Universitas Gadjah Mada
  • Article
    • Perubahan Iklim
    • Revolusi Digital
    • Pandemi
    • Brief Article
  • E-Book
  • Siniar
  • Video
  • Agenda
  • Berkontribusi
  • Tentang Megashift
  • Beranda
  • brief article
  • page. 3
Arsip:

brief article

Sanitasi juga Hak Asasi bagi Disabilitas

brief article Monday, 11 November 2024

Sanitasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Perlunya sanitasi yang baik berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang sehat. Sebagai kebutuhan pokok, sanitasi harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Program penyediaan sanitasi harus menjunjung tinggi keadilan terutama soal keadilan akses. Bila diuraikan lebih lanjut, permasalahan sanitasi juga mencakup upaya pemenuhan kebutuhan air dan higienitas atau kerap disebut WASH (Water, Sanitation, and Hygiene). Namun perspektif teknikal ini tidak cukup untuk memahami kekusutan permasalahan penyediaan sanitasi yang berkeadilan tanpa kesenjangan.
Masalah utama yang amat sering muncul soal sanitasi adalah penyediaan infrastruktur sanitasi. Bahkan menurut data World Health Organization (WHO), 2 miliar orang di dunia masih belum memiliki fasilitas sanitasi dasar (WHO, 2019). Data dari UNICEF (2019) menyatakan bahwa hampir 25 juta penduduk Indonesia tidak menggunakan toilet. Kekurangan akses pada sanitasi tidak hanya membawa pada masalah kesehatan, tetapi masalah lainnya yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat, misalnya kerentanan perempuan terhadap kejahatan seksual (Fuadona, 2015). Pembangunan fisik sering kali tidak peka terhadap kondisi sosial budaya di tempat pembangunan tersebut dilakukan. Sebagai akibatnya, pembangunan fisik gagal menciptakan sanitasi berkeadilan atau bahkan ditolak.
Pemenuhan kebutuhan sanitasi juga amat berkaitan dengan krisis iklim yang makin terasa. Sebagai contoh, McFarlane (2023) menyebutkan kasus banjir akibat krisis iklim di Nairobi yang tidak hanya mempersulit akses terhadap sanitasi, tetapi juga diperparah oleh kondisi sanitasi dengan pengelolaan buruk sehingga membuat banjir menjadi penyebab persebaran penyakit. Ironisnya pembicaraan mengenai krisis iklim justru kerap tidak memedulikan mengenai sanitasi. Ulasan sistematis Satriani, Ilma, & Daniel (2022) terhadap riset mengenai sanitasi di Indonesia mengonfirmasi hal ini. Kebanyakan riset mengenai sanitasi fokus pada isu sosial, terutama perilaku masyarakat, sedangkan paling sedikit adalah mengenai higienitas dan pembiayaan. Namun krisis iklim maupun perubahan iklim bahkan sama sekali tidak muncul.
Di sini pentingnya pendekatan lintas sektoral seperti yang diajukan UNICEF. Dalam praktik pembangunan, komunikasi yang baik diperlukan untuk menjelaskan pentingnya pembangunan tersebut pada masyarakat. Komunikasi yang dilakukan jangan sampai merendahkan atau mempermalukan masyarakat yang menjadi target pembangunan (Selamet, 2020). Barrington & Sindall (2018) menyarankan diakomodasinya saran dari pakar masyarakat lokal.
Akses air di Indonesia juga masih belum berkeadilan. Syafi’i dan Gayatri (2019) menunjukkan betapa peliknya permasalahan akses air. Persoalan akses air bukan hanya soal kondisi ekologis, tetapi juga politis. Sudah banyak konflik yang terjadi akibat perebutan sumber daya air. Seperti di Bali, Batu (Jawa Timur), Klaten (Jawa Tengah), Pandeglang (Banten) yang kebanyakan disebabkan adanya persaingan antara masyarakat dan pihak swasta yang dibantu negara. Masyarakat pada akhirnya menjadi pihak yang kalah dalam konflik air.
Persoalan sanitasi dan juga akses pada air tentu tidak hanya meminggirkan masyarakat miskin, tetapi juga mendorong kesenjangan pada kaum disabilitas. Deklarasi Hak-hak Penyandang Disabilitas 1975 memang telah memberikan titik awal terbukanya hak-hak penyandang disabilitas sebagai subjek dari deklarasi hak asasi manusia (HAM). Walau demikian, permasalahan terkait pemenuhan HAM disabilitas pada saat itu masih digambarkan sebagai model medis. Menurut Degener (2000) dalam Santoso dan Apsari (2017), hal tersebut membuat penanganan disabilitas bergantung pada jaminan sosial yang diberikan setiap negara dan bertujuan kuratif (menyembuhkan). Di sisi lain, perkembangan yang terlihat pada model disabilitas baru yang dibawa oleh International Classification of Impairments, Disabilities, and Handicaps (ICIDH) menjelaskan unsur-unsur disabilitas secara lebih komprehensif yang ditinjau dari keterbatasan fungsi organ tubuh, aktivitas atau partisipasi, dimensi lingkungan, dan faktor sosial. Dengan demikian, penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai penyakit atau kondisi abnormal, melainkan lingkungan sekitarnya yang bermasalah saat tidak dapat menyediakan kesetaraan akses dan sistem yang inklusif (Rioux dan Carbert [2003] dalam Santoso dan Apsari [2017]).
Data dari SMERU Institute yang diolah dari Susenas 2018 mencatat 7.415.560 penduduk Indonesia berusia di atas dua tahun merupakan penyandang disabilitas. Jenis keterbatasan yang disandang juga beragam baik yang tunggal maupun yang menyandang lebih dari satu keterbatasan. Jenis keterbatasan tersebut di antaranya keterbatasan melihat, mendengar, berjalan, menggerakkan tangan/jari, mengingat, berbicara, dan mengurus diri, termasuk juga gangguan emosional (Hastuti, dkk, 2020). Halangan kaum disabilitas terhadap sanitasi dan akses air terbagi dua yakni teknikal dan sosial (Groce, dkk, 2011). Padahal PBB menyatakan hak atas air dan sanitasi sebagai hak asasi yang harus diperoleh semua orang.
Terdapat kondisi-kondisi tertentu yang juga menyulitkan kaum disabilitas untuk mengakses air. Kaum disabilitas dengan pergerakan yang terbatas misalnya kesulitan mengakses air yang letaknya jauh dari tempat mereka (Groce, dkk, 2011, 618). Kondisi lain yang kerap ditemui penyandang disabilitas, terutama pengguna kursi roda, adalah sempitnya ruang gerak di toilet. Penyandang disabilitas yang menyandang kesulitan untuk bergerak membutuhkan ruang gerak yang luas dan juga beberapa sarana pendukung seperti handrail. Kondisi lantai yang licin juga berbahaya, tidak hanya bagi penyandang disabilitas, tetapi juga pengguna toilet non-disabilitas. Wastafel dengan ketinggian dan jarak yang menyulitkan untuk dijangkau oleh pengguna kursi roda juga perlu disesuaikan. Berbagai kesulitan yang dialami penyandang disabilitas ini juga terkadang kerap dirasakan oleh lansia, ibu hamil, dan anak-anak. Kondisi ini juga membuat kaum disabilitas membutuhkan waktu lama untuk menggunakan fasilitas sanitasi dan mengakses air. Implikasinya adalah perasaan segan terhadap pengguna lainnya karena merasa menyulitkan.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam pelayanan publik tanpa kesenjangan apapun. Peraturan Menteri PU No. 30/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dan Peraturan Menteri PUPR No. 14/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung menyatakan berbagai syarat toilet umum untuk penyandang disabilitas yang telah mencakup beberapa poin di atas. Namun rupanya peraturan tersebut masih belum cukup untuk memuluskan penerapannya. Lustiyati dan Rahmuniyati (2019, 113) yang meneliti sanitasi ramah disabilitas di sarana transportasi publik di Provinsi D.I. Yogyakarta mencatat salah satu persoalan adalah tidak adanya peraturan lain selain dua Peraturan Menteri di atas yang mengatur sanitasi bagi penyandang disabilitas, terutama Peraturan Daerah (Perda). Permenhub No. 48/2015 yang juga menjadi salah satu dasar penyediaan sanitasi ramah disabilitas masih fokus pada jumlah dan kondisi toilet, tetapi belum memperhitungkan aksesibilitas. Tidak hanya itu, bahkan penamaan “toilet difabel” menimbulkan masalah karena nama tersebut mencegah beberapa pihak untuk mengaksesnya karena label “difabel” pada toilet tersebut yang otomatis diberikan pada penggunanya. Penamaan seperti “kursi prioritas” yang disertai dengan penjelasan pihak-pihak yang termasuk prioritas yang paling berhak mengakses kursi tersebut lebih efektif karena mencegah terjadinya kesalahpahaman seperti di atas.
Persoalan WASH bagi penyandang disabilitas harus diselesaikan dengan pendekatan multi-perspektif. Penetapan regulasi yang berbasis HAM seperti UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dapat menjadi permulaan. Paradigma HAM ini menjadi kemajuan bila dibanding paradigma kesehatan yang sebelumnya digunakan karena paradigma kesehatan cenderung melihat penyandang disabilitas sebagai individu yang sakit dan perlu dikasihani (Hastuti, dkk, 2020, 7). Peraturan ini juga diperkuat dengan peraturan lainnya yang menyebutkan penyandang disabilitas dalam sektor tertentu, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan transportasi publik.
Namun pembangunan WASH tidak bisa hanya menekankan top-down atau bottom-up tetapi harus memadukan keduanya. Dari perspektif top-down, data yang akurat dan terintegrasi mengenai jumlah, jenis, dan kebutuhan penyandang disabilitas sehingga pelaksanaan di tingkat bawahnya dapat dilaksanakan dengan lebih efektif karena data telah terhimpun. Adanya regulasi dapat memaksa berbagai pihak untuk menyediakan sarana ramah disabilitas, seperti sebagai syarat perizinan pendirian gedung. Dari bottom-up, pengelolaan air dan fasilitas sanitasi juga dapat diserahkan kepada pihak kolektif masyarakat yang turut dipantau oleh sekelompok ahli. Bakker (2010) dalam analisisnya mengenai krisis air mendorong pengakuan atas hak individu dan hak kolektif atas air. Ini karena suatu representasi dari tiap bagian masyarakat dalam suatu kolektif harus terus diawasi. Kondisi ini dapat berjalan dalam situasi yang demokratis dan desentralistik. Kerja sama dengan pakar juga diharapkan mampu membentuk pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable).

read more

Digital Human in Law Symbollicum: Memahami Hukum dan Simbol dalam Era Digital

brief article Monday, 7 October 2024

Era digital membawa perubahan besar dalam cara kita memahami dan menerapkan hukum, terutama dalam hal simbolisme yang kini semakin abstrak dan terdesentralisasi. Simbol-simbol hukum yang sebelumnya berbentuk fisik dan sangat terikat pada representasi visual, seperti patung Dewi Keadilan atau bangunan pengadilan, mulai bergeser ke arah konsep-konsep digital yang lebih dinamis. Perubahan ini memunculkan sebuah fenomena baru yang dapat disebut sebagai Digital Human in Law Symbolicum, yaitu transformasi simbolisme hukum di era digital.

read more

Menjaga Budaya, Menjaga Alam Semesta: Peran Masyarakat Adat dalam Menjaga Keberlanjutan Lingkungan

brief article Monday, 30 September 2024

Intensifikasi pembangunan dewasa ini telah mereduksi lingkungan dan memarginalisasi esensi masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang eksistensinya selaras dengan alam membuatnya kian tergerus seiring masifnya deforestasi dan komodifikasi karena pengalihan lahan hijau ke industri ekstraktif maupun berbasis sumber daya alam lainnya. Proliferasi industri ini menambah signifikansi krisis iklim karena kehilangan keseimbangan untuk menampung emisi yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang berlebihan. Padahal, faktanya keberadaan masyarakat lokal atau yang sering kita kenal dengan masyarakat adat justru membantu meminimalisir perubahan iklim yang signifikan (afd.fr, 2023; thegef, 2019). Kehidupan mereka yang selaras dengan alam disinyalir mampu menjaga keberlanjutan lingkungan di masa mendatang. Prinsip sustainability yang mereka jaga dan terapkan tak lain adalah untuk mewariskan alam kepada generasi keturunan mereka di masa  mendatang.

Aktivitas pembangunan yang diterapkan saat ini seringkali mengacu pada dikotomi antara manusia dan alam.  Manusia ditempatkan sebagai puncak tertinggi dari kesatuan ekosistem yang ada bumi, sebab sebagai subjek yang dirasa memiliki akal dan kemampuan mengelola kehidupan. Semakin banyaknya transformasi alam yang berimplikasi pada perubahan iklim menunjukkan bahwa manusia hanya memanfaatkan alam sebatas ladang bagi akumulasi kapital semata. Oleh karena itu, diperlukan etika atau peralihan paradigma untuk melihat dikotomi alam dan manusia sebagai wujud mitigasi perubahan iklim serta mendukung kehidupan yang sustainability. Paradigma ini merupakan kesatuan antara manusia dengan alam tanpa adanya strata dan ketimpangan pada subjek tertentu (Sholihin, 2019). Dengan paradigma ini, tak hanya hanya mampu menjaga keberlanjutan alam dan memitigasi perubahan iklim, tetapi turut menjaga eksistensi masyarakat lokal yang ada. Meskipun di satu sisi keberadaan masyarakat lokal diperlukan sebagai komunitas pelestarian alam, di sisi lain akibat proliferasi industri ekstraktif dan perkebunan membuat jaminan atas eksistensi mereka kian dipertanyakan.

Seiring masifnya transformasi lingkungan untuk aktivitas industri, korelasi reduksi masyarakat lokal dalam hal ini terus terjadi, khususnya dalam konteks lokal dan ekspansi industri perkebunan kelapa sawit. Sebaran ekspansi industri ini sebagai dalang konflik yang menyasar hutan dan Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, Masyarakat Suku Awyu dan Suku Moi di Papua, perselisihan Masyarakat Tano Batak dengan perusahaan kertas pulp, bahkan ekspansi perusahaan kelapa sawit telah merusak aset masyarakat adat seperti makam leluhur Masyarakat Suku Mapur di Bangka Belitung. Ekspansi industrialisasi di segala penjuru memaksa mereka tersisihkan dan menyesuaikan perkembangan zaman. Padahal peran mereka telah diakui mampu menjaga kelestarian dan ekosistem kehidupan, yang mana 80% hutan dengan keanekaragaman hayati saat ini berada dalam perlindungan dan naungan masyarakat adat (Rahman, 2022).

Menelusuri Kontribusi Masyarakat Adat dalam Perlindungan Alam

Populasi masyarakat adat memang hanya berkisar 4-5 % dari populasi dunia, namun peran mereka begitu signifikan dalam pelestarian keanekaragaman dunia (Garnett dkk, 2018; Sobrevila, 2008). Pentingnya peran masyarakat adat ini tercermin seperti di Malaysia yang mana mereka memiliki andil dalam perlindungan dan konservasi biodiversitas (Teow & Tang, Sunway University), di Filipina dan di daerah Amazon keanekaragaman hayati bergantung pada pengetahuan dan inovasi dari masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam (thegef.org, 2019; afd.fr, 2023). Di Indonesia juga membuktikan demikian, kehidupan masyarakat adat melalui kearifan lokal di Desa Kemiren Banyuwangi, masyarakat Kampung Dukuh Kabupaten Garut, dan dan masyarakat di Dusun Belanak Bangka Barat yang selaras dengan alam diterapkan dalam penjagaan sumber penghidupan seperti air dan pertanian (Pratama, 2018; Sufia dkk, 2016; Wijanarko, 2013). Peran masyarakat lokal dalam kajian literatur di atas merupakan bukti nyata bahwa keberadaan mereka dalam menjaga alam begitu krusial dan diperlukan.

Sebagai bukti konkret, mengetahui peranan masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan secara lebih jauh akan membantu memperluas dan mempekuat posisi mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Islamy (2023) lalu, memaparkan bahwa masyarakat adat yakni Suku Mapur di Bangka Belitung di samping menjaga dan melindungi lingkungan juga tak terlepas dari berbagai konflik yang berusaha melemahkan posisi mereka seperti ekspansi perkebunan kelapa sawit. Di samping giat ekspansi ini, mereka juga kian memperkuat posisi dengan membentuk komunitas masyarakat berupa Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kini semakin terwujudkan dengan menjadikan daerah mereka sebagai tempat wisata kultural. Hal ini sebagai bentuk penguatan keberadaan mereka di masyarakat, termasuk dengan menyebarluaskan informasi perkembangan mereka dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat Suku Mapur, hutan merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hutan sebagai entitas yang melekat dengan kehidupan mereka memunculkan keterikatan dan rasa memiliki yang perwujudannya mengharuskan mereka menjaga keberadaannya dari generasi ke generasi. Mereka menempatkan keberadaan alam bukanlah sesuatu yang berada di bawah mereka, melainkan sebagai sumber kehidupan dan setara layaknya keluarga manusia lainnya. Posisi ini mengisyaratkan paradigma deep ecology yang tanpa sadar telah diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hutan dan alam telah menyediakan segalanya bagi kelangsungan kehidupan mereka, dengan begitu mereka juga harus melakukan hal yang sama dalam bentuk perawatan dan penjagaan hutan secara turun-temurun dalam berbagai aspek, seperti kegiatan berburu, berkebun, dan segala bentuk pemanfaatan hutan tak terlepas dari kepercayaan yang telah mereka wariskan.

Untuk menjaga kelestarian dan perlindungan hutan sebagai sumber kehidupan, mereka menerapkan berbagai pantangan dan larangan di kala beraktivitas di dalam hutan. Keingintahuan berlebihan di satu sisi memberikan dampak yang positif karena mendorong kita mencari tahu secara lebih apa yang ingin diketahui. Namun, berbeda dengan kepercayaan masyarakat Suku Mapur. Keingintahuan yang berlebihan menurut mereka akan berpotensi membawa pulang barang apapun yang ditemukan di dalam hutan, dan ini sebagai sebuah larangan. Pohon-pohon yang rindang di dalam hutan tak serta merta mereka gunakan seenaknya karena merupakan bagian dari kawasan tempat tinggalnya. Melainkan dengan ketentuan pemanfaatan kayu dari pohon-pohon yang sudah layak untuk ditebang dan tidak digunakan secara berlebihan. Segala jenis binatang boleh diburu asalkan tidak secara liar dan ugal-ugalan, karena akan merusak habitat hewan yang bersangkutan jika diburu secara masif. Pada intinya, semua yang ada di dalam hutan boleh dimanfaatkan, asalkan tidak berlebihan dan melanggar aturan. Larangan yang mereka percayai juga bukan sekedar aturan semata, namun ada sanksi balasan jika terbukti melanggar. Mereka percaya, jika ada yang melanggar aturan yang sudah ditetapkan maka akan mendapat balasan keburukan atas perlakuannya seperti gagal panen, terkena penyakit, hingga tertimpa musibah.

Keberadaan masyarakat adat yang mendorong perubahan paradigma dalam berinteraksi dengan lingkungan hendaknya menjadi pelajaran bagi kita di masa kini. Perannya yang krusial dalam keberlanjutan lingkungan menunjukkan paradoks pada realita di lapangan yang semakin menyisihkan mereka. Oleh karena itu, masyarakat Suku Mapur sangat antusias mendukung terbentuknya Masyarakat Hukum Adat (MHA), hal ini karena akan memperkuat penjagaan dan pelestarian hutan adat maupun budaya mereka. Dengan adanya MHA ini diharapkan dapat memperkuat posisi masyarakat adat di mata masyarakat dan bisa lebih optimal menerapkan pengetahuan dan kearifan lokal sembari melindungi dan memanfaatkan hutan. Pada 2023 lalu, mahasiswa Universitas Bangka Belitung juga turut melakukan pemetaan partisipatif untuk membantu posisi sebaran hutan adat di wilayah mereka (fisip.ubb.ac.id, 12/11/23). Pemetaan ini sebagai langkah bagi masyarakat adat untuk mengklaim hak-hak mereka, termasuk dengan melibatkan berbagai aktor untuk memperkuat hal tersebut, salah satunya lembaga mahasiswa. Kedepannya, masyarakat adat tak hanya diharapkan bisa mendapatkan hak-hak atas wilayah mereka semata, melainkan turut menjalankan aktivitas mereka secara leluasa dan berkontribusi bagi penjagaan alam semesta untuk generasi mendatang.

Referensi

Afd.fr. (2024). Protecting Biodiversity: The Key Role of Indigenous Communities Diakses di https://www.afd.fr/en/actualites/protecting-biodiversity-key-role-indigenous-communities yang pada 25 Agustus 2024

Al-Islamy, M. H. (2023). Peranan Masyarakat Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Hutan Adat di Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka. Skripsi. Universitas Sriwijaya

Fisip.ubb.ac.id. (2023). Mengabdi Pada Suku Mapur, DPM FISIP UBB Lolos Abdidaya Ormawa 2023 di UNEJ. Artikel Opini pada 13 November 2023 dari https://fisip.ubb.ac.id/berita/2023/11/13/171/mengabdi-pada-suku-mapur-dpm-fisip-ubb-lolos-abdidaya-ormawa-2023-di-unej yang diakses pada 17 September 2024

Garnett, S. T., Burgess, N. D., Fa, J. E., Fernández-Llamazares, Á., Molnár, Z., Robinson, C. J., … & Leiper, I. (2018). A spatial overview of the global importance of Indigenous lands for conservation. Nature Sustainability, 1(7), 369-374.

Pratama, W. (2018). Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Adat (Studi Pada Hutan Adat Dusun Belanak, Desa Air Menduyung, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat). Bangka: Universitas Bangka Belitung.

Rahman, F. (2022). Peranan Masyarakat Adat dalam Konservasi Lingkungan. Diakses di https://pslh.ugm.ac.id/peranan-masyarakat-adat-dalam-konservasi-lingkungan/ pada 20 Agustus 2024

Sholihin, E. B. (2019). Kontestasi Wacana Lingkungan dan Gerakan Perlawanan Offshore Tin Mining di Belitung Timur. Universitas Gadjah Mada. Tesis

Sobrevila, C. (2008). The Role of Indigenous Peoples in Biodiversity Conservation The Natural but Often Forgotten Partners. The World Bank

Sufia, R,. Sumarmi,. Amirudin, A. (2016). Kearifan Lokal dalam Melestarikan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Adat Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Pendidikan. Vol. 1 No. 4

Teow,. H,. H. & Tang, S. Roles of Malaysian indigenous communities in biodiversity conservation: A case study approach. Sunway University

Thegef.org. (2019). Indigenous peoples in the Philippines leading conservation efforts Diakses di https://www.thegef.org/newsroom/feature-stories/indigenous-peoples-philippines-leading-conservation-efforts pada 25 Agustus 2024

Wijanarko, B. (2013). Pewarisan Nilai-Nilai Kearifan Tradisional dalam Masyarakat Adat (Peranan Kepala Adat dalam Mewariskan aturan Adat di Kampung Adat Dukuh Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat). Jurnal Pendidikan Geografi. Vol. 13 No. 2

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/10/Megashift__10-01.pdf “].

Dangdutin Aja: Dangdut, Viral, dan Hibriditas Media

brief article Monday, 23 September 2024

Merebaknya pandemi yang masuk ke Indonesia pada Maret 2020 direspon berbeda-beda. Salah satu respon yang terbilang unik datang dari kalangan seniman, terutama musisi. Banyak musisi menjadikan Covid-19 dan berbagai hal yang ramai setelah masuknya virus tersebut sebagai tema lagunya. Dari segi genre, fenomena ini muncul dari berbagai genre, baik rap, dangdut, bahkan musik religi. Motivasi dibuatnya lagu-lagu tersebut beragam, tidak hanya memanfaatkan momen untuk bermusik, tetapi juga mendoakan.

Sebenarnya fenomena lagu yang mengangkat kejadian yang sedang ramai atau fenomena sehari-hari bukanlah hal baru. Namun lagu-lagu dari genre dangdut memiliki ciri khas. Lagu dangdut tidak hanya menjadikan fenomena sehari-hari sebagai tema lagu, tetapi juga mengubah pemaknaan atas fenomena tersebut. Penyanyi koplo, Alvi Ananta, merilis lagu “Corona”, singkatan dari Comoditas Rondo Merana (Komunitas Janda Merana) (Kapanlagi.com, 2020). Adopsi istilah dan pemberian makna baru sudah kerap terjadi sebelumnya, misalnya Gegana, nama tim penjinak bom, dijadikan lagu dangdut yang merupakan singkatan Gelisah Galau Merana. Fenomena lain yang sempat dijadikan lagu dangdut misalnya viral “Om Telolet Om” dan masih banyak lagi.

Wallach (2017, 30-31) yang melakukan etnografi terhadap berbagai musik di Indonesia melihat dangdut memang eklektik. Namun, Wallach hanya melihat eklektisisme dari segi musiknya, bukan adopsi lagu dangdut atas berbagai fenomena atau istilah yang sedang ramai di masyarakat. Saya melihat bahwa adopsi lagu dangdut atas istilah atau fenomena yang sedang ramai merupakan gabungan dari eklektisisme dangdut, perkembangan teknologi informasi, terutama internet yang memungkinkan sesuatu viral, dan hibriditas berbagai media, tidak hanya daring, tetapi juga luring.

Eklektiknya Dangdut

Dangdut memang eklektik. Rhoma Irama bahkan menyebut dirinya amfibian, dengan maksud seseorang yang menyerap dan mengadopsi berbagai jenis musik. Perkembangan dangdut yang eklektik bahkan tidak bisa diperkirakan oleh Rhoma Irama sendiri saat dangdut koplo marak di masyarakat. Koplo merujuk pada gabungan dangdut dan musik jaipongan, tetapi juga kerap dihubungkan dengan unsur musik elektronik, yang dimainkan dengan cepat. Asal nama koplo berasal dari pil koplo, obat halusinogen yang beredar pada 1990-an (Weintraub, 2010, 216). Saat maraknya dangdut koplo, Rhoma Irama meminta agar dangdut dibedakan dengan musik koplo, karena koplo dapat menghancurkan reputasi dangdut (Weintraub, 2013, 161, 182). Fenomena serupa juga sebenarnya menimpa dangdut yang dianggap “kampungan”, tetapi tetap dipertahankan dan bahkan menjadi ciri khasnya.

Wallach (2017, 31) juga mencatat hal yang sama terhadap berbagai perkembangan dangdut, seperti dangdut disko, dangdut reggae, dan dangdut remix yang walaupun berusaha trendi, tetapi justru dianggap lebih rendah. Justru pandangan rendah ini yang menjadi celah bagi dangdut untuk melakukan adopsi terhadap berbagai fenomena dan istilah yang sedang marak di masyarakat. Dengan statusnya yang rendah, dangdut dapat bebas mengambil berbagai unsur dari berbagai sumber, termasuk fenomena sehari-hari dan mudah ditemui. Kondisi ini semakin terlihat dalam dangdut koplo. Contohnya adalah asolole yang mungkin berasal dari asshole dalam bahasa Inggris yang kerap digunakan dalam skena koplo (Weintraub, 2013, 176). Asolole tidak hanya menjadi contoh dari adopsi dangdut terhadap istilah populer, tetapi juga kemampuan dangdut membentuk makna baru. Asolole dapat diartikan sebagai singkatan dari “Asosiasi Lonte Lebay” tetapi dapat divariasikan sebagai “Asli lo lebay” atau “Assalamualaikum dan selamat sore” (Weintraub, 2013, 176).

Dangdut dan Viralitas

Namun perkembangan kebiasaan mengangkat fenomena atau istilah populer dan pemaknaan baru atasnya menjadi semakin masif di tengah perkembangan teknologi informasi, terutama media sosial. Postill (2014, 55) melihat media sosial sebagai media viral. Media sosial didesain dan digunakan secara aktif untuk menyebarkan sesuatu lewat berbagai rutinitas seperti like, retweet, dan share. Dangdut bergerak dengan mengadopsi berbagai hal viral.

Ada dua kelebihan dangdut yang membuatnya dapat bergerak bebas memanfaatkan fenomena viralitas ini. Pertama, dangdut tidak hanya mengadopsi sesuatu yang viral, tetapi memberikan makna baru terhadapnya. Kedua, eklektisisme dangdut bukan hanya menandakan bahwa dangdut mengadopsi ragam genre musik, tetapi dangdut merupakan bagian dari sesuatu yang dapat diadopsi itu sendiri, terutama oleh media-media seperti video yang banyak beredar di media sosial. Ini bisa terjadi karena pemaknaan baru yang dangdut ciptakan serta musiknya yang memang dibuat untuk mengiringi keseharian. Pemaknaan khas dari lagu dangdut ini juga merupakan ciri khas lagu dangdut yang berisi berbagai kontradiksi, seperti lirik sedih dan joget bahagia (Weintraub, 2010, 146). Dengan pemaknaan baru ini, lagu dangdut berpotensi menjadi viral baru dengan mengadopsi viral yang sudah ada. Ini misalnya lagu “Aku Rapopo” dari Julia Perez. Dalam Julia Perez, ungkapan Aku Rapopo yang berasal dari bahasa Jawa ini dicampurkan dengan bahasa Inggris dan dimaknai sebagai ungkapan kekecewaan seorang istri terhadap kelakuan suaminya yang main perempuan. Lagu “Aku Rapopo” ini akhirnya viral juga, mengikuti viralnya ungkapan Aku Rapopo yang awalnya banyak digunakan orang lajang.

Lanskap media juga memungkinkan viral tersebut tidak hanya terjadi di dunia virtual dan media sosial. Chadwick (2013, 2017, dalam Postill, 2018: 8) menyebut lanskap media sekarang sebagai sistem media hibrid yang merupakan gabungan antara media lama dan media baru, termasuk media daring dan luring. Sistem media hibrid ini amat terlihat dalam berbagai media kontemporer di Indonesia, terutama media elektronik. Tayangan televisi banyak yang menyiarkan kembali berbagai hal viral dari internet, seperti unggahan Instagram, cuitan Twitter, video YouTube, atau video TikTok. Ini memungkinkan lapisan masyarakat yang tidak memiliki media sosial tetap dapat mengikuti berbagai hal yang sedang viral di media sosial.

Dalam media sosial itu sendiri, terjadi interaksi antar berbagai platform, seperti mengunggah video YouTube dan TikTok di Instagram dan Twitter, mengunggah tangkapan layar dari Twitter dan Instagram ke media sosial lain, dan masih banyak pola interaksi antar platform lainnya. Tidak hanya itu, suatu konten, seperti misalnya video TikTok, juga menggunakan media lain seperti musik dangdut untuk mengiringinya. Berbagai lagu dangdut bahkan viral setelah digunakan dalam tren viral di TikTok atau sebagai pengiringnya.

Viral tidak hanya mengandalkan satu platform tertentu, tetapi media sosial dan bahkan media luring seperti televisi sudah saling terintegrasi turut menyebarkan sesuatu yang viral. Lagu dangdut akhirnya berputar dari memanfaatkan sesuatu yang viral di masyarakat, terutama media sosial, kembali lagi kepada masyarakat luas, bahkan menjangkau lapisan masyarakat yang pada awalnya belum mengetahui hal viral tersebut. Belum lagi berbagai infrastruktur suara lainnya, seperti angkutan kota (angkot) atau bis yang kerap memutar lagu dangdut (Wallach, 2017).

Dangdut, seperti diungkapkan Wallach (2017, 31) mempertahankan ciri khasnya yang eklektik. Sebagai budaya yang kerap dianggap rendah, dangdut bebas mengeksplorasi termasuk dengan mengambil berbagai unsur di luar dangdut. Dalam realitas viral (Postill, 2014), eklektisisme dangdut bekerja dengan memanfaatkan teknologi informasi yang berpusat pada viral dan sudah saling terintegrasi antar platform dan bahkan media daring dan luring.

Referensi

Kapanlagi.com. (2020). 16 Seleb yang Lagunya Bertema Virus Corona, Ada Bimbo Sampai Rhoma Irama! Kapanlagi.com. Diakses dari https://m.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/16-seleb-yang-lagunya-bertema-virus-corona-ada-bimbo-sampai-rhoma-irama-2f7d11.html

Postill, John. (2014). Democracy in an Age of Viral Reality: A Media Epidemiography of Spain’s Indignados Movement. Ethnography, 15(1), 51-69.

Postill, John. 2018. The Rise of Nerd Politics: Digital Activism and Political Change. London: Pluto Press.

Wallach, Jeremy. (2017). Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan & Keberagaman Aliran Lagu. Depok: Komunitas Bambu.

Weintraub, Andrew. (2010). Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music. Oxford: Oxford University Press.

Weintraub, Andrew. (2013). The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo: Genre and Counter-Genre in East Java, Indonesia. Asian Music, 44(2), 160-194.

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/10/Megashift__09-04.pdf”].

Green Job dan Kesetaraan Bagi Perempuan Dalam Green Economy

brief article Tuesday, 17 September 2024

Istilah green economy banyak digunakan dalam satu dekade terakhir seiring meningkatnya kesadaran terhadap climate change atau perubahan iklim. Mulai dari kebakaran hutan hingga cuaca ekstrim terjadi hampir di seluruh dunia akibat perubahan iklim. Dampak dari perubahan iklim tidak hanya mengganggu aktivitas manusia, namun juga membahayakan lingkungan hidup. Oleh karena itu, organisasi internasional seperti United Nation (UN) berusaha mendorong terwujudnya Sustainable Development Goals (SDGs), salah satunya dengan mengkampanyekan green economy. Green economy atau ekonomi hijau merupakan konsep berkelanjutan yang bertujuan pada SDGs. Melalui green economy, semua pihak diharapkan dapat ikut serta dalam pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan United Nation Environment Program (UNEP), green economy diharapkan dapat mendukung peningkatan ekonomi melalui investasi publik maupun swasta. Adapun, aktivitas-aktivitas ekonomi yang terjadi harus mengedepankan prinsip berkelanjutan seperti mengurangi emisi karbon, meningkatan efisiensi energi, mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, dan lain sebagainya. Green economy juga diharapkan dapat menciptakan pembangunan yang berkelanjutan untuk menuju perekonomian rendah karbon.

Melalui green economy, pekerjaan yang ramah lingkungan atau dikenal dengan istilah green job diperkenalkan. Green job juga cukup populer dalam satu dekade terakhir karena didukung oleh green economy. Pada dasarnya, green job mencakup pekerjaan yang dapat berkontribusi pada pelestarian lingkungan hidup seperti ilmuwan, human resource, peneliti, dan lain sebagainya. Kekhawatiran akan dampak perubahan iklim terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup membuat green job banyak diminati. Di Indonesia, berbagai perusahaan maupun organisasi membuka green job untuk bersinergi dengan tujuan SDGs. Seperti Pertamina Foundation yang membuka green job untuk kepentingan program Corporate Social Responsibility (CSR) meliputi pemulihan area bekas tambang, perlindungan area sekitar tambang, dan lain sebagainya. Pemerintah juga berkontribusi dalam mengimplementasikan green economy dengan para investor untuk menarik minat publik terhadap green job. Lebih lanjutnya, green job telah mendorong gender equality dan meminimalisir inequality dalam konteks gender, sosial, dan ekonomi terhadap perempuan. Gender equality sangat penting untuk menciptakan kesetaraan bagi perempuan dalam green economy. Selain itu, green job juga membantu dalam mengurangi kerentanan perempuan terhadap dampak perubahan iklim. Partisipasi perempuan dapat menyediakan gender-sensitive data dan masukan bagi para pemangku kepentingan. Melalui artikel ini, penulis akan membahas lebih lanjut tentang green job dan kesetaraan bagi perempuan dalam green economy. Diskusi tentang green economy cukup menarik terutama untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perempuan.

Memahami Posisi Perempuan dalam Green Economy

Berdasarkan United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, di tahun 2024, diharapkan green economy dapat menjadi kontributor utama untuk mencapai target aksi pelestarian lingkungan hidup, terutama perubahan iklim. Selain itu, green economy diharapkan dapat membantu negara dalam mempertahankan pembangunan yang berkelanjutan. Melalui Global Green Economy Index (GGEI), setiap negara yang berpartisipasi dalam green economy akan dinilai kinerjanya dalam mendorong terwujudnya SDGs. GGEI memungkinkan setiap negara untuk dapat membangun dialog dan mengkomunikasikan bidang-bidang yang memerlukan perbaikan serta mempromosikan progress kinerja mereka dalam green economy. Adapun, partisipasi perempuan juga cukup disoroti untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Setiap gender, baik laki-laki dan perempuan diharapkan memiliki persentase partisipasi yang sama dalam green economy. Pengaruh green economy tidak akan berkelanjutan jika gender equality tidak tercapai (UNDP Indonesia, 2024). Oleh karena itu, untuk selaras dengan tujuan SDGs, organisasi internasional di Indonesia seperti UNDP sangat menekankan pentingnya gender equality dalam green economy. Pada dasarnya, gender equality sangat penting untuk melindungi kerentanan perempuan. Pada konteks ekonomi, perempuan cenderung dirugikan karena stigma gender yang melekat dalam diri mereka. Terkait dengan ketenagakerjaan, perempuan cenderung memiliki gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki karena terbatasnya akses terhadap sumber daya. Inequality di Indonesia masih membatasi sebagian perempuan untuk dapat bekerja di beberapa sektor, baik formal maupun non-formal.

Selain itu, dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki tingkat kerentanan tinggi karena penurunan kualitas lingkungan hidup. Perempuan dari negara berkembang seperti Indonesia masih sangat bergantung dengan sumber daya alam dari hutan. Karena perubahan iklim, perempuan dari kelompok menengah ke bawah harus kehilangan pemasukan ekonomi. Perempuan tersebut terkadang juga menanggung keluarga dan harus lebih bekerja keras untuk memperoleh tambahan pemasukan ekonomi. Terkait kebencanaan di Indonesia, perempuan juga lebih rentan menjadi korban bencana karena naluri alami mereka untuk menyelamatkan harta benda maupun anggota keluarga. Kerentanan para perempuan memang sudah sepantasnya untuk dipertimbangkan dalam pengimplementasian green economy. Sejauh ini, pemerintah telah berusaha mengurangi gap karena atribut gender dengan menetapkan parameter gender equality dalam implementasi green economy di Indonesia. Terdapat tiga sektor yang diprioritaskan oleh pemerintah menuju transisi ke pembangunan yang berkelanjutan dalam green economy yaitu kehutanan, pengelolaan limbah, dan energi. Hampir pada setiap sektor, peran perempuan juga cukup signifikan dalam mendorong terwujudnya SDGs. Pada sektor kehutanan, para petani perempuan cenderung memiliki kesadaran akan penggunaan limbah organik daripada kimia untuk penanaman bibit-bibit pohon. Sedangkan, pada sektor pengelolaan limbah dan energi, para pengusaha perempuan juga cenderung memiliki kesadaran akan manajemen limbah dan penghematan energi.

Relasi Green Job dan Gender Equality

Penurunan kualitas lingkungan hidup karena perubahan iklim merupakan ancaman bagi setiap negara. Oleh karena itu, ILO, UNEP, dan International Trade Union Confederation (ITUC) pada tahun 2007 memprakarsai green job sebagai dialog tentang kebijakan dan program yang mampu mendukung green economy. Melalui green job, bidang-bidang pekerjaan yang dapat menjawab permasalahan lingkungan hidup berusaha dikembangkan seperti manajemen green supply chain, manajemen limbah, energi alternatif, konservasi, dan lain sebagainya. Berdasarkan International Labor Organization (ILO) Indonesia, sejak tahun 2010, Indonesia telah berkontribusi dalam melaksanakan proyek green job di kawasan Asia. Hal tersebut telah menciptakan peralihan di pasar tenaga kerja, dari tenaga kerja lama ke tenaga kerja baru yang lebih terampil dan terdidik, terutama dari kelompok rentan seperti perempuan. Green job dapat mempercepat transisi Indonesia ke pembangunan yang berkelanjutan. Secara geografis, Indonesia diprediksi akan mengalami kerusakan lingkungan hidup karena perubahan iklim. Melalui green job, implementasi green economy dapat dimaksimalkan untuk menjaga ketahanan negara dari dampak perubahan iklim. Setiap negara memiliki peluang untuk menciptakan lebih banyak green jobs. Di Indonesia, green job diharapkan dapat meningkatkan koherensi kebijakan pada tingkat nasional dan dapat menciptakan lebih banyak bidang pekerjaan berwawasan lingkungan. Berdasarkan ILO Indonesia, pada tahun 2030 diproyeksikan pekerjaan di bidang energi alternatif dapat meningkat, yaitu 2,1 juta dari bidang energi angin dan 6,3 juta dari bidang energi surya. Selain itu, ILO Indonesia juga memproyeksikan pada tahun 2030, investasi dapat mencapai 630 miliar USD sehingga menciptakan minimal 20 juta lapangan pekerjaan di bidang energi alternatif.

Perkembangan teknologi sangat mendukung eksistensi green job. Seperti auditor energi di industri pengolahan udang Bangladesh, teknisi sistem energi surya di China, spesialis eksplorasi panas bumi di Indonesia, dan lain sebagainya. Lebih lanjutnya, pengintegrasian green job dengan gender equality dalam green economy dapat semakin mempercepat transisi Indonesia ke pembangunan yang berkelanjutan. Sinergi bersama akan meningkatkan ketahanan negara karena rasa kebersamaan dapat memperkuat rasa persatuan dan menggalang kesadaran bersama untuk pelestarian lingkungan hidup. Sebagai contoh kampanye “All Eyes on Papua” di media sosial yang berhasil menggalang dukungan publik untuk perlindungan kawasan hutan di Papua dari proyek pembangunan oleh perusahaan sawit. Melalui green job, akses terhadap bidang-bidang pekerjaan berwawasan lingkungan juga akan semakin terbuka untuk semua gender. Selama ini, terdapat beberapa bidang pekerjaan yang dikhususkan bagi laki-laki dan cenderung mengesampingkan perempuan. Adanya green job tidak hanya membuka akses perempuan ke lapangan pekerjaan namun juga memfasilitasi mereka dengan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai tenaga kerja baru yang terampil dan terdidik serta dapat berkompetisi dengan laki-laki. Tentunya, karena green job, wawasan lingkungan sangat diperlukan. Tenaga kerja dalam green job, baik laki-laki dan perempuan dapat memiliki kompetensi untuk berkontribusi dalam menjawab permasalahan lingkungan hidup. Selain itu, dengan adanya gender equality, green job dapat mendukung kondusifitas persaingan kerja karena setiap gender dapat berkompetisi secara sehat.

Gender-Sensitive Data dan Peluang Kesetaraan Bagi Perempuan

Di era digital ini, untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan gender-sensitive data yang memungkinkan perumusan kebijakan dan program efektif. Gender-sensitive data berperan penting dalam tercapainya gender equality dalam green economy. Sebagai contoh, gender-sensitive data dapat memberikan informasi tentang jumlah perempuan yang memiliki akses terhadap green job, energi alternatif maupun lapangan pekerjaan lainnya. Berdasarkan UNDP Indonesia (2024), data tersebut dapat memberikan wawasan bagi para pemangku kepentingan tentang dampak perubahan iklim terhadap perempuan dan bagaimana perempuan dapat menjadi agen perubahan. Melalui gender-sensitive data, gender equality dapat lebih ditingkatkan dengan menjamin partisipasi setiap gender. Pada dasarnya, setiap gender memiliki kebutuhan yang berbeda. Sebagai kelompok rentan, perempuan cenderung memiliki kebutuhan yang komplek, tidak hanya secara fisik namun juga emosional. Terbatasnya gender-sensitive data seringkali menyebabkan kebutuhan perempuan tidak dapat terakomodasi. Akibatnya, beberapa kebijakan dan program tidak bisa terlaksana dengan baik karena rendahnya partisipasi perempuan. Hal ini juga meningkatkan kerentanan perempuan dalam berbagai aspek karena ketertinggalan mereka dari fungsi strategis. Gender-sensitive data mendukung pendekatan berbasis gender untuk mengetahui kebutuhan perempuan, tidak hanya pemberdayaan namun juga pendampingan. Pendampingan terhadap perempuan diperlukan untuk melindungi hak-hak mereka dan juga menjamin partisipasi mereka dalam green economy maupun sistem birokrasi.

Tenaga kerja perempuan dapat memiliki peluang yang sama untuk dengan tenaga kerja laki-laki selama proses perekrutan kerja. Pada dasarnya, gender-sensitive data dapat menyediakan data analisis setiap gender. Namun, dalam beberapa hal, memang gender-sensitive data memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan perempuan. Berdasarkan data persentase perempuan selalu di bawah laki-laki sebagai kelompok rentan dan bisa juga di atas laki-laki, akan tetapi juga sebagai kelompok rentan. Dari data tertentu, seperti kekerasan seksual terhadap perempuan di tempat kerja, gender-sensitive data membantu proses penyelidikan dan improvisasi pekerjaan yang ramah bagi perempuan. Gender-sensitive data mendorong partisipasi perempuan ke posisi-posisi yang memerlukan kecermatan tinggi. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih detail dalam banyak hal. Green job memerlukan kedetailan perempuan untuk menjawab permasalahan lingkungan hidup. Meskipun itu, partisipasi setiap gender dalam green economy sama pentingnya. Dari gender-sensitive data, implementasi green economy diharapkan dapat memberikan pengaruh yang sama bagi setiap gender. Terkait ketenagakerjaan, gender-sensitive data secara tidak langsung membantu pemetaan lapangan pekerjaan dan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan gender. Tidak hanya di sektor formal namun juga non-formal, gender-sensitive data dapat menyediakan data yang dapat mendeteksi jika terjadi inequality dan juga untuk pendistribusian kepentingan tertentu. Gender-sensitive data, tidak hanya mendukung kesetaraan bagi perempuan namun juga dapat menjadi strategi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara. Gender-sensitive data dapat menjadi kunci dalam mengatasi kemandulan gender equality di Indonesia dan mengikis sistem yang didominasi oleh kekuasaan patriarki.

Kesimpulan

Penurunan kualitas lingkungan hidup karena perubahan iklim merupakan masalah bersama dan memerlukan kolaborasi jangka panjang antar berbagai negara. Di masa depan, dampak perubahan iklim dapat semakin memburuk jika tidak ada upaya serius dari semua pihak. Secara geografis, Indonesia diprediksikan akan mengalami dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, Indonesia perlu meningkatkan ketahanan negara dengan memaksimalkan implementasi green economy. Sebagai negara berkembang, kesiapan Indonesia tidak hanya dapat menyelamatkan lingkungan hidup namun juga melestarikannya untuk generasi masa depan. Melalui green economy pembangunan yang berkelanjutan dapat diciptakan untuk menuju perekonomian rendah karbon. Adanya green economy juga telah mendukung perkembangan green job. Bersinergi dengan tujuan SDGs, green job dapat mempercepat transisi Indonesia ke pembangunan yang berkelanjutan. Melalui green job, akses terhadap bidang-bidang pekerjaan berwawasan lingkungan juga akan semakin terbuka untuk semua gender. Green job telah mendorong gender equality dan meminimalisir inequality dalam konteks gender, sosial, dan ekonomi terhadap perempuan. Namun, terdapat faktor lainnya yang juga tidak kalah penting yaitu gender-sensitive data. Gender-sensitive data berperan penting dalam tercapainya gender equality dalam green economy. Melalui gender-sensitive data pemberdayaan dan pendampingan terhadap kebutuhan perempuan dapat dilakukan secara efektif. Pada akhirnya, melalui green job yang didukung dengan gender-sensitive data, kesetaraan bagi perempuan dapat diciptakan dalam green economy. Perkembangan industri yang semakin meningkatkan kebutuhan green job harus dapat menciptakan kesetaraan bagi perempuan. Setidaknya, perempuan dapat merasa aman karena bagaimanapun juga peran perempuan lah yang justru mendominasi dalam green economy.

Referensi

Development Programme Indonesia. (18 Maret 2024). Towards Just Green Economy Transition: The Interconnection of Gender Equality, Green Economy and Gender-sensitive Data. Diakses dari https://www.undp.org/indonesia/. Diakses pada 05 Juni 2024.

International Labor Organization Indonesia. (2024). Lembar Fakta tentang Pekerjaan yang Layak dan Ramah Lingkungan (Green Jobs) di Indonesia. Diakses dari https://www.ilo.org/.  Diakses pada 05 Juni 2024.

International Labor Organization. (24 Mei 2024). The Development of Green Jobs Roadmap in Indonesia United Nations. Diakses dari https://www.ilo.org/. Diakses pada 06 Juni 2024.

International Labor Organization. (13 April 2016).  What is a Green Job?. Diakses dari https://www.ilo.org/. Diakses pada 06 Juni 2024.

Makower, J., & Pike, C. (2009). Strategies for the Green Economy: Opportunities and Challenges in The New World of Business. New York: McGraw Hill.

Masdar, R., Amborowatie, R., Meldawaty, L., Mursali, M. I., & Naida, N. (2022). Implementation of a sustainable green economy in Indonesia: a literature review. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Vol. 10: (1), pp. 1-8.

The Jakarta Post. (04 Juni 2024). All Eyes on Papua’ Movement Gains Momentum Online. https://www.thejakartapost.com/indonesia/2024/06/04/all-eyes-on-papua-movement-gains-momentum-online.html. Diakses pada 05 Juni 2024.

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/09/Megashift__09-03.pdf”].

Menelusuri Upaya Keterlibatan Komunitas Penggemar K-pop Dalam Menyuarakan Isu Krisis Iklim Melalui Fan Activism dan Kosmopolitanisme

brief article Monday, 9 September 2024

Meningkatnya interaksi lintas batas memunculkan ruang sosial transnasional baru oleh berbagai faktor. Dalam ranah budaya populer, kehadiran kelompok penggemar khususnya di kalangan generasi muda yang menjadi wadah dalam berinteraksi antar individu dengan kesamaan kegemaran dapat menjadi salah satu contohnya. Dengan bantuan kekuatan digital, aktivitas penggemar tidak lagi hanya berkutat pada menulis atau memproduksi konten terkait budaya pop seperti fiksi penggemar atau video remix (Brough & Shresthova, 2012), melainkan saat ini telah banyak bermunculan aksi-aksi sosial mengatasnamakan fandom (istilah untuk grup penggemar) yang diprakarsai oleh generasi muda. Di Indonesia, 16 grup penggemar K-pop pernah melakukan penggalangan dana untuk korban gempa bumi di Sulawesi dan banjir di provinsi Kalimantan Selatan yang berhasil mengumpulkan dana sekitar $100.000 dalam 10 hari (Walden & Salim, 2021). Pada tahun 2020, Penggemar K-pop Indonesia juga mengadakan kampanye online untuk menyoroti deforestasi yang cepat di Papua, dengan membagikan tagar #SavePapuanForest di media sosial dan menjadikannya trending topik di Twitter (Yi, 2021). Menurut (Jenkins, 2013), hal ini disebut sebagai “fan activism”. Fan activism didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan oleh penggemar untuk menangani masalah sosial, sipil maupun politik melalui adanya keterlibatan serta penyebaran strategis akan konten budaya populer (Brough & Shresthova, 2012).

read more

Melihat Sejauh Mana Kontribusi & Adaptasi Ecotourism Terhadap Perubahan Iklim

brief article Monday, 2 September 2024

Industri pariwisata berkontribusi terhadap perubahan iklim melalui emisi karbon yang dihasilkan transportasi, konsumsi barang dan jasa seperti makanan dan akomodasi sebesar delapan persen (Lenzen et al, 2018: 523). Selain itu, aktivitas mass tourism memberikan dampak buruk terhadap masyarakat sekitar dan ekosistem karena meninggalkan polusi, sampah dan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan (Is over-tourism the downside of mass tourism, 2018). Pembangunan akomodasi di kawasan alam juga memberikan dampak negatif karena mengambil banyak tanah, sumber daya air, pengelolaan sampah buruk dan menurunnya produktivitas agrikultur (Chong, 2019: 157). Di sisi lain, sektor pariwisata juga rentan terhadap dampak perubahan iklim. Banyak destinasi wisata erat kaitannya dengan lingkungan alam, sementara iklim mempengaruhi sumber daya alam yang menjadi daya tarik pariwisata seperti produktivitas dan keanekaragaman hayati, kondisi cuaca, kualitas dan ketinggian air. Iklim juga dapat mengurangi kunjungan wisata karena membawa penyakit menular, kebakaran hutan, munculnya bakteri atau hama dan bencana alam (UNWTO: 2008: 28). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, praktik ecotourism dapat menjadi strategi (Wondirad, 2019: 1048). Tulisan ini mengelaborasi sejauh mana kontribusi dan adaptasi ecotourism terhadap perubahan iklim?

read more

Hang the DJ: Refleksi Hambarnya Kencan di Era Digital

brief article Monday, 26 August 2024

Penggunaan aplikasi kencan online untuk mencari jodoh sudah menjadi hal yang lumrah di era digital. Ia menawarkan ekstensi domain bagi mereka yang terlalu sibuk atau bahkan ‘terlalu malu’ untuk menginisiasi sebuah perkenalan. Bagi beberapa orang, pengalaman menggunakan aplikasi ini bak seperti sedang Ikan Mas yang paling proporsional untuk ukuran akuariumnya, atau seperti memilih model baju paling pas di situs belanja online ketika memasukkan kata kunci “dress wanita”. Potret-potret yang ter-swipe kiri atau kanan seolah-olah hanya representasi dari sebuah objek. Tak jarang kita bahkan lupa pada wajah dan nama mereka.

read more

Ekologi Politik Banjir Rob di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah

brief article Monday, 19 August 2024

Perubahan iklim tak dapat dipungkiri memperparah banjir rob dengan kenaikan muka air laut di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kenaikan pasang air laut di Sayung, Demak berkembang sebesar 18 cm per tahun dan diprediksi pada tahun 2025 pasang tertinggi akan mencapai 1,63 meter (Suryanti dan Marfai 2016). Banjir rob di Sayung, Demak harus kita cermati lebih lanjut, sebab kenyataannya bukan semata “realitas fisik dari alam.”

Kajian ini dibingkai dengan pemahaman dari Clark dan Clausen (2008) yang melihat bahwa perusakan sumber daya pesisir tak dapat dilepaskan dari industrialisasi kapitalis yang merombak alam terhubung dengan struktur produksi yang meluas (Clark dan Clausen 2008). Pemahaman tersebut membantu menjelaskan bahwa banjir rob di Sayung, Demak tak dapat dilepaskan dari penaklukan alam oleh pasar komoditas yang satu dengan yang lainnya. Proses ekonomi politik tersebut tak dilihat sebagai proses yang berlapis antara akar rumput, nasional sampai global. Sebab diasumsikan kapital yang berasal dari jangkauan luar bisa menjangkau dan merombak alam yang ada di akar rumput. Kapital yang satu bisa berganti dengan kapital lainnya seiring pertautan komoditas yang lainnya dan terhubung dengan ekstraksi alam yang ada di akar rumput.

Ekspansi Pasar Udang dan Kemunculan Banjir Rob

Ekspansi tambak udang di Sayung mulai terjadi semenjak tahun 1980-an dan tak hanya mengkonversi lahan mangrove, melainkan sawah pula. Uang tunai yang cepat didapatkan dari ekonomi tambak membuat warga Sayung terus mencari lahan baru. Sawah pun ikut dikonversi menjadi tambak sebab harga padi menurun serta letak sawah yang berdekatan dengan laut yang membuat adanya percampuran air laut dengan air tanah (Munasikhah dan Wijayati 2021).

Penggunaan lahan dari laut sampai permukiman warga secara berurutan pada tahun 1970 sampai 1980 adalah tambak, mangrove, sawah, dan rumah saat tambak belum banyak (Karmilah et al., 2023). Warga sebelumnya melaut di sela-sela waktu mengurus sawah. Pasar udang lah yang mendorong perluasan tambak di Sayung, Demak (Karmilah et al. 2023). Perluasan ini tak dapat dilepaskan dari “tren makanan sehat” yang dikenal sebagai fenomena sushi boom di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1970-an. Harga udang yang rendah membuat adanya dorongan permintaan dari warga Amerika Serikat untuk memenuhi konsumsinya (Karmilah et al. 2023). Amerika Serikat, Jepang, dan Masyarakat Ekonomi Eropa/MEE pada tahun 1980-an menjadi importir udang terbesar di dunia yang mendorong negara berkembang seperti Indonesia tertarik untuk memanfaatkan momentum pasar tersebut (Karmilah et al. 2023).

Indonesia mengambil langkah untuk mengenjot produksi udang. Produksi udang pada tahun 1980 saja mencapai 314 juta pounds (Karmilah et al. 2023). Peningkatan produksi terbukti pada tahun 1993 sudah mencapai 736 juta pounds, di mana kenaikan dapat terjadi didukung oleh kebijakan untuk memperluas tambak budidaya udang (Karmilah et al. 2023). Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang larangan penggunaan trawl  (pukat harimau) di perairan Indonesia diikuti dengan dorongan pihak swasta untuk berinvestasi pada tambak (Karmilah et al. 2023). Program Intensifikasi Tambak (INTAM) diterapkan di 11 provinsi termasuk Jawa Tengah dan masuk ke Rencana Pembangunan Lima Tahun pada 1984-1989, saat inilah tambak mengkonversi lahan lainnya di Sayung (Karmilah et al. 2023). Pantai utara Jawa Tengah sendiri saat itu menjadi bagian INTAM dengan skema zona pesisir percontohan (Karmilah et al., 2023).

Kerusakan ekosistem yang meluas pada tahun 1990-an sebenarnya sudah memberikan dampak pada penurunan harga jual udang yang dipanen. Harga udang pada pasar global yang anjlok akibat kelebihan suplai juga menjadi pemicu ekonomi tambak mulai surut semenjak tahun 1990-an (Munasikhah dan Wijayati 2021). Banjir rob akibat konversi lahan di Sayung sendiri memicu tambak saat ini tak lagi produktif, sehingga memicu warga beralih profesi. Warga beralih bekerja ke sektor manufaktur dan jasa di sekitar desanya (Fauzi dan Sukamdi 2017). Warga bekerja menjadi buruh pabrik maupun buruh bangunan, tetapi tidak sedikit yang menganggur dan mengantungkan hidupnya pada anggota keluarga lainnya. Hal tersebut sampai memicu munculnya istilah ‘mantan juragan tambak’ yang diberikan kepada para warga. Pengeluaran sehari-hari warga menjadi membengkak akibat lahan dan rumahnya diterjang abrasi, sementara sebagian dari mereka ada yang memilih untuk direlokasi di desa terdekat yang masih aman (Damaywanti 2013).  

Perluasan tambak sendiri menjadi penyebab utama menipisnya ekosistem mangrove di Kecamatan Sayung. Sebesar 82% garis pantai Kabupaten Demak sebenarnya berada pada kondisi yang sangat rentan sebab terdiri dari dataran pantai dan lumpur. Penipisan area mangrove memperparah erosi terhadap garis pantai. Mangrove yang masih ada tak mampu menahan berbagai tekanan lingkungan yang dipicu oleh tekanan antropogenik dari tambak (Sagala et al. 2024). Kawasan yang direncanakan sebagai area konservasi pun semakin tergerus oleh perkembangan rumah penduduk yang terus meluas seiring berjalannya waktu di tengah gerusan gelombang laut dan masuknya rob. Masyarakat sebenarnya juga memiliki drainase dan sanitasi yang terbatas, di mana bahkan genangan air rob juga menjadi lokasi jamban (Ristianti 2016).

Penipisan mangrove membuat Sayung tanpa perlindungan alami dari terjangan gelombang. Keberadaan mangrove penting untuk menahan terjangan gelombang (Perdana 2019). Muara sungai di sekitar Sayung mengalami pendangkalan akibat penipisan mangrove. Empat sungai yang berkontribusi terhadap banjir rob di Sayung adalah sungai Babon, Dombo, Sayung, dan Bonjol. Hutan bakau yang banyak ditebang untuk dijadikan tambak sendiri, lahannya ada yang diperjualbelikan. Lahan di pesisir utara Sayung terkesan dalam keadaan open access akibat keterbatasan pengawasan (Awaliyah 2021).  Lebih lanjut proses ekonomi politik antara ekspansi tambak yang memicu banjir rob di Sayung Demak ditunjukkan oleh gambar 1 berikut:

Gambar 1. Feedback Loop Proses Ekonomi Politik Banjir Rob Kecamatan Sayung tahun 1980-an s.d. 1990-an

Diolah oleh Penulis

Ekspansi tambak sebenarnya adalah cara lainnya dari kuasa pasar untuk terus mengejar keuntungan di luar penangkapan udang secara langsung di laut. Ekspansi tambak udang pada dasarnya mirip dengan pertanian monokultur yang menundukan alam dengan modal. Warga yang menjadi petambak pada dasarnya harus terus mengejar produksi yang harus meningkat untuk memenuhi pasokan pasar global dengan konsekuensi tak memperhatikan dampak lingkungan dalam jangka panjang (Clark dan Clausen 2008). Ekpansi tambak justru terus meningkatkan permintaan produk di pasaran, sehingga berbagai upaya termasuk dengan mengubah penggunaan lahan.

Permukiman Terendam, Modal Lainnya Membuat Gempuran

     Banjir rob di Desa Sriwulan, Kecamatan Sayung yang berbatasan langsung dengan Kota Semarang terjadi akibat reklamasi di Pantai Marina yang menyebabkan arus laut memutar kembali ke arah timur ke Kabupaten Demak yakni Kecamatan Sayung. Hal tersebut membuat pesisir Desa Sriwulan menjadi lebih rendah (Asiyah et al. 2015; Batubara et al. 2020; Munasikhah dan Wijayati 2021). Desa Sriwulan sendiri juga berkembang menjadi wilayah yang dipenuhi pabrik, sebab berdekatan dengan kawasan industri Terboyo di Semarang. Reklamasi di kawasan Tanah Mas, Tanjung Mas, dan Terboyo di Semarang memperparah pula banjir rob yang melanda Kecamatan Sayung, Demak  (Asiyah et al. 2015; Batubara et al. 2020; Munasikhah dan Wijayati 2021).

Reklamasi Pantai Marina berawal dari proyek Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan ( PRPP ) Jawa Tengah yang didorong oleh Soeharto pada tahun 1986 yang awalnya dilaksanakan oleh PT Uber Vista Indah sebagai investor, tetapi digantikan oleh PT Indo Permata Usahatama (IPU) di lahan seluas 237 ha termasuk wilayah laut yang direklamasi, di mana seluas 108 ha adalah area daratan sesungguhnya. Proyek tersebut terkait pula dengan pengembangan hunian (Batubara et al. 2021). Berbagai proyek yang ada di pesisir Semarang tak dapat dilepaskan dari penerbitan PP No 16/1976 tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang yang memicu masuknya investor (Batubara et al. 2021).

Reklamasi dilakukan oleh perusahaan dengan dalih mencegah abrasi masuk ke Kota Semarang, padahal reklamasi yang berjalan semenjak tahun 1987 belum disertai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) (Batubara et al. 2021). Intervensi terhadap daerah aliran sungai (DAS) dan reklamasi pantai kenyataannya justru memperparah abrasi dan memicu banjir rob  (Batubara et al. 2021). Abrasi di Sriwulan mulai terlihat pada tahun 1989 dan semakin parah pada tahun 2002. Banjir rob sampai-sampai mendorong warga Desa Sriwulan untuk mengikuti program transmigrasi akibat desanya tak lagi bisa menopang kehidupannya (Rindarjono 2021).

Air buangan yang berasal dari kawasan industri Kota Semarang saat musim penghujan menambah parah ketinggian banjir rob di Sayung, Demak (Haloho dan Purnaweni 2020). Desa Bedono adalah desa lainnya di Kecamatan Sayung yang terendam rob akibat reklamasi pelabuhan Tanjung Mas di Semarang. Warga juga menyadari bahwa situasi perubahan iklim memperparah kondisi banjir rob yang mereka hadapi. Reklamasi untuk pelabuhan Tanjung Mas membuat gelombang laut berubah dan memicu abrasi di Desa Bedono. Warga di sisi lain menyadari bahwa sumur bor yang mereka pakai sebagai satu-satunya sumber air bersih telah memicu penurunan muka tanah, sehingga menimbulkan abrasi  (Pamungkas 2011).

Kajian Rahmawan et al. (2016) secara geologis menunjukkan bahwa penggunaan sumur bor mendorong adanya penurunan permukaan tanah di Kecamatan Sayung. Penurunan muka air tanah terutama terjadi akibat aktivitas industri yang ada di sepanjang jalan Pantura (Pantai Utara Jawa) di Kecamatan Sayung. Penurunan muka tanah sendiri berkisar sebesar 4 sampai 5 cm/tahun. Pengambilan air melalui sumur bor sepanjang tahun 2015 saja tercatat terus mengalami peningkatan, sehingga penurunan muka air tanah terus terjadi (Rahmawan et al., 2016) (Rahmawan et al. 2016). Peningkatan pengambilan air melalui sumur bor juga meningkat sepanjang tahun 2016-2017 terutama di Kecamatan Sayung bagian barat yang menjadi bagian dari perluasan kawasan industri Kota Semarang (Afif et al. 2018).

Kecamatan Sayung yang terendam rob tak lantas membuat pemerintah daerah dan pemodal berhenti memperluas pabrik. Kawasan industri PT Aroma Kopikrim misalnya berada di Jalan Raya Semarang-Demak. Area dekat perusahaan tersebut bahkan ditawarkan sebagai Kawasan Industri Demak sejak tahun 2010 dikelola oleh Bumimas Group (Karmilah et al., 2023) (Karmilah et al. 2023). Bumimas Group terus memperluas area kawasan industri yang ditawarkan bahkan mencaplok area tambak seluas 600 ha di Desa Bedono. Pemerintah Kabupaten Demak sendiri dalam rencana tata ruang wilayah telah memposisikan Kecamatan Sayung sebagai kawasan peruntukan industri  (Karmilah et al. 2023).

Proyek Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) yang dibuat oleh pemerintah pusat di pesisir Sayung sendiri ditakutkan semakin memperparah kondisi ekosistem mangrove maupun fenomena banjir rob (Alifiansyah, 2023) (Alifiansyah 2023). Proyek TTLSD yang dimulai sejak tahun 2018 sendiri ditakutkan akan membuat semakin banyak air laut yang mengarah ke daerah yang ada di luar kurva tanggul dan menenggelamkan wilayah yang berada di Kabupaten Demak. Proyek TTLSD ditakutkan pula membuat penurunan permukaan tanah, sehingga banjir rob dicemaskan akan meluas (Koalisi Maleh Dadi Segoro 2023).

ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan Hidup) dari proyek TTLSD juga diduga tak melibatkan konsultasi publik dengan mereka yang bersikap kritis terhadap proyek tersebut. ANDAL juga dilihat kurang mendalami potensi perubahan arus laut, jejak kesejarahan banjir rob dan amblesan tanah (Koalisi Maleh Dadi Segoro 2024). Koalisi Maleh Dadi Segoro sendiri mencatat akibat proyek TTLSD telah terjadi perubahan gelombang laut dan memperparah kondisi desa-desa di pesisir Kecamatan Sayung, Demak. Sumur-sumur warga juga terdampak intrusi air laut akibat perubahan gelombang laut (Koalisi Maleh Dadi Segoro 2024). Lebih lanjut gambaran interaksi ekonomi politik yang memperparah banjir rob setelah meredupnya ekonomi tambak udang ditunjukkan oleh gambar 2 sebagai berikut:

Gambar 2. Feedback Loop Proses Ekonomi Politik yang Memperparah Banjir Rob di Kecamatan Sayung, Demak Setelah Meredupnya Ekonomi Tambak

Diolah oleh Penulis

Ekspansi berbagai bisnis di sekitar Sayung, Demak menjadi bentuk penataan ulang alam dan sosial untuk membentuk Sayung dan sekitarnya sebagai suatu kawasan “yang ramah terhadap akumulasi modal yang berasal dari wilayah lainnya.” Penataan ulang wilayah pesisir tersebut melibatkan proses komodifikasi, privatisasi, dan regulasi yang disokong pemerintah. Kapitalisasi wilayah pesisir membuat kerusakan ekologis yang sudah terjadi akibat banjir rob yang muncul dari ekspansi modal tak dihiraukan, di mana penduduk lokal justru ingin dirubah mengikuti kepentingan akumulasi modal (Kahrl 2020). Lebih lanjut perubahan ekonomi politik yang memicu terjadinya banjir rob di Sayung, Demak dapat dilihat pada gambar 3 berikut:

Gambar 3. Perubahan Ekonomi Politik Pemicu Banjir Rob di Sayung, Demak.

Diolah oleh Penulis

Perubahan ekonomi-politik yang terjadi di Sayung, Demak sayangnya membuat tergerusnya ekosistem mangrove sejak tahun 1980-an, sehingga memicu abrasi sampai dengan banjir rob. Luas administrasi dari desa-desa yang berada pada wilayah pesisir Kecamatan Sayung bahkan telah berkurang. Kondisi ekosistem mangrove yang tersisa pun mengalami kerusakan akibat hempasan gelombang laut. Desa-desa pesisir di Kecamatan Sayung mengalami penurunan luas wilayah secara masif, permukiman dan fasilitas umum yang terendam menjadi tak bisa lagi digunakan (Asiyah et al. 2015).

Desa-desa di Kecamatan Sayung yang terendam oleh air rob adalah Sriwulan, Purwosari, Bedono, Timbulsloko, Sidomegah, Gemuluk, dan Surodadi. Desa-desa tersebut memiliki ketinggian kurang dari 0,2 m di atas permukaan laut, bahkan Desa Sriwulan memiliki elevasi -0,9 meter di atas permukaan laut (Widada et al. 2012). Beberapa bentuk perubahan ekonomi politik yang berbeda mulai dari ekspansi tambak udang, pasar properti yang memicu reklamasi sampai dengan perpindahan pabrik dan proyek infrastruktur menjadi sumber dan memperparah banjir rob di Sayung, Demak.

Refleksi

Tulisan ini sudah menunjukkan banjir rob di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak bukanlah sebatas fenomena fisik maupun masyarakat di tingkat lokal, melainkan terjadi sebagai bagian dari konfigurasi ekonomi-politik yang lebih luas dari level daerah, nasional, mau;pun global. Banjir rob berkelindan pada ekspansi modal dari luar wilayah Sayung yang menancapkan kekuasaanya di akar rumput dengan komoditas yang berbeda-beda. Hal tersebut menunjukkan bahwa banjir rob tak sekadar menjadi fenomena fisik.

Modal yang pertama masuk berasal dari pasar komoditas udang yang muncul sebagai konsekuensi dari tren konsumsi makanan sehat di Amerika Serikat dan Eropa, kemudian direspon oleh pemerintah Indonesia untuk mendorong proyek INTAM untuk memenuhi pasokan udang. Proyek INTAM memicu konversi mangrove dan sawah di Sayung, Demak dengan gairah mendapatkan uang tunai secara cepat, tetapi berujung pada kemunculan rob akibat kerusakan ekologis. Modal lainnya yang tak dapat dilepaskan adalah ekspansi properti di wilayah utara Kota Semarang yang didorong pula oleh pemerintah pusat yang memunculkan adanya reklamasi berujung pada perubahan gelombang laut ke arah Sayung. Perkembangan ekspansi properti itu bahkan berujung pada pencaplokan ruang hidup warga di Sayung, meskipun sudah terdampak banjir rob. Realitas tersebut membantu memperlihatkan bahwa pada dasarnya banjir rob tak terjadi disebabkan oleh fenomena yang semata ada di tingkat tapak, melainkan terhubung pada proses ekonomi politik yang kompleks dalam mengekstraksi alam.

Referensi

Afif M, Yuwono BD, Awaluddin M. 2018. Studi Penurunan Tanah Periode 2016 – 2017 Menggunakan GAMIT 10.6 (Studi Kasus : Pesisir Kecamatan Sayung, Demak). Jurnal Geodesi Undip. 7(1):46–56.

Alifiansyah J. 2023. Analisis Struktur Dan Profil Vegetasi Mangrove Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak [Undergraduate Thesis]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Asiyah S, Rindarjono MohG, Muryani C. 2015. Analisis Perubahan Permukiman Dan Karakteristik Permukiman Kumuh Akibat Abrasi Dan Inundasi Di Pesisir Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Tahun 2003 – 2013. Jurnal GeoEco. 1(1):83–100.

Awaliyah DN. 2021. Resolution Of Demak Coastal Conflict. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik. 3(2):147–152.

Batubara B, Kausan BY, Handriana E, Salam S, Ma’rufah U. 2021. Banjir Sudah Naik Seleher ekologi politis urbanisasi das-das di semarang. Semarang: Cipta Prima Nusantara (CPN).

Batubara B, Warsilah H, Wagner I, Salam S, Koalisi Pesisir Semarang-Demak. 2020. Maleh dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak. Bantul: CV Lintas Nalar.

Clark B, Clausen R. 2008. The Oceanic Crisis Capitalism and the Degradation of Marine Ecosystems. Monthly Review., siap terbit. [diakses 2023 Des 20]. https://monthlyreview.org/2008/07/01/the-oceanic-crisis-capitalism-and-the-degradation-of-marine-ecosystem/.

Damaywanti K. 2013. Dampak Abrasi Pantai terhadap Lingkungan Sosial (Studi Kasus di Desa Bedono, Sayung Demak). Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. hlm 363–367.

Fauzi NA, Sukamdi S. 2017. Analisis Kemiskinan Di Wilayah Bencana Banjir Rob Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Jurnal Bumi Indonesia., siap terbit. [diakses 2023 Des 20]. https://www.neliti.com/publications/228707/analisis-kemiskinan-di-wilayah-bencana-banjir-rob-desa-timbulsloko-kecamatan-say.

Haloho EH, Purnaweni H. 2020. Adaptasi Masyarakat Desa Bedono Terhadap Banjir Rob Di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Journal Of Public Policy And Management Review. 9(4):1–9.

Kahrl AW. 2020. From Commons to Capital: The Creative Destruction of Coastal Real Estate, Environments, and Communities in the US South. Transatlantica. 2:1–16.

Karmilah M, Handriana E, Atia S, Nihayah U. 2023. Urip Dioyak-Oyak Banyu: Perjumpaan Manusia, Abrasi, Rob, dan Infrastruktur di Sayung. Bantul: Mata Kata Inspirasi.

Koalisi Maleh Dadi Segoro. 2023. Laporan Investigasi Banjir Jawa Tengah Akhir 2022 – Awal 2023: Pemerintah “Hanya Lihat-Lihat.” Semarang. [diakses 2023 Feb 21]. https://lbhsemarang.id/wp-content/uploads/2023/01/FINAL-Laporan-Investigasi-Banjir-Jawa-Tengah-Akhir-2022-Awal-2023.pdf.

Koalisi Maleh Dadi Segoro. 2024. Studi Ekologi Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak? Semarang. [diakses 2024 Feb 20]. https://www.walhijateng.org/2024/01/17/studi-ekologi-proyek-tol-dan-tanggul-laut-semarang-demak/.

Munasikhah S, Wijayati PA. 2021. Dari Hutan Mangrove Menjadi Tambak: Krisis Ekologis Di Kawasan Sayung Kabupaten Demak 1990-1999. Journal of Indonesian History. 10(2):129–140.

Pamungkas C. 2011. Tanggapan Dan Antisipasi Masyarakat Menghadapi Rob Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak (Studi Kasus Masyarakat Desa Bedono) [Undergraduate Thesis]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Perdana TA. 2019. Assessing Willingness-To-Pay for Coastal Defenses: A Case Study in Timbulsloko Village, Sayung, Demak, Indonesia. Di dalam: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. hlm 1–5.

Rahmawan LE, Yuwono BD, Awaluddin M. 2016. Survei Pemantauan Deformasi Muka Tanah Kawasan Pesisir Menggunakan Metode Pengukuran Gps Di Kabupaten Demak Tahun 2016 (Studi Kasus : Pesisir Kecamatan Sayung, Demak). Jurnal Geodesi Undip. 5(4):44–55.

Rindarjono MohG. 2021. Reklamasi, Risiko, Dan Ketimpangan Perkotaan: Genangan, Abrasi Dan Dampak Sosial Di Jawa Tengah. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional “Kebijakan Satu Peta dan Implementasinya untuk Perencanaan Wilayah (DAS) dan Mitigasi Bencana.” hlm 381–392.

Ristianti NS. 2016. S.M.A.R.T. eco-village for hazardous coastal area in Bedono Village, Demak Regency. Di dalam: Procedia – Social and Behavioral Sciences. hlm 593–600.

Sagala PM, Bhomia RK, Murdiyarso D. 2024. Assessment of coastal vulnerability to support mangrove restoration in the northern coast of Java, Indonesia. Reg Stud Mar Sci. 70:1–13.

Suryanti NMdWA, Marfai MuhA. 2016. Analisis Multibahaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Demak. Jurnal Bumi Indonesia. 5(2):1–7.

Widada S, Rochaddi B, Endrawati H. 2012. Pengaruh Arus Terhadap Genangan Rob Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Buletin Oseanografi Marina. 1:31–39.

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/08/Megashift__08-03.pdf “].

Negara dan Paradoks Digitalisasi: Telaah Komparatif Dampak Digitalisasi di Estonia dan China

brief article Monday, 12 August 2024

Teknologi digital saat ini mengalami perkembangan yang begitu pesat. Dalam setidaknya 30 tahun terakhir, proses digitalisasi di banyak negara telah menyentuh berbagai aspek kehidupan. Mulai dari e commerce, e-business, e-learning, e-media, and e-government (Berdykulova, 2014). Berbagai literatur mengenai digitalisasi umumnya memuat analisis yang relatif serupa dan mencitrakan bahwa proses digitalisasi sebagai proses yang selalu menghadirkan dampak positif dan seragam (Bank Dunia, 2009). Namun demikian, apakah benar bahwa digitalisasi selalu melahirkan dampak yang seragam dan positif?           

Perkembangan mengenai diskursus dan praktik terkait tata kelola digital saat ini justru diwarnai oleh berbagai polarisasi. Pertama adalah polarisasi antara open governance dan digital surveillance. Pada satu sisi, beberapa negara membangun tata kelola digital yang dominan mengusung praktik keterbukaan informasi. Prinsip dasarnya adalah pemberian akses kepada warga negara untuk menikmati layanan digital secara terbuka. Negara yang dianggap sebagai best practice dari open governance adalah Estonia. Pada sisi lain, beberapa negara membangun tata kelola yang dominan mengusung praktik pengawasan (surveilans) digital oleh negara kepada warga negara. Prinsip dasarnya adalah menghimpun informasi terkait aktivitas warga negara sebagai input pengambilan kebijakan. Negara yang terdepan menerapkan tata kelola yang dominan ke arah surveillance state adalah China.

Polarisasi kedua muncul akibat perbedaan orientasi atas tata kelola digital yang dianut. Polarisasi ini terjadi antara tata kelola digital yang berorientasi pada pelayanan publik dan orientasi pada stabilitas publik. Pada satu sisi, terdapat berbagai negara yang membangun tata kelola digital sebagai instrumen untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Misalnya melalui digitalisasi data kependudukan, perizinan hingga perpajakan. Negara yang terdepan dalam orientasi ini adalah Estonia dengan platform e-Estonia. Pada sisi lain, terdapat berbagai negara yang membangun tata kelola digital sebagai instrumen untuk menjaga stabilitas publik. Misalnya melalui pengumpulan data identitas, aktivitas dan mobilitas warga negara dengan berbagai skema oleh negara. Negara yang terdepan dalam orientasi ini adalah China dengan platform Social Credit System (Shèhuì Xìnyòng Tǐxì).

Menariknya, sebelum pandemi COVID-19 narasi dominan terkait digitalisasi didominasi oleh tata kelola berprinsip open governance dengan orientasi pelayanan publik. Namun, setelah kehadiran pandemi COVID-19 justru tata kelola berprinsip surveillance state dengan orientasi stabilitas publik terus menguat di berbagai negara. Di China melalui teknologi deteksi wajah dan teknologi pelacakan berbasis telepon seluler. Di Korea Selatan melalui infrastruktur smart city yang mencakup pelacakan mobilitas warga negara berbasis telepon seluler, CCTV bahkan kartu kredit. Di Hong Kong melalui aplikasi telepon seluler yang dirancang khusus untuk pelacakan mobilitas warga. Di Indonesia sendiri terdapat platform PeduliLindungi yang kini bertransformasi menjadi SatuSehat dengan fungsi pengawasan mobilitas. Lebih lanjut, terkhusus di Indonesia sendiri, saat ini muncul RUU Penyiaran yang dianggap sebagai instrumen surveilans digital bagi aktivitas netizen di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan pada paragraf-paragraf sebelumnya maka terdapat urgensi untuk melakukan analisis komparatif terkait digitalisasi. Utamanya untuk membandingkan bagaimana digitalisasi dilakukan dan apa dampaknya di dua negara yang menjadi representasi dari open governance berorientasi pelayanan publik yaitu Estonia dan representasi dari surveillance state berorientasi stabilitas publik yaitu China.

Tulisan ini membandingkan dua proses digitalisasi dan dampak yang dihasilkan di dua negara yaitu Estonia dan China. Komparasi diawali dengan menganalisis digitalisasi di Estonia kemudian dilanjutkan dengan digitalisasi di China. Sebelum kemudian ditarik kesimpulan mengenai perbedaan proses dan output dari digitalisasi yang dilakukan. Analisis secara komparatif diharapkan dapat memberikan perspektif dan pemahaman yang lengkap bagi pembaca mengenai tata kelola digital, orientasi digitalisasi yang dilakukan dan dampaknya bagi warga negara. Selain itu, diharapkan dapat juga menjadi referensi untuk memperkaya diskursus mengenai digitalisasi di Indonesia. Utamanya terkait bagaimana proses, orientasi dan digitalisasi yang idealnya dikedepankan di Indonesia.

Estonia

Estonia menjadi negara yang bisa dikatakan paling menarik dalam studi terkait digitalisasi sektor publik. Negara ini memiliki prinsip digitalisasi yang disebut sebagai Estonian Credo. Kredo ini secara lengkap berbunyi, “we constantly seek and develop new digital solutions that allow things to get done faster, better, and cheaper”. Estonia memulai digitalisasi dengan melakukan beberapa langkah strategis. Pertama, Estonia melakukan investasi besar-besaran untuk melakukan digitalisasi informasi dan layanan publik pada 1990-an. Kedua, Estonia mengeluarkan berbagai kebijakan yang menunjang transformasi digital ini. Salah satunya adalah payung hukum atas akses universal warga negara terhadap internet. Parlemen mengeluarkan undang-undang yang menyatakan bahwa hak atas akses internet adalah hak setiap warga negara. Hal ini mendorong negara untuk membangun jaringan telekomunikasi ke seluruh penjuru Estonia. Dalam perkembangannya, proses digitalisasi ini melahirkan sebuah negara dengan layanan digital komprehensif bernama e-Estonia.

Digitalisasi di Estonia telah mencapai suatu tahap yang berskala nasional, lintas sektor, dan lintas aktor. Hal ini bisa dilihat dari berbagai platform yang tersedia misalnya Estonian Education and Information System (sistem pendidikan nasional berbasis digital), Data Embassy (kolaborasi dengan negara lain terkait pusat data), dan e-land Registry (digitalisasi sistem kepemilikan dan transaksi properti).

Kalvet (2012) menemukan bahwa e-Estonia dapat berhasil karena didukung adanya ekosistem kebijakan yang suportif untuk pengembangan inovasi berbasis digital. Kitsing (2011) menyatakan bahwa sektor privat juga memainkan peran penting karena secara proaktif membangun sistem perbankan berbasis internet. Hal ini berperan penting sebagai infrastruktur dasar bagi e-Estonia. Selain itu, digitalisasi sistem pemilihan umum juga memainkan peran penting dalam menghasilkan hubungan yang lebih baik antara negara dengan warga negara. Sementara itu, Sai dan Boadi (2017) menemukan bahwa pendidikan memainkan peran penting bagi keberhasilan e-Estonia. Hal ini karena pendidikan yang berkualitas tinggi utamanya terkait TIK melahirkan masyarakat yang cakap secara teknologi. Terakhir, Tsahkna (2013) menekankan pentingnya peran dari digitalisasi data kependudukan yang memungkinkan akses layanan publik berbasis digital secara komprehensif di Estonia.  

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh e-Estonia Guide 2018 terdapat keberhasilan baik pada sektor pemerintahan, sosial, maupun ekonomi. Pemerintahan di Estonia misalnya berhasil melakukan digitalisasi sistem perpajakan secara komprehensif. Hal ini dibuktikan dengan 99 persen layanan publik telah berbasis online dan tersedia 24 jam dalam 7 hari atau non-stop. Kemudian dari sektor sosial, 99 persen layanan medis dan 97 persen rekam medis telah berbasis digital. Selain itu, 85 persen sekolah telah terintegrasi dalam sistem e-School yang berbasis digital. Terakhir, dari sisi ekonomi Estonia telah mencapai 99 persen perusahaan terdigitalisasi dan 99 persen transaksi perbankan telah berbasis digital. Bahkan, proses perizinan perusahaan sebagai badan hukum hanya membutuhkan waktu rata-rata 18 menit.

Digitalisasi di Estonia melahirkan dampak lahirnya sebuah open governance. Hal ini dapat diidentifikasi dari tujuh prinsip digitalisasi yang dijalankan oleh Estonia. Pertama adalah prinsip desentralisasi dengan tidak adanya basis data yang terpusat. Kedua adalah prinsip interkonektivitas dengan saling terintegrasinya berbagai basis data yang ada baik pada sektor publik maupun privat. Ketiga adalah prinsip integritas dengan adanya penggunaan sistem berbasis blockchain. Keempat adalah prinsip platform terbuka yang membolehkan seluruh organisasi untuk menggunakan infrastruktur e-Estonia. Kelima adalah prinsip no legacy yang mendorong adanya perubahan adaptasi teknologi dan hukum secara berkesinambungan mengikuti perkembangan zaman. Keenam adalah prinsip once only yaitu pencatatan data hanya dilakukan sekali oleh satu institusi saja. Ketujuh adalah prinsip transparansi dengan adanya fitur log files yang memungkinkan warga negara untuk mengetahui penggunaan data mereka.

China

Pengembangan teknologi dan digitalisasi di China lebih diarahkan untuk membangun kapasitas ekonomi. Alhasil, proses yang dilakukan berbasis pada kebijakan-kebijakan yang lebih diarahkan pada akselerasi pertumbuhan ekonomi. Langkah strategis yang dilakukan adalah dengan membangun berbagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau Special Economic Zone. Shenzhen merupakan KEK yang difokuskan untuk pengembangan teknologi dan digitalisasi. KEK ini menjadi pilar utama pengembangan teknologi dan digitalisasi di China (Yueh, 2013). Kebijakan KEK ini dikombinasikan dengan berbagai instrumen kebijakan lain misalnya Zizhu Chuangxin (Autonomous Innovation) dan Made in China 2025.

Digitalisasi yang terjadi di China melahirkan sebuah situasi yang paradoks. Pada satu sisi, digitalisasi berhasil mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi di China (UNCTAD, 2022). Hal ini mendorong kesejahteraan yang meningkat di China. Masifnya perkembangan ekonomi digital di China dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Grafik 1 Pertumbuhan Nilai Ekonomi Digital China 2025-2022 dalam Triliun Yuan

Sumber: Statista

Pada sisi lain, digitalisasi di China justru tidak mengarah pada lahirnya open governance namun justru melahirkan surveillance state. Menariknya, embrio dari surveillance state di China justru dimulai dari digitalisasi data medis forensik pada awal 2000-an. Dirks dan Leibold (2020) menyatakan bahwa keberhasilan digitalisasi data medis forensik pada beberapa daerah dilanjutkan dengan perluasan skala nasional. Proyek yang dinamai Nationwide Y-STR Database ini utamanya dijalankan oleh Kementerian Keamanan Publik (Ministry of Public Security) China.

China kemudian melakukan perluasan praktik surveillance state melalui program sistem kredit sosial (social credit system). Hoffman (2019) dalam studinya menyatakan bahwa pemerintah China melalui sistem kredit sosial telah secara eksplisit memperluas kontrol politik terhadap warga. Sistem kredit sosial ini menggunakan pengumpulan data warga negara yang dinalisis untuk melakukan pengawasan dan mengatur perilaku warga negara. Sistem kredit sosial ini memberikan peringkat terhadap warga berdasarkan aktivitas yang dilakukan dan terekam secara digital. Feldstein (2019) bahkan menyatakan bahwa China saat ini adalah sebuah negara otoriter berbasis teknologi (authoritarian tech). Lebih lanjut, Feldstein juga menemukan bahwa otoritas pemerintahan China bekerja bersama korporasi-korporasi China mencoba untuk mempromosikan praktik surveillance state ini sebagai model pemerintahan alternatif kepada dunia.

Kesimpulan

Tabel 1 Komparasi Digitalisasi di Estonia dan China

Negara Input Instrumen Output Jangka Pendek Output Jangka Panjang
Estonia ⮚         Anggaran

⮚         Teknologi

⮚         Regulasi

⮚         e-Estonia (program holistik dan komprehensif) ⮚         Keterbukaan informasi publik

⮚         Akselerasi Pelayanan publik

Open Governance
China ⮚         Anggaran

⮚         Teknologi

⮚         KEK

⮚         Zizhu Chuangxin

⮚         Made in China 2025

⮚         National Y-STR Database

⮚         Sistem Kredit Sosial

⮚         Akselerasi pertumbuhan ekonomi

⮚         Stabilitas sosial-politik

Surveillance State

Dampak dari digitalisasi di China menghasilkan situasi yang berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Estonia. Digitalisasi di China justru tidak mengarah pada lahirnya open governance. Digitalisasi di China justru melahirkan sebuah surveillance state. Menariknya, digitalisasi di Estonia melahirkan dampak positif utama yaitu pelayanan publik yang aksesibilitasnya komprehensif. Namun, tidak terjadi suatu dampak positif pada aspek ekonomi yang menonjol. Sementara itu, di China lahir sebuah surveillance state yang menerobos batas-batas privasi warga negara. Namun, pada sisi lain terjadi pula dampak ekonomi yang luar biasa dari keberhasilan China menjadi pusat ekonomi digital dan mengeksploitasi nilai tambah ekonomi dari perkembangan ekosistem digital.

Kedua kasus ini dapat menjadi pelajaran penting bagi Indonesia secara khusus dan negara-negara lain di dunia secara umum. Sebuah negara perlu untuk merencanakan secara komprehensif kebijakan digitalisasi yang dilakukan. Komprehensif dalam artian secara input perlu dilengkapi dengan teknologi-teknologi mutakhir yang tepat guna. Selain itu, secara proses juga perlu memperhatikan hak-hak warga negara atas privasi. Terakhir, secara output perlu diarahkan untuk mencapai open governance namun juga sekaligus menghasilkan nilai tambah ekonomi yang optimal.

Referensi

Bank Dunia. (2009). World development report 2009: Reshaping economic         geography. Bank Dunia. [online] diunduh pada 6 juni 2022 melalui

<https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/5991>

Berdykulova, G. M. K., Sailov, A. I. U., Kaliazhdarova, S. Y. K., & Berdykulov, E. B.       U. (2014). The emerging digital economy: case of Kazakhstan. Procedia-        Social and Behavioral Sciences, 109, 1287-1291.

EAS. E-Estonia guide 2018. [online] diunduh pada 16 Juni 2022 melalui            <https://e-estonia.com/wp-content/uploads/eestonia-guide-2018.pdf>

Feldstein, S. (2019). The global expansion of AI surveillance (Vol. 17).             Washington,    DC: Carnegie Endowment for International Peace.

Hoffman, S. (2019). Engineering global consent: The Chinese Communist Party’s     data-driven power expansion. [online] diunduh pada 12 Juni 2022 melalui             <https://www.jstor.org/stable/pdf/resrep23095.1.pdf>

Kalvet, T. (2012). Innovation: a factor explaining e-government success in        Estonia. Electronic Government, an International Journal, 9(2), 142-157.

Kitsing, M. (2011, September). Online participation in Estonia: active voting, low      engagement. Proceedings of the 5th international conference on theory and practice of electronic governance (pp. 20-26).

Leibold, J., & Dirks, E. (2020). Genomic surveillance: Inside China’s DNA   dragnet. The Strategist.

Sai, A. A., & Boadi, P. O. (2017). A Bundled Approach to Explaining Technological Change: The Case of e-Estonia. European Journal of Business and   Management, 9, 1-17.

Statista. (2024). Market size of the digital economy in China in selected years    from 2005 to 2022(in trillion yuan). [online] diakses pada 16 April 2024       melalui

<https://www.statista.com/statistics/1250080/china-digital-economy-        size>

Tsahkna, A. G. (2013). E-voting: lessons from Estonia. European View, 12(1),    59-       66.

UNCTAD. (2022). China’s structural transformation: what can developing      countries learn?. [online] diakses pada 10 Mei 2022 melalui

<https://unctad.org/webflyer/chinas-structural-transformation-what-   can-developing-countries-learn>

Yueh, Linda. (2013). China’s growth: The making of an economic superpower.    Oxford: Oxford University Press.

[flipbook height=”950″ pdf=” https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1571/2024/08/Megashift__08-02.pdf”].

12345…17
Universitas Gadjah Mada

© Universitas Gajah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY