Mencoba Keluar dari Jerat Pembalut Sekali Pakai: Ko-produksi Pengetahuan Manajemen Kebersihan Menstruasi

Perempuan menjadi penyumbang sampah menstruasi melalui pembalut sekali pakai. Total penduduk di Indonesia pada tahun 2021 adalah sebesar 271,58 juta jiwa, dengan komposisi 135,4 juta adalah perempuan (Hakiki & Samudro, 2021). Dari jumlah perempuan tersebut, 68,52% diantaranya berada pada usia produktif yang artinya memiliki periode menstruasi setiap bulan dan berpotensi menjadi penghasil sampah pembalut sekali pakai. Seorang perempuan mengalami setidaknya 459 siklus menstruasi selama hidupnya, yaitu antara masa pubertas (usia 11-24) dan menopause (usia 45-55) tahun (Elledge et al., 2018). Sejauh ini Indonesia belum memiliki kebijakan sosial yang mengatur tentang masalah pengelolaan sampah dan kebersihan menstruasi. Undang-undang No 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah juga belum menyebutkan secara jelas terkait sampah menstruasi. Padahal, permasalahan sampah sedang mendera beberapa kota di Indonesia.

Permasalahan sampah diantaranya disebabkan oleh over produksi material di sektor hulu seperti budaya sachetisasi produk sebagai contoh perilaku masyarakat yang berujung pada pembakaran sampah plastic di ruang terbuka yang dilakukan masyarakat di sektor hilir dimana hal ini menjadi salah satu penyebab perubahan iklim(Brancoli, 2017). Kemunculan platform pesan antar makanan juga mempengaruhi pola konsumsi masyarakat yang berujung pada peningkatan sampah makanan maupun sampah plastik(Kristia et al., 2023). Adapun dalam konteks menstruasi, diskursus akademis lebih banyak menyoroti tentang manajemen kebersihan menstruasi pada remaja perempuan terutama di sekolah menengah pertama dan atas(Elledge et al., 2018; Hadi & Atiqa, 2021; Sato et al., 2020). Sedangkan perhatian terhadap tata kelola sampah menstruasi itu sendiri masih minim(Rohmatin & Habsari, 2016). Oleh karena itu, manajemen kebersihan dan sampah menstruasi menjadi masalah sosial yang hampir tidak nampak di permukaan. Penumpukan sampah yang tidak bisa diurai akan menyebabkan degradasi tanah dan mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Apabila hal ini dibiarkan berpotensi menjalar pada tantangan ekologis global berupa resiko perubahan iklim yang disebabkan oleh eutrofikasi sehingga menyebabkan peningkatan unsur nutrien yang berpengaruh terhadap pencemaran air tawar(Anand et al., 2022).

Perkembangan teknologi telah merevolusi bentuk dan jenis pembalut dari tahun ke tahun, hingga sampai pada pembalut sekali pakai yang saat ini lazim digunakan. Produksi pembalut sekali pakai dianggap sebagai solusi untuk memberdayakan Perempuan yang sedang menstruasi dan memecahkan stigma menstruasi di seluruh dunia(Bobel & Fahs, 2020). Industri pembalut sekali pakai berhasil menutupi stigma menstruasi yang menjijikkan, memalukan, dan harus dirahasiakan. Pembalut sekali pakai memungkinkan perempuan untuk beraktivitas dan menjadi tenaga kerja di dunia modern. Bahkan, kini pembalut sekali pakai memiliki beragam varian baik dari segi ukuran maupun bentuk. Namun, penemuan dan pergeseran penggunaan pembalut sekali pakai ini juga menjadi dilemma karena mendapat berbagai kritik, dinilai mempolitisasi menstruasi dan bahkan produksi massal pembalut sekali pakai justru dianggap sebagai bagian dari rantai neo-liberalisme(Bobel & Fahs, 2020). Ironi ini mencerminkan bahwa masyarakat modern yang ditandai oleh industrialisasi senantiasa berdampingan dengan resiko yang bersifat omnipresent (Adam et al., 2013; Beck, 2006; Beck et al., 2003; Ekberg, 2007).

Di Indonesia, beberapa penelitian mulai menempatkan perhatian pada topik manajemen kebersihan menstruasi atau dalam diskursus akademik secara global dikenal dengan istilah Menstruation Hygiene Management(MHM)(Hastuti et al., 2019; Sato et al., 2020). Hal ini mencakup bagaimana perilaku kebersihan saat menstruasi dan kaitannya dengan ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi yang memadai (Muralidharan et al., 2015). Namun, literatur tentang dimensi materialisme yang mempengaruhi tata Kelola sampah menstruasi masih minim di Indonesia. Misalnya reusable menstrual cup terbuat dari silicon yang teruji secara medis dan bisa digunakan ulang, sedangkan pembalut sekali pakai berpotensi menyebabkan pencemaran air tawar ketika pembuangannya tidak dikelola dengan baik(Anand et al., 2022).

Oleh karena itu, pemecahan masalah terkait sampah menstruasi adalah urgensi bagi semua pihak, dalam hal ini konsep Ko-produksi pengetahuan menjadi penting untuk diupayakan. Menurut (Joshi & Moore, 2004), Ko-produksi tidak hanya tentang Kerjasama dan pelibatan langsung antara agen publik dan masyarakat pada umumnya dalam hal pemenuhan pelayanan. Ko-produksi juga sering diasosiasikan dengan perubahan perilaku yang sejalan dengan terwujudnya aksesibilitas terhadap pelayanan publik (Adams & Boateng, 2018; Kim et al., 2017; Redman et al., 2021; Suyadnya et al., 2022). Dalam hal ini, ko-produksi pengetahuan terkait MHM menjadi salah satu tawaran yang bisa dilakukan untuk mengurai permasalahan sampah menstruasi terutama di daerah padat penduduk seperti asrama, pesantren dan sejenisnya. Ko-produksi bisa menjadi alternatif solusi karena hal ini bisa dilakukan sebagai upaya yang mencakup serangkaian aktivitas dari hulu mulai dari pembuatan regulasi agar peralihan perilaku disposable menuju reusable ini terlaksana dalam payung aturan yang jelas. Dari regulasi inilah praktik ko-produksi akan lebih fleksibel dijalankan, mulai dari produksi material seperti apa yang dikehendaki, siapa saja yang dilibatkan dan bagaimana hal tersebut dijalankan. Bahkan sampai proses di hilir terkait bagaimana mengelola sampah yang akan dihasilkan dari praktik penggunaan material pembalut ini. Selama ini, produksi dan konsumsi yang tidak pernah dipikirkan secara bersamaan dan selalu hadir secara terpisah sehingga sulit untuk memantau bagaimana mengelola sampah yang dihasilkan.

Misalnya pondok Pesantren Mambaul Hikam di Kabupaten Jombang adalah salah satu pesantren putri yang memiliki inisiasi untuk menerapkan praktik baik Ko-produksi pengetahuan tentang MHM. Pondok pesantren tersebut sering menjadi lokus penelitian karena isu lingkungan menjadi salah satu agenda yang diterapkan baik dalam pembelajaran maupun kehidupan sehari-hari(Kurniawan et al., 2022; Rochmah & Suwandi, 2023). Salah satu terobosannya adalah memproduksi sendiri pembalut ramah lingkungan yang terbuat dari kain dan dapat digunakan dalam kurun waktu empat sampai lima tahun[1]. Produksi pengetahuan bersama ini tidak hanya berada dalam relasi pesantren dan santri. Pesantren memulai inisiatif dengan mendatangkan praktisi dari Yogyakarta untuk pelatihan pembuatan pembalut sekali pakai.

Inisiatif ini kemudian diselaraskan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemilik pesantren dan disampaikan kepada wali murid setiap penerimaan santriwati baru bahwa seluruh santri maupun tamu Perempuan yang datang di pesantren tersebut tidak diperbolehkan membawa pembalut sekali pakai. Sebagai gantinya, para santriwati diwajibkan mengikuti pelatihan tentang MHM terutama terkait sistem sanitasi yang harus mereka lakukan apabila menggunakan pembalut kain ramah lingkungan. Sosialisasi dan pelatihan ini diperlukan karena material yang berbeda, akan berkonsekuensi terhadap manajemen yang berbeda pula(Harris, 1974). Kondisi lingkungan, teknologi, demografi, dan tata Kelola pembuangan sampah menstruasi berkaitan dengan perilaku pembuangan sampah menstruasi. Santri harus mencuci kembali pembalut kain mereka di bawah kran air yang mengalir sampai bersih, dan menjemurnya sampai kering untuk bisa dikenakan kembali pada periode menstruasi selanjutnya. Saat ini, pesantren tersebut mengeluarkan dua variasi pembalut yaitu Day and Night dengan harga Rp 18.000,- untuk day pad dan Rp 22.000,- untuk night pad. Ko-produksi pengetahuan terkait MHM ini akan secara perlahan merubah struktur perilaku perempuan dalam pembuangan maupun tata Kelola sampah menstruasi. Dengan melakukan Ko-produksi pengetahuan, pembiasaan yang berkelanjutan dan bersinergi dengan santri, wali murid, praktisi dan aktor lainnya maka praktik semacam ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap pembalut sekali pakai dan mendukung program ekonomi sirkuler.

Ko-produksi semacam ini mengalami beberapa kendala, terutama di awal pengenalan ketika material baru dimunculkan untuk mengganti material lama, yaitu dari disposable ke reusable. Selain harus diikuti dengan penyesuaian perilaku secara kolektif, pihak penyelenggara juga menyiapkan aktor yang bertanggung jawab mengawal pergeseran perilaku ini. Di samping itu, menurut (Anand et al., 2022), salah satu kelemahan pembalut yang bisa digunakan kembali adalah tidak bisa digunakan dalam hunian yang tidak memiliki fasilitas sanitasi yang baik atau tinggal di tempat penampungan sementara. Hal ini karena praktik ini membutuhkan kondisi air yang berlimpah untuk membilas dan membersihkan agar pembalut bisa digunakan kembali. Meskipun demikian, ko-produksi memberi peluang untuk memutus ketergantungan terhadap peningkatan konsumsi pembalut sekali pakai.

Inisiatif untuk melakukan ko-produksi pengetahuan tentang manajemen kebersihan menstruasi semacam ini memungkinkan untuk dilakukan pada hunian padat penduduk dengan otoritas tertentu seperti pondok pesantren, asrama dan indekos. Adanya konsen dari otoritas seperti pemilik dan pengelola pesantren mempermudah pengorganisasian tata kelola sampah dalam ruang sosial yang terbatas. Tantangan selanjutnya adalah ketika inisiasi semacam ini diletakkan pada masyarakat secara umum yang tidak menempati satu ruang sosial terpusat seperti masyarakat yang tinggal di perkampungan, dan pedesaan pada umumnya. Maka dibutuhkan penyusunan kembali terkait aktor-aktor yang menjadi agen penggerak dan pelaku manajemen kebersihan menstruasi dalam ruang sosial yang lebih luas. Praktik ko-produksi pengetahuan ini tidak hanya tentang mengupayakan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dapat menyatukan sektor hulu dan hilir dalam sinergitas aktor secara kolaboratif.

Referensi

Adam, B., Beck, U., van Loon, J., & Beck, U. (2013). Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes. The Risk Society and Beyond: Critical Issues for Social Theory, 211–229. https://doi.org/10.4135/9781446219539.n12

Adams, E. A., & Boateng, G. O. (2018). Are urban informal communities capable of co-production? The influence of community–public partnerships on water access in Lilongwe, Malawi. Environment and Urbanization, 30(2), 461–480. https://doi.org/10.1177/0956247818792059

Anand, U., Vithanage, M., Rajapaksha, A. U., Dey, A., Varjani, S., & Bontempi, E. (2022). Inapt management of menstrual hygiene waste (MHW): An urgent global environmental and public health challenge in developed and developing countries. Heliyon, 8(7), e09859. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2022.e09859

Beck, U. (2006). Living in the world risk society: A Hobhouse Memorial Public Lecture given on Wednesday 15 February 2006 at the London School of Economics. Economy and Society, 35(3), 329–345. https://doi.org/10.1080/03085140600844902

Beck, U., Bonss, W., & Lau, C. (2003). The Theory of Reflexive Modernization: Problematic, Hypotheses and Research Programme. Theory, Culture & Society, 20(2), 1–33. https://doi.org/10.1177/0263276403020002001

Bobel, C., & Fahs, B. (2020). From Bloodless Respectability to Radical Menstrual Embodiment : Shifting Menstrual Politics from Private to Public. Signs: Journal OfWomen in Culture and Society 2020, 45(4), 955–983.

Brancoli, P. (2017). Life cycle assessment of supermarket food waste. Resources, Conservation and Recycling, 118, 39–46. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2016.11.024

Ekberg, M. (2007). The parameters of the risk society: A review and exploration. Current Sociology, 55(3), 343–366. https://doi.org/10.1177/0011392107076080

Elledge, M. F., Muralidharan, A., Parker, A., Ravndal, K. T., Siddiqui, M., Toolaram, A. P., & Woodward, K. P. (2018). Menstrual hygiene management and waste disposal in low and middle income countries—a review of the literature. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(11). https://doi.org/10.3390/ijerph15112562

Hadi, E. N., & Atiqa, U. D. (2021). Menstrual Hygiene Management of Junior High School Students in Rural Areas of Indonesia (Study in Tinambung Sub-District, Poliweli Mandar, West Sulawesi). Journal of International Dental and Medical Research, 14(3), 1230–1235.

Hakiki, G., & Samudro, A. B. P. (2021). Perempuan dan Laki-laki Di Indonesia 2021. viii–39.

Harris, M. (1974). Cows, pigs, wars, & witches: the riddles of culture. In Cows pigs wars witches the riddles of culture (p. 288). http://books.google.com/books?id=KumAWXT5n50C&pgis=1

Hastuti, Dewi, R. K., & Pramana, R. P. (2019). Studi Kasus tentang Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) Siswa SD dan SMP Pentingnya Fasilitas WASH di Sekolah. 12.

Joshi, A., & Moore, M. (2004). Institutionalised co-production: Unorthodox public service delivery in challenging environments. Journal of Development Studies, 40(4), 31–49. https://doi.org/10.1080/00220380410001673184

Kim, C., Nakanishi, H., Blackman, D., Freyens, B., & Benson, A. M. (2017). The Effect of Social Capital on Community Co-production: Towards Community-oriented Development in Post-disaster Recovery. Procedia Engineering, 180, 901–911. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2017.04.251

Kristia, K., Kovács, S., & László, E. (2023). Food delivery platform and food waste: Deciphering the role of promotions, knowledge, and subjective norms among Indonesian generation Z. Cleaner and Responsible Consumption, 11(November). https://doi.org/10.1016/j.clrc.2023.100152

Kurniawan, I., Hadi, N., & Pratama, N. H. (2022). Pengolahan sampah pesantren dalam mewujudkan kelestarian lingkungan studi kasus Pondok Pesantren Mambaul Hikam Desa Jatirejo Barat Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Jurnal Integrasi Dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial (JIHI3S), 2(7), 707–714. https://doi.org/10.17977/um063v2i7p707-714

Muralidharan, A., Patil, H., & Patnaik, S. (2015). Unpacking the policy landscape for menstrual hygiene management: Implications for school WASH programmes in India. Waterlines, 34(1), 79–91. https://doi.org/10.3362/1756-3488.2015.008

Redman, S., Greenhalgh, T., Adedokun, L., Staniszewska, S., & Denegri, S. (2021). Co-production of knowledge: The future. The BMJ, 372(February), 16–17. https://doi.org/10.1136/bmj.n434

Rochmah, N., & Suwandi. (2023). Pengaruh Manajemen Eco Pesantren Terhadap Pembentukan Karakter Santri Di Pondok Pesantren Putri Mamba’ul Hikam Diwek Jombang. Nusantara Journal of Multidisciplinary Science, 1(3), 371–378. https://jurnal.intekom.id/index.php/njms/article/view/98%0Ahttps://jurnal.intekom.id/index.php/njms/article/download/98/76

Rohmatin, F., & Habsari, S. K. (2016). Women Perception on the Environmental Effect of Menstrual Product Waste. Euphytica, 18(2), 22280. http://dx.doi.org/10.1016/j.jplph.2009.07.006%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.neps.2015.06.001%0Ahttps://www.abebooks.com/Trease-Evans-Pharmacognosy-13th-Edition-William/14174467122/bd

Sato, K., Hamidah, U., Ikemi, M., Ushijima, K., Sintawardani, N., & Yamauchi, T. (2020). Menstruation and Menstrual Hygiene Management: A Case Study of Adult Females in an Urban Slum of Indonesia. 5(2), 83–97.

Suyadnya, I. W., Novenanto, A., & Tirtayani, L. A. (2022). Co-Production of Knowledge as a Basis of Behavioural Change in Indonesian Sanitation Services: The Case of Sumberdawesari Village, Pasuruan Regency, East Java. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 10(1), 91–105. https://doi.org/10.22500/10202237980

[1] Informasi tersebut bisa ditelusuri dari link berikut https://www.viva.co.id/gaya-hidup/inspirasi-unik/1649597-keren-ponpes-di-jombang-bikin-pembalut-ramah-lingkungan-untuk-santriwati?page=4

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.