AI di Ruang Kelas: Inovasi atau Ilusi? Menimbang Etika dan Transparansi Penggunaan Artificial Intelligence dalam Dunia Kampus
Artificial Intelligence (AI) terus berkembang. Teknologi ini mulai digunakan di kampus di seluruh dunia untuk berbagai hal, seperti membuat materi kuliah, membuat soal evaluasi, dan menilai tugas mahasiswa. Apakah, bagaimanapun, adopsi AI di ruang kelas merupakan kemajuan? Apakah benar-benar menciptakan perbedaan moral baru antara pendidik dan siswa?
Northeastern University di Massachusetts, Amerika Serikat, memiliki kasus yang menarik. Seorang siswa bernama Ella Stapleton menuntut pengembalian uang kuliah sebesar $8.000 setelah mengetahui bahwa gurunya menggunakan ChatGPT untuk membuat materi pelajaran (Desk, 2025). Ironisnya, siswa dilarang menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas di kelas yang sama. Stapleton menggambarkan ini sebagai jenis “kemunafikan institusional” yang merusak kredibilitas dan kejujuran pendidikan tinggi.
Kasus ini memberikan contoh bagi dunia akademik secara keseluruhan, termasuk Indonesia. Perguruan tinggi mengadopsi metode pembelajaran daring, LMS, dan AI generatif sebagai bagian dari revolusi digital, terutama sejak pandemi COVID-19. Teknologi ini memiliki efisiensi yang luar biasa. Contohnya, konten dapat disusun lebih cepat, referensi dapat dibuat secara instan, dan konten dapat disesuaikan dengan situasi tertentu. Namun, di balik keefektifan itu, ada pertanyaan penting tentang moralitas penggunaan. Siapa yang mendapat manfaat dan siapa yang mengalami kerugian?
Transparansi dan Etika di Era AI
Tidak adanya transparansi merupakan masalah utama dalam kasus Northeastern. Bahkan instruksi seperti “expand on all areas, be more detailed and specific”, yang merupakan instruksi khas ChatGPT, dosen tidak menunjukkan bahwa materi kuliah disusun dengan bantuan AI. Dalam konteks ini, universitas perlu menyepakati apakah penggunaan ChatGPT adalah bentuk pelanggaran etika akademik atau diperbolehkan dengan persyaratan tertentu (Rizky & Nandyatama, 2023).
Penggunaan AI tanpa peninjauan kritis dan transparansi oleh dosen adalah bentuk penyesatan intelektual. Fu & Weng (2024) menyatakan bahwa keadilan, akses setara, dan kemungkinan bias dalam konten yang dihasilkan merupakan faktor penting ketika AI dimasukkan ke dalam pendidikan. Mesin seperti ChatGPT membuat teks yang tampaknya cerdas tetapi tidak memahami makna sebenarnya, yang dapat menyebabkan distorsi jika digunakan secara langsung.
Etika penggunaan teknologi ini tidak dapat diabaikan. Ketika institusi pendidikan tidak memiliki pedoman eksplisit mengenai batas penggunaan AI, maka risiko penyalahgunaan menjadi tinggi. Menurut Dewi (2023), dimensi moralitas dalam penggunaan teknologi sangat penting untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Akibatnya, institusi tidak hanya berfungsi sebagai penyedia teknologi tetapi juga sebagai pengarah nilai.
Ketimpangan Akses dan Literasi Digital
Selain masalah etika, penggunaan AI menimbulkan masalah ketimpangan digital. Tidak semua siswa dan guru memiliki akses dan pengetahuan yang sama tentang AI. Ini terjadi di banyak perguruan tinggi di negara berkembang seperti Indonesia. Proses belajar akan tidak simetris jika guru menggunakan ChatGPT dan alat serupa untuk mendesain pembelajaran sementara siswa dilarang (Williams, 2023).
Selain itu, budaya dan data Barat membentuk sebagian besar platform AI generatif. Selain itu, konten yang dihasilkan seringkali tidak relevan, tidak kontekstual, dan kadang-kadang bertentangan dengan standar lokal (Balalle & Pannilage, 2025; Rizky & Nandyatama, 2023). Oleh karena itu, sangat penting bagi lembaga pendidikan untuk membekali guru dan siswa dengan literasi digital yang kritis, yang mencakup keterampilan teknis untuk menggunakan aplikasi serta kemampuan untuk menilai hasil keluaran AI.
Perlu Regulasi dan Pedoman Institusional
Dalam keadaan yang semakin kompleks ini, lembaga pendidikan tinggi harus segera membuat peraturan dan standar etika untuk penggunaan AI. Chan (2023) menyarankan bahwa universitas harus membuat kerangka kebijakan AI untuk mengatur penggunaan alat generatif secara bertanggung jawab. Rizky dan Nandyatama (2023) juga mengatakan bahwa sangat penting untuk membuat deklarasi eksplisit tentang penggunaan AI dalam proses belajar-mengajar.
Mumtaz et al. (2024) menemukan bahwa sebagian besar siswa belum siap secara moral untuk menggunakan alat berbasis AI. Mereka menekankan betapa pentingnya membangun etika digital dan literasi AI sejak dini. Menggabungkan kecerdasan buatan sebagai bagian dari proses eksploratif di kelas adalah pendekatan yang disarankan (Rizky & Nandyatama, 2023). Misalnya, orang dapat membandingkan hasil abstrak AI dan abstrak asli dalam diskusi.
Untuk mematuhi kebijakan ini, guru harus dilatih tentang cara kerja AI, potensi manfaatnya, dan cara bertanggung jawab untuk menggunakannya. Kebijakan etika hanya akan menjadi dokumen formal tanpa tindakan nyata.
AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti
Ingatlah bahwa kecerdasan buatan bukan musuh; sebaliknya, jika digunakan dengan benar, ia adalah alat bantu yang sangat bermanfaat. AI dapat digunakan oleh dosen untuk memberikan umpan balik cepat, merancang simulasi pembelajaran, atau membuat ilustrasi konsep (Yusuf et al., 2024). Selain itu, siswa dapat dididik untuk menggunakan AI dengan cara yang moral, bukan dengan meniru jawaban orang lain.
Dewi (2023) mengingatkan bahwa nilai-nilai dasar pendidikan seperti kejujuran, refleksi, dan berpikir kritis tidak boleh diganti oleh AI. Jika tidak ada aturan moral, AI dapat mempercepat dekadensi intelektual. Sebaliknya, AI harus dilihat sebagai rekan kerja, bukan pengganti proses intelektual manusia.
Dalam jangka panjang, kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis dan inovatif justru dapat diperkuat dengan penggunaan AI yang adil dan transparan. Institusi pendidikan tidak perlu melarang AI. Sebaliknya, mereka harus menambahkan pengetahuan tentang AI ke dalam mata pelajaran umum seperti etika profesional, metodologi riset digital, atau filsafat teknologi. Dengan demikian, perguruan tinggi bukan hanya menyiapkan lulusan yang paham teknologi, tetapi juga memiliki nilai dan tanggung jawab sosial.
Penutup
Kasus di Northeastern adalah sinyal peringatan. Dunia kampus tidak bisa lagi menunda diskusi serius tentang penggunaan AI. Jika tidak segera diantisipasi, integritas pendidikan akan dikorbankan demi kenyamanan sesaat. Jadi, kita harus bertanya-tanya: apakah teknologi menciptakan masa depan pembelajaran yang cerdas atau justru mempercepat kemunduran intelektual? Dalam momen ini, institusi pendidikan tinggi memiliki kesempatan untuk mengambil posisi etika yang jelas, yaitu bahwa inovasi harus selalu diiringi dengan refleksi moral yang mendalam.
Referensi
Balalle, H., & Pannilage, S. (2025). Reassessing academic integrity in the age of AI: A systematic literature review on AI and academic integrity. Social Sciences and Humanities Open, 11(June 2024), 101299. https://doi.org/10.1016/j.ssaho.2025.101299
Chan, C. K. Y. (2023). A comprehensive AI policy education framework for university teaching and learning. International Journal of Educational Technology in Higher Education, 20(1). https://doi.org/10.1186/s41239-023-00408-3
Desk, T. W. (2025). Northeastern University student demands tuition refund after discovering professor used ChatGPT. The Times of India. https://timesofindia.indiatimes.com/world/us/northeastern-university-student-demands-tuition-refund-after-discovering-professor-used-chatgpt/articleshow/121207622.cms
Dewi, W. C. (2023). Meninjau Dimensi Moralitas dalam Artificial Intelligence: Haruskah Manusia Mengorbankan Esensi Kemanusiaan untuk Membangun Peradaban? MegaShift Fisipol UGM. https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2023/09/18/meninjau-dimensi-moralitas-dalam-artificial-intelligence-haruskah-manusia-mengorbankan-esensi-kemanusiaan-untuk-membangun-peradaban/
Fu, Y., & Weng, Z. (2024). Navigating the ethical terrain of AI in education: A systematic review on framing responsible human-centered AI practices. Computers and Education: Artificial Intelligence, 7(September), 100306. https://doi.org/10.1016/j.caeai.2024.100306
Mumtaz, S., Carmichael, J., Weiss, M., & Nimon-Peters, A. (2024). Ethical use of artificial intelligence based tools in higher education: are future business leaders ready? Education and Information Technologies, 7293–7319. https://doi.org/10.1007/s10639-024-13099-8
Rizky, M., & Nandyatama, R. W. (2023). Polemik ChatGPT: Bagaimana Perguruan Tinggi Harus Bersikap? MegaShift Fisipol UGM. https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2023/01/27/polemik-chatgpt-bagaimana-perguruan-tinggi-harus-bersikap/
Williams, R. T. (2023). The ethical implications of using generative chatbots in higher education. Frontiers in Education, 8(January). https://doi.org/10.3389/feduc.2023.1331607
Yusuf, A., Pervin, N., & Román-González, M. (2024). Generative AI and the future of higher education: a threat to academic integrity or reformation? Evidence from multicultural perspectives. International Journal of Educational Technology in Higher Education, 21(1). https://doi.org/10.1186/s41239-024-00453-6
.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!