Menimbang Growth National Happiness Index sebagai Model Pembangunan Baru Indonesia
brief articleSuatu waktu, saya teringat klaim Presiden Jokowi yang dengan bangganya mengklaim bahwa Indonesia tercatat sebagai negara terbaik dalam pertumbuhan ekonomi di masa pandemi. Menurut Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 berkembang sebesar 3,7% dan 5,31% pada tahun 2022 (CNN Indonesia, 2023). IMF juga memproyeksikan pertumbuhan Indonesia akan tetap dalam kinerja yang baik dengan hasil ekspor yang baik.
Namun, jika kita melihat kondisi perekonomian Indonesia tanpa perspektif yang lebih luas, kita akan melihat lanskap perekonomian yang sebetulnya tidak komprehensif menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia yang sesungguhnya. Data Credit Suisse mencatat 10% penduduk Indonesia memiliki 75% PDB Indonesia pada tahun 2020 (Credit Suisse, 2021). Artinya, hanya sebagian kecil dari populasi Indonesia memiliki sebagian besar sumber daya ekonomi atau kekayaan negara sehingga distribusi kekayaan tidak merata. Hal ini menjadi penanda bagi kita semua bahwa mengejar pertumbuhan ekonomi semata tidak menjamin dalam menghadirkan kesejahteraan bagi semua.
Fenomena ketimpangan ekonomi tersebut tentu menjadi penghambat dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Meskipun pertumbuhan ekonomi yang tinggi menghasilkan peningkatan ekonomi dalam level makro seperti PDB per kapita, namun jika ketimpangan ekonomi terus membesar, manfaat dari pertumbuhan tersebut tentu tidak dirasakan secara merata oleh semua orang. Dengan demikian, pernyataan bahwa pertumbuhan akan membawa kesejahteraan masih perlu dipertanyakan. Model ekonomi konvensional memandang bahwa pertumbuhan PDB dapat memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan. Asumsi ini berasal dari kerangka logis bahwa lebih banyak uang dapat memberi individu lebih banyak pilihan untuk memilih preferensi mereka dalam semua aspek kehidupan. Meskipun demikian, obsesi untuk mengejar pertumbuhan PDB justru akan merugikan kesejahteraan dan bukannya memenuhi kebutuhan manusia (Herath, 2016).
Misalnya, sektor kelapa sawit dikenal luas memiliki peran penting dalam berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun 2022, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat nilai ekspor produk kelapa sawit mencapai 29,75 miliar US$, bahkan sektor ini memberikan kontribusi sebesar 3,94% pada PDB Indonesia (Directorate of Food Crops, Horticulture, and Estate Crops Statistics, 2022). Namun penelitian menunjukkan masih banyak desa tertinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan temuan Yayasan Madani Berkelanjutan mengenai kontribusi kelapa sawit terhadap pembangunan desa di Kalimantan Barat, khususnya di 3 kabupaten (Ketapang, Landak, dan Sekadau), kesenjangan indeks pembangunan desa malah masih terjadi (Madani Berkelanjutan, 2020).
PDB juga dapat bergeser menjadi bentuk dominasi negara untuk menentukan pembangunan yang baik (Fioramonti, 2013). Jika pertumbuhan pembangunan hanya ditentukan oleh negara dengan keyakinan bahwa hal tersebut merupakan cara untuk mengentaskan kemiskinan, maka hal tersebut akan menimbulkan monopoli kekuasaan yang dapat menimbulkan ketimpangan kekuasaan antara masyarakat dan negara. Sebagai contoh, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja yang memberikan banyak keleluasaan terhadap proyek-proyek besar nasional dalam bidang penataan ruang. Apabila proyek-proyek besar nasional tidak sesuai dengan rencana tata ruang awal meskipun tumpang tindih dalam wilayah adat, maka pemanfaatan lahan tetap dapat dilaksanakan setelah mendapat rekomendasi dari pemerintah (Pambudhi and Virgy, 2022). Padahal, bagi Masyarakat Adat, alam bagaikan seorang ibu yang memberikan kekuatan spiritual untuk memberi kehidupan, sehingga merupakan komponen yang melekat dan tidak dapat dilepaskan satu sama lain dalam kehidupan Masyarakat Adat.
Melihat fakta tersebut, model pembangunan seperti apa yang dapat menjadi antitesis model pembangunan konvensional saat ini?
Wacana Model Pembangunan Baru
Ketika kita berbicara mengenai wacana pembangunan, kita membutuhkan sebuah alternatif baru untuk memahami bagaimana seharusnya pembangunan yang baik itu ditentukan. Indeks Growth National Happiness (GNH) dapat menjadi alternatif untuk melawan narasi tunggal dalam konsep pembangunan yang baik yang dipromosikan oleh model pembangunan saat ini. Mendorong GNH dapat dimulai dengan melihat kembali konsep Degrowth yaitu upaya rekonfigurasi model pembangunan ekonomi untuk merespons ketidaksetaraan ekonomi, kerusakan lingkungan, dan kesenjangan yang justru mengalienasi manusia dari kebahagiaan. Konsep Degrowth melihat bahwa model pembangunan saat ini hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi alih-alih memandang bahwa kebutuhan well-being manusia lebih kompleks (Koch, Buch-Hansen and Fritz, 2017).
Lebih lanjut, konsep Degrowth menawarkan berbagai strategi untuk mencapai tujuan tersebut termasuk redistribusi ekonomi yang lebih adil, konsumsi yang lebih berkelanjutan, pengurangan jam kerja, meningkatkan kemandirian lokal, dan mempromosikan nilai-nilai seperti kesederhanaan dan solidaritas sosial. Namun, Degrowth sebagai konsep pembangunan terkadang memiliki banyak interpretasi sehingga membuatnya ambigu dan diasosiasikan dengan Resesi. Di negara berkembang seperti Indonesia, interpretasi yang artifisial dari makna Degrowth seakan-akan menegasikan keinginan Indonesia sebagai negara maju yang perlu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara eksponensial. Padahal, konsep Degrowth memiliki pendekatan spesifik dalam mengurangi produksi yang berpotensi merusak lingkungan dan produksi yang kurang diperlukan secara sosial terutama terkait pemenuhan kebutuhan tersier manusia yang membutuhkan energi lebih banyak untuk proses produksinya. Degrowth tentu berbeda dengan Resesi yang mana Degrowth merupakan kebijakan yang terencana dan koheren untuk mengurangi dampak ekologis, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan kesejahteraan (Hickel, 2021). Sementara Resesi bukanlah suatu kebijakan yang terencana dan koheren serta tidak memiliki target-target pembangunan tertentu.
Oleh karena misinterpretasi terhadap konsep Degrowth, GNH menawarkan perwujudan prinsip Degrowth yang lebih jelas dan dapat menjadi tolak ukur pembangunan yang tersebar di seluruh dunia (Verma, 2017). GNH lebih dari sekedar indikator pembangunan, konsep ini mengintegrasikan seluruh kebutuhan manusia baik aspek eksterior maupun interior kehidupan yang dapat menjadi pedoman kebijakan pembangunan. Perspektif ini mengeksplorasi faktor penentu kesejahteraan yang sejalan dengan kritik Degrowth terhadap PDB yang tidak memiliki ukuran holistik dalam menentukan apakah perkembangan pembangunan dapat dikatakan berhasil atau tidak dalam konteks well-being manusia.
Indeks GNH memiliki 9 domain untuk mengukur kinerja pembangunan seperti kesejahteraan psikologis; kesehatan; penggunaan waktu; pendidikan; keragaman dan ketahanan budaya; pemerintahan yang bagus; vitalitas komunitas; keanekaragaman dan ketahanan ekologi; dan standar hidup (Ura, 2015). Lebih jauh lagi, GNH menyediakan alat untuk memastikan bahwa semua kebijakan dan proyek harus mengacu pada 9 domain Indeks GNH. Di Bhutan, alat Penyaringan Kebijakan GNH digunakan oleh Komisi GNH, sebuah badan yang mempunyai fungsi mengatur kebijakan ekonomi dan dipimpin oleh Perdana Menteri Bhutan, untuk mengarahkan semua kebijakan yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat (Gerber and Raina, 2018). Dengan demikian, alat ini dapat mencegah terjadinya monopoli pengambilan keputusan pembangunan yang dapat menghambat masyarakat dalam mencapai kesejahteraan.
Misalnya, pembangunan pabrik semen di Kendeng Jawa Tengah sebagai salah satu proyek nasional di Indonesia akan batal jika alat ini diterapkan untuk mengukur seluruh proyek. Alih-alih memberikan kesejahteraan, proyek ini justru menimbulkan ancaman bagi masyarakat Samin. Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga menyaksikan bentrokan fisik antara perempuan dan pihak pendukung pembentukan faktor semen yang membuat perempuan tersebut mengalami luka dan trauma (Komnas Perempuan, 2019). Dalam konteks proyek pembangunan seperti pembangunan pabrik semen di Kendeng, Jawa Tengah, penerapan konsep pembangunan GNH akan mewajibkan evaluasi menyeluruh terhadap dampak proyek tersebut terhadap masyarakat lokal, lingkungan, dan kesejahteraan manusia secara keseluruhan, sehingga proyek pembangunan tidak dikooptasi oleh kepentingan pemangku kebijakan.
Lalu, upaya apa yang bisa dilakukan agar model pembangunan ini dapat diterima oleh masyarakat sehingga dapat dipertimbangkan sebagai model pembangunan Indonesia yang baru?
Pengarusutamaan Wacana Model Pembangunan Baru
Dukungan publik terhadap suatu diskursus kebijakan menjadi salah satu prasyarat yang diperlukan guna mendorong implementasi kebijakan tertentu. Termasuk pembentukan kembali orientasi model pembangunan lewat Indeks GNH yang juga memerlukan dukungan publik serta perkembangan diskursus yang lebih berkembang. Oleh karena itu, mengarusutamakan isu yang cukup kompleks seperti model pembangunan GNH menjadi penting agar dukungan publik dapat terorganisir dengan baik. Menurut Nana Firman, seorang aktivis lingkungan Muslim yang juga Ambassador Green Faith, umat agama memiliki potensi besar untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim karena jejaring dan infrastruktur yang sudah mapan (Jemadu, 2021), yang mana isu perubahan iklim juga menjadi salah satu concern dari model pembangunan GNH. Mengarusutamakan model pembangunan ini kepada publik lewat bahasa agama dapat menjadi salah satu opsi yang patut diperhitungkan terutama di Indonesia.
Berdasarkan studi Pew Research Center, Indonesia merupakan negara yang paling religius dibandingkan negara lain, bahkan Indonesia mengalahkan negara-negara Islam di Timur Tengah (Adinda, 2021). Oleh karenanya, strategi pengarusutamaan model pembangunan baru lewat ceramah-ceramah keagamaan yang memuat pentingnya model pembangunan yang memperhatikan redistribusi kesejahteraan serta komponen penopang well-being manusia secara holistik, dan pentingnya pembatasan kebiasaan konsumsi yang tidak perlu dapat menjadi salah satu strategi untuk menggaet dukungan publik terhadap model pembangunan GNH.
Dengan demikian, peran pemuka agama menjadi krusial untuk menyebarkan gagasan model pembangunan GNH yang dapat menstimulasi publik untuk mendorong perubahan model pembangunan yang lebih holistik dari kacamata pembangunan saat ini. Berikutnya, konsolidasi antar jejaring komunitas agama merupakan hal yang perlu dilakukan agar pesan keselarasan nilai dari perspektif model pembangunan GNH dan nilai-nilai universal agama dapat tersampaikan hingga ke akar rumput. Keselarasan yang saya maksud adalah bahwa nilai-nilai universal agama dan perspektif model pembangunan GNH menawarkan pandangan holistik tentang kesejahteraan yang mencakup dimensi spiritual, mental, dan fisik. Dengan demikian, integrasi kedua nilai ini dapat merangsang munculnya gagasan baru yang menekankan pada kesejahteraan yang bermakna bagi semua sehingga pengarusutamaan model pembangunan GNH akan dapat diterima dengan baik.
Referensi
Adinda, P. (2021) ‘Riset Pew: Indonesia Negara Paling Religius di Dunia, Mengalahkan Negara Timur Tengah’, Asumsi.co. 4 March 2021, 4 March. Available at: https://asumsi.co/post/59299/hasil-riset-pew-indonesia-negara-paling-religius-di-dunia-mengalahkan-negara-timur-tengah/ (Accessed: 22 February 2024).
Credit Suisse (2021) Global Wealth Report 2021. Credit Suisse. Available at: https://www.credit-suisse.com/about-us/en/reports-research/global-wealth-report.html.
Directorate of Food Crops, Horticulture, and Estate Crops Statistics (2022) Indonesian Oil Palm Statistics. the Central Agency of Statistics of Indonesia. Available at: https://webapi.bps.go.id/download.php?f=2QDTMNIe0PP32D6SN3x9s79f4Gf8YsXaSXb/c0NjCwUYGir/fGhG96jtQOxoViaEpn/K+opAp8j8ithR++3v+9iFdlTtdLzL0EICjpL/Yu55QhhCt67PTsiWlDpGtjYfScr8Ad0kVLP7RbGioCSt81Sw0v32IEmgprFvbMm3QmT52Ni0FCjj7H2/dWvZpRRKVK/nJfd+DFdi3sjX+4YnKabFGFjIItLS67iS/nFra88oXsIKNI0yiGkQ/Z55YJyIYDtN0scnWT4ZF2LTtSk6RQ==.
Directorate of Food Crops, Horticulture, and Estate Crops Statistics (2022) Indonesian Oil Palm Statistics. the Central Agency of Statistics of Indonesia. Available at: https://webapi.bps.go.id/download.php?f=2QDTMNIe0PP32D6SN3x9s79f4Gf8YsXaSXb/c0NjCwUYGir/fGhG96jtQOxoViaEpn/K+opAp8j8ithR++3v+9iFdlTtdLzL0EICjpL/Yu55QhhCt67PTsiWlDpGtjYfScr8Ad0kVLP7RbGioCSt81Sw0v32IEmgprFvbMm3QmT52Ni0FCjj7H2/dWvZpRRKVK/nJfd+DFdi3sjX+4YnKabFGFjIItLS67iS/nFra88oXsIKNI0yiGkQ/Z55YJyIYDtN0scnWT4ZF2LTtSk6RQ==.
Fioramonti, L. (2013) Gross Domestic Problem: the politics behind the world’s most powerful number. 1st edn. Second impression, 2013. Available at: https://doi.org/10.5040/9781350220560.
Gerber, J.-F. and Raina, R.S. (2018) ‘Post-Growth in the Global South? Some Reflections from India and Bhutan’, Ecological Economics, 150, pp. 353–358. Available at: https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.02.020.
Herath, A. (2016) ‘“Degrowth”; a literature review and a critical analysis.’, International Journal of Accounting & Business Finance, 1.
Hickel, J. (2021) ‘What does degrowth mean? A few points of clarification’, Globalizations, 18(7), pp. 1105–1111. Available at: https://doi.org/10.1080/14747731.2020.1812222.
Jemadu, L. (2021) ‘Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Mungkin Lebih Efektif dengan Bahasa Agama’, Suara.com, 30 November. Available at: https://www.suara.com/tekno/2021/11/30/215313/pengarusutamaan-isu-perubahan-iklim-mungkin-lebih-efektif-dengan-bahasa-agama (Accessed: 22 February 2024).
Koch, M., Buch-Hansen, H. and Fritz, M. (2017) ‘Shifting Priorities in Degrowth Research: An Argument for the Centrality of Human Needs’, Ecological Economics, 138, pp. 74–81. Available at: https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2017.03.035.
Komnas Perempuan (2019) Isu HAM perempuan dalam konflik pertambangan: rencana/pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah : laporan pemantauan. Cetakan I. Menteng, Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Permpuan).
Madani Berkelanjutan (2020) Madani Insight Volume V. Jakarta: Madani Berkelanjutan. Available at: https://madaniberkelanjutan.id/madani-insight-vol-5-2/.
Pambudhi, H.D. and Virgy, M.A. (2022) ‘KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN KEHUTANAN PASCA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA [The Authority of Local Governments in the Context of Forestry Management after the Law on Job Creation]’, Law Review, 21(3), p. 363. Available at: https://doi.org/10.19166/lr.v0i3.4885.
Ura, K. (2015) ‘The Experience of Gross National Happiness As Development Framework’, SSRN Electronic Journal [Preprint]. Available at: https://doi.org/10.2139/ssrn.2941860.
Verma, R. (2017) ‘Gross National Happiness: meaning, measure and degrowth in a living development alternative’, Journal of Political Ecology, 24(1). Available at: https://doi.org/10.2458/v24i1.20885.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!