Tantangan Pengembangan Infrastruktur Digital Indonesia

,

Upaya transformasi digital tidak terlepas dari dua tahapan sebelumnya, yakni digitisasi dan digitalisasi. Digitisasi dipahami sebagai proses mengubah data dari analog menjadi digital, sedangkan digitalisasi adalah proses menuju dan penggunaan sistem digital. Ketika Indonesia, sebagai salah satu negara besar dengan peluang market yang diuntungkan dengan adanya digital ekonomi, digadang-gadang memasuki era transformasi digital sebagai bagian dari program penyejahteraan rakyat, ternyata masih ada banyak tugas yang mesti diselesaikan dalam tahapan digitalisasi supaya Indonesia dapat segera lepas landas bertransformasi secara digital.

Salah satu bentuk kendala tersebut terkait dengan usaha pemerintah Indonesia dalam mengembangkan infrastruktur digital yang merata dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Kenyataannya, upaya tersebut belum dapat terlaksana secara optimal. Sebagai respon terhadap tantangan tersebut, program Master of Arts in Digital Transformation and Competitiveness, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi bertajuk “Memetakan Tantangan Infrastruktur Digital Indonesia.” Tulisan ini merupakan pengembangan dari diskusi yang dimaksud sebagai upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap isu kesenjangan infrastruktur digital.

Tantangan Pengembangan Infrastruktur Digital di Indonesia

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam transformasi digital terkendala isu infrastruktur digital yang belum mumpuni karena regulasi sektor telekomunikasi yang tumpang tindih antar pemangku kepentingan; serta cakupan infrastruktur internet cepat yang belum merata. Hal ini berdampak pada aksesibilitas dan keterjangkauan masyarakat terhadap layanan internet cepat.

Sebagai contoh, kualitas internet di Indonesia yang belum merata, baik dari sisi kecepatan maupun jenis layanan yang disediakan. Laporan agensi We Are Social yang melakukan riset mengenai aksesibilitas internet dunia yang menemukan bahwa untuk jajaran negara yang populasi masyarakatnya belum terkoneksi, Indonesia berada di urutan ke-8 dengan 63,5 juta penduduk, atau setara 23% populasi negara ternyata belum tersambung dengan internet (Kemp, 2023).

Keragaman topologi daerah, regulasi daerah yang timpang dan isu return of investment merupakan contoh hambatan pemerataan dan percepatan pembangunan infrastruktur digital. Padahal akses terhadap internet sudah menjadi hak dasar manusia masa kini seperti yang disebutkan oleh Majelis Umum PBB 2016 atau UNGA 2016 (Sandle, 2016). Maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan eksistensi infrastruktur digital.

Tantangan pengembangan infrastruktur digital di Indonesia adalah kesenjangan digital atau digital divide karena dua hal, pertama adalah masalah regulatory overlap yang menyebabkan ongkos tinggi. Kedua, cakupan infrastruktur internet cepat yang belum merata. Sebaliknya, infrastruktur internet cepat seperti fixed broadband hanya tersedia di kawasan metropolitan, mendorong kesenjangan dengan kawasan perbatasan. Alasannya, kawasan perkotaan dirasa lebih mudah dalam pemeliharaan infrastruktur jaringan internet mengingat faktor return of investment yang lebih cepat.

Diskriminasi investasi infrastruktur telekomunikasi mendorong kesenjangan antara wilayah metropolitan dengan kawasan perbatasan. Wilayah pedalaman Papua, daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur dan daerah perbatasan di Kalimantan Barat merupakan contoh pulau yang memiliki banyak daerah yang masih belum terkoneksi internet (World Bank, 2021). Padahal ketersediaan internet yang cepat akan berperan penting dalam kualitas dan kuantitas akses informasi, khususnya di daerah perbatasan (Alvarez, 2021).

Sedangkan dari sisi regulasi, aturan seputar pemanfaatan Sarana Utilitas Jaringan Terpadu (SJUT) antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah cenderung tidak selaras. Disharmonisasi tersebut menimbulkan regulatory overcharge yang berdampak pada besaran biaya sewa dan margin keuntungan bagi penyedia jasa telekomunikasi dan internet. Hal ini menimbulkan rendahnya minat dalam investasi digital di kawasan tertinggal.

Ironisnya, dihadapan biaya investasi infrastruktur telekomunikasi yang besar serta regulatory overcharge, maka perusahaan notabene akan membebankan biaya tambahan kepada konsumen untuk menutupi modal yang telah dikeluarkan.

Di sisi lain, konsumen juga berhadapan dengan isu aksesibilitas dan keterjangkauan layanan internet. Mayoritas konsumen saat ini masih belum mendapatkan fixed broadband karena ketergantungan pada layanan internet seluler (mobile broadband) yang ditopang infrastruktur base transceiver station (BTS). Maka daerah yang tidak tercakup oleh infrastruktur tersebut akan menjadi blindspot jaringan.

Jenis internet seluler memang murah dan sesuai dengan daya beli masyarakat. Namun, dalam jangka panjang masyarakat justru terjebak dengan kualitas internet yang tidak sepadan dengan harga yang dibayarkan, pun tertinggal dengan negara maju yang sudah mengandalkan fixed broadband atau layanan fiber optik secara massif (World Bank, 2021). Tentu hal ini seharusnya menjadi perhatian beragam pemangku kepentingan.

Aksesibilitas digital bukan hanya berada dalam tataran penyediaan jaringan infrastruktur namun juga melingkupi rendahnya kualitas bandwidth. Dalam hal ini, Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Jepang, Korea selatan dan Singapura (The Global Economy, 2023). Rendahnya kualitas bandwidth di Indonesia juga dipengaruhi oleh permasalahan teknis seperti infrastruktur kabel yang kurang memadai hingga kurangnya penggunaan teknologi yang tepat.

Di sisi lain, para pemangku kepentingan turut perlu mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat. Disharmonisasi antara regulasi yang ada di pusat dengan yang ada di daerah dalam hal pengembangan infrastruktur menyebabkan fenomena regulatory overcharge yang pada akhirnya dibebankan ke konsumen, menjadikan harga paket data atau biaya internet tinggi. Sebagai negara berkembang, masyarakat Indonesia memiliki daya beli yang terbatas. Namun, harga yang harus dibayarkan oleh konsumen di Indonesia dibandingkan kualitas internet yang diterima masih tidak sepadan.

Berkaca dari problematika di atas, pemerintah maupun pelaku industri perlu mempertimbangkan penyediaan akses yang murah dan cepat demi pengembangan ekonomi dan peningkatan daya saing digital Indonesia di ranah global.

Alternatif Penyelesaian Isu Pengembangan Infrastruktur Digital di Indonesia

Atas pertimbangan di atas, penulis ingin memberikan sejumlah rekomendasi langkah strategis pada para pemilik kepentingan dalam sektor infrastruktur dan telekomunikasi Indonesia untuk menanggapi tantangan ini. Pertama, Indonesia membutuhkan badan percepatan transformasi digital dibawah kewenangan Presiden selayaknya badan GovTech di Singapura yang berdiri di bawah Perdana Menteri yang membawakan konsep ‘Smart Nation’, atau Amerika Serikat yang memiliki lembaga pemerintah setingkat kementerian bernama Federal Communications Commission (FCC) yang meregulasi seluruh bentuk telekomunikasi di negara tersebut, termasuk isu keterjangkauan internet di daerah terpencil.

Operasional institusi ini hendaknya menerapkan konsep n-helix dimana adanya kolaborasi aktif dari pemerintah, universitas, pihak swasta dan berbagai pihak yang berpotensi terkait untuk mewadahi dan mengkoordinasikan ekosistem inovasi lintas aktor.

Mengambil contoh dari AS dan Singapura, badan percepatan transformasi digital Indonesia akan membantu menegaskan komitmen pemerintah sekaligus melakukan deregulasi atas aturan di sektor teknologi yang tumpang tindih. Selain itu, badan ini dapat menyinergikan pengaturan ongkos biaya regulasi pemasangan infrastruktur internet kabel (fixed broadband) dengan industri terkait; serta memberikan asesmen ke Pemerintah Daerah guna mempercepat terkait pembangunan infrastruktur berdasarkan kaidah evidence-based policy daerah.

Kedua, diperlukan alternatif pemilihan dan pengadaan alat penyedia internet. Salah satunya dengan opsi internet kecepatan tinggi berbasis satelit (wireless/satellite broadband) untuk menjangkau kawasan terpencil. Internet satelit memungkinkan model bisnis internet ke masyarakat yang melingkupi kawasan terpencil tanpa membangun infrastruktur kabel fixed broadband. Meskipun memerlukan investasi yang besar awalnya, pengoperasian internet satelit akan menguntungkan dalam jangka panjang. Dengan menggunakan satelit, ongkos sewa dan pajak infrastruktur dapat ditekan sehingga biaya operasional bisnis menjadi lebih ringan dan harga di tingkat konsumen menjadi lebih terjangkau.

Ketiga, perlu adanya upaya harmonisasi kebijakan dengan proses diskusi melalui mekanisme yang demokratis. Otonomi daerah merupakan esensi dari prinsip desentralisasi dan demokratisasi perlu dijaga dan diperkuat dengan pelibatan seluruh pemangku kebijakan – pemangku kepentingan dan masyarakat sipil untuk menyelaraskan kebijakan yang tumpang tindih. Seluruh pihak dapat bermitra secara sinergis dan setara demi menghasilkan proses transformasi digital yang lebih baik. Pemerintah pusat dan daerah perlu membangun sistem, regulasi, dan ekuitas dalam hal pengadaan lahan bagi proyek infrastruktur demi terciptanya proses perizinan yang lebih efisien dan transparan.

Terdapat beberapa langkah yang dapat dianut dalam penerapan pola harmonisasi kebijakan melalui mekanisme yang demokratis. Diperlukan adanya pembahasan bersama melalui forum diskusi formal yang kemudian dibakukan dalam bentuk dokumen kerjasama (MoU) dengan seluruh pemangku kepentingan.

Penetapan kebijakan pada dasarnya perlu mencerminkan transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Meskipun akan ada resiko pengalokasian waktu dan sumber daya yang besar namun penerapan kebijakan dengan berprinsip pada nilai-nilai demokratis diharapkan akan dapat lebih diterima dan berjalan dengan baik hingga level masyarakat terkecil.

Referensi

Abbott, T. (2022, February 18). What’s the Difference between Mobile Throttling and Deprioritization? Reviews.org. Retrieved March 8, 2023, from https://www.reviews.org/mobile/whats-the-difference-between-throttling-and-deprioritization/

Alvarez Jr, A. V. (2021). Rethinking the digital divide in the time of crisis. Globus Journal of Progressive Education, 11(1), 26-28.

Internet bandwidth by country, around the world | TheGlobalEconomy.com. (n.d.). The Global Economy. Retrieved March 7, 2023, from https://www.theglobaleconomy.com/rankings/Internet_bandwidth/

Ilumba, A. (2022, June 8). The Difference Between Throttling and Data Deprioritization. WhistleOut. Retrieved March 8, 2023, from https://www.whistleout.com/CellPhones/Guides/whats-the-difference-between-throttling-and-deprioritization

Kemp, S. (2023, January 26). The Changing World of Digital In 2023. We Are Social. Retrieved March 10, 2023, from https://wearesocial.com/uk/blog/2023/01/the-changing-world-of-digital-in-2023/

Kulkarni, M. (2019). Digital accessibility: Challenges and opportunities. IIMB Management Review, 31(1), 91-98.

Sandle, T. (2016, July 22). UN Says Internet Access Is a Human Right. Business Insider. Retrieved March 8, 2023, from https://www.businessinsider.com/un-says-internet-access-is-a-human-right-2016-7

World Bank. 2021. Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia. Retrieved March 8, 2023, from https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/beyond-unicorns-harnessing-digital-technologies-for-inclusion-in-indonesia

.