memicu sebuah konflik maka diperlukan sebuah mindset kepemimpinan digital di tubuh badan penyelenggara pemilu baik Komisi Pemilihan Umum maupun Badan Pengawas Pemilu sebagai lembaga yang diberi mandat Undang-Undang untuk menyelenggarakan pemilu serta mengawasi pemilu di dalam mengelola tantangan ini.
Diskursus mengenai kepemimpinan digital (Digital Leadership) ada tiga artikel yang paling banyak dikutip para peneliti mengenai digital leadership yaitu: (1) “E-leadership: Implications for theory, research, and practice”(Avolio et al., 2000) ; (2) “Investing in the IT that makes a competitive difference” (McAfee & Brynjolfsson, 2008); (3) “Leadership, capabilities, and technological change: The transformation of NCR in the electronic era” (Rosenbloom, 2020). Avolio et al., (2000) mendefinisikan kepemimpinan digital atau e-leadership sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang dimediasi oleh teknologi digital untuk menghasilkan perubahan sikap, perasaan, cara berpikir, perilaku dan/atau kinerja pada level individu, tim, dan/atau organisasi. Berdasarkan definisi tersebut, dampak jelas sekali bahwa kepemimpinan digital adalah kepemimpinan berbasis teknologi yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan pada seluruh lapisan organisasi.
Ada empat elemen utama kebijakan kepemimpinan digital yang dapat dilakukan KPU dan Bawaslu yaitu: (1) menciptakan kebijakan mengenai visi digital—yang diartikulasikan dengan ambisi, bermakna, holistik, dan berkelanjutan artinya perlu adanya membangun sebuah sistem kerja kelembagaan dalam membangun narasi konten di digital; (2) kebijakan membangun pikiran progresif dan inovatif pada anggota/karyawan (Kelembagaan) menjadikan transformasi digital menjadi peluang dalam keberhasilan organisasi. Apalagi badan penyelenggara pemilu memiliki struktur hingga di tingkat desa (3) kebijakan membentuk keahlian digital agar dapat menampilkan perilaku digital dalam memimpin, atasan haruslah memiliki keterampilan digital yang berupa paham dan menggunakan teknologi digital, mencari peluang dan mengantisipasi risiko dari teknologi digital, dan mengembangkan entrepreneurial capability; (4) kebijakan membangun jejaring pemangku kepentingan (Kolaborasi) artinya Menciptakan Kemitraan yang baik secara internal dan eksternal dan Menjadikan isu digital sebagai tanggung jawab bersama . (5) Berkemampuan dan menilai dan mengambil keuntungan dari big data (Infrastruktur) artinya penggunaan teknologi sebagai sumber referensi pengambilan keputusan.
Referensi
Avolio, B. J., Kahai, S., B, G. E. D., & More, S. (2000). E-leadership: Implications for theory, research, and practice. The Leadership Quarterly, 11(4), 615–668. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S104898430000062X?via%3Dihub
Budiyono, M. (2016). Media Sosial Dan Komunikasi Politik: Media Sosial Sebagai Komunikasi Politik Menjelang Pilkada Dki Jakarta 2017. Jurnal Komunikasi, 11(1), 47–62. https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol11.iss1.art4
Fauzi, I. A., Rafsadia, I., Nursahid, A., Astuti, S. I., Kartika, D. A., Mulyartono, S., & Khairil, M. (2019). Buku Panduan Melawan Hasutan Kebencian. In Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina Masyarakat Anti Fitnah Indonesia.
Handini, V. A., & Dunan, A. (2021). Buzzer as the Driving Force for Buzz Marketing on Twitter in the 2019 Indonesian Presidential Election. International Journal of Science, Technology & Management, 2(2), 479–491. https://doi.org/10.46729/ijstm.v2i2.172
Lauren Etter. (2017). What Happens When the Government Uses Facebook as a Weapon? Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/features/2017-12-07/how-rodrigo-duterte-turned-facebook-into-a-weapon-with-a-little-help-from-facebook
McAfee, A., & Brynjolfsson, E. (2008). Investing in the IT That Makes a Competitive Difference. Havard Business Review. https://hbr.org/2008/07/investing-in-the-it-that-makes-a-competitive-difference
Rosenbloom, R. S. (2020). Leadership, Capabilities, and Technological Change: The Transformation of NCR in the Electronic Era. Strategic Management Journal, 21. https://doi.org/10.1002/1097-0266(200010/11)21:10/11<1083::AID-SMJ127>3.0.CO;2-4
Setu, F. (2019, December 2). Selama November 2019, Kementerian Kominfo Identifikasi 260 Hoaks, Total Hoaks Sejak Agustus 2018 Menjadi 3.901. Kominfo. https://www.kominfo.go.id/content/detail/23054/siaran-pers-no-217hmkominfo122019-tentang-selama-november-2019-kementerian-kominfo-identifikasi-260-hoaks-total-hoaks-sejak-agustus-2018-menjadi-3901/0/siaran_pers
Stieglitz, S., & Dang-Xuan, L. (2013). Social media and political communication: a social media analytics framework. Social Network Analysis and Mining, 3(4), 1277–1291. https://doi.org/10.1007/s13278-012-0079-3
Zhang, Y., Jiang, B., Yuan, J., & Tao, Y. (2020). The impact of social distancing and epicenter lockdown on the COVID-19 epidemic in mainland China: A data-driven SEIQR model study. MedRxiv, 2019(December 2019), 2020.03.04.20031187. https://doi.org/10.1101/2020.03.04.20031187
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!