Tren digital yang mendominasi konsumsi publik hari ini adalah konten komedi satire atau juga disebut ‘tepi jurang’. Fenomena ini muncul dari tiga pemicu krusial: kemudahan mengakses fitur media sosial, maraknya stand-up comedy di Indonesia, dan pembatasan ekspresi dalam UU ITE. Kombinasi inilah yang mendorong maraknya kritik tersirat terhadap pemerintah dan aktor politik melalui komedi satire.
Dalam melihat tren ini, perlu menggarisbawahi bagaimana ruang publik digital memainkan peran penting dalam partisipasi politik publik. Teknologi primer dan partisipasi politik menunjukkan hubungan yang kuat di antara keduanya (Buchstein, 1997). Dalam ruang publik digital masyarakat mendapatkan ruang untuk berekspresi dengan melontarkan kreativitas, ide, gagasan, dan kritik. Kehadiran internet dan media sosial menyediakan aksesibilitas untuk menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk menyalurkan wacana, ekspresi, serta terlibat diskusi pada ranah sosial dan politik (Papacharissi, 2002).
Ruang Publik Digital dan Kewargaan Digital
Ruang publik digital sebagai area komunikasi di media sosial (seperti Instagram, Facebook, Twitter/X, dan sebagainya), membuka ruang partisipasi terbuka dan bebas diakses oleh siapa saja yang tertarik dengan berbagai isu yang menjadi perhatian bersama (Schäfer, 2015). Tidak sekedar wadah untuk memantik diskursus, ruang publik digital juga sebagai representasi institusional (new media) yang mampu membatasi diskursus publik dengan cara tertentu dan berhubungan dengan representasi kolektif publik (Trenz, 2009).
Dalam catatan klasiknya, Jürgen Habermas membahas kemunculan ruang publik modern yang didorong oleh kekuatan publisitas yang kritis dan universal. Konsep ini kemudian mengalami transformasi seiring zaman yang menggantikan tatanan model lama menjadi media sosial. Pada kegunaannya, media sosial dapat merevitalisasi ruang publik dengan memungkinkan orang untuk menantang wacana yang ada, berbagi perspektif alternatif, dan mempublikasikan pendapat mereka sendiri (Loader & Mercea, 2011).
Transformasi digital ini telah mempengaruhi aktivitas kewargaan. Kewargaan digital terformulasi oleh tiga aspek utama yakni tanggungjawab sosial, akes terhadap informasi, dan keterlibatan aktif (Choi, 2016). Konsep ini mendorong masyarakat mengekspresikan pandangan secara kreatif terhadap diskursus politik melalui media sosial. Kreativitas ini melibatkan proses berpikir kreatif untuk menciptakan ide, pemilihan kata, perspektif, dan ekspresi verbal-visual yang inovatif (Abraham & Windmann, 2007). Penggunaan media sosial secara intens mendorong ‘creative ideation’ yang merupakan proses menghasilkan ide-ide orisinal berdasarkan isu yang sedang berkembang (Barbot, 2018).
Konteks kewargaan digital kini ditandai pengawalan isu dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan konsep digital citizenship Choi dan creative ideation Barbot, muncul korelasi dalam produksi konten komedi satire yang mengkritik pemerintah dan aktor politik. Peran kewargaan digital ini krusial dalam proses melakukan advokasi kebijakan, dalam isu dan skala tertentu dapat memicu gerakan sosial yang masif seperti ‘Indonesia gelap’, ‘kabur aja dulu’, dan ‘peringatan darurat’ yang berawal dari konten media sosial.
Komedi Satire: Partisipasi Politik Kekinian
Satire telah lama digunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik sosial dan pesan politik, dan dalam beberapa kasus juga memberikan komentar tentang ilmu pengetahuan dan pengaruhnya terhadap kebijakan (Little, 2022). Dalam praktik modern, satire telah menjadi cara yang umum digunakan untuk mengkritik pemerintah dan aktor politik di dalamnya. Satire dipandang sebagai upaya untuk merumuskan ulang diskursus politik yang ada di media arus utama dan budaya populer, terutama terkait isu-isu penting bagi kelangsungan demokrasi (Reilly, 2013).
Pembahasan politik yang pada mulanya berat dan kaku kini hadir dengan bahasa ringan yang menghibur. Satire politik bukan sekadar humor, melainkan sebagai alat yang memberi kebebasan kepada audiens untuk menerima atau menolak pesan yang disampaikan (Thai, 2014). Dengan munculnya kritik melalui komedi dan satire ini telah memberikan alternatif baru sebagai bentuk keterlibatan dan partisipasi dalam diskursus politik di media sosial.
Di era media sosial, intensitas dan kuantitas ekspresi visual meningkat secara signifikan (Ahmad, 2021). Para stand-up comedian atau komika banyak memproduksi konten kritik satire melalui media sosialnya, contohnya adalah Bintang Emon. Produksi kontennya telah melahirkan diskursus yang ramai menjadi pembahasan publik secara umum, salah satu kontennya yang viral adalah mengenai rencana pembelian gorden senilai 48 miliar rupiah untuk rumah dinas anggota DPR RI. Konten tersebut memantik diskursus publik secara masif di media sosial, sehingga pada akhirnya rencana pembelian tersebut dibatalkan.
Hal ini menggambarkan bahwa produksi konten komedi satire tidak sekadar menjadi ekspresi kritik belaka, melainkan juga menjadi instrumen bagi advokasi kebijakan. Sebagai snowball effect, netizen juga ramai-ramai memproduksi konten ‘tepi jurang’ guna menyuarakan keresahan dengan dibalut komedi satire dan bahasa yang mudah dipahami.
Pada akhir tahun 2024, jagad media sosial riuh mengenai rencana kenaikan PPN 12% oleh pemerintah. Kado awal tahun baru ini menuai berbagai respons negatif dari masyarakat, banyak cuitan-cuitan dan ilustrasi digital yang menyindir pemerintah dalam bentuk komedi satire. Masifnya gelombang kritik ini memaksa pemerintah memberi respons cepat, pada tengah malam tahun baru pemerintah menyampaikan bahwa rencana kebijakan kenaikan PPN 12% batal.
Sekali lagi, konten komedi satire yang viral di media sosial berhasil dalam melakukan advokasi kebijakan. Fenomena ini yang sekarang kita kenal sebagai viral based policy, kondisi ketika pemerintah melakukan respons cepat atas kebijakan yang akan atau telah dikeluarkan berdasarkan konten yang viral di media sosial.
Meningkatnya konten politik melalui komedi satire di media sosial menambah pengetahuan tentang peristiwa terbaru, mendorong pencarian informasi tentang topik terkait, dan meningkatkan minat serta perhatian terhadap kondisi politik hari ini. Masifnya keterlibatan masyarakat hari ini dalam partisipasi politik di ruang publik digital menjadi bagian dari pengayaan demokrasi dan medium pencerdasan publik.
Konten komedi satire telah terbukti sebagai pendekatan kritis yang ekspresif, bentuk partisipasi politik kekinian, dan katalis advokasi kebijakan yang efektif dalam merespons diskursus politik nasional. Pemerintah dan aktor politik kedepannya harus meningkatkan sensitivitas terhadap aspirasi masyarakat dengan mempertimbangkan diskursus di ruang publik digital dalam komunikasi publik serta proses perencanaan hingga implementasi kebijakan publik.
Referensi
Abraham, A., & Windmann, S. (2007). Creative cognition: The diverse operations and the prospect of applying a cognitive neuroscience perspective. Methods, 42(1), 38–48. https://doi.org/10.1016/j.ymeth.2006.12.007
Ahmad, N. (2021). Menyegarkan Kembali Kajian Komunikasi Politik di Indonesia: Visualialisasi, Ideasi dan Mediatisasi Politik Sebagai Domain Kajian dan Paradigma Riset Alternatif (pp. 99–110).
Barbot, B. (2018). The Dynamics of Creative Ideation: Introducing a New Assessment Paradigm. Frontiers in Psychology, 9, 2529. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.02529
Buchstein, H. (1997). Bytes that Bite: The Internet and Deliberative Democracy. Constellations, 4(2), 248–263. https://doi.org/10.1111/1467-8675.00052
Choi, M. (2016). A Concept Analysis of Digital Citizenship for Democratic Citizenship Education in the Internet Age. Theory & Research in Social Education, 44(4), 565–607. https://doi.org/10.1080/00933104.2016.1210549
Little, H. (2022). The use of satire to communicate science in ‘Don’t look up.’ Journal of Science Communication, 21(05), C06. https://doi.org/10.22323/2.21050306
Loader, B. D., & Mercea, D. (2011). NETWORKING DEMOCRACY?: Social media innovations and participatory politics. Information, Communication & Society, 14(6), 757–769. https://doi.org/10.1080/1369118X.2011.592648
Papacharissi, Z. (2002). The virtual sphere: The internet as a public sphere. New Media & Society, 4(1), 9–27. https://doi.org/10.1177/14614440222226244
Reilly, I. (2013). From Critique to Mobilization: The Yes Men and the Utopian Politics of Satirical Fake News. International Journal of Communication, 7(0), Article 0.
Schäfer, M. S. (2015). DIGITAL PUBLIC SPHERE.
Thai, A. (2014). Political Satire: Beyond the Humor | Opinion | The Harvard Crimson. https://www.thecrimson.com/article/2014/2/6/harvard-political-satire/
Trenz, H.-J. (2009). Digital Media and The Return of The Representative Public Sphere. Javnost – The Public, 16(1), 33–46. https://doi.org/10.1080/13183222.2009.11008996