Sanitasi juga Hak Asasi bagi Disabilitas

Sanitasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Perlunya sanitasi yang baik berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang sehat. Sebagai kebutuhan pokok, sanitasi harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Program penyediaan sanitasi harus menjunjung tinggi keadilan terutama soal keadilan akses. Bila diuraikan lebih lanjut, permasalahan sanitasi juga mencakup upaya pemenuhan kebutuhan air dan higienitas atau kerap disebut WASH (Water, Sanitation, and Hygiene). Namun perspektif teknikal ini tidak cukup untuk memahami kekusutan permasalahan penyediaan sanitasi yang berkeadilan tanpa kesenjangan.
Masalah utama yang amat sering muncul soal sanitasi adalah penyediaan infrastruktur sanitasi. Bahkan menurut data World Health Organization (WHO), 2 miliar orang di dunia masih belum memiliki fasilitas sanitasi dasar (WHO, 2019). Data dari UNICEF (2019) menyatakan bahwa hampir 25 juta penduduk Indonesia tidak menggunakan toilet. Kekurangan akses pada sanitasi tidak hanya membawa pada masalah kesehatan, tetapi masalah lainnya yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat, misalnya kerentanan perempuan terhadap kejahatan seksual (Fuadona, 2015). Pembangunan fisik sering kali tidak peka terhadap kondisi sosial budaya di tempat pembangunan tersebut dilakukan. Sebagai akibatnya, pembangunan fisik gagal menciptakan sanitasi berkeadilan atau bahkan ditolak.
Pemenuhan kebutuhan sanitasi juga amat berkaitan dengan krisis iklim yang makin terasa. Sebagai contoh, McFarlane (2023) menyebutkan kasus banjir akibat krisis iklim di Nairobi yang tidak hanya mempersulit akses terhadap sanitasi, tetapi juga diperparah oleh kondisi sanitasi dengan pengelolaan buruk sehingga membuat banjir menjadi penyebab persebaran penyakit. Ironisnya pembicaraan mengenai krisis iklim justru kerap tidak memedulikan mengenai sanitasi. Ulasan sistematis Satriani, Ilma, & Daniel (2022) terhadap riset mengenai sanitasi di Indonesia mengonfirmasi hal ini. Kebanyakan riset mengenai sanitasi fokus pada isu sosial, terutama perilaku masyarakat, sedangkan paling sedikit adalah mengenai higienitas dan pembiayaan. Namun krisis iklim maupun perubahan iklim bahkan sama sekali tidak muncul.
Di sini pentingnya pendekatan lintas sektoral seperti yang diajukan UNICEF. Dalam praktik pembangunan, komunikasi yang baik diperlukan untuk menjelaskan pentingnya pembangunan tersebut pada masyarakat. Komunikasi yang dilakukan jangan sampai merendahkan atau mempermalukan masyarakat yang menjadi target pembangunan (Selamet, 2020). Barrington & Sindall (2018) menyarankan diakomodasinya saran dari pakar masyarakat lokal.
Akses air di Indonesia juga masih belum berkeadilan. Syafi’i dan Gayatri (2019) menunjukkan betapa peliknya permasalahan akses air. Persoalan akses air bukan hanya soal kondisi ekologis, tetapi juga politis. Sudah banyak konflik yang terjadi akibat perebutan sumber daya air. Seperti di Bali, Batu (Jawa Timur), Klaten (Jawa Tengah), Pandeglang (Banten) yang kebanyakan disebabkan adanya persaingan antara masyarakat dan pihak swasta yang dibantu negara. Masyarakat pada akhirnya menjadi pihak yang kalah dalam konflik air.
Persoalan sanitasi dan juga akses pada air tentu tidak hanya meminggirkan masyarakat miskin, tetapi juga mendorong kesenjangan pada kaum disabilitas. Deklarasi Hak-hak Penyandang Disabilitas 1975 memang telah memberikan titik awal terbukanya hak-hak penyandang disabilitas sebagai subjek dari deklarasi hak asasi manusia (HAM). Walau demikian, permasalahan terkait pemenuhan HAM disabilitas pada saat itu masih digambarkan sebagai model medis. Menurut Degener (2000) dalam Santoso dan Apsari (2017), hal tersebut membuat penanganan disabilitas bergantung pada jaminan sosial yang diberikan setiap negara dan bertujuan kuratif (menyembuhkan). Di sisi lain, perkembangan yang terlihat pada model disabilitas baru yang dibawa oleh International Classification of Impairments, Disabilities, and Handicaps (ICIDH) menjelaskan unsur-unsur disabilitas secara lebih komprehensif yang ditinjau dari keterbatasan fungsi organ tubuh, aktivitas atau partisipasi, dimensi lingkungan, dan faktor sosial. Dengan demikian, penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai penyakit atau kondisi abnormal, melainkan lingkungan sekitarnya yang bermasalah saat tidak dapat menyediakan kesetaraan akses dan sistem yang inklusif (Rioux dan Carbert [2003] dalam Santoso dan Apsari [2017]).
Data dari SMERU Institute yang diolah dari Susenas 2018 mencatat 7.415.560 penduduk Indonesia berusia di atas dua tahun merupakan penyandang disabilitas. Jenis keterbatasan yang disandang juga beragam baik yang tunggal maupun yang menyandang lebih dari satu keterbatasan. Jenis keterbatasan tersebut di antaranya keterbatasan melihat, mendengar, berjalan, menggerakkan tangan/jari, mengingat, berbicara, dan mengurus diri, termasuk juga gangguan emosional (Hastuti, dkk, 2020). Halangan kaum disabilitas terhadap sanitasi dan akses air terbagi dua yakni teknikal dan sosial (Groce, dkk, 2011). Padahal PBB menyatakan hak atas air dan sanitasi sebagai hak asasi yang harus diperoleh semua orang.
Terdapat kondisi-kondisi tertentu yang juga menyulitkan kaum disabilitas untuk mengakses air. Kaum disabilitas dengan pergerakan yang terbatas misalnya kesulitan mengakses air yang letaknya jauh dari tempat mereka (Groce, dkk, 2011, 618). Kondisi lain yang kerap ditemui penyandang disabilitas, terutama pengguna kursi roda, adalah sempitnya ruang gerak di toilet. Penyandang disabilitas yang menyandang kesulitan untuk bergerak membutuhkan ruang gerak yang luas dan juga beberapa sarana pendukung seperti handrail. Kondisi lantai yang licin juga berbahaya, tidak hanya bagi penyandang disabilitas, tetapi juga pengguna toilet non-disabilitas. Wastafel dengan ketinggian dan jarak yang menyulitkan untuk dijangkau oleh pengguna kursi roda juga perlu disesuaikan. Berbagai kesulitan yang dialami penyandang disabilitas ini juga terkadang kerap dirasakan oleh lansia, ibu hamil, dan anak-anak. Kondisi ini juga membuat kaum disabilitas membutuhkan waktu lama untuk menggunakan fasilitas sanitasi dan mengakses air. Implikasinya adalah perasaan segan terhadap pengguna lainnya karena merasa menyulitkan.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam pelayanan publik tanpa kesenjangan apapun. Peraturan Menteri PU No. 30/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dan Peraturan Menteri PUPR No. 14/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung menyatakan berbagai syarat toilet umum untuk penyandang disabilitas yang telah mencakup beberapa poin di atas. Namun rupanya peraturan tersebut masih belum cukup untuk memuluskan penerapannya. Lustiyati dan Rahmuniyati (2019, 113) yang meneliti sanitasi ramah disabilitas di sarana transportasi publik di Provinsi D.I. Yogyakarta mencatat salah satu persoalan adalah tidak adanya peraturan lain selain dua Peraturan Menteri di atas yang mengatur sanitasi bagi penyandang disabilitas, terutama Peraturan Daerah (Perda). Permenhub No. 48/2015 yang juga menjadi salah satu dasar penyediaan sanitasi ramah disabilitas masih fokus pada jumlah dan kondisi toilet, tetapi belum memperhitungkan aksesibilitas. Tidak hanya itu, bahkan penamaan “toilet difabel” menimbulkan masalah karena nama tersebut mencegah beberapa pihak untuk mengaksesnya karena label “difabel” pada toilet tersebut yang otomatis diberikan pada penggunanya. Penamaan seperti “kursi prioritas” yang disertai dengan penjelasan pihak-pihak yang termasuk prioritas yang paling berhak mengakses kursi tersebut lebih efektif karena mencegah terjadinya kesalahpahaman seperti di atas.
Persoalan WASH bagi penyandang disabilitas harus diselesaikan dengan pendekatan multi-perspektif. Penetapan regulasi yang berbasis HAM seperti UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dapat menjadi permulaan. Paradigma HAM ini menjadi kemajuan bila dibanding paradigma kesehatan yang sebelumnya digunakan karena paradigma kesehatan cenderung melihat penyandang disabilitas sebagai individu yang sakit dan perlu dikasihani (Hastuti, dkk, 2020, 7). Peraturan ini juga diperkuat dengan peraturan lainnya yang menyebutkan penyandang disabilitas dalam sektor tertentu, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan transportasi publik.
Namun pembangunan WASH tidak bisa hanya menekankan top-down atau bottom-up tetapi harus memadukan keduanya. Dari perspektif top-down, data yang akurat dan terintegrasi mengenai jumlah, jenis, dan kebutuhan penyandang disabilitas sehingga pelaksanaan di tingkat bawahnya dapat dilaksanakan dengan lebih efektif karena data telah terhimpun. Adanya regulasi dapat memaksa berbagai pihak untuk menyediakan sarana ramah disabilitas, seperti sebagai syarat perizinan pendirian gedung. Dari bottom-up, pengelolaan air dan fasilitas sanitasi juga dapat diserahkan kepada pihak kolektif masyarakat yang turut dipantau oleh sekelompok ahli. Bakker (2010) dalam analisisnya mengenai krisis air mendorong pengakuan atas hak individu dan hak kolektif atas air. Ini karena suatu representasi dari tiap bagian masyarakat dalam suatu kolektif harus terus diawasi. Kondisi ini dapat berjalan dalam situasi yang demokratis dan desentralistik. Kerja sama dengan pakar juga diharapkan mampu membentuk pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable).

Referensi
Bakker, K. (2010). Privatizing Water: Governance Failure and the World’s Urban Crisis. Ithaca: Cornell University Press.
Barrington, D. & R. Sindall. (2018). Toilets of the Future must be Designed with People in Mind, Not Technology. The Conversation. Diakses dari https://theconversation.com/toilets-of-the-future-must-be-designed-with-people-in-mind-not-technology-106610.
Fuadona, F. (2015). Sanitasi Buruk Picu Kekerasan Seksual terhadap Perempuan. Tempo.co. Diakses dari https://gaya.tempo.co/read/687681/sanitasi-buruk-picu-kekerasan-seksual-terhadap-perempuan/full&view=ok.
Groce, N., dkk. (2011). Water and Sanitation Issues for Persons with Disabilities in Low- and Middle-Income Countries: A Literature Review and Discussion of Implications for Global Health and International Development. Journal of Water and Health, 9(4), 617-627.
Hastuti, dkk. (2020). Kendala Mewujudkan Pembangunan Inklusif Penyandang Disabilitas. Jakarta: SMERU Institute.
Lustiyati, E.D., & M.E. Rahmuniyati. (2019). Aksesibilitas Sarana Sanitasi bagi Difabel di Tempat Transportasi Umum, Inklusi, 6(1), 93-126.
McFarlane, C. (2023). Waste and the City: The Crisis of Sanitation and the Right to Citylife. London: Verso.
Peraturan Menteri PUPR RI No. 30/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Peraturan Menteri PUPR No. 14/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung.
Santoso, M. B., & Apsari, N. C. (2017). Pergeseran paradigma dalam disabilitas. Intermestic: Journal of International Studies, 1(2), 166-176.
Satriani, S., I.S. Ilma, & D. Daniel. (2022). Trends of Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) Research in Indonesia: A Systematic Review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19, 1617.
Selamet, J. (2020). Kita mestinya lebih sering membicarakan toilet di Indonesia, mengapa penting?. The Conversation. Diakses dari https://theconversation.com/kita-mestinya-lebih-sering-membicarakan-toilet-di-indonesia-mengapa-penting-150233.
Syafi’i, I. & I.H. Gayatri. (2019). Water War: Konflik Air dalam Perspektif Ekologi Politik. Dalam I. Syafi’i & I.H. Gayatri (ed.) Strategi dan Negosiasi dalam Konflik Air di Bali dan Banten. Jakarta: LIPI Press.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
UNICEF. (2019). Air, Sanitasi dan Kebersihan (WASH). Diakses dari https://www.unicef.org/indonesia/id/air-sanitasi-dan-kebersihan-wash.
WHO. (2019). Sanitation. Diakses dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/sanitation.

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.