Community Digital Storytelling untuk Advokasi Hak Kelompok Marginal

Aktivitas bercerita dalam catatan sejarah peradaban manusia mengalami proses evolusi yang berlangsung selama ribuan tahun. Proses evolusi berlangsung mulai dari lukisan dan ukiran di dinding gua pada era pra-sejarah, kemudian tradisi lisan ketika manusia mulai mampu berkomunikasi secara verbal, hingga tradisi tulisan ketika telah ditemukannya aksara (Yılmaz & Ciğerci, 2019). Penemuan aksara sendiri merupakan tonggak penting karena penyebaran cerita menjadi lebih luas dan lintas masa. Adapun puncak dari tradisi tulisan adalah ketika pada pertengahan abad ke-15 Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak. Penemuan mesin cetak ini memungkinkan produksi massal cerita melalui beragam media seperti koran dan buku yang memasifkan penyebaran cerita (Loxley, 2004).

Pada abad ke-20, aktivitas bercerita manusia mengalami kemajuan luar biasa dengan kehadiran media massa elektronik seperti radio dan televisi. Media bercerita tersebut kemudian sangat digemari karena dapat menyebarkan audio dan visual sekaligus secara lebih luas dan cepat.  Namun, dibalik keunggulan tersebut, media massa elektronik tidak cukup ramah dan terbuka bagi publik. Hal ini karena akses informasi dan cerita diatur oleh segelintir pihak saja (Katz & Wedell, 1977). Kekurangan inilah yang cukup terjawab di era digital hari ini. Berkembangnya internet berikut platform media sosial memberi ruang untuk cerita tak lagi hanya mengalir dari atas ke bawah, namun dari tiap individu yang memiliki gawai. Melalui teknologi digital, setiap orang dapat dengan cukup leluasa untuk bercerita sekaligus mendengarkan cerita dari orang lain.

Bercerita di Era Digital

Kehadiran teknologi digital sejak akhir abad 20 tidak bisa dipungkiri membawa ekologi media baru dalam kehidupan manusia kontemporer. Popularitas media sosial yang dari hari ke hari bertambah penggunanya merupakan salah satu hasil nyata perkembangan teknologi digital tersebut. Hal ini kemudian berakibat pada adanya pergeseran paradigma yang tercermin pada budaya masyarakat yang cenderung pada user-generated media (UGM). UGM sendiri adalah aktivitas membuat dan atau mempublikasikan konten oleh pengguna secara langsung dan bukan oleh organisasi atau perusahaan media sebagaimana yang dikenal di era media massa elektronik seperti televisi dan radio (Thakur et al., 2013).

Kecenderungan pada UGM tersebutlah yang kemudian memunculkan metode bercerita baru yang disebut Digital Storytelling (DST). DST adalah salah satu cara bercerita dengan memanfaatkan teknologi digital dan bersifat interaktif. Perbedaan DST dengan metode bercerita tradisional ada pada elemen multimedia yang digabungkan dengan suara dan gestur. Adapun elemen multimedia yang dimaksud meliputi teks, gambar, audio, dan video. Selain itu, DST juga menawarkan partisipasi aktif para pengguna sehingga siapa pun dapat dengan mudah bercerita dan atau mendapatkan cerita orang lain. Sifat DST yang interaktif, mudah diakses, serta lebih mudah dipahami karena menggabungkan kekuatan audio dan visual sekaligus menjadi keunggulannya tersendiri (Robin & McNeil, 2019).

Kemunculan DST hari ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah gerakan komunitas pada 30 tahun lalu yang diinisiasi oleh StoryCenter (sebelumnya bernama Center for Digital Storytelling atau CDS). DST dalam bentuk gerakan komunitas yang populerkan oleh StoryCenter tersebut pada awalnya berbentuk pelaksanaan workshop selama tiga hari yang ditunjukkan untuk pengembangan personal, organisasi, atau komunitas. Sarah Copeland kemudian pada tahun 2014 mengembangkan pemanfaatan DST sebagai alat untuk membawa cerita dari suatu komunitas sehingga dapat menghasilkan dampak sosial yang signifikan dengan melahirkan konsep Community Digital Storytelling (CDST) (Copeland & De Moor, 2018).

CDST adalah metode bercerita secara digital dalam bentuk pelaksanaan workshop yang terbagi ke dalam lima fase dan dilaksanakan selama lima hari atau dengan kata lain satu fase pada tiap harinya. Adapun kelima fase tersebut adalah preparasi, pembuatan cerita, digitalisasi cerita, penyusunan cerita digital, dan publikasi cerita digital. Kelima fase dalam metode ini pada akhirnya berfokus pada penciptaan dan penangkapan cerita yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan dari suatu komunitas melalui pemenuhan dimensi legitimasi, autentisitas, sinergi, dan kebersamaan (Copeland & De Moor, 2018).

Melihat berbagai keunggulan dan karakteristik khas tersebut, CDST bisa menjadi media ampuh untuk menyampaikan pesan ke publik, termasuk narasi positif nan edukatif dalam rangka advokasi hak kelompok marginal. Kelompok marginal adalah kelompok masyarakat yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi, dan politik (Hindman, 2011). Kelompok ini sering kali mendapatkan diskriminasi, eksploitasi, dan bahkan pembatasan akses terhadap layanan atau fasilitas publik. Beberapa contoh dari kelompok marginal adalah kaum miskin, minoritas secara etnis atau agama, penyandang disabilitas, perempuan, anak jalanan, dan transgender.

Advokasi hak kelompok marginal penting untuk diupayakan dan CDST sebagai sebuah metode yang berfokus utama pada penceritaan aspirasi secara langsung oleh suatu komunitas dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut. Salah satu contoh aplikasi CDST dalam advokasi hak kelompok marginal adalah apa yang diselenggarakan oleh CDST Indonesia di Ponpes Waria Al-Fatah Yogyakarta dengan Yayasan Kebaya sebagai mitra komunitas yang penulis terlibat sebagai salah satu volunteer di sana.

Praktik CDST di Ponpes Waria Al-Fattah Yogyakarta

Kelompok transpuan merupakan salah satu kelompok marginal yang rentan mengalami diskriminasi dalam kesehariannya. Hal ini dikarenakan perbedaan mereka yang bersifat bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Selain itu, stigmatisasi negatif juga menjadi penghalang mereka mendapatkan perlakuan yang setara termasuk dalam akses terhadap berbagai layanan publik (Elias, 2017).

Oleh karenanya, CDST Indonesia bersama Yayasan Kebaya sebagai mitra komunitas mengajak transpuan di Ponpes Waria Al-Fatah Yogyakarta untuk mengaplikasikan metode CDST. Fasilitator dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh CDST Indonesia tersebut adalah Denty Piawai Nastitie dan Yoppy Pieter. CDST sebagai sebuah metode yang berfokus pada penceritaan yang sesuai dengan aspirasi komunitas diharapkan dapat membantu memberikan edukasi pada publik dan perubahan citra ke arah yang positif pada kelompok transpuan yang ada di Yogyakarta secara khusus dan di Indonesia pada umumnya.

Sesuai dengan kelima fase CDST dari Copeland & De Moor (2018), fase pertama dimulai dari preparasi yang mencakup pencarian peserta, penggambaran topik, dan pemetaan makna melalui wawancara. Pada pengalaman di Ponpes Waria, dikumpulkan 10 orang transpuan dengan latar belakang profesi dan kesibukan harian yang berbeda-beda. Adapun topik yang diambil adalah kehidupan sehari-hari para transpuan yang menampilkan mereka sebagai manusia pada umumnya yang memiliki kehidupan, baik hobi maupun profesinya masing-masing. Harapannya, dari sana dapat mengubah persepsi publik yang selama ini negatif karena sumber cerita yang tidak secara langsung disampaikan oleh para transpuan.

Fase kedua yaitu pembuatan cerita. Pada fase ini, CDST Indonesia melatih para transpuan untuk bisa membangun cerita yang baik dan benar melalui permainan cerita berantai. Melalui permainan tersebut, diharapkan para transpuan memiliki gambaran awal tentang membangun alur cerita yang baik dan rapi.

Selanjutnya, pada fase digitalisasi cerita yang merupakan fase ketiga, para transpuan dengan didampingi oleh fasilitator kegiatan bersepakat bahwa format digital yang akan digunakan sebagai media bercerita adalah kumpulan foto yang digabungkan ke dalam satu video dengan disertai rekaman suara narasi cerita dari para transpuan. Sebagai tindak lanjut, CDST Indonesia melatih para transpuan tentang teknik pengambilan foto yang baik menggunakan telepon genggam masing-masing. Setelah itu, para transpuan diberikan waktu selama sehari semalam untuk mengumpulkan foto yang nantinya akan dikurasi bersama fasilitator.

Selanjutnya pada fase keempat, yaitu penyusunan cerita digital, para transpuan dengan dibantu fasilitator mulai menyusun narasi cerita dengan stok foto yang telah dikurasi sebelumnya bersama-sama. Narasi cerita sebelumnya dituliskan terlebih dulu sebelum dibacakan pada proses perekaman suara keesokan harinya. Setelah narasi cerita tersusun dan foto-foto telah terpilih, maka dilakukan proses pengambilan rekaman suara untuk menjadi pengisi audio di video kumpulan foto yang akan ditampilkan ke publik. Proses perekaman suara ini menjadi aktivitas terakhir workshop sebelum presentasi umum.

Pada fase terakhir, yaitu publikasi cerita digital, dilakukan presentasi atau penayangan video CDST secara luring di Ponpes Waria Al-Fattah dengan mengundang berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, dosen, kawan jaringan, hingga pejabat RT/RW dan kelurahan setempat. Penayangan ini sebagai bagian dari advokasi hak kelompok marginal, dalam kasus ini yakni para transpuan. Sesuai beberapa bentuk strategi dalam advokasi seperti peningkatan kesadaran dan laporan dokumentasi, penayangan video disertai presentasi dan acara ramah tamah bersama para transpuan dan kelompok masyarakat lain menjadi salah satu contoh konkret kecil dalam advokasi hak kelompok marginal.

Acara penayangan ini diharapkan dapat mendorong dialog konstruktif, mengubah perspektif publik, membangun dukungan serta simpati yang pada akhirnya meningkatkan kesadaran mengenai hak para waria khususnya dan kelompok marginal pada umumnya. Terlebih, video-video yang ditampilkan memiliki autentisitas cerita karena diceritakan langsung oleh para transpuan, mulai dari pengambilan gambar hingga ke perekaman suara.

Namun, patut menjadi catatan kita bersama bahwa proses pengawalan pemenuhan hak kelompok marginal tidak berhenti sampai di “menceritakan” saja. Masih banyak langkah yang harus diambil guna memperjuangkan hak kelompok marginal seperti akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas dan gratis. Akan tetapi, setidaknya melalui tulisan ini, akan ada banyak pihak yang terdorong untuk melakukan kegiatan serupa, yaitu memanfaatkan CDST dalam advokasi hak kelompok marginal, baik sebagai permulaan ataupun sekedar pelengkap.

Dengan demikian, aktivitas advokasi hak kelompok marginal ke depannya perlu memanfaatkan pergeseran media berbagi cerita hari ini dari yang sebelumnya bersifat satu arah dari segelintir pihak saja menjadi user-generated media (UGM) seiring berkembangnya teknologi digital. CDST sebagai sebuah metode bercerita yang mengakomodasi preferensi UGM dalam konteks sebagai satu komunitas oleh karenanya menarik untuk digunakan dalam banyak aktivitas advokasi, utamanya yang menyangkut hak kelompok marginal.

Referensi

Copeland, S., & De Moor, A. (2018). Community digital storytelling for collective intelligence: Towards a storytelling cycle of trust. Ai & Society33, 101-111.

Elias, N. M. R. (2017). Constructing and Implementing Transgender Policy for Public Administration. Administration & Society, 49(1), 20-47.

Hindman, M. D. (2011). Rethinking intersectionality: Towards an understanding of discursive marginalization. New Political Science33(2), 189-210.

Katz, E., & Wedell, G. (1977). Broadcasting in the Third World: Promise and performance. Harvard University Press.

Loxley, S. (2004). Type: the secret history of letters. Bloomsbury Publishing.

Robin, B. R., & McNeil, S. G. (2019). Digital storytelling. The international encyclopedia of media literacy, 1-8.

Thakur, R., H. Summey, J., & John, J. (2013). A perceptual approach to understanding user-generated media behavior. Journal of Consumer Marketing, 30(1), 4-16.

Yılmaz, R., & Ciğerci, F. M. (2019). A brief history of storytelling: From primitive dance to digital narration. In Handbook of research on transmedia storytelling and narrative strategies (pp. 1-14). IGI Global.

 

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.