Masyarakat Pesisir dalam Pusaran Blue Economy: Antara Growth versus Community Engagement
brief articleHingga kini, masyarakat pesisir seolah menjadi kelompok marjinal yang tereksklusi dari gemerlap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dari data jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir tahun 2022 yang begitu besar hingga mencapai 17,74 juta jiwa atau setara dengan 68% dari jumlah keseluruhan angka kemiskinan di Indonesia (Nugraheni, 2023). Apabila dirunut secara historis, penderitaan existing tersebut didorong oleh adanya penetrasi kebijakan neoliberal revolusi biru di sektor pengelolaan maritim yang telah berjalan sejak 1970-an dan mengakibatkan dampak nan luas meliputi hilangnya akses sumber daya, penggusuran lahan, hingga hilangnya kohesi sosial masyarakat pesisir (Bennett et al., 2021).
Penderitaan masyarakat pesisir tersebut kini kian diperparah dengan adanya perubahan iklim yang semakin menekan nasib masyarakat pesisir. Sebagai komunitas masyarakat yang berbatasan langsung dengan laut dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekosistem yang sensitif, masyarakat pesisir menjadi komunitas yang paling terdampak risiko dan kerentanan dari fenomena perubahan iklim saat ini (Amin et al., 2019). Fenomena perubahan iklim, terutamanya kenaikan air laut dan ketidakpastian musim, menghadirkan rentetan permasalahan iklim lainnya di kawasan pesisir seperti banjir rob, abrasi, dan ketidakpastian pasang surut air laut yang mengancam tempat pemukiman masyarakat pesisir (Gravitiani et al., 2018). Lebih jauh lagi, fenomena perubahan iklim juga berdampak besar terhadap kondisi perekonomian masyarakat pesisir di sektor perikanan dan sumber daya kelautan yang kian rentan akibat semakin berkurangnya ketersediaan sumber daya ikan sebagai komoditas penghidupan, peningkatan biaya operasional penangkapan ikan, penurunan pendapatan, hingga hilangnya aset dan mata pencaharian penduduk (Untari et al., 2022).
Berangkat dari realitas dan urgensi permasalahan tersebut, muncullah berbagai jenis konsep ekonomi dan pembangunan “berkelanjutan” yang diharap-harap menjadi solusi pengentasan permasalahan ekonomi di tengah maraknya perubahan iklim dewasa ini. Salah satu konsep berkelanjutan yang cukup menarik perhatian akademisi dan masyarakat adalah konsep bertitel blue economy atau ekonomi biru. Secara umum, definisi global dari konsep blue economy ini diambil dari Economist Intelligence Unit (2015) yang mendefinisikan blue economy sebagai konsep aktivitas ekonomi berbasis kelautan berkelanjutan yang dilakukan secara seimbang dengan kapasitas jangka panjang ekosistem laut dan mendukung aktivitas ekonomi kelautan yang resilien dan sehat (Patil et al., 2018).
Sebagai sebuah negara maritim dengan potensi kelautan yang melimpah, Indonesia tak luput menjadi salah satu negara yang berkomitmen untuk menerapkan konsep blue economy di negaranya. Komitmen tersebut terlihat jelas dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang memasukkan blue economy sebagai salah satu agenda dalam misi transformasi ekonomi 2025-2045. Secara lebih spesifik, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI selaku aktor kebijakan utama terkait blue economy ini telah mencanangkan lima agenda prioritas yang menjadi pilar pelaksanaan kebijakan blue economy di Indonesia, antara lain: i) perluasan wilayah konservasi; ii) penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur ; iii) budidaya perikanan berkelanjutan; iv) pengendalian wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan wilayah laut dari kegiatan ekonomi destruktif; serta iv) reduksi sampah dan limbah di laut (Wicaksana & Rachman, 2018).
Blue Economy Berbasis Growth dan Problematikanya
Meskipun telah menjadi suatu konsep fundamental dan telah menjadi agenda kebijakan di banyak negara, konsep blue economy juga tak lepas dari kritik dan kekurangan di dalam konseptualisasi dan praktiknya. Secara konseptual, konsep blue economy seringkali berhadapan dengan paradoks pencapaian tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi yang bertentangan dengan pendekatan ekstraktif/eksploitasi sumber daya kelautan dalam konsep ini yang tidak berkelanjutan (Germond-Duret et al., 2023). Di sisi lain, konsep blue economy ini secara praktikal juga sering dikritisi terkait dengan bias fokus pada pertumbuhan PDB dan keuntungan ekonomi agregat dibanding berfokus pada langkah-langkah yang lebih holistik seperti kesejahteraan masyarakat dan kemajuan sektor lingkungan (Bennett et al., 2022). Lebih khususnya lagi diskursus pada konteks masyarakat pesisir yang seringkali menempatkan blue economy sebagai konsepsi yang mengancam masyarakat pesisir lewat efek peningkatan kompetisi akses ruang kelautan dan marginalisasi masyarakat pesisir dalam proses pengambilan keputusan terkait blue economy (Evans., 2023).
Dalam catatan historis perkembangannya, konsep blue economy ini memiliki sejarah perjalanan konseptualisasi yang berubah-ubah. Salah satu konseptualisasi model blue economy yang lumrah adalah penggunaan konsep blue growth sebagai model blue economy. Konsep blue growth ini sendiri merupakan konsep baru yang mengacu pada model blue economy yang menekankan pencapaian pertumbuhan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya maritim dengan menghindari degradasi, pemanfaatan berlebihan, dan peningkatan polusi (Boonstra et al., 2018).
Kehadiran model blue growth dalam konsep blue economy ini pada akhirnya menambah potensi ancaman yang destruktif bagi konsep blue economy itu sendiri. Apabila dikaji secara konseptual, blue growth ini semakin mengamini adanya tendensi kapitalistik dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Tendensi kapitalistik tersebut tertuang dalam konseptualisasi blue growth yang mengandung narasi “laut sebagai natural capital” dan “laut sebagai ladang bisnis yang baik”. Narasi dalam blue growth tersebut berpotensi untuk menghasilkan pengambilan kebijakan ekonomi yang tidak memperhitungkan nilai jasa ekosistem dan menghasilkan proses bisnis yang tidak berkelanjutan sebagaimana proses bisnis yang terjadi selama ini (Barbesgaard, 2018). Hal tersebut dibuktikan dengan praktik pengelolaan blue economy berorientasi industri eksploitatif di Uni Eropa yang menghasilkan ancaman ketersediaan ekosistem ikan, dimana 60% ketersediaan ikan Uni Eropa berada di luar batas aman dan bahkan 93% ketersediaan ikan di Laut Mediterannia dinyatakan mengalami overeksploitasi (Hadjimichael, 2018).
Selain berpotensi destruktif terhadap komitmen keberlanjutan lingkungan, paradigma blue growth yang menggunakan model mekanisme pasar, teknologi, dan pembangunan padat modal ini berpotensi meminggirkan komitmen sosial dan deliberasi kepentingan masyarakat pesisir lokal yang menjadi komitmen awal dari konsep blue economy itu sendiri (Bennett et al., 2022). Dalam konteks empiris di tanah air, implikasi negatif tersebut tergambar jelas dalam kasus rancangan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang mengedepankan keberpihakan pada kegiatan penangkapan ikan skala industri dan mengeksklusi nelayan lokal skala kecil dengan ketimpangan distribusi kuota penangkapannya yang terbatas (Syakur et al., 2023). Pada kesimpulannya, rangkaian pemaparan tersebut menjadi bukti dari ancaman penerapan konsep blue economy model blue growth bagi ekosistem kelautan dan masyarakat pesisir.
Community Engagement & Blue Community: Sisa Harapan Masyarakat Pesisir
Melihat segala rentetan data dan fakta kebobrokan orientasi pertumbuhan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya maritim, dapat disimpulkan bahwa konsep blue economy ini perlu melakukan reorientasi kepada pendekatan lain yang lebih mengakomodasi keberlanjutan dan keadilan sosial bagi masyarakat pesisir. Dalam hal ini, konsep blue economy dapat ditinjau kembali berdasarkan lima komponen fundamental blue economy dari Keen et al. (2018) antara lain: prinsip ecosystem resilience, prinsip economy sustainability, dan prinsip community engagement yang didukung oleh institutional arrangement dan technological capacity. Dari framework tersebut, terdapat komponen community engagement yang dapat menjadi jawaban atas potensi destruktif dari blue growth melalui reorientasi pengelolaan partisipatif dan co-management, kepemilikan lokal, pengembangan pengetahuan ilmiah dan kearifan lokal, pengelolaan sumber daya berbasis nilai dan norma kultural lokal, serta kesetaraan gender (Keen et al., 2018).
Lebih lanjut, komponen community engagement dalam blue economy ini dikonseptualisasikan lebih jauh dalam konsep blue community dari Campbell et al. (2021). Menurut Campbell et al. (2021), blue community merupakan konsep pengembangan ekonomi kelautan berbasis kesejahteraan multidimensional (kesejahteraan sosial, budaya, dan lingkungan) dari masyarakat lokal dan pesisir melalui tata kelola kolaboratif dan pemberdayaan masyarakat yang adil merata dalam pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan. Konsep blue community ini menjadi pendekatan alternatif terhadap konsep blue economy arus utama saat ini yang mengedepankan agenda pertumbuhan ekonomi dan proses trickle-down effect yang sejatinya tidak efektif diterapkan dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan.
Sebagai sebuah konsep alternatif, blue community ini menawarkan mekanisme community engagement kolaboratif dan berkeadilan yang dapat menangani serangkaian permasalahan yang ditinggalkan oleh mekanisme blue economy arus utama berbasis orientasi growth. Pertama, konsep blue community ini mengangkat kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai tujuan utama dari pemanfaatan sumber daya kelautan dibandingkan tujuan maksimalisasi pertumbuhan ekonomi dan industri dari konsep arus utama yang seringkali meminggirkan kepentingan masyarakat pesisir itu sendiri. Kedua, konsep blue community ini menawarkan mekanisme tata kelola yang lebih kolaboratif melalui collaborative rule-making dibanding mekanisme otoritatif blue growth yang mengandalkan keputusan pemerintah dan rawan bias keberpihakan privat. Ketiga, konsep blue community menyasar permasalahan eksploitasi private investment dalam skema pengembangan ekonomi kelautan arus utama saat ini dengan menawarkan skema yang mengedepankan community investment (Campbell et al., 2021).
Dalam gambaran yang lebih konkrit, best practice dari penerapan konsep alternatif blue community ini dapat dilihat dari contoh program Global Challenges Research Fund (GCRF) Blue Communities. GCRF Blue Communities merupakan program penelitian dan capacity-building milik Pemerintah Inggris untuk membangun kapasitas interaksi ekosistem laut yang berkelanjutan demi kepentingan kesehatan, kesejahteraan, ketahanan pangan dan penghidupan masyarakat pesisir di Asia Tenggara. Program ini mencakup 12 proyek capacity-building dan berkolaborasi dengan empat kawasan UNESCO Man and Biosphere Reserves (MAB), salah satunya di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Dalam konteks proyek GCRF di Taka Bonerate, program ini memfokuskan proyeknya kepada perencanaan pengelolaan maritim berbasis peningkatan kualitas dan kuantitas produk lokal berkelanjutan, skema peningkatan pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir lokal, peningkatan kesadaran partisipasi masyarakat pesisir dalam perlindungan lingkungan hidup dan adaptasi mata pencaharian, serta peningkatan higienitas dan kesetaraan akses sumber daya dasar bagi masyarakat pesisir lokal (Garniati et al., 2019).
Lantas, jalan manakah yang akan kita adopsi sebagai arah model pembangunan blue economy di Indonesia? Apakah model blue economy berorientasi growth yang berujung pada eksploitasi sumber daya maritim yang tak berkesudahan, ataukah model blue economy alternatif berbasis community engagement yang menawarkan konsep blue economy dengan mekanisme berkeadilan. Satu hal yang pasti, pilihan ini akan menentukan masa depan hidup dan penghidupan jutaan masyarakat pesisir di Indonesia beserta kekayaan ekosistem laut yang masih kita punya.
Referensi
Amin, C., . S., & Rijanta, R. (2019). Livelihood Changes of Fisherman Community Driven by Climate Change: A Case Study in Semarang Coastal Region, Central Java, Indonesia. Humanities & Social Sciences Reviews, 7 (3), 267–273. https://doi.org/10.18510/hssr.2019.7341
Barbesgaard, M. (2018). Blue growth: savior or ocean grabbing? Journal of Peasant Studies, 45(1), 130–149. https://doi.org/10.1080/03066150.2017.1377186
Bennett, N. J., Blythe, J., White, C. S., & Campero, C. (2021). Blue growth and blue justice: Ten risks and solutions for the ocean economy. Marine Policy, 125, 104387.
Bennett, N. J., Villasante, S., Espinosa-Romero, M. J., Lopes, P. F. M., Selim, S. A., & Allison, E. H. (2022). Social sustainability and equity in the blue economy. One Earth, 5(9), 964–968. https://doi.org/10.1016/j.oneear.2022.08.004
Boonstra, W. J., Valman, M., & Björkvik, E. (2018). A sea of many colours – How relevant is Blue Growth for capture fisheries in the Global North, and vice versa? Marine Policy, 87(September 2017), 340–349. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2017.09.007
Campbell, L. M., Fairbanks, L., Murray, G., Stoll, J. S., D’Anna, L., & Bingham, J. (2021). From Blue Economy to Blue Communities: reorienting aquaculture expansion for community wellbeing. Marine Policy, 124(July 2020), 104361. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2020.104361
Evans, L. S., Buchan, P. M., Fortnam, M., Honig, M., & Heaps, L. (2023). Putting coastal communities at the center of a sustainable blue economy: A review of risks, opportunities, and strategies. Frontiers in Political Science, 5. https://doi.org/10.3389/fpos.2023.1182415
Garniati, L., Iswadi, A., Praptiwi, R., & Sugardjito, J. (2019). Towards sustainable marine and coastal planning for Taka Bonerate Kepulauan Selayar Biosphere Reserve: Indonesian case study to the Global Challenge Research Fund Blue Communities Project. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 298(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/298/1/012008
Gravitiani, E., Fitriana, S. N., & Suryanto. (2018). Community livelihood vulnerability level in northern and southern coastal area of Java, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 202(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/202/1/012050
Germond-Duret, C., Heidkamp, C. P., & Morrissey, J. (2023). (In)justice and the blue economy. Geographical Journal, 189(2), 184–192. https://doi.org/10.1111/geoj.12483
Hadjimichael, M. (2018). A call for a blue degrowth: Unravelling the European Union’s fisheries and maritime policies. Marine Policy, 94, 158–164. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2018.05.007
Keen, M. R., Schwarz, A. M., & Wini-Simeon, L. (2018). Towards defining the Blue Economy: Practical lessons from pacific ocean governance. Marine Policy, 88(February 2017), 333–341. https://doi.org/10.1016/j.marpol.2017.03.002
Nugraheni, S. (2023, October 31). Peluang Ekonomi Desa Pesisir. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/10/31/peluang-ekonomi-desa-pesisir
Patil, P. G., Virdin, J., Colgan, C. S., Hussain, M. G., Failler, P., & Vegh, T. (2018). Toward a Blue Economy: A Pathway for Bangladesh’s Sustainable Growth in Bangladesh. Washington, DC: The World Bank Group, May, 1–94. http://hdl.handle.net/10986/30014
Syakur, F. A., Aronds, P. N. I., & Aqil, Y. N. (2023). Birunya Ekonomi Laut, Nasib Nelayan Kalut. Balairungpress. https://www.balairungpress.com/2023/12/birunya-ekonomi-laut-nasib-nelayan-kalut/
Untari, Darma, R., Betaubun, P., Fudjaja, L., & Adri Arief, A. (2022). Vulnerability analysis of coastal communities in Merauke as impact of climate change. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1016(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/1016/1/012058
Wicaksana, A., & Rachman, T. (2018). Rambu Rambu Kebijakan Ekonomi Biru di Indonesia. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 3(1), 10–27.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!