Komunikasi Politik Digital: Jembatan Masyarakat dalam Membangun Persepsi Atas Aktor Politik

,

Perhelatan akbar pemilihan umum 2024 sudah dekat. Jika sebelumnya, aktivitas komunikasi politik memerlukan banyak medium untuk menyampaikan pesan politik, kini media digital bukan hanya sebagai suatu capaian perkembangan. Setidaknya, Penulis menemukan tiga transformasi media digital. Pertama, media digital bekerja sebagai arena pertarungan utama para aktor politik dalam upaya menggalang dukungan suara sebanyak-banyaknya. Kedua, media digital juga menjadi arena pertukaran informasi dan komunikasi politik yang dekat dan bersifat inklusif, mudah diakses masyarakat luas.  Untuk itu, penulis melihat aktor politik harus cermat dan giat dalam menembak pasar untuk modal politik utama dalam media digital yaitu mengideologisasi dan menyebarkan visi.

Sementara di sisi lain, masuknya politik dalam dunia digital menjadikan media digital sebagai ruang publik yang “panas”. Artinya, narasi yang beredar mengenai aktor politik tidak serta merta hanya statis terkait visi misi serta ideologi mereka, melainkan juga arus pertukaran informasi yang sangat dinamis, termasuk juga diskursus-diskursus negatif terhadap seorang aktor politik tertentu. Bagaimanapun juga, dalam upaya membangun wacana publik, aktor politik harus bertindak pro-aktif guna mengamankan identitas serta figuritasnya. Oleh karenanya, tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan yang penting dalam politik digital, mengapa dan bagaimana aktor politik membangun figurasi melalui media digital?

Media Digital akan Menjadi Arena Kontestasi Utama Pemilu 2024

Pemilu 2024 mendatang akan didominasi dengan penggunaan media digital sebagai arena kontestasi di antara para aktor dan partai politik. Center for Strategic and International Studies (CSIS) meproyeksikan bahwa pada pemilu tahun 2024 mendatang, akan ada 114 juta kaum muda (17-39 tahun), atau setara dengan 60 persen dari total pemilih di Indonesia. Dari angka tersebut, dinamika politik bagi kaum muda juga mengalami peningkatan yang signifikan, yakni dari 39,5 persen pada tahun 2018 menjadi 59 persen pada tahun 2022.[1]

Melihat dinamika tersebut, media digital khususnya media sosial, akan menjadi arena pertukaran informasi dan komunikasi politik yang berdampak signifikan secara menyeluruh terhadap struktur masyarakat Indonesia. Media digital juga, pada titik tertentu, turut mempengaruhi preferensi politik masyarakat Indonesia, khususnya dalam memilih aktor maupun partai politik ke depannya. Oleh karenanya, aktivitas politik yang dilakukan, baik oleh aktor maupun partai politik, dalam media digital memiliki konsekuensi atas persepsi masyarakat terhadap aktor dan partai politik.

Penggunaan media sosial kampanye politik bukalah merupakan isu yang baru mencuat di permukaan. Bahkan, penggunaan media sosial turut menyumbangkan kemenangan terhadap Donald Trump dalam pemilihan umum Amerika Serikat pada tahun 2016 lalu. Pada saat itu secara keseluruhan, minat pemilih terhadap Trump tiga kali lebih tinggi daripada Clinton. Trump adalah kandidat yang paling banyak dicari di Google, dan juga paling banyak disebut di Twitter dan Facebook.[2] Sederhananya, Trump berhasil memanfaatkan media sosial, dalam hal ini adalah Twitter, dengan menunjukkan perhatiannya pada isu-isu terkini, sikapnya yang transparan (ekspresi tanpa pernis) pada suatu isu, dan terkesan berani mengambil resiko daripada kehati-hatian.

Lebih lanjut, kuatnya media sosial dalam membangun figur publik Trump di pemilu Amerika Serikat tahun 2016 lalu, menjadi praktik nyata peranan digitalisasi dalam dinamika politik. Praktik ini seharusnya mampu direplikasi oleh aktor dan partai politik di Indonesia. Indonesia memiliki penetrasi internet pada awal tahun 2023 mencapai 212,9 juta orang atau setara dengan 77 persen dari total populasi yang ada. Ditambah lagi dengan pengguna media sosial sebanyak 167 juta orang atau setara dengan 60,4 persen dari total populasi yang ada[3]. Dengan fenome tersebut, terbesit peluang bagi aktor politik untuk memanfaatkan medium ini dalam membangun persepsi dan pilihan politik masyarakat terhadap dirinya.

Kecenderungan Masyarakat Indonesia dalam Mengandalkan Seorang Figur

Signifikansi peran figuritas dalam proses pemilu tidak dapat terlepas dari masyarakat Indonesia yang masih cukup kuat bergantung kepada sosok figur.[4] Masyarakat Indonesia, khususnya kaitannya terhadap konsep kewarganegaraan, lebih cenderung mengarah pada bentuk kewarganegaraan informal daripada yang formal. Kewarganegaraan informal menggambarkan bahwa warga negara bergantung pada hubungan pribadi terhadap sosok aktor atau figur yang dekat dengan kekuasaan untuk dapat mengakses layanan negara, termasuk hak-hak dan kepentingan sebagai warga negara.[5]

Lebih lanjut, konsep ketergantungan terhadap hubungan pribadi ini yang kemudian menjadikan masyarakat Indonesia menglorifikasi sosok figur. Adanya aktor yang secara signifikan dapat menjawab persoalan yang masyarakat alami, juga memenuhi kebutuhan kolektif masyarakat, adalah aktor yang berpotensi untuk mendapatkan dukungan besar dari masyarakat yang ada.[6] Oleh karenanya, membangun citra publik terhadap sosok figur, atau dalam hal ini adalah aktor politik, menjadi hal yang penting untuk dilakukan melalui media sosial. Tentunya sebagaimana saat ini media sosial merupakan jembatan pertukaran informasi yang paling aktif di kalangan masyarakat Indonesia.

Preferensi Figur Masa Depan  

Pertanyaan selanjutnya adalah, sosok figur seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia? Kebutuhan ini yang perlu dijawab oleh aktor politik dalam upaya membangun citra dirinya di masyarakat Indonesia. Kembali menyadur dari laporan CSIS, sebanyak 44,4 persen pemilih muda menyebutkan menaruh perhatian lebih terhadap isu kesejahteraan. Selain itu, pada urutan kedua sebesar 21,3 persen pemilih muda menaruh perhatian terhadap isu ketenagakerjaan. Dari dua isu strategis tersebut tentunya dapat dipahami bahwa proyeksi pemilih pada pemilu 2024 mendatang akan lebih dominan digiring pada isu-isu terkait sosial-ekonomi.[7] Oleh karenanya, aktor politik perlu untuk melakukan branding diri sebagai sosok figur yang menjawab persoalan-persoalan ini.

Kesalahan yang umum terjadi dari aktor politik adalah salah menempatkan posisi dalam branding yang alih-alih meraup dukungan sebanyak-banyaknya, namun justru tidak berpengaruh secara signifikan terhadap elektabilitas mereka. Sebagai contoh, banyak kandidat politik yang mengidentifikasi figur mereka sebagai kaum milenial untuk dapat menarik suara, khususnya suara kaum muda. Namun, “menjadi milenial” bukan suatu hal yang dibutuhkan oleh para pemilih muda, yang notabene akan mendominasi pemilu tahun 2024 mendatang, melainkan bagaimana kandidat memberi perhatian dan perubahan terhadap isu-isu yang meresahkan namun diperlukan solusinya bagi kaum muda.[8]

Kenali Arena Pertarungan Politik

Kelemahan para aktor politik, baik di level eksekutif maupun legislatif adalah mereka terbiasa mengandalkan politik transaksional dalam ajang pemilu. Artinya, aktor politik akan memberikan uang atau hadiah sebagai konsekuensi untuk dapat menerima suara maupun bantuan lainnya dalam ajang pemilu.[9] Namun banyak juga aktor politik yang tidak memahami bahwa dinamika politik transaksional tidak dapat dipukul rata di setiap wilayah di Indonesia.

Berenschot (2018) menemukan bahwa karakter ekonomi lokal memiliki efek kuat terhadap karakter politik lokal dan akibatnya pada cakupan untuk kewarganegaraan aktif dan partisipasi penduduk.[10] Pada wilayah dengan diversifikasi perekonomian yang tinggi, politik transaksional kurang meluas. Masyarakat dengan tipe seperti ini dapat ditemui di wilayah Pulau Jawa, khususnya wilayah perkotaan. Masyarakat ini cenderung lebih otonom terhadap perekonomian, sehingga lebih mampu mengawasi dan mendisiplinkan perilaku elit politik. Sebaliknya, pada kawasan Indonesia Timur, yang mana perekonomian cenderung berputar di seputar pemerintahan, sikap masyarakat yang kritis justru akan membahayakan posisi dan daya tawar mereka terhadap akses kewarganegaraan.

Namun saat ini, pemilih sudah dekat dengan akses digital. Informasi yang beredar sudah dengan mudah diakses oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Artinya, proses masyarakat menilai seorang aktor politik telah memunculkan secercah harapan dalam kerangka objektivitas. Konstruksi persepsi atas figur aktor politik dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Juga, konstruksi ini pun terjadi dalam bentuk apapun yang tersebar secara luas dan cepat di media sosial.

Perlunya Citra Digital bagi Aktor Politik

Oleh karenanya, aktor politik harus sesegera mungkin menghimpun citra positif dan memasangnya di media digital sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masyarakat atas figur pemimpin di masa depan. Menihilkan informasi negatif terhadap aktivitas politik merupakan langkah yang tepat bagi para aktor politik. Sudah seharusnya aktor politik memanfaatkan media digital secara komprehensif namun tetap berhati-hati. Citra politik dalam media digital akan mampu menciptakan, baik itu dukungan maupun penolakan, terhadap proses pemilihan umum mendatang.

Referensi

Amin, Safrudin, Ward Berenschot, Chris Chaplin, M. Zamzam Fauzanafi, Retna Hanani, Dr Vannessa Hearman, Tanya Jakimow, et al. Citizenship in Indonesia: Perjuangan Atas Hak, Identitas, Dan Partisipasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019.

Aspinall, Edward, and Ward Berenschot. Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientelisme, Dan Negara Di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019.

Berenschot, Ward. “The Political Economy of Clientelism: A Comparative Study of Indonesia’s Patronage Democracy.” Comparative Political Studies 51, no. 12 (2018): 1563–93.

Fernandez, Arya, Edbert Gani Suryahudaya, and Noory Okthariza. “Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif, Dan Responsif.” Jakarta: Center For Strategic And International Studies, 2023.

Kemp, Simon. “Digital 2023: Indonesia — DataReportal – Global Digital Insights.” DataReportal – Global Digital Insights, February 8, 2023. https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia.

Khan, Laeeq. “Trump Won Thanks to Social Media.” The Hill, November 15, 2016. https://thehill.com/blogs/pundits-blog/technology/306175-trump-won-thanks-to-social-media/.

Klinken, Gerry van. “Citizenship and Local Practices of Rule.” Journal of Citizenship Studies 22, no. 2 (2018): 112–28.

[1] Arya Fernandez, Edbert Gani Suryahudaya, and Noory Okthariza, “Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif, Dan Responsif” (Jakarta: Center For Strategic And International Studies, 2023).

[2] Laeeq Khan, contributors, “The Hill,” The Hill, November 15, 2016, https://thehill.com/blogs/pundits-blog/technology/306175-trump-won-thanks-to-social-media/.

[3] Simon Kemp, “Digital 2023: Indonesia — DataReportal – Global Digital Insights,” DataReportal – Global Digital Insights, February 8, 2023, https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia.

[4] Safrudin Amin et al., Citizenship in Indonesia: Perjuangan Atas Hak, Identitas, Dan Partisipasi (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019).

[5] Gerry van Klinken, “Citizenship and Local Practices of Rule,” Journal of Citizenship Studies 22, no. 2 (2018): 112–28.

[6] Safrudin Amin et al., Citizenship in Indonesia: Perjuangan Atas Hak, Identitas, Dan Partisipasi (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019).

[7] Arya Fernandez, Edbert Gani Suryahudaya, and Noory Okthariza, “Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif, Dan Responsif” (Jakarta: Center For Strategic And International Studies, 2023.

[8] Arya Fernandez, Edbert Gani Suryahudaya, and Noory Okthariza, “Pemilih Muda Dalam Pemilihan Umum 2024: Dinamis, Adaptif, Dan Responsif” (Jakarta: Center For Strategic And International Studies, 2023

[9] Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientelisme, Dan Negara Di Indonesia (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019).

[10] Ward Berenschot, “The Political Economy of Clientelism: A Comparative Study of Indonesia’s Patronage Democracy,” Comparative Political Studies 51, no. 12 (2018): 1563–93.

.