Blue Economy: Penerapan Konsep Sasi Laut dalam Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

Dewasa ini, konsep Blue Economy seakan mengguncang sektor industri laut dan  perikanan Indonesia. Konsep ekonomi yang digaungkan oleh Gunter Pauli dalam buku Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs, menjadi polemik bagi nelayan. Pauli mendefinisikan konsep ini sebagai ekonomi berkelanjutan yang mengutamakan aspek lokal serta kelestarian alam (Syakur, Aronds, and Aqil 2023). Kendati secara definisi seakan membawa niat baik, Blue Economy atau ekonomi biru menimbulkan permasalahan di pelbagai negara. Misal di Seychelles, penerapan ekonomi biru mengakibatkan masyarakat adat terpinggirkan, karena industri tunanya dikuasai oleh armada Uni Eropa dan skala perikanan kecil. Sementara di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru yang menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, mengakibatkan kesenjangan dan meningkatkan angka kemiskinan serta krisis ekologi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2023). Hal itu terjadi karena blue economy disusun untuk melayani kepentingan korporasi dalam mengeksploitasi laut seluas-luasnya (Wahana Lingkungan Hidup 2022).

Di Indonesia sendiri, implementasi kebijakan Blue Economy juga disusun untuk melayani korporasi skala besar (Wahana Lingkungan Hidup 2022). Salah satunya bisa dilihat dari Peraturan Pemerintah (PP) No 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) beserta Peraturan Menteri Kelautan Perikanan 28/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Pasalnya, kebijakan ini sangat menguntungkan korporasi serta meminggirkan nelayan kecil dan merusak keberlanjutan lingkungan. 

Sesuai pasal 2 ayat 5 dalam PP No 11/2023, terdapat 6 zona  PIT yang dibagi sesuai pasal 7 ayat 1 menjadi 3 kuota; industri, nelayan lokal, dan kegiatan bukan untuk tujuan komersial. Kuota industri dan nelayan lokal memiliki persamaan hak aksesnya, yakni nelayan kecil yang diutamakan tergabung dalam koperasi dan badan usaha berbadan hukum–korporasi dan koperasi (Pasal 8 ayat 2 & 3 serta Pasal 9 ayat 2 & 3 dalam PP No 11/2023).

Persamaan akses membuat nelayan kecil harus berkompetisi dengan korporasi yang memiliki kapal penangkap ikan berskala besar. Apalagi dalam kebijakan ini tidak hanya memperlebar peluang korporasi lokal, namun juga korporasi asing yang termuat dalam pasal 8 ayat 5 huruf a, bahwa kuota industri dalam zona 01,02,03,04 dapat dimanfaatkan untuk penanaman modal asing. Sementara, kapal nelayan kecil berkapasitas di bawah 10 gross mendominasi hampir 96% dari total kapal penangkap ikan di Indonesia (Napitupulu dan Tanaya 2023). Mereka harus beradu nasib dengan kapal korporasi lokal dan asing yang bermuatan di atas 10 GT-30 GT, dan juga ada yang di atas 100 GT (Grahadyarini 2023). Hal ini akan mengakibatkan nelayan kecil semakin terpinggirkan karena kalah saing alat produksi yang berujung berkurangnya tangkapan (Fajar 2022).

Selain itu, ketimpangan dalam rancangan distribusi kuota penangkapan yang memberikan porsi sebesar 64,90% terhadap industri/korporasi dan 35% nelayan kecil melalui koperasi, semakin menguatkan keberpihakan dalam kebijakan ini (Lemhannas 2022). Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi KIARA Susan Herawati, penerapan PIT merupakan pintu masuk korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya ikan (SDI) yang pemanfaatannya mayoritas berada dalam wilayah full dan over exploited (Fajar, 2023). Dalam policy brief KORAL (2022), semua wilayah PIT memiliki SDI dengan tingkat pemanfaatan fully dan over exploited, namun juga memiliki SDI dengan status pemanfaatan moderate, kecuali Wilayah Pengelolaan Ikan (WPP) 711, 713 dan 718 yang tidak ada SDI yang berstatus moderate. Adanya PIT akan memperparah stok SDI karena korporasi berskala besar akan mengeksploitasinya secara masif. Akibatnya, bukan saja mengurangi SDI, namun merusak keberlanjutan lingkungan. Asumsi tersebut didasarkan terhadap pengalaman beberapa negara menerapkan kebijakan yang hampir serupa. Misal, salah satu faktor utama terjadinya penurunan drastis stok teripang di Pohnpei adalah pembukaan kesempatan korporasi untuk mengeksploitasi secara besar-besaran melalui amandemen the Pohnpei State Fisheries Protection Act of 1995 (PFA)  (S.L.NO 8L-58-14) pada tahun 2015 (Bosserelle et al. 2017; Ferguson et al. 2022)).

Penangkapan Ikan Terukur berlandasan Etika Lingkungan

Implementasi dan pemaknaan kebijakan Blue Economy–khususnya PIT–perlu diubah dengan mengedepankan keberpihakan terhadap nelayan kecil serta keberlanjutan lingkungan.  Hal itu dapat tercapai dengan menerapkan kebijakan yang berteraskan etika lingkungan. Etika lingkungan berbicara tentang moral dan relasi antara manusia dengan manusia atau manusia dengan makhluk hidup lain atau alam dapat berdampak terhadap alam itu sendiri, sehingga masalah lingkungan hidup merupakan masalah moral atau perilaku manusia (Keraf 2014). Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan yang dapat mengubah perilaku manusia yang berdampak terhadap cara pandang mereka, bahwa relasi antar manusia dengan seluruh alam semesta adalah setara.

Nilai-nilai etika lingkungan dapat diambil dari konsep tradisi masyarakat tradisional yang kental akan keyakinan bahwa alam menentukan kehidupan manusia (Darusman 2014). Cara pandang masyarakat tradisional terhadap alam dapat dijadikan contoh konsep atau nilai yang dapat diterapkan dalam pembangunan modern. Dalam konteks PIT, tradisi yang dapat diterapkan dan cocok sebagai konsep adalah Sasi laut.

Keberpihakan terhadap Nelayan dan Keberlanjutan dalam Sasi Laut

 

Sasi Laut merupakan tradisi yang berasal dari masyarakat Maluku dan Papua. Tradisi ini berbentuk larangan terhadap masyarakat untuk mengambil sumber daya laut dengan waktu tertentu. Sasi laut dapat dipadukan dalam PIT karena mengandung keberlanjutan lingkungan dan memberikan kesejahteraan terhadap nelayan kecil.

Adanya sasi membuat tangkapan nelayan melimpah yang menunjukkan keberlanjutan sumber daya. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Boli et all (2014) yang menunjukkan peningkatan berat, spesies, dan jumlah tangkapan masyarakat Kawe, Raja Ampat, setelah pembukaan sasi. Pada awal periode awal sasi di tahun 2007-2009, teripang yang di panen nelayan berjumlah 919 ekor dari 12 spesies dengan total berat 88.5 kg. Periode selanjutnya, tahun 2009-2012, nelayan memanen 5,067 ekor dari 16 spesies dengan total berat 460.5 kg. Boli et all (2014) juga menunjukkan panen lola pada tahun 2009 sejumlah 629 ekor dengan total berat 243 kg, kemudian meningkat di tahun 2012 sejumlah 1.285 ekor dengan total berat

589 kg.

Penerapannya dapat dimulai dengan menghapuskan pembagian kuota tangkapan nelayan lokal dan industri. Kemudian, pemberian Hak Pengelolaan Perikanan (HPP) terhadap nelayan kecil. HPP merupakan suatu keistimewaan terbatas yang diberikan negara terhadap kelompok/masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya laut untuk jangka waktu yang panjang (Halim et al. 2017). Nelayan kecil dengan kapasitas 10 gross mendapatkan HPP berupa ambang batas wilayah untuk mereka sasi selama beberapa bulan. Wilayah yang di sasi diukur dari bibir pantai desa mereka sampai batas terakhir persebaran sumber daya yang bakal di sasi. Untuk sasaran yang akan di sasi dapat ditentukan dengan melihat ukuran dan usia sumber daya, serta sumber daya yang sekiranya menurun tangkapannya. Waktu pelaksanaan sasi tergantung dengan berapa lama sumber daya dapat melakukan reproduksi. Sementara, kapal-kapal korporasi bermuatan di atas 10 gross dilarang menangkap ikan di wilayah sasi nelayan.

Wilayah di luar sasi merupakan wilayah perairan yang bersifat kepemilikan Bersama (Common Property) atau di dalam tradisi sasi di sebut Patuanan Umum. Kapal korporasi dan nelayan kecil bersama-sama menikmati sumber daya laut di wilayah luar sasi. Dengan catatan, tetap menggunakan sistem perizinan khusus dalam kebijakan PIT. Sistem ini memberikan jangka waktu 15 tahun dengan alokasi kuota tangkapan. Kuota tangkapan korporasi nantinya memiliki batas maksimum. Hal ini selaras dengan rencana peraturan menteri KKP terkait kuota penangkapan ikan yang menetapkan batas maksimum 100.000 ton (Grahadyarini 2022). Namun, batas tersebut dapat berganti, tergantung ketersediaan jenis ikan.

Kemudian pemerintah dapat membuat lembaga/tim/satuan tugas yang bekerja secara khusus menjadi pendamping di setiap dusun dan desa nelayan. Lembaga yang dapat dicontoh adalah Lembaga Swadaya Masyarakat The Nature Conservancy (TNC) yang telah melakukan pendampingan terhadap sasi laut masyarakat Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. TNC bertindak sebagai pemberi masukan teknis ihwal ukuran biota yang harus di tangkap, pemantauan hasil tangkapan, serta perkiraan pendapatan selama buka sasi berlangsung. TNC hanya memonitoring proses sasi yang dilakukan oleh masyarakat, untuk segala pengaturan diserahkan terhadap masyarakat.

Namun, sasi  laut memiliki tantangan untuk diterapkan dalam skala besar. Pertama, dalam segi pembuatan dan penegakan hukum. Secara umum sasi memiliki tantangan mengatasi pihak luar yang melanggar. Hal itu karena pihak luar bukan bagian dari masyarakat desa yang mempercayai hukum sasi. Apabila sasi laut di terapkan secara luas, maka membutuhkan hukum yang jelas, tegas, teratur, dan terukur. Hal ini dikarenakan permasalahannya akan semakin kompleks. Misal, bagaimana cara mengatur agar pihak luar desa/dusun mematuhi sasi laut di desa yang mereka masuki, kemudian bagaimana menindak pelanggaran oleh korporasi yang umumnya kebal terhadap hukum, dan segala tentang batasan sasi laut, baik waktu pelaksanaan, ambang batas wilayah, pembagian hasil panen, hak kepemilikan, dll.

Kedua, penerapan sasi laut dalam skala besar memiliki tantangan dalam memaksimalkan instrumennya. Artikel yang ditulis Halim (2017), mengungkapkan sasi laut belum maksimal dan masih terbatas  pada sumber daya yang menetap-merayap di dasar laut. Oleh karena itu, perlu kajian lebih dalam untuk membuat instrumen sasi dapat digunakan terhadap sumber daya yang lain.

Ketiga, tantangan dalam membuat lembaga/institusi seperti TNC. Hal ini karena untuk membuat lembaga seperti itu diperlukan seleksi yang ketat terhadap anggota untuk memastikan konsistensi dan  kapabilitas mereka. Tentunya untuk membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan sasi laut di perlukan strategi komunikasi yang baik dan waktu yang sangat lama. Begitulah yang dilakukan TNC dalam Desa Folley yang membangun budaya sasi laut dari tahun 2001 hingga kini yang menuai kesuksesan (Putri, Satria, and Saharuddin 2020).

PIT berlandaskan nilai dan konsep sasi laut akan berpihak terhadap nelayan kecil dan keberlanjutan lingkungan. Namun, terdapat beberapa tantangan penerapan sasi laut dalam skala besar. Tulisan ini hanya contoh sketsa tentang penempatan nilai tradisi masyarakat tradisional dalam pembangunan modern. Dengan demikian, tulisan ini perlu di kembangkan lagi untuk membentuk suatu kerangka kebijakan yang komprehensif.

Referensi

Boli, P, F Yulianda, A Damar, D Sudharma, and R Kinseng. 2014. “Benefits of Sasi for Conservation of Marine Resources in Raja Ampat, Papua.” Jurnal Manajemen Hutan Tropika (Journal of Tropical Forest Management) 20 (2): 131–39. https://doi.org/10.7226/jtfm.20.2.131.

Bosserelle, Pauline , Navneel Singh, Itaia Fred, Clayton Hedson, Pelson Moses, Ryan Ladore, Dwight Damian, et al. 2017. The Status of Sea Cucumbers at Pohnpei Island and Ant Atoll, Federated States of Micronesia, in 2017. Noumea, New Caledonia: Pacific Community (SPC).

Darusman, Yus. 2014. “Kearifan Lokal Dan Pelestarian Lingkungan (Studi Kasus Di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, Dan Di Kampung Kuta, Kabupaten Ciamis).” Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan 20 (1): 140. https://doi.org/10.24832/jpnk.v20i1.128.

Fajar, Jay. 2022. “Penangkapan Ikan Terukur Dimulai Dari Tual.” Mongabay.co.id. September 16, 2022. https://www.mongabay.co.id/2022/09/16/penangkapan-ikan-terukur-dimulai-dari-tual/.

———. 2023. “Penangkapan Ikan Terukur, Untuk Nelayan Kecil Atau Pelaku Usaha?” Mongabay.co.id. March 15, 2023. https://www.mongabay.co.id/2023/03/15/penangkapan-ikan-terukur-untuk-nelayan-kecil-atau-pelaku-usaha/.

Ferguson, Caroline E., Nathan J. Bennett, William Kostka, Robert H. Richmond, and Ann Singeo. 2022. “The Tragedy of the Commodity Is Not Inevitable: Indigenous Resistance Prevents High-Value Fisheries Collapse in the Pacific Islands.” Global Environmental Change 73 (March): 102477. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2022.102477.

Grahadyarini, BM Lukita. 2022. “Perizinan Khusus Menyerupai Sistem Kontrak.” Kompas.id. August 20, 2022. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2022/08/19/perizinan-khusus-menyerupai-sistem-kontrak.

———. 2023. “Liberalisasi Penangkapan Ikan.” Kompas.id. March 31, 2023. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/03/23/liberalisasi-penangkapan-ikan.

Halim, Abdul. 2017. “Pengelolaan Perikanan Berbasis Hak Berpotensi Mengurangi Penangkapan Ikan Berlebihan.” The Conversation. November 28, 2017. https://theconversation.com/pengelolaan-perikanan-berbasis-hak-berpotensi-mengurangi-penangkapan-ikan-berlebihan-85807.

Halim, Abdul, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian Hordyk, Dedi

S Adhuri, Tukul R Adi, and Luky Adrianto. 2017. “Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan di Indonesia.” Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia 9 (1): 11. https://doi.org/10.15578/jkpi.9.1.2017.11-20.

Karim, Muhamad. 2024. “Bencana Perikanan Industrial.” Tempo. February 26, 2024. https://koran.tempo.co/read/opini/487459/risiko-penangkapan-ikan-terukur.

Keraf, A. Sonny . 2010. Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas.

KORAL. 2022. “Kertas Kerja Koral Terhadap Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur.” KORAL. file:///C:/Users/COMPUTER/Downloads/Kertas%20Kerja%20KORAL%202022.pdf.

Lemhannas. 2022. “Menteri Kelautan Dan Perikanan RI Paparkan Lima Implementasi Kebijakan Ekonomi Biru Kepada Peserta PPRA 64.” Www.lemhannas.go.id. July 29, 2022.

https://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/1653-menteri-kelautan-da n-perikanan-ri-paparkan-lima-implementasi-kebijakan-ekonomi-biru-kepada-pesertappra-64%20.

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2023 tentang  Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.

Napitupulu, Lucentezza, and Smita Tanaya. 2023. “Nelayan Kecil Masih Terpinggirkan, Pengelolaan Laut Harus Diperbaiki Demi Mendukung Ekonomi Biru.” The Conversation. July 4, 2023.

https://theconversation.com/nelayan-kecil-masih-terpinggirkan-pengelolaan-laut-haru s-diperbaiki-demi-mendukung-ekonomi-biru-208747.

Putri, Fevi Rahma Dwi, Arif Satria, and Saharuddin. 2020. “ Sasi Laut Folley Dan Dinamika Pengelolaan Berbasis Masyarakat.” Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management) 10 (1): 111–23. https://doi.org/10.29244/jpsl.10.1.111-123.

Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden  Nomor  11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.

Syakur, Farrel Ahmad , Petra Noor Imanuel Aronds, and Yazid Naufal Aqil. 2023. “Birunya Ekonomi Laut, Nasib Nelayan Kalut.” Balairungpress. December 4, 2023.

https://www.balairungpress.com/2023/12/birunya-ekonomi-laut-nasib-nelayan-kalut/.

Wahana Lingkungan Hidup. 2022. “Siaran Pers Ekstraksi Ekonomi Biru Mendorong Perampasan Ruang Laut.” WALHI. June 30, 2022. https://www.walhi.or.id/index.php/siaran-pers-ekstraksi-ekonomi-biru-mendorong-perampasan-ruang-laut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. 2023. “Kritik Terhadap Ekonomi Biru, WALHI: Mendorong Perampasan Ruang Laut Di Indonesia.” WALHI. September 19, 2023. https://www.walhi.or.id/kritik-terhadap-ekonomi-biru-walhi-mendorong-perampasan-ruang-laut-di-indonesia.

 

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.