Aksi Kolektif dalam Mengurangi Emisi Karbon di Yogyakarta

,

Riset yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa selama enam bulan pada tahun 2019, Yogyakarta hanya memiliki 50 hari dengan kualitas udara baik dan 92 hari dengan kualitas udara moderat dan tidak sehat (Nugroho, 2021). Data tersebut memperlihatkan bahwa diperlukan upaya serius untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan beralih ke kendaraan rendah karbon, yaitu  sepeda. Penulis memilih topik ini karena penelitian masalah pencemaran udara dalam skope penelitian lingkungan masih terbatas. Melalui tulisan ini, penulis berusaha mengidentifikasi upaya aksi kolektif yang dilakukan oleh komunitas Jogja Lebih Bike (JLB) dalam memerangi pencemaran udara akibat kendaraan bermotor. Identifikasi dilakukan melalui pengamatan terhadap upaya dan dampak aksi kolektif terhadap pencemaran udara di Yogyakarta. JLB menjadi objek penelitian yang menarik untuk diteliti karena komunitas ini tidak hanya bersepeda sebagai kegiatan rekreasional dan olahraga, tetapi juga berlandaskan kepedulian terhadap pencemaran udara[1]. Selain itu, JLB mewadahi aksi-aksi kolektif yang diperlukan untuk menyelamatkan bumi serta menggunakan aksi-aksi yang anti-mainstream dan nirkekerasan dalam mencapai tujuannya.

Pilihan Transportasi di Yogyakarta: Sepeda atau Kendaraan Bermotor?

Tingginya pengendara sepeda, khususnya sepeda onthel, di kalangan masyarakat menjadikan Yogyakarta dikenal sebagai kota sepeda pada tahun 1950-1970-an (Rahayu, 2020). Mulanya, sepeda hadir sebagai salah satu bentuk pengaruh masyarakat Eropa dalam bidang transportasi. Sepeda dimanfaatkan oleh aparat militer Belanda untuk memperlancar arus transportasi darat (Rahayu, 2020). Sejak 1902, mulai banyak dijumpai toko sepeda di Yogyakarta. Namun, saat itu sepeda hanya menjangkau masyarakat lokal dengan strata sosial yang tinggi, seperti keluarga keraton dan pejabat pemerintahan. Masyarakat kelas menengah dan bawah kesulitan memiliki sepeda dikarenakan harganya yang mahal. Harga sepeda onthel merek Eropa setara dengan harga tiga ton beras (Rahayu, 2020). Pada tahun 1950-an, banyak bengkel sepeda di Yogyakarta yang merakit sepeda onthel sendiri. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada banyak kalangan masyarakat, termasuk pedagang, petani, dan pelajar untuk memiliki sepeda onthel. Pada tahun 1972-1978, kepemilikan sepeda kian meningkat hingga menjadikan sepeda menjadi moda transportasi yang paling banyak dijumpai di jalan mengalahkan becak, andong, gerobak, dan keseran (Rahayu, 2020).

Keadaan sepeda yang mendominasi jalanan tidak berlangsung lama. Hal itu disebabkan oleh beralihnya masyarakat ke kendaraan bermotor (Rahayu, 2020). Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor berkorelasi positif dengan meningkatnya pencemaran udara. Pencemaran udara di Yogyakarta berasal dari kendaraan bermotor yang menyumbang 60% emisi karbon. Hal tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa 88% masyarakat Yogyakarta menggunakan kendaraan bermotor sebagai moda transportasi harian (Rini, 2021).

Sepeda sebagai Solusi Pengurangan Emisi Karbon

Seberapa efektifkah penggunaan sepeda dalam mengurangi emisi karbon? Brand, dkk (2021) mengungkapkan bahwa mengendarai sepeda sejauh 5 km dapat menekan kadar CO₂ di udara sebesar 14% dan hanya menghasilkan 0,03 kg CO₂ per orang dalam sehari. Perlu diketahui bahwa sepeda bukanlah kendaraan yang tidak menghasilkan emisi karbon sama sekali. Emisi karbon yang dihasilkan sepeda berkaitan dengan pembuatan, pemeliharaan, dan pembuangan sepeda (termasuk baterai dan motor penggerak untuk sepeda listrik), serta perubahan pola makan yang sangat mungkin terjadi karena bersepeda membutuhkan lebih banyak energi. Kendati demikian, emisi karbon keseluruhan yang dihasilkan oleh sepeda berjumlah 10x lebih rendah dibandingkan kendaraan bermotor (Brand, dkk, 2021).

Jika satu orang bersepeda dapat berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon, maka bagaimana dengan banyak orang bersepeda? Apakah bersepeda secara kolektif menunjukkan hasil yang berbeda dari bersepeda secara individu? Penulis melakukan pengukuran terhadap CO₂ yang dapat ditekan dengan bersepeda melalui wawancara dengan berbagai pihak. A telah menggunakan sepeda untuk bepergian sehari-hari dengan radius 6 – 9 km selama 11 bulan. Perhitungan dengan kalkulator emisi gas rumah kaca oleh UNFCCC (UNFCCC, 2021), menunjukkan bahwa sekitar 218 Kg CO₂ dapat ditekan melalui kegiatannya bersepeda selama 11 bulan atau 0,91 Kg CO₂ setiap harinya dibandingkan dengan motor 125 cc – 500 cc menempuh jarak yang sama.

Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup, pada 12 Juni 2021, Jogja Lebih Bike dan Sego Segawe Reborn mengundang berbagai komunitas sepeda untuk bersama-sama bersepeda dengan rute yang ditentukan sendiri. Salah satu komunitas, dengan jumlah pesepeda adalah 25 orang, memilih rute dari Titik 0 KM Yogyakarta menuju Taman Puspa Gading, Bantul dengan total jarak 11 km. Berdasarkan pengukuran, diketahui bahwa sebanyak 27,75 Kg CO₂ dapat ditekan melalui kegiatan tersebut dibandingkan dengan 25 orang menempuh jarak yang sama dengan menggunakan motor 125 cc – 500 cc.

Perbandingan emisi karbon yang dapat ditekan antara A dan komunitas pesepeda menunjukkan hasil yang berbeda. A hanya menekan 0,91 Kg CO₂ dalam satu kali bersepeda. Sedangkan, komunitas pesepeda mampu menekan 27,75 Kg CO₂ dalam satu kali bersepeda. Perbedaan antara keduanya dipengaruhi oleh jumlah pesepeda dan jarak tempuh. Semakin banyak pesepeda dan semakin jauh jarak tempuhnya maka akan menghasilkan pengurangan emisi karbon yang semakin tinggi. Hal ini menjadi salah satu keunggulan aksi kolektif, yaitu mampu menekan emisi karbon hingga 30 kali lipat dibandingkan aksi individu.

Tantangan dalam Mendorong Penggunaan Sepeda

Penggunaan sepeda memberikan dampak positif bagi penggunanya dan lingkungan, tetapi upaya mendorong penggunaan sepeda di masyarakat terjegal oleh berbagai masalah. Pertama, kendaraan bermotor. Jalanan di Yogyakarta didominasi oleh kendaraan bermotor. Kepala Dinas Perhubungan D.I.Y, Sigit Sapto Raharjo, menyatakan bahwa pada 2019 di Kota Yogyakarta sendiri terdapat 1,8 juta kendaraan bermotor dan jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya sebanyak 4% untuk mobil dan 6% untuk motor (Razak, 2019). Kedua, infrastruktur. Yogyakarta belum mampu menyediakan infrastruktur dan sistem yang mengakomodasi kegiatan bersepeda. Beberapa permasalahannya adalah marka lajur sepeda yang kurang memadai, marka jalan yang sudah pudar, jalur sepeda yang digunakan parkir kendaraan bermotor, ketiadaan rambu lalu-lintas untuk sepeda, petunjuk arah rute sepeda wisata yang kurang lengkap, tidak ada marka penyeberangan di jalan raya, serta sebagian kondisi jalan yang kasar, terutama di sepanjang sungai (Jogja Lebih Bike, 2022). Ketiadaan infrastruktur yang memadai mempengaruhi minat masyarakat untuk bersepeda.[2] Ketiga, topografi. Yogyakarta memiliki topografi yang unik, yaitu semakin ke utara maka permukaan tanah akan semakin meninggi. Hal tersebut akan menyulitkan bagi pesepeda karena harus melalui jalan yang menanjak saat menuju ke arah utara.[3] Keempat, cuaca. Panas terik dan hujan menjadi cuaca yang paling dihindari bagi pengendara sepeda. Panas terik akan menyebabkan pesepeda berkeringat sedangkan hujan akan membuat pesepeda kesusahan  karena harus memakai jas hujan, melindungi barang bawaan dan sepatu dari basah, dan mengayuh sepeda dengan jarak pandang yang terbatas.[4] Topografi dan cuaca merupakan hambatan yang tidak dapat dihindari, oleh karena itu sudah seharusnya banyak pihak lebih fokus pada kendaraan bermotor dan infrastuktur yang kurang memadai sebagai hambatan yang dapat dibenahi.

Upaya Mendorong Minat Bersepeda

Salah satu upaya mendorong budaya bersepeda di masyarakat dilakukan oleh Jogja Lebih Bike (JLB). JLB merupakan komunitas sepeda yang dibentuk oleh Purpose Indonesia dan Tempuran Initiative Society (TIS) pada tahun 2020.[5]  JLB memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran pemangku kepentingan dan masyarakat di Yogyakarta mengenai polusi udara serta mendorong terciptanya perubahan kebijakan dan perilaku masyarakat dalam memilih moda transportasi yang ramah lingkungan (Nugroho, 2021). Dalam mewujudkan tujuan tersebut, JLB telah melaksanakan berbagai upaya yang penulis identifikasi menjadi tiga, yaitu kampanye, bersepeda bersama, dan advokasi kebijakan.

JLB memanfaatkan platform daring untuk menyebarkan pesan positif dari bersepeda.[6] Penulis mengidentifikasi kampanye yang dilakukan JLB di media sosial ke dalam empat bagian. Pertama, tagar #DekatBersepeda. JLB mengajak masyarakat untuk bersama-sama melakukan aksi bersepeda jarak dekat seperti ke tempat makan, ATM, dan toko terdekat kemudian mengunggah kegiatannya di media sosial menggunakan tagar #DekatBersepeda. Kedua, Cerita Bike. JLB menampilkan cerita dan profil dari orang-orang yang menggunakan sepeda. Mereka berkesempatan menceritakan alasan dan pengalamannya menggunakan sepeda. Ketiga, Obrolan Bike. Program ini merupakan podcast atau webinar seputar sepeda dan lingkungan dengan memanfaatkan platform Instagram Live atau Youtube Live. Keempat, Film Dokumenter.

JLB juga kerap kali mengadakan kegiatan bersepeda bersama yang melibatkan komunitas pesepeda yang ada di Yogyakarta. Beberapa kegiatan yang pernah diadakan oleh JLB adalah #PekanBersepeda, #IfthaRide, Color Bike, Pawai Sepeda Tinggi dan Onthel, dan lain sebagainya. JLB tidak selalu berperan sebagai penyelenggara kegiatan bersepeda, tetapi juga membantu kegiatan yang diadakan oleh komunitas pesepeda.

JLB mendorong terciptanya kebijakan publik yang berpihak kepada pesepeda. JLB bekerja sama dengan Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM dan DPRD Kota Yogyakarta melakukan advokasi kebijakan dengan merekomendasikan dua Peraturan Walikota untuk menciptakan Kota Yogyakarta yang lebih ramah pesepeda dan mendorong perbaikan kualitas udara (Danang Rudyatmoko dalam Nugroho, 2021; Jogja Lebih Bike, 2022). Aturan pertama adalah kewajiban pusat perbelanjaan seperti minimarket dan toko swalayan berjejaring nasional untuk memberikan fasilitas parkir atau rak sepeda yang aman bagi pelanggan.

Dengan diterapkannya aturan ini, harapannya banyak masyarakat tergerak untuk bersepeda mulai dari tempat-tempat terdekat, seperti minimarket atau toko swalayan.[7]

Aturan kedua adalah pembagian ruang dan waktu untuk jalur sepeda di Kota Yogyakarta pada jam-jam tertentu dimana masyarakat bersepeda untuk pergi dan pulang dari kantor dan sekolah. Pada jam-jam pergi dan pulang dari kantor dan sekolah, jalur sepeda tidak boleh digunakan oleh pengguna lainnya. Sedangkan di luar jam-jam tersebut, jalur sepeda dapat digunakan oleh pengguna jalan selain sepeda, termasuk untuk parkir. Aturan ini diusulkan karena Kota Yogyakarta tidak memiliki jalan yang cukup lebar ditambah sisi jalur yang sering kali dialihfungsikan sebagai parkir kendaraan bermotor. Pertentangan di masyarakat atau pengusaha dapat terjadi apabila penegakan hukum yang tegas diberlakukan. Namun, di sisi lain, jalur sepeda yang digunakan sebagai parkir kendaraan bermotor merampas hak pesepeda. Adanya aturan ini dianggap sebagai “jalan tengah” yang menguntungkan semua pihak (Jogja Lebih Bike, 2022).

Kesimpulan

Upaya mendorong kebiasaan bersepeda di masyarakat tidaklah mudah karena terdapat tantangan yang harus dihadapi. Banyaknya kendaraan bermotor dan infrastruktur yang kurang memadai harus dapat segera dibenahi. Pengurangan aktivitas kendaraan bermotor, salah satunya, dilakukan dengan kampanye ajakan bersepeda dan kegiatan bersepeda bersama oleh komunitas JLB. Komunitas-komunitas pesepeda lainnya, dimanapun mereka beroperasi, juga dapat melakukan hal yang sama untuk menunjukkan eksistensi pesepeda sebagai salah satu kelompok yang berhak memperoleh infrastruktur yang aman dan nyaman di jalan. Pada sisi yang berbeda, pemerintah tidak hanya perlu bertindak untuk menyediakan infrastruktur yang aman dan nyaman bagi pesepeda, tetapi juga harus mendorong pemberlakuan kebijakan publik yang berpihak pada pesepeda.

Meskipun rekomendasi dua peraturan Wali Kota yang diusulkan JLB bersama Pustral UGM dan DPRD Kota Yogyakarta belum menemui titik terang, upaya advokasi kebijakan tersebut dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan hal yang sama demi mengurangi pencemaran udara.

Referensi

Brand, C., dkk (2021). The Climate Change Mitigation Effects of Daily Active Travel in Cities. Transportation Research Part D: Transport and Environment, 93, 102764.

Jogja Lebih Bike. (2022). Risalah Kebijakan:Mendukung Transportasi Sepeda untuk Menuju Jogja yang Lebih Bike. Pusat Studi Transportasi dan Logistik: Universitas Gadjah Mada.

Nugroho, A. (2021). Jogja Lebih Bike, Upaya Perbaiki Kualitas Udara Jogja. Diakses pada 15

Januari 2023     dari https://ugm.ac.id/id/berita/20777-jogja-lebih-bike-upaya-perbaiki-kualitas-udara-jogja

Rahayu, P. (2020). Romantisme Kereta Angin (Sepeda Onthel) di Yogyakarta Tahun 1970 an. Lembaran Sejarah, 16(1), 25-36.

Razak, A. H. (2019). Jumlah Kendaraan di Jogja Terus Bertambah, Rekayasa Lalu Lintas Jadi Solusi. Diakses pada 31 Juli 2023 dari Harian Jogja: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/08/07/510/1010567/jumlah-kendaraan-di-jogja-terus-bertambah-rekayasa-lalu-lintas-jadi-solusi

Rini, E. (2021). Tekan Polusi Udara di Jogja, Jogja Lebih Bike Ajak Warga Bersepeda. Diakses pada 30 November 2022 dari Kompas TV: https://www.kompas.tv/article/148255/tekan-polusi-udara-di-jogja-jogja-lebih-bike-a jak-warga-bersepeda?page=2

UNFCCC. (2021). Greenhouse Gas Emissions Calculator. Diakses pada 4 Desember 2022 dari https://unfccc.int/documents/271269?gclid=CjwKCAiAp7GcBhA0EiwA9U0mtu7Lm67 vxGXSAHWgcW9UMkdY1XYJUGCVHM8aQiKnBgXTZtY09ULrqBoCyyEQAvD_BwE

[1] Wawancara dengan Bapak Aldy Permana, Associate Communication Manager Purpose Indonesia, tanggal 12 November 2022, pukul 09.30 WIB.

[2] Wawancara dengan Bapak Sa’duddin, Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, tanggal 21 November 2022, pukul 16.00 WIB.

[3] ibid

[4] ibid

[5] Wawancara dengan Bapak Aldy Permana, Associate Communication Manager Purpose Indonesia, tanggal 12 November 2022, pukul 09.30 WIB.

[6] Wawancara dengan Ibu Uniph Kahfi, Koordinator Jogja Lebih Bike, tanggal 15 November 2022 pukul 14.30 WIB

[7] Wawancara dengan Bapak Sa’duddin, Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, tanggal 21 November 2022, pukul 16.00 WIB.

.