Komunitas Dukungan Online dan Implikasinya Terhadap Kesehatan Individu: Kajian Komunikasi Kesehatan

,

Pandemi Covid-19 di Indonesia telah terjadi hampir lebih dua tahun dan masih belum akan selesai di waktu yang dekat ini. Di Indonesia, salah satu perubahan yang paling menonjol adalah cara pandang antar sesama, khususnya pandangan negatif terhadap individu yang terinfeksi Covid-19 (penyintas). Fenomena tersebut tentu saja menimbulkan perasaan negatif seperti cemas, depresi, stres, dan ketidakpercayaan diri, yang secara tidak langsung berimplikasi terhadap kesehatan mental. Permasalahan stigma kesehatan telah banyak terjadi sebelum Covid-19 muncul, seperti yang muncul pada penyintas kanker prostat, kanker payudara, HIV-AIDS dan penyakit lainya. Berbagai penyintas penyakit tersebut masih merasakan diskriminasi karena stigma yang melekat pada diri mereka. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebenarnya hadir menjadi jawaban dari permasalahan di atas, khususnya dalam mendorong agar para penyintas dapat kembali hidup seperti semula tanpa ada perasaan negatif karena stigma. Artikel ini fokus pada bagaimana hadirnya komunitas dukungan online dapat menjadi wadah bagi penyintas untuk bersosialisasi, terutama di tengah stigma dan isolasi yang mereka hadapi. Tulisan ini ingin mengeksplorasi komunitas dukungan online dan implikasinya bagi kesehatan individu.

Efek pandemi dan potensi TIK

Stigma terhadap penyintas Covid-19 bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan produk konstruksi sosial antara individu yang menstigmatisasi dan individu yang distigmatisasi. Stigma kesehatan memiliki implikasi penting terhadap komunikasi dan interaksi dengan orang lain. Menurut Wright & Rains (2013: 313) individu yang terstigmatisasi akan mendapatkan penolakan, penarikan sosial dan kurang mendapatkan empati masyarakat. Akibatnya, mereka menjadi terpinggirkan dan merasa kesepian serta tidak bisa berpartisipasi dalam forum komunikasi tatap muka karena identitas mereka ditolak masyarakat. Bahkan, individu dengan masalah kesehatan enggan bercerita dengan keluarga dan teman, karena merasa kekurangan pengalaman, informasi terbatas, dan merasa malu serta takut terhadap penilaian negatif (Wright & Miller, 2010: 501). Stigma kesehatan merupakan salah satu pemicu timbulnya gangguan kesehatan mental, seperti stres dan depresi (Wright & Rains, 2013: 317). Konstruksi sosial di atas tercipta karena hasil dari penciptaan makna yang keliru tentang Covid-19 dan individu yang terinfeksi. Sayangnya, menurut laporan survei lawan stigma Covid-19 menunjukan, penyebab utama lahirnya stigma adalah masyarakat kurang mendapatkan informasi sebesar 43,09 persen, diikuti oleh ketakutan dan kecemasan terhadap Covid-19 sebesar 42,54 persen (Arif, 13 Oktober 2020).

Sepanjang era pandemi Covid-19, interaksi manusia bergeser menjadi computer mediated communication. CMC memberikan peluang untuk memberdayakan individu yang terstigmatisasi karena memiliki potensi untuk memfasilitasi kebutuhan mereka. Menurut Wright & Rains (2016: 177) CMC dapat memfasilitasi proses pencarian dukungan dengan menciptakan kondisi di mana individu merasa nyaman dalam meminta bantuan, bersosialisasi, serta mencari sumber informasi objektif. Komunitas dukungan online adalah salah satu bentuk potensi CMC yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat individu yang mengalami stigmatisasi.

Komunitas dukungan online dan implikasinya

Komunitas dukungan online merupakan jaringan sosial lemah (weak ties). Mereka merupakan kenalan atau teman dari teman yang menyediakan beragam informasi selain dari keluarga dan teman (Wright & Miller, 2010; Wright & Rains, 2013; Wright & Bell, 2003). Komunitas dukungan online telah mengalami banyak perubahan sejak berkembangnya TIK, apalagi dengan kehadiran media sosial. Media sosial menjadi sumber utama individu menemukan berbagai komunitas dukungan online. Contohnya, Facebook dikenal sebagai tempat banyak individu bertemu dan membuat komunitas dengan minat yang sama. Selain itu, Twitter dengan menggunakan tagar dapat digunakan oleh individu untuk mencari informasi dan terhubung dengan individu lain. Misalnya, di Amerika Serikat penyintas kanker payudara menggunakan platform Twitter untuk mencari informasi dan dukungan sosial dengan menggunakan tagar #BCSM (The Breast Cancer Social Media) untuk mengurangi kecemasan (Attai et al, 2015: 5). Sementara itu, remaja sekolah di Taiwan menggunakan platform Facebook untuk memperoleh dukungan sosial dan kesejahteraan (Liu & Yu, 2013: 676). Ada pula, individu dengan gangguan mental ADHD (attention deficit hyperactivity disorder) di seluruh dunia dapat menggunakan Facebook dan bergabung di komunitas online Adult ADHD Support Group yang hingga sekarang telah diikuti oleh 3,3 ribu anggota.

Di negara Asia seperti Korea penggunaan komunitas online berbasis website digunakan untuk mereka yang memiliki permasalahan penyakit diabetes. Menurut Oh & Lee (2012: 36) komunitas dukungan berbasis website dapat membantu komunikasi penyintas diabetes dengan dokter, sekaligus mendapatkan dukungan sosial. Di Indonesia ada beberapa jenis komunitas dukungan online seperti berbasis website dan aplikasi, adalah alodokter dari Kementerian Kesehatan RI. Selain itu, Halodoc juga merupakan sebuah aplikasi dan website yang dapat membuat anggotanya berinteraksi, serta bertanya jawab dan berkonsultasi dengan dokter. Selain itu, media sosial Telegram juga menjadi wadah untuk komunitas dukungan online di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Peduli Diabetes dan Kanker, komunitas online yang menyediakan berbagai informasi terkait diabetes dan kanker. Instagram juga menjadi wadah untuk berbagai komunitas online, di antaranya myastheniagravis.ind dan pranichealingindonesia.

Komunitas dukungan online di atas memiliki berbagai manfaat bagi anggotanya, di antaranya menyediakan informasi yang beragam, kemampuan untuk mengungkapkan informasi diri dengan aman, dan mendapatkan komunikasi dukungan. Pertama, banyaknya individu yang bertemu pada satu komunitas dapat menyediakan beragam sudut pandang dan informasi tentang suatu isu yang tidak bisa dilakukan jaringan sosial kuat. Komunitas dukungan online menyatukan keahlian kolektif banyak orang sebagai pengetahuan pengalaman yang diperoleh dari pengelolaan penyakit sehari-hari (Wright: 2020: 480). Bahkan, dalam komunitas online, seorang profesional dapat bergabung memberikan fakta, sementara penyintas berbagi pengalaman sehari-hari (Wright & Bell: 2003: 44). Kedua, internet menyediakan forum bagi individu yang terisolasi untuk mengungkapkan informasi pribadi dengan rasa aman, yang disebabkan oleh anonimitas komunikasi online dengan memberikan orang kesempatan membicarakan masalah mereka dengan orang lain (Wright & Bell: 2003: 43). Komunikasi dalam komunitas online memungkinkan anggota untuk menceritakan informasi pribadi, mendiskusikan masalah sensitif atau memalukan tanpa rasa takut akan penilaian atau risiko (Wright, 2020: 480). Terakhir, interaksi antara anggota kelompok berpotensi untuk membaca dan merespon dengan memberikan dukungan emosi seperti empati, dorongan semangat, dan mengakui perasaan individu lain (Wright, 2020: 481). Sehingga penggunaan komunitas online dapat mengurangi perasaan kesepian dan isolasi sosial.

Tantangan kedepan

Komunitas dukungan online dapat memberdayakan individu yang terisolasi secara sosial dengan berbagai manfaat yang diberikan dan secara empiris berimplikasi terhadap hasil kesehatan positif. Komunitas dukungan online bukan hanya sebagai wadah untuk berinteraksi atau mengobrol dengan individu lain, namun sebagai strategi pengelolaan perasaan negatif yang dimediasi oleh internet (online coping). Dalam kontekstualisasinya, setiap individu yang memiliki permasalahan kesehatan dapat menemukan strategi untuk mengatasinya tanpa perlu bertemu dengan dokter secara face to face. Sehingga cocok bagi mereka yang memiliki kecemasan dan ketakutan komunikasi karena stigma.

Ada beberapa adaptasi yang seharusnya dilakukan untuk mendorong potensi komunitas dukungan online lebih jauh, di antaranya adalah mitigasi kejahatan siber dan pemerataan infrastruktur. Keberadaan kejahatan siber dapat mengancam manifesto komunitas dukungan online. Pasalnya, terdapat banyak komunitas-komunitas online yang berbasis radikalisme dan cyberporn. Sementara itu, kejahatan cyberbullying dan kebocoran data juga menjadi persoalan bagi individu untuk menggunakan komunitas dukungan online. Individu takut untuk bercerita karena berpotensi mendapatkan penilaian negatif dan kehilangan data privasi. Sejauh ini, pemerintah telah menyediakan payung hukum, yakni Undang-Undang ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi yang baru disahkan. Sementara itu, jaringan internet yang tidak merata juga menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan. Ketidakmerataan infrastruktur penunjang internet terutama di wilayah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) menjadi tantangan bagi pemerintah agar seluruh masyarakat dapat mengakses internet dan menikmati manfaatnya. Terakhir, para pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta dan non pemerintah perlu mengkampanyekan komunitas dukungan online. Potensi dan manfaatnya untuk individu yang terstigmatisasi melanjutkan hidup karena mengakomodasi kebutuhan sosialnya menjadi urgensi untuk mengubah cara pelayanan kesehatan di Indonesia yang konvensional menjadi termediasi oleh teknologi.

Referensi

Arif. (13 Oktober 2020). Dikutip pada tanggal 20 Juli, 2022 dari

https://www.kompas.id/baca/kesehatan/2020/10/13/stigma-sosial-memicu-diskriminasi/.

Attai DJ, Cowher MS, Al-Hamadani M, Schoger JM, Staley AC, Landercasper J. (2015). Twitter Social Media is an Effective Tool for Breast Cancer Patient Education and Support: Patient-Reported Outcomes by Survey. Journal of Medical Internet Research, Volume 17 No 71.10.2196/jmir.4721.

Liu & Yu. (2013). Can Facebook Use Induce Well-Being?. Cyberpsychology, Behavior and

Social Networking. Volume 16 (9) 674-678. 10.1089/cyber.2012.0301.

Oh, Hyun Jung; Lee, Byoungkwan (2012). The Effect of Computer-Mediated Social Support in Online Communities on Patient Empowerment and Doctor–Patient Communication. Health Communication, 27(1), 30–41. 10.1080/10410236.2011.567449

Wright. (2019). Health Communication: Social Support and Health Outcomes. Dalam Stacks., Salwen & Eichorn (Ed.). An Integrated Approach to Communication Theory and Research (3rd Ed). New York: Routledge.

Wright & Bell. (2003). Health-related Support Groups on the Internet: Linking Empirical Findings to Social Support and Computer-mediated Communication Theory. Journal of Health Psychology, Vol 8(1) 39–54. Sage Publications London, Thousand Oaks and New Delhi. 10.1177/135910530300800142.

Wright & Miller. (2010). A Measure of Weak-Tie/Strong-Tie Support Network Preference. Communication Monographs. 77:4, 500-517. 10.1080/03637751.2010.502538.

Wright & Rains. (2016). Social Support and Computer-Mediated Communication: A State-of-the-Art Review and Agenda for Future Research. Annals of the International Communication Association, 40:1, 175-211. 10.1080/23808985.2015.11735260.

Wright & Rains. (2013). Weak-Tie Support Network Preference, Health-Related Stigma, and  Health Outcomes in Computer-Mediated Support Groups. Journal of Applied Communication Research, 41:3, 309-324. 10.1080/00909882.2013.792435

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.