Efisiensi Industri Media: Implikasi Terhadap Jurnalis dan Kualitas Berita
brief article, Revolusi DigitalTransformasi digital tidak hanya menawarkan kesempatan baru untuk kemajuan ekonomi dan sosial, tetapi juga dapat mematikan bagi yang tidak dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Dalam industri media, kemudahan yang diberikan transformasi digital memaksa perusahaan media dan jurnalis untuk merubah pola kerja. Tranformasi digital memberikan kemudahan dalam peningkatan produktivitas jurnalis. Namun, dengan alasan kemudahan teknnologi perusahaan media menuntut jurnalis untuk dapat melakukan banyak hal sekaligus dengan upah minimum. Efisiensi tersebut tidak hanya berdampak terhadap jurnalis, tetapi juga terhadap kualitas berita dan audience media.
Konvergensi Media dan Jurnalisme
Meningkatnya popularitas media online membawa tantangan tersendiri bagi media konvensional. Berbagai media cetak seperti Tabloid Bola, Soccer, Majalah Hai, Kawanku, Majalah Chip, Harian Sinar Harapan, dan Jakarta Globe telah menutup usahanya. Perubahan atas tantangan tersebut tidak hanya berimbas pada institusi medianya saja, Kegiatan jurnalisme itu sendiri juga berubah baik dalam pelaksanaannya maupun definisinya (Dahlgren, 1996: 60).
Perubahan dalam pelaksanaan jurnalisme tidak lepas dari konvergensi yang terjadi dalam instansi media itu sendiri. Pada era digital, banyak mulai media mengalami konvergensi teknologi platform. Jenkins (2006) menyebutkan bahwa konvergensi platform terjadi karena digitalisasi konten media, yang menyebabkan ‘media lama dan baru bertabrakan’. Dengan kata lain media yang sebelumnya mengkhususkan diri pada satu platform, kini membentuk konglomerat media multiplatform yang lebih besar (Tapsell, 2014).
Konvergensi platform media mulai meningkat sejak 1990an, dimana banyak stasiun TV dan surat kabar meluncurkan situs web masing-masing (Blackman, 1998). Hal tersebut tidak hanya dikarenakan oleh digitalisasi konten semata, tetapi juga minat konsumen media yang lebih menggemari media online dan audiovisual (Tapsell, 2014). Dengan meluasnya pengguna internet dan media sosial di Indonesia, berbagai media berita konvensional (cetak, radio, dan televisi) beradaptasi dengan mengintegrasikan konten mereka dengan menggunakan media audio visual melalui media online dan media sosial. Era digital tidak hanya dimanfaatkan oleh media konvensional. Berbagai media akar rumput juga turut memanfaatkan media online dan mulai bermunculan dalam bentuk situs berita yang hanya berbasis jaringan (web-only).
Media online menawarkan kelebihan berupa kecepatan dan akses gratis untuk membaca konten berita. Berbagai konten yang ditawarkan melalui media online juga lebih mudah terintegrasi dan dibagikan melalui media sosial. Selain itu, internet dan media sosial juga memberikan kesempatan bagi masyarakat umum yang sebelumnya hanya sebagai konsumen berita, untuk dapat memproduksi berita sendiri, atau lebih dikenal dengan citizen journalism. Dengan berbagai kelebihan tersebut, sudah menjadi hal yang lumrah saat berbagai media berita memiliki situs dan akun pada setiap media sosial populer seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Tiktok.
Dengan berbagai keunggulan tersebut, konvergensi juga memiliki konsekuensi terhadap kebebasan media di Indonesia (Tapsell, 2014). Menurut Tapsell (2014), kebebasan media di Indonesia terpengaruh oleh konvergensi melalui lima penentu utama, yaitu: (1) konglomerasi media yang terjadi; (2) afiliasi politik dari pemilik media yang terus meningkat; (3) meningkatnya peran media sosial dan citizen journalism di dalam media mainstream; (4) perubahan regulasi yang mengatur kebebasan media; (5) dan perubahan praktik profesi junalis.
Kebutuhan atas Jurnalis Multitasking dan Multi-skilling
Sebagaimana konvergensi media mengintegrasikan berbagai platform media, perusahaan media besar percaya mereka harus menjadi media penyedia berita multiplatform dengan melakukan merger dan akuisisi terhadap perusahaan media lainnya. Ambisi perusahaan media besar untuk menjadi penyedia berita multiplatform tidak hanya berhenti pada merger dan akuisisi media berita saja, tetapi juga terhadap platform citizen journalism dan membagikan konten berita melalui berbagai media sosial yang memiliki popularitas tinggi.
Meluasnya bisnis media juga meningkatkan keterlibatan politik dari pemilik media. Pemilik media dengan afiliasi politik di Indonesia memiliki cara tersendiri untuk memaksa jurnalis menyensor, ketika menulis secara kritis terhadap kepentingan politik atau bisnis pemiliknya (Tapsell, 2012). Tuntutan pemilik media terhadap jurnalis tidak berhenti disitu, konvergensi berbagai platform media juga menuntut perubahan dalam proses peliputan berita. Editorial dituntut untuk jauh lebih efisien dengan menetapkan model ‘satu newsroom’ untuk berbagai platform yang dimiliki perusahaan. Begitu pula dengan jurnalis, mereka dituntut untuk dapat menulis berita dan mengambil gambar untuk disajikan dalam berbagai platform milik perusahaan.
Untuk dapat beradaptasi jurnalis dituntut mengerjakan dan mencurahkan perhatian pada beberapa pekerjaan sekaligus atau multitasking tetapi juga dituntut untuk dapat menguasai berbagai keahlian dalam satu posisi atau multi-skilling (Carr, 2019). Dengan memiliki seorang jurnalis yang multi-skill dan dapat melakukan multitasking, pemilik media akan dapat mengurangi pengeluaran untuk pekerja. Dengan alasan itu pula pemilik media lebih mengutamakan memilih jurnalis yang multi-skill dan dapat melakukan multitasking. Tapsell (2014) menyebutkan hal tersebut didorong oleh efisiensi, biaya sumber daya manusia, dan teknologi.
Dampak Terhadap Liputan Media
Penulis menilai, efisiensi tersebut akan sangat menguntungkan bagi pemilik media terutama peningkatan produktivitas kuantitas liputan berita dengan biaya produksi dan sumber daya manusia minimal. Namun efisiensi tersebut mengorbankan banyak pekerja media (Tapsell, 2014). Efisiensi berimplikasi terhadap proses liputan yang seharusnya dikerjakan tim namun berubah menjadi pekerjaan seorang jurnalis multi-skill. Erdal (2011) juga melihat bahwa jurnalis multi-skill justru tidak terlalu ahli dalam hal apapun. Multi-skill membuat jurnalis mengurangi kesempatannya untuk menjadi ahli dalam satu hal. Sebagaimana juga dikaitkan dengan sebutan “Jack of all trade, master of none”.
Selain itu, efisensi tersebut juga mengorbankan kualitas produksi berita (Bromley, 1997). Hal ini tidak lepas dari dampak multitasking yang meningkatkan tanggung jawab dan beban pekerjaan jurnalis. Jurnalis tidak lagi hanya bertanggung jawab untuk menulis berita saja, mereka juga harus mengambil gambar yang selanjutnya untuk diterbitkan dalam berbagai platform yang dimiliki perusahaan. Perlombaan untuk kecepatan telah mempengaruhi jurnalis untuk melewatkan prinsip akurasi dan kebenaran berita.
Efisiensi tersebut tidak hanya berdampak pada kemampuan jurnalis dan kualitas berita. Pembaca, pendengar, maupun penonton (audience) sebagai ‘pasar’ secara tidak langsung mendorong dan mengaburkan konten editorial dan komersial media. Begitu pula dengan kaburnya format konten media dengan munculnya ‘infotaiment’ dan ‘edutaiment’. Kaburnya konten media tersebut mendapat kritik dan menjadi perdebatan publik yang mengharapkan media sebagai sumber informasi yang profesional (Bardoel & Deuze, 2001).
Oleh karena itu, diperlukan adanya regulasi yang dapat mengatur berbagai media dengan platform yang terlah terkonvergensi dan menanggulangi dampak yang diakibatkan oleh konvergensi platform tersebut. Saat ini regulasi atas sektor media diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, sedangkan kode etik terkait media cetak oleh Dewan Pers dan penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Sedangkan kemunculan dan konvergensi berbagai bentuk infrastruktur dan saluran distribusi semakin mengaburkan kebijakan media yang ada (Amalia & Esti, 2012). Seperti disebutkan Tapsell (2014) perubahan regulasi tidak hanya bagian dari konsekuensi atas konvergensi tetapi juga solusi untuk mengatasi dampak dari konsekuensi konvergensi lainnya.
Referensi
Amalia, D., & Esti, K. (2012). Warga Bicara Media: Sepuluh Cerita. Laporan. Bermedia, Memberdayakan masyarakat di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Jakarta: Centre forInnovation Policy dan Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, FordFoundation.
Bardoel, J., & Deuze, M. (2001). Network Journalism: Converging Competences of Media Professionals and Professionalism. Australian Journalism Review, 23 (2), 91-103. Retrieved from https://hdl.handle.net/2022/3201
Blackman, C. R. (1998). Convergence between telecommunications and other media: How should regulation adapt? Telecommunications Policy, 22(3), 163-170. doi:10.1016/S0308-5961(98)00003-2
Bromley, M. (1997). ‘The End of Journalism? Changes in Workplace Practices in the Press and Broadcasting in the 1990s’. In M. Bromley, & T. O’Malley (Eds.), A Journalism Reader (pp. 330–350). London: Routledge.
Carr, D. J. (2019). Multitasking or Multiskilling. The International Encyclopedia of Journalism Studies, 1-5. doi:10.1002/9781118841570.iejs0233
Dahlgren, P. (1996). Media logic in cyberspace: repositioning journalism and its publics. Javnost – The Public, 3(3), 59-72. doi:10.1080/13183222.1996.11008632
Erdal, I. J. (2011). Coming to Term with Convergence Journalism: Cross-Media as a Theoretical and Analytical Concept. Convergence: The International Journal of Research into New Media Technologies, 213–223.
Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: New York University Press.
Tapsell, R. (2012). Old tricks in a new era: the enduring practice of self-censorship in Indonesian journalism. Asian Studies Review, 36(2), 227-245. doi:10.1080/10357823.2012.685926
Tapsell, R. (2014). Platform Convergence in Indonesia: Challanges and Opportunities for Media Freedom. The International Journal of Research into New Media Technologies, 182–197. doi:10.1177/1354856514531527
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!