Gen Z dan Media Sosial: Amplifikasi Kesadaran Kesehatan Mental

,

Masyarakat global terus mengalami perubahan dan kerap kali menghasilkan fenomena-fenomena sosial baru. Salah satu hal baru yang tampak menonjol adalah kesadaran dari Generasi Z atau Gen Z mengenai kesehatan mental. Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada tahun 2019. Pertama, penelitian tersebut menemukan bahwa Gen Z di Amerika Serikat, secara signifikan, memiliki kemungkinan lebih tinggi dalam melaporkan permasalahan pada kondisi mental mereka, dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Kedua, penelitian tersebut juga menemukan bahwa lebih banyak dari Gen Z, dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, yang melaporkan bahwa mereka telah atau sedang menerima pertolongan profesional untuk kesehatan mental mereka. Kesadaran Gen Z mengenai kesehatan mental ini dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari mereka, baik dalam kehidupan nyata maupun di media sosial. Dalam kaitannya dengan media sosial, hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan sebab Gen Z lahir dan dibesarkan dengan kehadiran internet.

Penulis menyepakati tulisan Garnham (2022) yang menekankan bahwa kesadaran Gen Z mengenai kesehatan mental bukanlah sekadar tren melainkan karakter dari generasi tersebut. Tulisan ini memuat dua hal kunci terkait peran Gen Z dalam mentransformasi masa depan masyarakat global. Pertama, posisi Gen Z sebagai generasi muda kedua setelah Gen Alpha (Garnham, 2022). Kedua, kemahiran Gen Z sebagai native digital dalam menggunakan media sosial. Kedua hal ini memiliki potensi pengaruh dalam membentuk kesadaran masyarakat global mengenai kesehatan mental.

Keterbukaan Gen Z mengenai Kesehatan Mental

Kesehatan mental memang masih kerap dianggap sebagai hal yang remeh dan mendapat pengabaian. Di Indonesia, mereka yang memiliki masalah dengan kesehatan mentalnya kerap dianggap kurang bersyukur dan kurang beribadah (Dellanita, 2021). Permasalahan mental dan penyakit mental masih dipandang sebagai hal yang memalukan dan masih dikelilingi oleh stigma. Mereka yang memiliki masalah atau penyakit mental merasa lebih enggan untuk mengakuinya dibandingkan mengakui diri sebagai seorang gay, memiliki permasalahan dengan minuman beralkohol, atau mengalami kebangkrutan (O’Hara, 2009). Stigma dan pandangan tabu mengenai kesehatan mental tersebut dapat dikatakan merupakan hasil dari kondisi sosial dan kultural masyarakat dari generasi-generasi sebelumnya. Oleh karena itu, adanya kesadaran Gen Z mengenai kesehatan mental menunjukkan bahwa generasi ini relatif lebih terbuka mengenai isu ini.

Gen Z umumnya didefinisikan sebagai generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 hingga 2012 (Garnham, 2022). Gen Z lahir dan dibesarkan di dunia yang terhubung melalui internet. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun pasti dari kelahiran internet, web browser pertama lahir pada tahun 1993 dengan kelahiran situs-situs pencarian informasi yaitu Google pada 1998 dan Wikipedia pada 2001 (Burkeman, 2009). Paparan mereka terhadap internet dari usia yang masih sangat belia membuat mereka turut terpapar pada berbagai informasi yang nyaris tanpa limitasi. Salah satu informasi tersebut adalah keragaman dunia—keadaan manusia yang berbeda dengan dirinya. Informasi tersebut didapatkan melalui berbagai sarana, mulai dari unggahan media sosial, berita dari belahan dunia lain, hingga produk-produk hiburan seperti video musik, film, dan acara televisi asing. Keragaman ini tidak selalu berupa hal-hal yang rumit, namun bisa berupa hal-hal yang mendasar seperti perbedaan ras, bahasa, dan budaya. Mereka tumbuh besar dengan dikelilingi informasi-informasi tersebut, dapat dikatakan, secara intens. Hal tersebut memberi mereka ruang untuk menerima dan mengapresiasi keragaman kondisi manusia (De Witte, 2022). Studi yang dilakukan oleh McKinsey pun menemukan bahwa Gen Z secara umum menghargai ekspresi individu (Francis & Hoefel, 2018).

Kehadiran internet memberikan Gen Z akses terhadap berbagai informasi, terutama dengan semakin mudah dan semakin murahnya akses internet secara global. Kemudahan dan kemurahan tersebut dibuktikan dengan peningkatan jumlah pengguna internet sejak lahirnya internet. Pada tahun 1990, hanya separuh penduduk dunia yang terhubung melalui internet (Roser, 2018). Jumlah ini kemudian meningkat pada tahun 2000 dengan hampir separuh penduduk Amerika Serikat memiliki akses internet meskipun sebagian besar wilayah dunia lainnya belum banyak yang tersentuh internet (Roser, 2018). Akan tetapi, pada 2016, beberapa negara mengalami peningkatan jumlah pengguna internet, dengan Malaysia sebanyak 79%, Spanyol dan Singapura sebanyak 81%, Prancis sebanyak 86%, Korea Selatan dan jepang sebanyak 93%, serta Denmark dan Norwegia sebanyak 97% (Roser, 2018).

Kemudahan dan kemurahan akses terhadap internet membantu Gen Z memperoleh informasi mengenai apa itu kesehatan mental yang sebenarnya dan pentingnya menjaga kesehatan mental. Hal ini kemudian menjadi nilai yang terinternalisasi pada diri mereka. Mereka memperoleh informasi mengenai hal-hal saintifik dari kesehatan mental—yang mungkin saja diperoleh dari para ahli di bidang kesehatan mental. Saat ini pun telah banyak berbagai situs yang mengulas topik kesehatan, termasuk kesehatan mental. Situs-situs tersebut ada yang berasal dari dalam negeri seperti Halodoc, Alodokter, dan HelloSehat, dan ada pula yang berasal dari luar negeri seperti NHS UK, Healthline, dan MayoClinic. Kondisi ini berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang cenderung memiliki pengetahuan bersifat stigma terhadap kesehatan mental karena minimnya ketersediaan informasi saintifik mengenai kesehatan mental.

Peran Media Sosial

Sebelum internet hadir, manusia sebagai makhluk sosial menuangkan perasaannya melalui buku jurnal atau diary. Setelah adanya internet, situasi personal-sosial ini mengalami perubahan. Manusia, terutamanya Gen Z, memanfaatkan wadah yang disediakan oleh internet seperti blog dan media sosial. Dua wadah blog besar, yaitu Blogger dan WordPress, masing-masing lahir pada 1999 dan 2003 (“History of Blogging,” 2018). Saat ini juga tengah populer di kalangan Gen Z wadah blog lainnya yaitu Medium, yang lahir pada 2012 (“History of Blogging,” 2018). Selain itu, terdapat berbagai wadah media sosial yang juga menjadi sarana bagi Gen Z untuk menuangkan perasaan. Mulai dari Facebook yang lahir pada tahun 2004, Youtube pada 2005, Twitter pada 2006, Instagram pada 2010, Snapchat pada 2011, hingga TikTok pada 2016 (“The Evolution of…”, t.t.; Hosch, 2023; Ortiz-Ospina, 2019).

Salah satu hal yang diceritakan atau dibicarakan tersebut adalah perjuangan kesehatan mental mereka. Beberapa orang yang tidak saling mengenal pun seakan menjadi saling terhubung karena pengalaman dan perasaan yang sama (Makarim, 2022). Bahkan, media sosial dan internet juga membantu menyebarkan informasi perjuangan kesehatan yang mental yang dialami oleh beberapa figur publik yang digemari oleh Gen Z, seperti Demi Lovato, Selena Gomez, dan Halsey (Itkowitz, 2016; Kaufman, 2022; Mazziotta, 2019). Secara individu, mereka dengan permasalahan mental pun merasa tervalidasi dan memahami bahwa apa yang mereka alami merupakan hal serius yang bisa ditangani oleh ahli profesional. Terutama dalam kaitannya dengan pengalaman figur publik, hal tersebut secara khusus memberikan pengaruh tersendiri—bahwa seorang figur yang mereka idolakan juga mengalami hal yang sama dengan mereka.

Kesadaran Gen Z mengenai kesehatan mental pun tidak berhenti pada diri mereka. Mereka menggunakan media sosial mereka untuk menyebarkan kesadaran ini dan mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental. Hal tersebut dilakukan baik melalui akun pribadi dengan mengunggah secara kasual maupun melalui akun yang dibuat secara khusus untuk melakukan kampanye tersebut. Beberapa di antaranya adalah ‘Made of Millions,’ ‘Ubah Stigma,’ ‘Level Up with Us,’ ‘Campaign Against Living Miserably,’ dan ‘Menjadi Manusia’ yang dapat ditemukan di berbagai situs media sosial seperti Instagram, YouTube, dan TikTok. Meskipun dari contoh-contoh tersebut tidak semuanya dapat dikatakan berupa kampanye, namun mereka memiliki unggahan-unggahan yang secara khusus mengangkat persoalan kesehatan mental. Terdapat pula situs yang secara khusus mengulas berbagai hal mengenai perjuangan kesehatan mental seperti artikel blog, forum, dan konseling. Beberapa situs tersebut di antaranya mind.org.uk, themighty.com, dan calmsage.com. Meskipun seluruh kampanye dan situs tersebut tidak selalu dibuat oleh bagian dari Gen Z, namun kehadiran mereka membantu memberikan Gen Z dorongan untuk terus terbuka mengenai kesehatan mental termasuk dalam akun media sosial pribadinya.

Perubahan untuk Masa Depan

Dengan posisi Gen Z sebagai salah satu generasi termuda dalam populasi penduduk dunia saat ini, kesadaran mereka akan pentingnya kesehatan mental memiliki potensi dalam membentuk kultur masyarakat global di masa yang akan datang. Mereka berpotensi untuk menciptakan sebuah keadaan masyarakat yang menganggap kesehatan mental sebagai hal yang penting. Hal ini akan lebih baik jika dibarengi dengan kesadaran dan perhatian akan hambatan-hambatan struktural yang berpengaruh dalam mengganggu kesehatan mental seorang individu, seperti kemiskinan dan pengangguran.

Selain itu, penting pula bagi Gen Z untuk tidak membiasakan romantisasi masalah kesehatan mental. Romantisasi masalah kesehatan mental dapat memperkuat stigma dan melemahkan pentingnya kesehatan mental bagi kehidupan kita. Penting pula untuk berhati-hati terhadap informasi yang didapatkan dari internet agar tidak mendiagnosis diri sendiri. Ketika dirasakan adanya suatu persoalan dalam kesehatan mental, sebaiknya segera mencari pertolongan dari ahli profesional, yaitu psikolog atau psikiater. Hal terakhir yang juga penting diperhatikan adalah meningkatkan kesadaran mengenai banyaknya jenis-jenis penyakit mental. Meskipun cenderung far-stretched dan terlalu kompleks, kesadaran ini dapat membantu peningkatan perhatian masyarakat mengenai kesehatan mental sehingga meminimalisir stigma terhadap mereka yang mengalami permasalahan mental. Harapannya, dapat tercipta sebuah masyarakat dengan perhatian dan perawatan yang baik mengenai kesehatan mental di masa yang akan datang.

Referensi

American Psychological Association. (2018). Stress in America™: Generation Z. Stress in America Survey. https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2018/stress-gen-z.pdf

Burkeman, O. (2009, 23 Oktober). Forty years of the internet: how the world changed for ever. The Guardian. https://www.theguardian.com/technology/2009/oct/23/internet-40-history-arpanet (Diakses pada 16 Juni 2023).

De Witte, M. (2022, 3 Januari). Gen Z are not ‘coddled.’ They are highly collaborative, self-reliant and pragmatic, according to new Stanford-affiliated research. Stanford News. https://news.stanford.edu/2022/01/03/know-gen-z/ (Diakses pada 15 Juni 2023).

Dellanita, A. (2021, 10 September). Masalah Kesehatan Mental di Indonesia Masih Dipandang Sebelah Mata. Kompas.com. https://lifestyle.kompas.com/read/2021/09/10/202133220/masalah-kesehatan-mental-di-indonesia-masih-dipandang-sebelah-mata?page=all (Diakses pada 7 Juni 2023).

Francis, T. & Hoefel, F. (2018, 12 November). ‘True Gen’: Generation Z and its implications for companies. McKinsey. https://www.mckinsey.com/industries/consumer-packaged-goods/our-insights/true-gen-generation-z-and-its-implications-for-companies (Diakses pada 15 Juni 2023).

Garnham, C. (2022, 2 September). The Gen Z Mental Health wave – what is causing the surge?. HealthMatch. https://healthmatch.io/blog/the-gen-z-mental-health-wave-what-is-causing-the-surge (Diakses pada 6 Juni 2023).

History of Blogging. (2018, 22 Maret). Notre Dame of Maryland University. https://online.ndm.edu/news/communication/history-of-blogging/ (Diakses pada 16 Juni 2023).

Hosch, W. L. (2023, 7 Juni). YouTube. Brittanica. https://www.britannica.com/topic/YouTube (Diakses pada 15 Juni 2023).

Itkowitz, C. (2016, 27 Juli). Demi Lovato lives with bipolar disorder. Before every concert, she holds mental-health workshops for fans. The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/news/inspired-life/wp/2016/07/27/demi-lovato-lives-with-bipolar-disorder-before-every-concert-she-holds-mental-health-workshops-for-fans/ (Diakses pada 8 Juni 2023).

Kaufman, G. (2022, 3 November). Selena Gomez Describes Depths of Mental Health Struggles: ‘I Thought the World Would Be Better If I Wasn’t There’. Billboard. https://www.billboard.com/music/pop/selena-gomez-talks-mental-health-struggles-suicidal-ideation-1235165644/ (Diakses pada 8 Juni 2023).

Makarim, F. R. (2022, 10 Oktober). Ini Alasan Gen Z Lebih Terbuka Soal Kesehatan Mental. Halodoc. https://www.halodoc.com/artikel/ini-alasan-gen-z-lebih-terbuka-soal-kesehatan-mental (Diakses pada 8 Juni 2023).

Mazziotta, J. (2019, 24 Juni). Halsey Has Checked into a Psychiatric Hospital Twice to Manage Her Bipolar Disorder. People. https://people.com/health/halsey-committed-twice-manage-bipolar-disorder/ (Diakses pada 8 Juni 2023).

O’Hara, M. (2009, 20 Februari). Mental health is strongest taboo, says research. The Guardian. https://www.theguardian.com/society/2009/feb/20/mental-health-taboo (Diakses pada 7 Juni 2023).

Ortiz-Ospina, E. (2019, 18 September). The rise of social media. Our World in Data. https://ourworldindata.org/rise-of-social-media (Diakses pada 16 Juni 2023).

Roser, M. (2018, 3 Oktober). The Internet’s history has just begun. Our World in Data. https://ourworldindata.org/internet-history-just-begun (Diakses pada 16 Juni 2023).

The Evolution of Social Media: How Did It Begin, and Where Could It Go Next?. (tidak tertanggal). Maryville University. https://online.maryville.edu/blog/evolution-social-media/ (Diakses pada 15 Juni 2023).

.