Dating Apps & Risikonya Terhadap Anak Muda: Kajian Budaya Siber

,

Penggunaan internet menimbulkan beberapa kekhawatiran karena banyak digunakan untuk aktivitas seksual oleh anak. Di samping itu, teknologi komunikasi seperti aplikasi kencan berpotensi memfasilitasi perilaku kejahatan seksual. Hal ini mendorong potensi paparan konten pornografi meningkat secara dramatis. Survei yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan & Kebudayaan tahun 2018 menunjukan paparan konten pornografi di kalangan remaja sebesar 91,6 persen yang sebagian besar disebabkan oleh internet (Astuti, Nur’aini, Hariyanti & Pratiwi. 2018: 2). Jika dilihat dari perspektif kebutuhan, aktivitas seksual memang merupakan kebutuhan fisiologis manusia (Maslow, 2000: 4). Aktivitas seksual yang dimediasi teknologi (cybersex) sebenarnya sah-sah saja bagi orang dewasa. Namun, cybersex oleh anak-anak adalah persoalan yang berbeda. Selain mengancam tumbuh kembang psikologi anak, anak dapat menjadi sasaran kejahatan siber. Artikel ini mendalami implikasi perkembangan cybersex dan mengusulkan sejumlah strategi untuk melindungi anak dari bahaya cybersex.

Transformasi perilaku seksual manusia

Munculnya aplikasi kencan telah mengubah paradigma seksual manusia yang sebelumnya luring menjadi daring. Manusia modern sekarang banyak terlibat di dalam TMSI (technology-mediated sexual interaction). Istilah tersebut dipahami sebagai aktivitas seksual di dunia siber atau cybersex. Cybersex merupakan perilaku mengirim, menerima atau bertukar konten pornografi (teks, foto, suara dan video) melalui teknologi komunikasi, bahkan dapat terlibat live video dan hubungan seksual online lainnya (Courtice & Shaughnessy, 2017: 273). Aplikasi kencan menawarkan kemudahan pada individu untuk menjalin hubungan dengan orang lain tanpa perlu memikirkan batas ruang dan waktu. Tidak heran terjadi peningkatan terhadap penggunaan aplikasi kencan pada tahun 2021 sebesar 323,9 juta user di seluruh dunia, dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 293,7 juta pengguna (Rizaty, 14 Februari 2022). Di Indonesia aplikasi kencan bukan sesuatu yang baru. Aplikasi yang hadir di awal tahun 2010 telah memiliki banyak pengguna. Tinder misalnya, aplikasi paling populer di Indonesia dengan jumlah pengguna sebesar 3,1 juta (Wahyudi, 2 April 2022). Terdapat juga aplikasi kencan populer lainnya seperti Tantan dan Badoo. Ada pula yang memberikan fitur unik, seperti Bumble dengan menawarkan keleluasaan pada wanita untuk memulai percakapan terlebih dahulu. Ada lagi Happn, aplikasi kencan yang menawarkan pengguna mencari pasangan berdasarkan jarak lokasi (dekat-jauh). Ada juga kencan online berbasis website seperti Zoosk.com, OkCupid dan masih banyak lagi.

Aktivitas cybersex & risikonya

Aplikasi kencan telah memainkan peran krusial dalam hubungan romantis manusia. Dalam kontekstualisasinya, aplikasi kencan menawarkan individu untuk dapat membuat profil pribadi, terhubung dengan orang lain yang memiliki minat sama dan berpotensi bertemu secara luring untuk membangun hubungan jangka panjang. Sementara itu, terdapat layanan yang dirancang memfasilitasi pertemuan jangka pendek, seperti AshleyMadison.com dan MiChat. Aktivitas cybersex seringkali menjadi perdebatan karena dilakukan juga oleh anak-anak. Terlibat cybersex memang dapat menjaga tubuh dari infeksi virus seks menular karena aktivitas seksual dilakukan secara daring dengan pasangan mereka. Teknologi komunikasi membuat pasangan dewasa dapat melakukan komunikasi dan interaksi seksual dengan bertukar foto, video dan pesan eksplisit. Di samping itu, aktivitas cybersex pada aplikasi kencan juga dapat mengeluarkan individu dari tekanan dan ketegangan dunia nyata, memenuhi kebutuhan dan penerimaan sosial (Griffiths, 2000: 545).

Penggunaan teknologi untuk kegiatan seksual seperti aplikasi kencan oleh anak-anak dapat mengarah kepada perilaku kompulsif, individu yang menghabiskan aktivitas cybersex lebih dari 11 jam per minggu membuat aktivitas sosialnya sulit dikendalikan (Cooper, dkk, 2010: 136). Di samping itu, kecanduan menggunakan aplikasi kencan dapat memberikan beberapa output negatif, antara lain, rusaknya hubungan intim dalam kehidupan nyata seperti hubungan keluarga karena individu yang terlibat cybersex memiliki kecenderungan berfantasi dan menghalangi untuk membangun hubungan (Rimington & Gast, 2007: 37; Schneider, 2010: 334; Owens, Behun, Manning & Reid. 2012: 105). Aktivitas cybersex yang berlebihan juga dapat mengarah pada tindakan agresif seperti cemoohan, mengancam menyakiti secara fisik serta mengirimkan konten eksplisit tanpa persetujuan pemilik. 48 persen warga AS melaporkan mendapatkan konten pornografi tanpa persetujuan di aplikasi kencan, sementara wanita berusia 18-34 tahun sering mendapatkan cemoohan (Anderson & Vogels, 6 Maret 2020).

Aplikasi kencan juga memfasilitasi kejahatan seksual atau technology-facilitated sexual violence (TFSV) berupa sextortion dan rape proxy, yakni upaya kekerasan seksual dengan mengambil konten pribadi korban dan menggunakanya untuk memeras, menyuap dan mengancam terlibat aktivitas seksual (Powell, Flynn, Henry, 2020: 136). 85 persen wanita di UK melaporkan pernah diperkosa saat bertemu tatap muka pertama kali oleh pasangan yang dikenal di aplikasi kencan (National Crime Agency, 24 February 2022). Selama periode tahun 2020 kejahatan cybersex di Indonesia meningkat empat kali dengan kategori sexting dan penyebaran konten tanpa sepengetahuan pemilik (Kristin, 5 Maret 2022). Secara khusus, aplikasi kencan menjadi tempat melakukan berbagai bentuk kejahatan seksual seperti pelecehan seksual berbasis gambar (BBC Indonesia, 14 Juni 2020). Tragisnya, seorang pria pengguna aplikasi kencan, Badoo melakukan mutilasi terhadap pasangannya saat bertemu secara luring (Karina, 9 Januari 2023). Ada juga seorang perempuan yang tertipu oleh pasangan kencannya yang dikenal melalui aplikasi kencan (Al Alawi, 25 Januari 2023). Kejahatan cybersex juga dapat dialami oleh anak-anak. Misalnya, di Kabupaten Sukoharjo anak berusia 15 tahun dibunuh oleh pasangannya yang dikenal di aplikasi MiChat (Zamani, 26 Januari 2023).

Sementara itu, aktivitas cybersex oleh anak secara ekstrem dapat mengarah kepada perdagangan materi seksual yang biasanya terjadi di negara berkembang. Faktor demografi menjadi alasan materi seksual anak dikomersialisasikan secara digital (Broadhurst, 2020: 315). Tragisnya, perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan FBI, mengklaim bahwa setiap saat 750.000 pria di seluruh dunia mencari seks online dengan anak-anak di lebih dari 40.000 ruang obrolan publik termasuk aplikasi kencan (Terre des Hommes Netherlands, 2014: 12-14). Laporan yang bertajuk “Disrupting Harm in Indonesia” mengungkapkan bahwa dua persen anak Indonesia dibawah umur (12-17 tahun) menjadi korban eksploitasi dan pelecehan seksual online di ruang digital termasuk pada aplikasi kencan, sementara mereka yang pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual tidak melaporkannya secara formal  (ECPAT, INTERPOL & UNICEF, 2022: 46-50). Sementara itu, pada awal tahun 2022 terdapat kasus komersialisasi konten pornografi di situs OnlyFans.com yang melibatkan remaja Indonesia dengan alasan ekonomi (Arfiansyah, 28 Maret 2022). Dampak dari komersialisasi materi seksual anak tentu saja perasaan trauma, melukai diri sendiri, perubahan suasana hati, gangguan tidur, gangguan seksual dan gangguan persepsi. Komersialisasi seksual anak juga membuat mereka sulit untuk melanjutkan pendidikan (Canadian Centre for Child Protection, 2017: 86)

Refleksi

Aktivitas cybersex oleh anak-anak secara akademis berisiko terhadap gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu, teknologi komunikasi seperti aplikasi kencan telah memfasilitasi perilaku kejahatan seksual yang mengancam keberadan anak di ruang digital. Untuk merespon permasalahan tersebut, pemerintah telah membuat berbagai upaya kebijakan. Misalnya, upaya promotif dilakukan dengan melakukan sosialisasi tentang bahaya cybersex oleh anak di berbagai media. Upaya preventif banyak dilakukan dengan memblokir dark web dan aplikasi yang tidak legal. Upaya preventif juga dilakukan melalui perspektif hukum seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur pelecehan seksual fisik dan nonfisik serta kekerasan seksual berbasis elektronik. Penyebaran konten pornografi tanpa seizin korban juga dapat dihukum dengan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Upaya kuratif dilakukan dengan membuat sistem pengaduan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di nomor 129, Aduankonten.id dan polisi terdekat. Upaya rehabilitatif dilakukan dengan melakukan pendampingan pada korban oleh orang yang memiliki kompetensi.

Berbagai kebijakan di atas masih belum dapat mengurangi aktivitas cybersex oleh anak. Sementara itu, korban kejahatan seksual baik orang dewasa maupun anak-anak terus bertambah secara dramatis. Korban yang enggan untuk melapor karena takut terhadap penilaian negatif dan kurangnya keterampilan digital telah menempatkan mereka pada kondisi berbahaya. Dengan demikian, penulis menyarankan untuk meningkatkan literasi digital sejak dini, khususnya budaya siber. Tidak adanya kurikulum literasi digital di setiap satuan pendidikan membuat kemampuan dalam memahami, menggunakan, dan memanfaatkan teknologi perangkat digital pada anak menjadi minim. Pengayaan literasi digital sangat diperlukan sebagai salah satu upaya promotif agar anak dapat menangani secara efektif tantangan kehidupan sehari-hari.

Referensi

Al Alawi. (25 Januari 2023). Dokter di Ponorogo Ditipu Pria yang Dikenal Lewat Aplikasi Kencan, Mobil Korban Raib. Dikutip pada tanggal 15 Desember 2022 dari

https://surabaya.kompas.com/read/2023/01/25/215552478/dokter-di-ponorogo-ditipu-pria-yang-dikenal-lewat-aplikasi-kencan-mobil?page=all#page2.

Anderson & Vogels. (6 Maret 2020). Young Women Often Face Sexual Harassment Online – Including on Dating Sites and Apps. Dikutip pada tanggal 28 Desember 2022 dari

https://www.pewresearch.org/fact-tank/2020/03/06/young-women-often-face-sexual-harassment-online-including-on-dating-sites-and-apps/.

Arfiansyah. (28 Maret 2022). 6 Fakta Dea Onlyfans: Tersangka Pornografi, Tidak Ditahan karena Menyelesaikan Kuliah. Dikutip pada tanggal 28 Desember 2022 dari

https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/28/063738065/6-fakta-dea-onlyfans-tersangka-pornografi-tidak-ditahan-karena?page=all.

Astuti., Nur’aini., Hariyanti & Pratiwi. (2018). Self Report, Deteksi Dini Pornografi. Dikutip dari https://pskp.kemdikbud.go.id/clients/detail_kebijakan/3834/buku.html.

BBC Indonesia. (14 Juni 2020). Ancaman ‘Kekerasan Digital’ di Aplikasi Kencan: Dari Kiriman Foto Vulgar Hingga Ancaman Dengan Foto/Video yang Diambil Tanpa Persetujuan. Dikutip pada tanggal 28 Desember 2022 dari

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53011324.

Broadhurst. (2020). Child Sex Abuse Images and Exploitation Materials. In Leukfeldt & Holt. The Human Factor of Cybercrime. New York: Routledge.

Canadian Centre for Child Protection. (2017). Survivors Survey Full Report. Dikutip dari www.protectchildren.ca/pdfs/C3P_SurvivorsSurveyFullReport2017.pdf.

Courtice & Shaughnessy. (2017). Technology-Mediated Sexual Interaction and Relationships: a Systematic Review of The Literature, Sexual and Relationship Therapy. 32:3-4, 269-290. 10.1080/14681994.2017.1397948.

ECPAT, INTERPOL & UNICEF. (2022). Disrupting Harm in Indonesia: Evidence on Online Child Sexual Exploitation and Abuse. Dikutip pada tanggal 15 Maret 2023 dari https://www.end-violence.org/sites/default/files/2022-09/DH_Indonesia_ONLINE_final.pdf.

Gatra (5 Maret 2022). Lonjakan Kasus Kekerasan Seksual Selama Pandemi, Bagaimana RUU TPKS Menjawabnya? Dikutip pada tanggal 28 Desember 2022 dari

https://nasional.kompas.com/read/2022/03/05/07300031/lonjakan-kasus-kekerasan-seksual-selama-pandemi-bagaimana-ruu-tpks.

Griffiths. (2000). Excessive Internet Use: Implications for Sexual Behavior. CyberPsychology & Behavior. 3:4, 537-552. 10.1089/109493100420151.

Holt., Bossler & Spellar. (2018). Cybercrime and Digital Forensics An Introduction. New York: Routledge.

Karina. (9 Januari 2023). Dikutip pada tanggal 15 Maret 2023 dari

https://www.kompas.tv/article/366187/banyak-kasus-kriminal-berawal-dari-aplikasi-kencan-mengapa-masih-banyak-yang-pakai.

Maslow. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50, 370-396.

National Crime Agency. (2016). Emerging New Threat In Online Dating: Initial Trends In Internet Dating Initiated Sexual Assaults. London: National Crime Agency.

Owens., Behun., Manning & Reid. (2012). The Impact of Internet Pornography on Adolescents: A Review of the Research. Sexual Addiction & Compulsivity: The Journal of Treatment & Prevention. 19:1-2, 99-122. 10.1080/10720162.2012.660431.

Powell., Flynn., Henry. (2020). Sexual Violence In Digital Society: Understanding The Human and Technosocial Factors. In Leukfeldt & Holt. The Human Factor of Cybercrime. New York: Routledge.

Rimington & Gast. (2007). Cybersex Use and Abuse, American Journal of Health Education. 38:1, 34-40. 10.1080/19325037.2007.10598940.

Rizaty. (14 Februari 2022). Pengguna Aplikasi Kencan Online Tembus 323 Juta Orang pada 2021. Dikutip pada tanggal 28 Desember dari

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/14/pengguna-aplikasi-kencan-online-tembus-323-juta-orang-pada-2021.

Schneider. (2003). The Impact of Compulsive Cybersex Behaviors on the Family, Sexual and Relationship Therapy. 18:3, 329-354. 10.1080/146819903100153946.

Wahyudi. (2 April 2022). Jebakan Aplikasi Kencan. Dikutip pada tanggal 28 Desember 2022 dari https://www.kompas.id/baca/gawai/2022/03/29/jebakan-aplikasi-kencan.

Terre des hommes. (2014). Webcam Child Sex Tourism, Becoming Sweetie: A Novel Approach to Stopping The Global Rise of Webcam Child Sex Tourism. Dikutip pada tanggal 28 Desember dari

https://resourcecentre.savethechildren.net/document/webcam-child-sex-tourism-becoming-sweetie-novel-approach-stopping-global-rise-webcam-child/.

Zamani. (26 Januari 2023). Kasus Gadis 15 Tahun Dibunuh Teman Kencan MiChat di Sukoharjo, KPAI Desak Pemerintah Serius Lakukan Pencegahan. Dikutip pada tanggal 15 Maret 2023 dari 

https://regional.kompas.com/read/2023/01/26/094858878/kasus-gadis-15-tahun-dibunuh-teman-kencan-michat-di-sukoharjo-kpai-desak.

.