Desa Mawa Cara: Energi Terbarukan di Balong Wetan
brief article, Perubahan IklimPerubahan iklim merupakan isu serius yang perlu mendapatkan perhatian dan aksi nyata. Salah satu aksi nyata adalah mengurangi penggunaan energi fosil. Dalam penelitian OECD (2022) sebanyak 81% pasokan listrik di Indonesia masih bergantung dengan energi fosil, terutama batu bara. Bahkan, menurut Dadan Kusdiana selaku Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM dalam “Webinar Kilang dalam Transisi Energi” yang diselenggarakan pada November 2021, penggunaan energi fosil di Indonesia masih menyentuh angka 88,8% dari total penggunaan energi bauran primer. Penggunaan energi fosil menyebabkan kenaikan emisi gas rumah kaca, sehingga iklim menjadi tidak stabil serta meningkatnya suhu bumi dan permukaan air laut (Pertamina, 2020). Data tersebut menunjukan negara kita, Indonesia masih menggunakan energi fosil dalam skala besar.
Salah satu upaya dalam mengurangi atau menghemat penggunaan energi fosil adalah dengan membuat energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable) misalnya mengembangkan potensi energi terbarukan (Febiyanita, 2015). Atau bahasa kerennya berpartisipasi dalam transformasi energi. Setidaknya, inisiatif aksi-aksi ini dapat mengurangi penggunaan energi fosil dan menambah pilihan energi alternatif yang ramah lingkungan.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menyuguhkan contoh aksi transformasi energi yang nyata dilakukan masyarakat di Dusun Balong Wetan, Cangkringan, Sleman, Provinsi DIY melalui pembangunan sejumlah 20 unit reaktor biogas pada tahun 2014. Sumber energi biogas merupakan salah satu sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh rumah tangga (untuk memasak) serta beberapa keperluan komersial dan industri (Lauranti & Djamhari, 2017). Sehingga, di Balong Wetan sudah memulai transformasi energi untuk menggantikan penggunaan LPG dan berpindah ke penggunaan biogas.
Apa itu Biogas?
Biogas sendiri dihasilkan melalui biodigester yang harus bersifat anaerob (Palupi, 2015). Biodigester yang bersifat anaerob tersebut memerlukan bahan baku yang berupa limbah organik seperti sampah, kotoran hewan, sisa pertanian, dan lain sebagainya. Alat ini yang digunakan warga Balong Wetan untuk merubah kotoran sapi menjadi gas yang dapat digunakan untuk menggantikan gas LPG sebagai sumber energi pada kompor gas.
Dengan sebagian besar penduduknya yang merupakan peternak sapi perah, menjadikan dusun ini dilirik oleh Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral Daerah Istimewa Yogyakarta (Dinas PUP-ESDM DIY) untuk dijadikan salah satu lokasi penerimaan bantuan biogas pada tahun 2014. Menurut Leo Yudha, Kepala Seksi Energi dan Ketenagalistrikan Bidang ESDM Dinas PUP-ESDM DIY, ketersediaan bahan baku biogas yang berasal dari kotoran sapi ini akan lebih terjaga apabila dihasilkan dari sapi perah, dibandingkan dengan sapi potong yang akan berkurang atau tergantikan populasinya ketika sudah waktu panen.
Kerja Biogas di Kandang Sapi
Dalam pembangunannya, reaktor biogas di Balong Wetan dibangun di area kandang sapi yang biasanya ada di sekitar rumah masing-masing warga. Reaktor tersebut terbagi menjadi tiga bagian yang meliputi inlet, digester, outlet.
Inlet merupakan tempat masuknya kotoran sapi, bentuknya merupakan mixer. Sehingga sebelum dimasukkan ke dalam digester, dilakukan pencampuran antara kotoran sapi dan air dengan perbandingan 1:1. Selanjutnya, kotoran sapi tersebut menuju digester untuk dilakukan perombakan zat secara anaerob. Pada pertama kali percobaan, membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu untuk proses ini. Namun, setelahnya jika setiap hari dilakukan pengisian pada tabung digester maka akan terjadi secara sustainable. Pada digester, gas yang terbentuk akan naik menuju saluran gas karena massanya yang lebih ringan. Namun, residu kotoran tersebut akan keluar melalui outlet dan akan menjadi pupuk yang dapat langsung digunakan.
Manfaat penggunaan Biogas bagi masyarakat dan lingkungan
Menurut Ngadisih, Dosen Teknologi Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, biogas menciptakan lingkungan sanitasi yang lebih baik. Hal ini didasari dari biogas dapat mengolah limbah kotoran sapi atau beberapa limbah lainnya yang sebelumnya tidak digunakan menjadi sebuah hal yang lebih bermanfaat. Kotoran sapi yang sebelumnya menyebabkan pencemaran udara, terlebih gas metana yang dimiliki dari kotoran tersebut justru dapat diolah menjadi gas yang dapat digunakan untuk memasak. Selain itu, menurut Widodo yang merupakan salah satu Warga Balong Wetan penerima bantuan biogas dari Dinas PUP-ESDM DIY juga menyampaikan bahwa residu dari pengolahan biogas ini dapat dijadikan pupuk yang subur. Bahkan, pupuk tersebut dapat langsung digunakan ketika sudah berada pada outlet biogas yang berupa pupuk cair. Pupuk ini seringkali disebut dengan Bio Slurry.
Keberlanjutan dan Tantangan
Indonesia memiliki limbah kotoran ternak serta beberapa limbah organik yang cukup tinggi. Dalam proses produksi energi terbarukan melalui teknologi biogas yang memerlukan limbah sebagai bahan dasar, biogas menjadi jawaban atas permasalahan yang ada. Sehingga, selain dapat mengolah limbah yang melimpah, juga dapat menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Mengingat, menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2025 pemerintah menargetkan sebesar 23% energi yang digunakan Indonesia harus merupakan energi terbarukan. Tentu saja hal ini perlu sebuah inovasi dalam upaya pemenuhan target tersebut, sehingga pemanfaatan biogas dapat memenuhi sebagian dari target 23% energi terbarukan pada 2025.
Terlihat mudah, namun sejatinya pembangunan energi alternatif biogas ini punya tantangan serius. Tantangan tersebut merupakan beberapa permasalahan yang seharusnya dapat ditanggulangi oleh pemerintah, namun tidak dilakukan dengan baik. Dusun Balong Wetan sendiri awalnya mendapat bantuan biogas dari Dinas PUP-ESDM DIY sejumlah 20 unit. Namun, saat ini hanya menyisakan 4 unit yang masih digunakan oleh Warga Balong Wetan. Hal ini tentunya bukan tanpa sebab. Saat saya melakukan penelitian mengenai Biogas di Balong Wetan, ada beberapa hal yang menyebabkan beberapa reaktor biogas tidak lagi digunakan oleh Warga Balong Wetan. Salah satunya merupakan masalah yang sangat sederhana, kompor mereka rusak namun tidak tahu tempat untuk membelinya. Menurut Widodo, kompor untuk biogas ini sangat mudah rusak. Hal ini didasari dari komponen kompor yang sepertinya tidak sebaik kompor LPG yang dijual di pasaran. Sehingga, ketika kompor tersebut rusak maka warga tidak lagi menggunakan kompor tersebut untuk memasak. Selain permasalahan kompor, permasalahan juga timbul akibat dari Pandemi Covid yang terjadi belakangan ini. Beberapa warga memilih untuk menjual sapi yang dimiliki, sehingga tidak lagi memiliki kotoran ternak yang dijadikan bahan baku untuk pengolahan biogas. Bahkan, ada juga warga yang membongkar reaktor biogas tersebut karena akan dibangun rumah.
Tentunya hal tersebut merupakan hal yang sebenarnya mudah untuk dicegah. Karena permasalahan di Balong Wetan merupakan masalah yang sebenarnya sederhana, mereka hanya memerlukan edukasi mengenai biogas secara mendalam. Bahkan, permasalahan kompor tersebut sebenarnya sudah terselesaikan. Widodo menyampaikan bahwa belakangan ini dirinya baru mengetahui bahwa kompor untuk biogas tersebut ternyata sudah dijual melalui beberapa lokapasar yang ada di Indonesia. Namun, terlanjur banyak warga Balong Wetan yang tidak menggunakan reaktor biogas dalam waktu yang lama. Sehingga ada beberapa reaktor yang rusak, bahkan jika tidak rusak pun perlu dilakukan pengurasan digester karena residu yang ada sudah mengering. Selanjutnya, menurut Ngadisih ini merupakan hal yang seharusnya menjadi peran bagi pemerintah, akademisi, serta beberapa pihak lain. Melalui kegiatan pemerintah, pengabdian akademisi, serta CSR berbagai perusahaan, seharusnya dapat menjawab permasalahan yang ada dalam pemanfaatan biogas, terlebih di Balong Wetan. Sehingga, masyarakat akan lebih teredukasi akan biogas. Mengingat, mayoritas biogas di Balong Wetan saat ini hanya dimanfaatkan untuk mengolah limbah kotoran sapi. Padahal, sebenarnya biogas dapat mengolah berbagai limbah lain. Sehingga, apabila sudah tidak memiliki sapi, bukan menjadi permasalahan untuk tidak lagi menggunakan biogas.
Biogas di Indonesia
Potensi untuk mengembangkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dalam bentuk biogas di Indonesia sangat besar. Saat ini, pemanfaatan biogas belum dilakukan secara umum, beberapa lokasi biogas masih sebagai pilot project dalam pengembangan biogas. Seperti yang terjadi di Balong Wetan. Meskipun memiliki banyak tantangan dalam pengembangannya, hal tersebut bukan menjadi hambatan. Melainkan dapat menjadi hal yang dapat untuk dipelajari, sehingga tidak ada kesalahan serupa di kemudian hari. Balong Wetan dengan segala tantangan yang ada perlu ditemukan bagaimana solusinya agar program biogas tersebut tidak berhenti sampai situ saja, melainkan juga dapat dikembangkan dengan lebih baik. Beberapa reaktor yang sudah tidak digunakan, perlu dilakukan revitalisasi agar semakin banyak masyarakat yang menggunakan biogas sebagai salah satu energi alternatif. Pemerintah perlu segera melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya pengadaan sumber daya energi biogas. Hal ini sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineal No. 39 Tahun 2017. Dengan melaksanakan program ini sesuai dengan aturan yang ada, diharapkan program ini akan berjalan dengan lebih bak. Sehingga, dalam waktu kedepan bukan tidak mungkin apabila biogas dapat menjadi sumber daya energi yang masif di Indonesia.
Referensi
Febriyanita, W. 2015. Pengembangan Biogas Dalam Rangka Pemanfaatan Energi Terbarukan Di Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.
Lauranti, M., Djamhari, E. A. 2017. Transisi Energi yang Setara di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung
OECD (2023), OECD Inventory of Support Measures for Fossil Fuels: Country Notes, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/5a3efe65-en (accessed on 10 July 2023).
Palupi, Dyah S. 2015. Efektivitas Pemanfaatan Biogas untuk Menunjang Ketahanan Energi. Jurnal Ketahanan Nasional. Vol. 4. No. 2. 78-88.
Pertamina Energy Institute. 2020. Pertamina Energy Outlook 2020. Jakarta: Pertamina Energy Institute.