E-Governance telah menjadi instrumen utama modernisasi tata kelola negara dengan memanfaatkan teknologi digital untuk memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi birokrasi, sembari menjamin hak warga atas informasi serta partisipasi publik. Regulasi nasional maupun internasional mendorong keterbukaan data, sementara Memorandum of Understanding (MoU) berfungsi sebagai instrumen tata kelola kolaboratif yang mencerminkan pergeseran dari model birokratis hirarkis menuju governance berbasis jejaring. Heywood (2014) menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “perancangan kembali” pemerintahan, di mana negara tidak lagi semata penyedia layanan langsung, melainkan fasilitator yang memberdayakan masyarakat atau menetapkan aturan umum. Namun, modernisasi yang cepat, responsif dan efisien ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keterbukaan digital sungguh menjamin transparansi substantif, atau justru menciptakan ilusi partisipatif? Apakah MoU menjadi instrumen demokratisasi atau sekadar legitimasi kekuasaan?
Artha Debora Silalahi
Indonesia berada dalam pusaran Triple Disruption mencakup disrupsi teknologi, ekologi, dan sosial-politik. Ketiga guncangan ini bukan hanya mengguncang fondasi ekonomi dan lingkungan, tetapi juga memaksa kita mempertanyakan ulang tatanan kekuasaan dan cara kita memahami makna, hukum, dan hidup bernegara. Dalam pusaran ini, bahasa menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi. Ia berubah menjadi arena politik, senjata ideologis, dan alat legitimasi. Bahasa menjadi pengatur makna yang menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang dikecualikan dari wacana publik. Manusia tidak dapat dilepaskan dari dimensi kebahasaan (Gadamer, 1985). Seperti yang diungkapkan Gadamer, hubungan manusia dengan dunia terjadi lewat bahasa. Dalam pusaran Triple Disruption ini, penting untuk memahami bagaimana bahasa bekerja sebagai instrumen kekuasaan dalam konteks disrupsi teknologi, ekologi, dan sosial-politik.
Transformasi digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, termasuk dalam ranah demokrasi dan pemilu. Pemilu sebagai salah satu pilar demokrasi kini mengalami perubahan signifikan dengan adopsi teknologi digital, yang menawarkan efisiensi dan kemudahan partisipasi, terutama melalui inovasi E-Voting. Di Indonesia, dengan luasnya wilayah geografis dan kompleksitas logistik dalam penyelenggaraan Pemilukada, penerapan E-Voting dapat dijadikan sebagai solusi potensial. Pemilukada 2024 menghadirkan momentum penting untuk menilai bagaimana teknologi digital dapat diintegrasikan ke dalam sistem pemilu Indonesia. Namun, di balik potensi yang besar, E-Voting juga membawa tantangan. Ketergantungan pada teknologi memunculkan isu kritis seperti kesenjangan akses digital, keamanan siber, perlindungan privasi, dan transparansi proses pemilu. Semua ini menuntut refleksi mendalam, tidak hanya dari sudut pandang teknis tetapi juga dari perspektif filosofis. Herbert Marshall McLuhan (1911-1980) atau yang dikenal dengan nama McLuhan, seorang filsuf media terkemuka, memberikan kerangka berpikir yang relevan untuk memahami teknologi sebagai media yang tidak hanya berfungsi sebagai alat, tetapi juga menciptakan dampak mendalam pada struktur sosial, pola pikir, dan proses pertahanan diri manusia dalam menaklukkan keterbatasan tubuh manusia (McLuhan, 1964). Teknologi direproduksi oleh manusia sebagai perluasan tubuh manusia yang berada di luar dirinya dan dikenal sebagai media. Manusia secara sadar harus dapat memahami proses lahirnya teknologi secara sadar untuk menjadikan dirinya tidak hanya sebagai alat reproduksi teknologi semata tetapi yang dapat memahami reproduksi teknologi sebagai tindakan aktif perluasan dirinya yang senantiasa berada dalam kesatuan dengan dimensi interioritasnya.
Era digital membawa perubahan besar dalam cara kita memahami dan menerapkan hukum, terutama dalam hal simbolisme yang kini semakin abstrak dan terdesentralisasi. Simbol-simbol hukum yang sebelumnya berbentuk fisik dan sangat terikat pada representasi visual, seperti patung Dewi Keadilan atau bangunan pengadilan, mulai bergeser ke arah konsep-konsep digital yang lebih dinamis. Perubahan ini memunculkan sebuah fenomena baru yang dapat disebut sebagai Digital Human in Law Symbolicum, yaitu transformasi simbolisme hukum di era digital.
Perkembangan teknologi telah menghadirkan peluang untuk mewujudkan transparansi yang lebih baik dalam pembentukan kebijakan. Landasan pengambilan keputusan untuk merancang kebijakan harus dapat ditetapkan melalui perumusan dan penerapan strategi yang koheren (Noorderhaven, 1995). Strategi yang koheren dapat membantu menghindari bias dan kesalahan umum dan dapat berkontribusi pada merealisasikan kebijakan. Implementasi kebijakan harus dapat mencerminkan pengaruh pengembangan dan implementasi kebijakan yang menjangkau setiap elemen masyarakat. Pengembangan dan implementasi kebijakan idealnya dibentuk oleh regulator sebagai lembaga perwakilan yang bertanggung jawab dan memiliki porsi representatif mengedepankan kepentingan masyarakat (Dijk, 2021).