Dukungan terhadap Pariwisata Berkelanjutan melalui Pemasaran Digital Community Based Tourism

,

Community Based Tourism atau sering disingkat sebagai CBT merupakan aktivitas pariwisata yang dimiliki dan dioperasikan komunitas masyarakat yang berkontribusi pada kesejahteraan komunitas melalui dukungan pada kehidupan berkelanjutan serta perlindungan lingkungan, tradisi, dan warisan budaya (ASEAN, 2016:2). Konsep ini hadir merespon perkembangan industri pariwisata yang cenderung dikuasai sektor privat dan tidak memberi hasil signifikan kepada masyarakat setempat (Ambardi dkk., 2019: 9). Meski membawa banyak dampak positif, pengelolaan pariwisata berkelanjutan ini juga memiliki banyak tantangan. Salah satunya adalah ketidakstabilan keuntungan finansial akibat rendahnya kemampuan pemasaran (Boonratana, 2011) dan sulitnya menjangkau pasar (Ngo dkk, 2018). Jika tidak segera diatasi, ketidakstabilan finansial ini dapat mengancam keberlangsungan CBT. Untuk itu, CBT memerlukan strategi pemasaran yang sesuai dengan ketersediaan sumber daya komunitas dan kebutuhan wisatawan.

Mayoritas calon wisatawan masa kini melakukan pencarian informasi hingga pemesanan wisata tak hanya melalui satu saluran digital, namun berpindah antarsaluran bahkan berpindah perangkat digital (Amadeus, 2020). Media digital, utamanya media sosial, menjadi sumber informasi utama bagi wisatawan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, kehadiran destinasi CBT dalam dunia digital sangatlah krusial. Terlebih lagi pemasaran digital dapat membantu menyebarkan informasi mengenai komunitas lokal, budaya, cara hidup, dan pelestarian lingkungan (Rastegar & Zarezadeh, 2020). Lebih jauh, komunikasi ini juga dapat mengajak wisatawan untuk terlibat dalam aktivitas pelestarian budaya dan lingkungan. Dengan demikian destinasi wisata CBT dapat memiliki diferensiasi di tengah pasar yang semakin kompetitif sekaligus meningkatkan kesadaran wisatawan mengenai dampak positif pembelian produk wisata yang mereka lakukan.

Empat Kunci Pemasaran Community Based Tourism

Komunikasi pemasaran dalam CBT berbeda dari pariwisata pada umumnya. Pemasaran dalam CBT tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan finansial, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan komunitas sekitar destinasi wisata dan kelestarian lingkungan (Wisansing, 2004). Pemasaran CBT juga memiliki pesan khusus mengenai misi sosial yang perlu disampaikan kepada calon wisatawan. Dalam tulisannya, Wisansing (2004) mengungkapkan tiga poin yang perlu diperhatikan dalam penyusunan strategi komunikasi pemasaran CBT. Sementara itu Rastegar dan Zarezedeh (2020) mengungkapkan tiga elemen khas yang sebaiknya muncul dalam pesan pemasaran digital CBT. Dari kedua literatur ini, terdapat 4 kunci dalam komunikasi pemasaran CBT.

Pertama, tujuan strategi pemasaran CBT harus dibangun berdasarkan tujuan komunitas pengelola. Alih-alih sekadar menjadi alat bantu menyukseskan bisnis wisata, pemasaran CBT harus membantu komunitas pengelola destinasi untuk mencapai tujuannya. Meski tujuan besar dari pemasaran CBT sering kali berkisar pada peningkatan kunjungan wisatawan, namun turunan dari tujuan tersebut dapat sangat bervariasi menyesuaikan dinamika komunitas pengelola. Sebagai contoh, desinasi CBT yang berada di kawasan hutan lindung memiliki misi pelestarian lingkungan. Oleh karena itu tujuan pemasarannya tidak hanya meningkatkan jumlah kunjungan, melainkan secara khusus meningkatkan jumlah pengunjung yang memiliki perilaku wisata ramah lingkungan. Langkah ini penting untuk memastikan pemasaran CBT senantiasa membawa kesejahteraan bagi komunitas pengelola.

Kedua, pemetaan dan pemilihan target pasar didasari oleh pemangku kepentingan yang dimiliki komunitas pengelola. Target pasar CBT tidak hanya berfokus pada wisatawan namun juga relasi-relasi kompleks yang dimiliki komunitas pengelola dengan pihak lain. Dengan melaksanakan prinsip ini, target pasar khas yang selaras dengan kebutuhan komunitas pengelola pun akan muncul. Melanjutkan contoh pada poin pertama, target pasar dapat dipetakan melalui relasi yang sudah dimiliki komunitas pengelola dengan komunitas pecinta alam. Selain itu, komunitas lain di luar calon wisatawan yang turut mendukung keberlangsungan wisata juga perlu diakomodasi. Misalnya seperti komunitas masyarakat penyedia homestay dan pelaku budaya pada CBT di desa wisata. Perlu ada aktivitas pemasaran khusus untuk menjaga relasi dengan kedua komunitas ini karena juga dapat bermuara pada peningkatan kunjungan wisata.     

Ketiga, strategi pemasaran yang dipilih harus didasari oleh sumber daya yang dimiliki komunitas pengelola. CBT dikelola oleh komunitas masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi. Tentu komunitas ini memiliki potensi dan keterbatasan sumber daya yang berbeda dari pengelola wisata dari sektor privat. Oleh karena itu, pemasaran CBT harus disusun sesuai dengan sumber daya yang dimiliki menuju titik ideal yang diinginkan sedikit demi sedikit. Berbagai teori dan panduan pemasaran pariwisata perlu banyak disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan adopsi komunitas pengelola. Misalnya secara ideal diperlukan pemasaran melalui media digital yang sedang digandrungi oleh target pasar, namun komunitas pengelola kesulitan mengoperasikan media tersebut. Maka pengembangan saluran baru ini dapat ditunda dan komunitas dapat fokus melakukan pengembangan kapasitas sumber daya manusia terlebih dahulu. Di masa depan apabila sumber daya yang dibutuhkan sudah tersedia, baru pengembangan saluran tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Untuk melaksanakan prinsip ini diperlukan analisis potensi dan kelemahan komunitas pengelola secara detail.

Keempat, pesan pemasaran digital CBT harus menginformasikan identitas CBT, kegiatan komunitas, pelestarian budaya, dan pelestarian lingkungan. Selain memuat informasi mengenai keunikan destinasi wisata dan fasilitas yang dimiliki, pesan pemasaran CBT harus menginformasikan misi CBT. Sebagai contoh, informasi bahwa destinasi dikelola langsung oleh masyarakat sekitar dan berperan dalam peningkatan kesejahteraan kolektif perlu diinformasikan dalam profil destinasi. Selain itu perlu ada konten pemasaran yang menginformasikan kegiatan komunitas pengelola, pelestarian budaya, dan pelestarian lingkungan. Misalnya, komunitas pengelola dapat mengunggah kegiatan penaman pohon kembali atau kegiatan kerja bakti di media sosial yang dimiliki. 

Rekomendasi

Perkembangan CBT sebagai wisata berkelanjutan harus terus didukung. Utamanya di tengah gempuran wisata konvensional yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat di sekitar destinasi. Dukungan bagi CBT dalam melakukan pemasaran penting untuk memastikan CBT dapat bertahan di pasar yang kompetitif. Hal ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak di luar komunitas pengelola. Pihak eksternal dapat mengisi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki komunitas pengelola seperti keterbatasan keterampilan atau sarana prasarana. Pihak-pihak yang hendak membantu pengembangan pemasaran CBT harus memberdayakan komunitas pengelola sebagai aktor utama. Empat kunci pemasaran CBT yang sudah dipaparkan di atas dapat menjadi panduan dalam pengembangan yang hendak dilakukan. Analisis yang detail serta proses penyusunan rencana pemasaran yang sesuai dengan sumber daya komunitas pengelola menjadi kunci utama agar strategi pemasaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan komunitas.    

Referensi

Ambardi, K., Sudjito, A., Sukaro, A. W., Lindawati, L., Angendari, D., & Hafidullah, M., Fauzan, N., Gondohutamu, E. (2019). Digitizing Community Based Tourism: Praktik Terbaik Desa Wisata Berbasis Komunitas untuk Pengembangan Platform Digital Co-Learning, Co-Working, dan Co-Promoting [Hasil Riset Hibah Fisipol, UGM yang tidak dipublikasikan]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Amadeus. (2020). Insight foor the New World of Travel: Omnichannel. Diunduh dari https://amadeus.com/en/insights/research-report/insights-for-the-new-world-of-travel-omnichannel pada 12 Mei 2021

ASEAN. (2016). Asean Community Based Tourism Standard. Diakses melalui Https://Www.Asean.Org/Wp-Content/Uploads/2012/05/Asean-Community-Based-Tourism-Standard.Pdf pada 6 November 2020

Boonratana, R. (2009). An Assessment and Evaluation of Community-Based Tourism’s Contribution to Sustainable Lifestyles and Local Socio-Economic Development. Nakhon Pathom: Mahidol University International College

Caraivan, L. (2017) Digital Tourism: a Review of Trends in Promoting Tourism Activities. Quaestus, 11, 159 – 162. Diakses dari Https://Www.Quaestus.Ro/Wp-Content/Uploads/2012/03/Luiza-Caraivan.Pdf pada 12 Desember 2020

Ngo, T., Lohmann, G., Hales, R. (2018) Collaborative Marketing for the Sustainability Development of Community-Based Tourism Enterprises: Voices From the Field. Journal Of Sustainable Tourism, 26 (8), 1325 – 1343. Doi: 10.1080/09669582.2018.1443114

Rastegar, R., & Zarezadeh, Z. Z. (2020). Social Media and Destination Development: The Case of Community-based Tourism. dalam S Walia (Ed.), The Routledge Handbook of Community Based Tourism Management: Concepts, Issues & Implications (hlm. 285-295). London: Routledge.

Wisansing, J. (2004). Tourism Planning and Destination Marketing: Towards a Community-Driven Approach a Case of Thailand [Tesis, Lincoln University, New Zealand]. Researc@Lincoln

.