Merespons Tudingan Penyebab Pemanasan Global: Bagaimana Peternak Harus Menyikapi?

,

Sektor peternakan turut berkontribusi menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang cukup signifikan dan berdampak terhadap pemanasan global, yang pada gilirannya mendorong laju perubahan iklim lebih cepat (Ishak dkk, 2019). Salah satu material emisi GRK yang dihasilkan oleh ternak sapi yaitu gas metana (CH4). Balai Pusat Statistik (BPS) mencatat emisi gas metana yang dihasilkan oleh sapi potong di Indonesia mencapai 45,5 kg/ekor/tahun (Grehenson, 2021). Selain itu, menurut rekapitulasi BPS (2021), terdapat sejumlah 18,1 juta ekor sapi potong di Indonesia. Jika mengacu pada angka tersebut, bisa dibayangkan berapa banyak total emisi gas metana yang dihasilkan selama setahun dari satu komoditas ternak yaitu sapi potong, belum termasuk komoditas ternak sapi perah, domba, kambing, babi, ayam, dan hewan ternak lainnya. Hasil perhitungan emisi dari ternak sapi potong, tentu memberikan kekhawatiran dalam memandang prospek bisnis atau produktivitas usaha peternakan di masa depan yang diduga akan suram. Karena adanya fakta bahwa usaha peternakan tidak bisa terlepas dari daya dukung lingkungan, yang diperkirakan akan menurun kualitasnya karena dampak perubahan iklim yang kembali lagi, diakibatkan salah satunya oleh kontribusi aktivitas budidaya ternak yang menyisakan emisi berbahaya. Hal ini menimbulkan dilema tersendiri bagi peternak, khususnya dalam perdebatan mengenai bagaimana mencari keseimbangan antara menjalankan aktivitas ekonomi, dari budidaya ternak untuk memenuhi permintaan kebutuhan konsumsi daging sapi, tanpa meninggalkan emisi yang dapat menyebabkan pemanasan global dan berujung pada perubahan iklim.

Lantas, bagaimana peternak harus menyikapi? Pertama, perlu adanya kesadaran kolektif yang secara spesifik menyoroti kontribusi usaha peternakan dalam menghasilkan emisi yang memicu perubahan iklim. Kesadaran ini dapat dibangun melalui penguatan solidaritas berbasis gabungan kelompok peternak (Gapoknak), koperasi, maupun asosiasi peternak, untuk memberikan edukasi kepada anggotanya terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap usaha bisnis peternakan. Lebih lanjut, perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu dan kekacauan pola curah hujan yang tidak terprediksi, akan menyebabkan penurunan kualitas padang penggembalaan dan kapasitas produksi hijauan pakan ternak, kekeringan, banjir, dan kelangkaan sumber daya air bersih, hingga gejala stress tekanan panas pada ternak dan munculnya penyebaran penyakit baru yang tak terduga (Moenga dkk, 2013; Black & Nunn, 2009; USDA’s Climate Hubs, 2013). Hal ini tentunya akan membawa dampak kerugian ekonomi yang harus ditanggung oleh peternak. Sejalan dengan hasil penelitian Weindl dkk (2015) yang menyebutkan bahwa sektor peternakan diproyeksikan akan mengalami kelangkaan sumber daya untuk menjalankan aktivitas budidaya karena implikasi dari perubahan iklim. Mengetahui dampak mengerikan tersebut, berangkat dari aspek kesamaan risiko yang akan dihadapi bersama oleh para peternak, maka rasa solidaritas perlu diperkuat untuk dapat berkontribusi menumbuhkan kesadaran kolektif.

Kedua, setelah peternak memiliki kesadaran kolektif, diharapkan ada perubahan perilaku dari peternak untuk mengambil sikap tanggung jawab. Terutama dalam hal menyesuaikan pola usahanya untuk mitigasi dan adaptasi terhadap ancaman perubahan iklim. Untuk itu, konsep integrated farming system atau sistem peternakan terpadu bisa menjadi alternatif pilihan. Salah satu contoh praktik baik integrated farming system yang sudah diterapkan di Kalimantan Selatan yaitu program Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit Berbasis Kemitraan Usaha Inti Plasma (SISKA KUINTIP). Program tersebut didukung penuh oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melalui Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 53 Tahun 2021. Peraturan ini mewajibkan adanya integrasi antara usaha perkebunan sawit dengan usaha budidaya ternak. Kerja sama ini mempertemukan dua aktor utama yakni, peternak rakyat dengan pengusaha industri kelapa sawit untuk menjalin kemitraan yang saling menguntungkan. Secara teknis, konsep SISKA KUINTIP ini mengedepankan efisiensi pemanfaatan lahan secara bijak dengan cara menggembalakan sapi untuk dilepasliarkan di area lahan yang sama dengan tanaman sawit tumbuh. Pada aspek ekonomi, program SISKA KUINTIP bagi pengusaha industri kelapa sawit, mampu memotong 75% biaya yang dikeluarkan untuk herbisida, atau bahan kimia yang digunakan untuk membasmi rumput liar yang ada di sekitar tanaman sawit. Sementara bagi peternak sapi, program ini dapat menghemat biaya pakan sapi hingga 80% (Amri, 2014; Umar dkk, 2023).

     Program ini juga memberikan dampak positif secara ekologi, karena mampu mengurangi emisi GRK. Di mana kotoran ternak yang dihasilkan oleh sapi akan langsung jatuh ke tanah, sehingga mempercepat penyerapan bahan organik sebagai nutrien yang dibutuhkan oleh akar tanaman sawit. Hal ini mengacu pada pendapat Agus (2021) yang menggarisbawahi bahwa solusi emisi GRK asal ternak yaitu, ada pada manajemen pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber daya hayati bagi tanaman, dengan cara menjaga keteraturan ekosistem alamiah untuk konservasi kualitas sumber daya lahan dengan memelihara keseimbangan siklus karbon, oksigen, dan nitrogen yang ada dalam tanah. Sederhananya, siklus ini dapat kita lihat melalui perilaku sapi ketika memakan rumput liar yang merugikan pertumbuhan tanaman sawit atau limbah pelepah daun sawit yang rontok, kemudian dalam dua hari sapi akan mengeluarkan kotoran (feses dan urine) yang bermanfaat sebagai pupuk organik bagi tanaman sawit. Dengan kata lain, kotoran sapi dapat memperbaiki struktur, kegemburan, dan kandungan nutrisi tanah. Hal ini membuat tanah menjadi lebih subur untuk mendukung pertumbuhan kelapa sawit yang optimal (Husnain & Nursyamsi, 2015). Praktik ini juga konsisten dengan gagasan konsep ekonomi sirkular yang berupaya untuk mempertahankan nilai manfaat suatu sumber daya, dengan cara membuat daur hidup yang lebih panjang melalui proses pemanfaatan dan pembaharuan kembali secara efisien, dari suatu bahan material untuk mengurangi emisi GRK (Bocken dkk, 2020).

Selain aspek ekonomi dan ekologi, program ini juga memberikan manfaat pemberdayaan yang berkelanjutan bagi peternak rakyat yang sangat rentan terhadap ancaman perubahan iklim. Dalam konteks ini, program SISKA KUINTIP turut menggalang dukungan kemitraan dari berbagai multistakeholder, seperti perbankan, perguruan tinggi, dan lembaga asuransi. Peternak yang tergabung dalam program SISKA KUINTIP, akan mendapatkan fasilitas kemudahan akses penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) bunga rendah oleh bank mitra, pendampingan usaha dan peningkatan keterampilan oleh akademisi dan praktisi, hingga asuransi perlindungan sapi hilang atau mati (Yonavilbia, 2023; Widodo, 2023; Thohir, 2023).

Pada akhirnya, berkaca pada skema SISKA KUINTIP yang ada di Kalimantan Selatan, kata kunci “kolaborasi” segenap pihak sangat diperlukan untuk mengurangi beban dampak perubahan iklim kepada peternak yang rentan gulung tikar, sehingga mereka dapat tetap memastikan keberlanjutan aktivitas usaha ternaknya, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi untuk memperlambat laju perubahan iklim. Sangat tidak dianjurkan beradaptasi hanya memprioritaskan aspek ekologi saja, kemudian menyingkirkan pertimbangan aspek ekonomi, dan begitu pula sebaliknya. Fakta perubahan iklim betul-betul memaksa peternak untuk segera beradaptasi, jika ingin tetap eksis bermain dalam arena bisnis pemenuhan pasokan kebutuhan daging sapi untuk penduduk di Indonesia, yang menyentuh angka 278 juta jiwa pada pertengahan tahun 2023 (BPS, 2023). Angka tersebut terus tumbuh dan berimbas pada proyeksi konsumsi daging sapi yang disebut akan mencapai 3,36 kg/kapita/tahun di tahun 2024, yang artinya mengalami peningkatan konsumsi dari tahun sebelumnya di 2023 sebesar 2,66 kg/kapita/tahun (Azizah, 2023; Agus, 2018).

Sekali lagi, kolaborasi sangat diperlukan untuk merespon ancaman perubahan iklim bagi para peternak. Mengingat konsumen daging sapi akan terus ada, meninjau kebutuhan dari sisi gizi, daging sapi adalah sumber protein hewani yang tak tergantikan karena mengandung asam amino esensial lengkap yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan, pembentukan otot, hormon, dan sel, yang mana jenis asam amino esensial ini tidak ditemukan oleh produk selain dari hasil ternak dan tidak dapat disintesis secara alami oleh tubuh manusia (Agus, 2018). Ditambah kombinasi alasan faktor eksternal lainnya, seperti pertambahan populasi penduduk, tingkat pendidikan, pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan perkapita, urbanisasi, dan arus globalisasi yang mendorong permintaan komoditas daging sapi yang semakin menggairahkan bagi usaha bisnis peternakan, namun pada saat bersamaan mensyaratkan adanya daya dukung ekologi yang memadai.

Referensi

Agus, A. (2021, 01 Mei). Prof Ali Agus: Daging ternak (sapi) sebagai produk ekologis. Trobos Livestock. Diakses pada 30 November 2023 melalui http://troboslivestock.com/detail-berita/2021/05/01/22/14486/prof-ali-agus-daging-ternak-sapi-sebagai-produk-ekologis.

Agus, A., & Widi, T. S. M. (2018). Current situation and future prospects for beef cattle production in Indonesia – A review. Asian-Australasian Journal of Animal Sciences, 31(7). 976-983.

Amri, Q. (2014, 1 Oktober). Membaca arah integrasi sapi-sawit. Majalah Sawit Indonesia. Diakses pada 30 November 2023 melalui http://sawitindonesia.com/sajian-utama/membaca-arah-integrasi-sapi-sawit.

Azizah, N. (2023, 22 Juni). Konsumsi daging di Indonesia masih dibawah angka rata-raat dunia. Republika. Diakses pada 30 November 2023 melalui https://ekonomi.republika.co.id/berita/rwnm9i463/konsumsi-daging-indonesia-masih-di-bawah-angka-ratarata-dunia

Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Jumlah penduduk pertengahan tahun (ribu jiwa) 2021-2023. bps.go.id. Diakses pada 30 November 2023 melalui https://www.bps.go.id/indicator/12/1975/1/jumlah-penduduk-pertengahan-tahun.html

Badan Pusat Statistik (BPS). (2022, 11 Juli). BPS: populasi sapi potong RI terus meningkat selama 5 tahun terakhir. Databooks.  Diakses pada 30 November 2023 melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/11/bps-populasi-sapi-potong-ri-terus-meningkat-selama-5-tahun-terakhir#:~:text=Sementara%2C%20populasi%20sapi%20potong%20di,05%20juta%20ekor%20pada%202021.

Black, P. & Nunn, M. (2009). Impact of Climate Change and Environmental Changes on Emerging and Re-emerging Animal Disease and Animal Production. 77th General Session International Committee World Organization for Animal Health (OIE), Paris, 24-29 May 2009.

Bocken, N. M. P., Schuit, A. G., & Kraaijenhagen, C. (2020). Experimenting with a circular business model: Lessons from eight cases. Journal of Cleaner Production, 263, 1-30.

Grehenson, G. (2021, 22 September). Pelet nano-biochar potensial jadi pakan ternak rendah emisi gas metana. ugm.ac.id. Diakses pada 30 November 2023 melalui https://ugm.ac.id/id/berita/21709-pelet-nano-biochar-potensial-jadi-pakan-ternak-rendah-emisi-gas-metana/

Husnain., & Nursyamsi, D. (2015). Peranan bahan organik dalam sistem integrasi sawit-sapi. Jurnal Sumberdaya Lahan, 9(2). 27-36.

Ishak, A. B. L., Takdir, M., & Wardi. (2019). Estimasi gas rumah kaca (GRK) dari sektor peternakan tahun 2016 di Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Peternakan Indonesia, 21(1), 51-58.

Mitloehner, F. M. (2019, 20 Maret). Dampak makan daging terhadap perubahan iklim sebenarnya tidak sebesar yang kita bayangkan. The Conversation. Diakses pada 30 November 2023 melalui https://theconversation.com/dampak-makan-daging-terhadap-perubahan-iklim-sebenarnya-tidak-sebesar-yang-kita-bayangkan-113857

Moenga, B. O., Muchemi, G. M., Kang’ethe, E. K., Kimenju, J. W., Mutiga, E. R., & Matete, G. O. (2013). The impact of climate change on the incidence of cattle diseases in a pastoral area of Kenya. Livestock Research for Rural Development, 25(67)Retrieved November 30, 2023, from http://www.lrrd.org/lrrd25/4/moen25067.htm

     Thohir, L. (2023, 28 Maret). SISKA KUINTIP wakili Kalsel pada ajang PPD tingkat nasional. Antara News. Diakses pada 6 Desember 2023 melalui  https://kalsel.antaranews.com/berita/365952/siska-ku-intip-wakili-kalsel-pada-ajang-ppd-tingkat-nasional-2023

Umar, Y., Syakir, M.I., Yusuf, S., Azhar, B., & Tohiran, K. A. (2023).  The integration of cattle grazing activities as potential best sustainable practices for weeding operations in oil palm plantations. IOP Conference Series Earth and Environmental Science. 1167: 1-9.

USDA’s Climate Hubs. (2013). Animal agriculture in a changing climate. Climate Hubs US Departement of Agriculture. Diakses pada 30 November 2023 melalui https://www.climatehubs.usda.gov/animal-agriculture-changing-climate

Weindl, I., dkk. (2015). Livestock in a changing climate: Production system transitions as an adaptation strategy for agriculture. Environmental Research Letters, 10(9). 1-12.

Widodo, H. (2023, 21 Maret). Dukung program SISKA KUINTIP, Bank Kalsel siap salurkan KUR. Banjarmasin Post. Diakses pada 6 Desember 2023 melalui https://banjarmasin.tribunnews.com/2023/03/21/dukung-program-siska-ku-intip-bank-kalsel-siap-salurkan-kur?page=2

Yonavilbia, E. (2023, 7 Juli). Pemprov Kalsel gelar FGD pengembangan SISKA KUINTIP dan koordinasi pembibitan ternak. Infopublik. Diakses pada 6 Desember 2023 melalui https://www.infopublik.id/kategori/nusantara/756414/pemprov-kalsel-gelar-fgd-pengembangan-siska-ku-intip-dan-koordinasi-pembibitan-ternak

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.