Indonesia dan Urgensi Innovation-based Growth: Adaptasi Pendekatan Kebijakan State-led ala China atau Market-based ala Amerika Serikat?

Kondisi ekonomi Indonesia saat ini tengah berada dalam situasi yang vital sekaligus strategis. Setelah terguncang oleh krisis finansial Asia (krismon) pada akhir dekade 1990-an, Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam dua dekade setelahnya. Krismon membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami minus 13,1% pada tahun 1998 padahal pada tahun 1995 pertumbuhan ekonomi mencapai 8,2% (Bank Dunia, 2023). Kemudian, berdasarkan data juga yang dihimpun dari Bank Dunia (2023), Indonesia mengalami fase stabilitas selama dua dekade dengan pertumbuhan ekonomi berturut-turut mencapai 5,7% (2005), 6,2% (2010), 4,9% (2015) dan 5,3% (2022). Situasi menjadi strategis karena Indonesia mencanangkan untuk dapat mencapai status sebagai negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045.

Tantangannya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia memang stabil namun memerlukan percepatan. Studi dari Ash Center (2013) mengestimasikan bahwa Indonesia perlu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 8% per tahun untuk dapat melompat menjadi negara berpendapatan tinggi. Studi ini bahkan menyebut performa ekonomi Indonesia sebagai “good enough, but good enough is not enough”. Apabila Indonesia tetap bertahan dalam tren pertumbuhan ekonomi pada rentang 4-5% per tahun seperti dua dekade terakhir ini maka Indonesia dapat jatuh pada middle-income trap. Pada situasi seperti ini, terdapat urgensi untuk dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

Solusi yang perlu dipertimbangkan bagi Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi (innovation-based growth). Hal ini adalah pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi yang berbasis pada teknologi dan inovasi (Mazzucato, 2018). Indonesia saat ini menggantungkan pertumbuhan ekonomi pada konsumsi rumah tangga (Suhanda dan Swasono, 2023). Dikutip dari Kompas (2023), konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 53,57% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apabila Indonesia mampu membangun innovation-based growth maka potensi untuk peningkatan kontribusi komponen lain bagi pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Misalnya komponen pengeluaran investasi serta ekspor dan impor.

Innovation-based growth dapat diwujudkan dengan membangun ekosistem ekonomi digital yang terintegrasi. Misalnya terdiri dari e-commerce, e-business, e-learning, e-media, dan e-government (Berdykulova dkk, 2014). Selain itu, innovation-based growth dapat diwujudkan misalnya dengan mendorong industri robotika. Industri ini kemudian dapat memberikan trickle-down effect bagi sektor-sektor lain yang dapat kemudian mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi. Studi dari Center for Economic and Business Research (2017) dalam International Federation of Robotics (2017) menemukan bahwa investasi pada penggunaan robot berkontribusi sebesar 10 persen terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di negara-negara OECD dalam rentang tahun 1993 hingga 2016. Studi yang sama juga menemukan bahwa penambahan 1 unit robot dapat mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 0,04%.

Dalam mewujudkan terciptanya Innovation-based growth maka hal paling mendasar yang perlu dilakukan adalah dengan membangun pusat inovasi regional. Hal ini adalah sebuah zona ekonomi khusus berbasis regional (umumnya kota) yang di dalamnya terdapat proses produksi teknologi dan nilai tambah ekonomi melalui interaksi antara berbagai aktor ekonomi (Carayannis, Samara dan Bakouros, 2015). Berbicara mengenai sistem inovasi regional maka terdapat dua best practice yaitu Silicon Valley di Amerika Serikat dan Shenzhen di China. Dikutip dari Statista (2023), Shenzhen merupakan kontributor utama ekspor teknologi bagi China. Pada tahun 2017 nilai ekspor teknologi Shenzhen telah mencapai angka 114 miliar dolar AS. Angka ini terus naik mencapai total 154 miliar dolar AS pada tahun 2021. Angka ini setara 12% dari total ekspor teknologi China. Sementara itu, California merupakan pemimpin bagi ekspor teknologi di AS dengan nilai 45 miliar dolar AS pada tahun 2018 (Statista, 2022). Tentu saja, Silicon Valley merupakan kontributor utama dari ekspor teknologi di California.

Menariknya, Silicon Valley dan Shenzhen berhasil menjadi sistem inovasi regional yang sukses dengan dua jalan yang sangat berbeda. Silicon Valley dibangun melalui peran sektor privat dan lembaga pendidikan yang sangat menonjol.  Diantaranya adalah peran dari Universitas Standford dan Asosiasi industri bernama The West Coast Electronics Manufacturers Association (WCEMA). Sementara itu, Shenzhen justru dibangun melalui peran negara yang sangat sentral dan luas. Tentu saja mengingat Shenzhen merupakan sebuah Zona Ekonomi Khusus yang didirikan oleh Pemerintah China. Pertanyaannya kemudian adalah, pendekatan mana yang lebih cocok bagi Indonesia? Apakah pendekatan market based ala Silicon Valley atau state led ala Shenzhen? Untuk menjawab pertanyaan ini maka hal yang pertama perlu dilakukan adalah menganalisis bagaimana cerita dibalik kesuksesan Silicon Valley dan Shenzhen.

Adam (2003) dalam studinya menjelaskan secara kronologis-historis tentang cerita dibalik lahirnya Silicon Valley. Pada awal paruh pertama abad ke-20 situasi ekonomi AS diwarnai ketimpangan ekonomi antara pantai timur dan pantai barat. Bahkan, 100 perusahaan terbesar terdapat di pantai timur dengan penguasaan industri sebesar 70% pada tahun 1943. Ketimpangan ini bahkan dijuluki sebagai, “The West’s colonial position of the East industrial monarchs”. Dalam rangka mengembangkan industri di pantai barat kemudian Frederick Terman dari Universitas Standford membuat Cetak Biru Relasi Strategis Standford-Industri. Terdapat dua gagasan utama dalam naskah ini yaitu menghidupkan indigenous industry dari pantai timur dan mengusung konsep knowledge-based industry. Dalam implementasinya kemudian didirikan Standford Research Institute, Standford Industrial Park dan asosiasi industri bernama WCEMA. Dalam perkembangannya kemudian dilakukan intensifikasi kolaborasi antara industri, perusahaan kapital ventura dan universitas dalam membangun Silicon Valley menjadi sistem inovasi regional yang sukses. Budaya kolaborasi antar perusahaan dan lintas sektor ini yang kemudian menjadi pilar kesuksesan Silicon Valley (Fleming dan Frenken, 2007).

Shenzhen justru memiliki alur cerita yang sangat berbeda. Shenzhen ditetapkan sebagai zona ekonomi khusus melalui The 11th Central Committee of the Communist Party’s 3rd Plenary Session pada tahun 1978. Berdasarkan studi dari Asan Institute for Policy Studies (2014), Pemerintah China menetapkan 4 pilar dalam pengembangan Shenzhen yaitu: (1) Pendanaan/investasi dari luar negeri; (2) Perusahaan luar negeri serta joint venture; (3) Manufaktur berbasis ekspor; dan (4) Prinsip pasar sosialis atau disebut sebagai socialist market principle. Pemerintah China kemudian melaksanakan 3 fungsi strategis dalam pengembangan Shenzhen yang meliputi: (1) pembangunan infrastruktur dasar dan strategis; (2) integrasi Shenzhen dengan Hong Kong dan Makau; (3) memfasilitasi proses transfer teknologi; (4) kebijakan-kebijakan ekonomi yang suportif. Dukungan pemerintah yang luas ini dikutip dari Asan Institute for Policy Studies (2014) juga tercermin dari pendanaan pembangunan infrastruktur pada tahun 1980-an yang berasal dari pinjaman bank sentral (36%), investasi pemerintah daerah (27%), dan investasi asing (24%). Studi yang sama juga mencatat bahwa aliran investasi dari Hong Kong dan Makau bahkan menyumbang sekitar 82% dari investasi yang masuk ke Shenzhen pada awal pendiriannya. Fang dan Xie (2008) menemukan bahwa pemerintah China membangun banyak Science Park untuk menyediakan ekosistem transfer teknologi dari perusahaan asing ke perusahaan domestik. Peran sentral dari negara ini mendominasi cerita dibalik kesuksesan Shenzhen menjadi sistem inovasi regional yang sukses.

Lalu, pendekatan mana yang lebih cocok untuk Indonesia? Indonesia saat ini memiliki kelemahan untuk menggunakan kedua pendekatan baik state led maupun market based. Indonesia memiliki keterbatasan kapasitas anggaran untuk membiayai pembangunan sistem inovasi regional melalui APBN. Selain itu, ruang fiskal yang dimiliki juga sempit karena adanya permasalahan klasik dari porsi belanja pegawai yang besar dan beban pembayaran utang luar negeri yang juga tinggi. Pada sisi lain, pasar Indonesia juga terbilang lemah. Hal ini dibuktikan dengan kontribusi industri pada pendanaan risbang yang kurang dari 20% (BRIN, 2023). Selain itu, struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh UMKM yang dikutip dari Kementerian Keuangan RI (2022) kontribusinya terhadap PDB mencapai 61% pada tahun 2021. Permasalahannya adalah UMKM di Indonesia didominasi usaha dengan penguasaan dan adaptasi teknologi yang minim dan kapasitas riset yang juga rendah. Oleh karena itu, Indonesia lebih baik menggunakan pendekatan hibrid yang bertumpu pada dua kebijakan. Pertama, membangun berbagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Inovasi. Kedua, menarik investasi asing untuk mendorong produksi inovasi di berbagai KEK Industri Inovasi ini. Peran negara dalam hal ini adalah sebagai katalisator pembangunan KEK dan fasilitator masuknya investasi asing ke KEK Industri Inovasi.

Pembangunan berbagai KEK Industri Inovasi dapat dilakukan dengan memperhatikan 2 aspek. Pertama, ketersediaan sumber daya manusia dengan kapasitas di bidang Science, Technology, Engineering & Mathematics yang mencukupi. Hal ini penting dalam rangka memastikan tidak ada kekurangan SDM di bidang STEM. Terkait hal ini, daerah-daerah yang merupakan sentra pendidikan tinggi penghasil SDM bidang STEM dapat dijadikan daerah penyangga KEK Industri Inovasi. Kedua, perlu mempertimbangkan ketersediaan sentra investasi dan keuangan. Hal ini penting dalam rangka memastikan pendanaan dan investasi risbang dapat tersedia secara mencukupi. Pemetaan harus memperhatikan sentra investasi dan keuangan di dalam negeri dan luar negeri. Pemerintah dapat menjadikan Jakarta dan Surabaya sebagai penyangga keuangan bagi KEK Industri Inovasi. Selain itu, pemerintah perlu untuk menjalin kemitraan strategis dengan sentra investasi dan keuangan global seperti Singapura, Hong Kong dan Tokyo untuk kepastian pendanaan.

Investasi asing menjadi sumber pendanaan yang begitu penting bagi suksesnya KEK Industri Inovasi. Hal ini tentunya mengingat ada keterbatasan kapasitas pendanaan melalui anggaran publik. Berkaitan dengan hal ini terdapat 3 langkah strategis yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Langkah pertama adalah dengan membangun rejim investasi yang lebih terbuka dan menguntungkan bagi investor asing. Langkah ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan perpajakan yang ringan, insentif investasi dengan pengembalian (return on investment) yang tinggi serta kepastian hukum yang terjamin. Misalnya dengan melakukan pembebasan pajak untuk investasi yang masuk di KEK Industri untuk jangka waktu 15 tahun. Langkah kedua adalah membangun skema manajemen yang dapat menarik investor asing. Misalnya dengan kemudahan mendirikan joint venture. Langkah ketiga berkaitan dengan penyediaan infrastruktur dasar yang memadai dan kompetitif. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun berbagai science park dan technology park yang terintegrasi dengan daerah penyumbang SDM STEM dan sentra keuangan.

Referensi

Adams, S. B. (2003). Regionalism in Stanford’s contribution to the rise of Silicon Valley. Enterprise & Society4(3), 521-543.

ASAN Institute for Policy Studies. (2014). Lesson for Rajin Special Economic Zone.          [online] diakses pada 29 Januari 2024 melalui  <http://www.jstor.com/stable/resrep20693.10>

Bank Dunia. (2024). GDP growth (annual %)-Indonesia. [online] diakses pada 29           Januari 2024 melalui <https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG?locations=ID>

Berdykulova, G. M. K., Sailov, A. I. U., Kaliazhdarova, S. Y. K., & Berdykulov, E. B.       U. (2014). The emerging digital economy: case of Kazakhstan. Procedia-        Social and Behavioral Sciences, 109, 1287-1291.

BRIN. (2023). SeBaRis untuk petakan dan fasilitasi lembaga riset di Indonesia.        [online] diakses pada 29 Januari 2024 melalui             <https://www.brin.go.id/news/112758/sebaris-untuk-petakan-dan-fasilitasi-  lembaga-riset-di-indonesia>

Carayannis, E. G., Samara, E. T., & Bakouros, Y. L. (2015). Innovation and           entrepreneurship: theory, policy and practice. Springer.

International Federation of Robotics. (2018). The Impact of Robots on Productivity,   Employment,and Job. Diunduh pada 10 April 2021, dari <https://ifr.org/img/office/IFR_The_Impact_of_Robots_on_Employment.pdf>

Fang, C., & Xie, Y. (2008). Site planning and guiding principles of hi-tech parks in    China: Shenzhen as a case study. Environment and Planning B: Planning and      Design35(1), 100-121.

Fleming, L., & Frenken, K. (2007). The evolution of inventor networks in the Silicon           Valley and Boston regions. Advances in Complex Systems10(01), 53-71.

Kementerian Keuangan RI. (2022). Potensi pemulihan ekonomi nasional dari UMKM.             [online] diakses pada 29 Januari 2024 melalui            <https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/15199/Wadah-UMKM-          KEMENKEU-Aplikasi-Model-Satu-Paket-Kemudahan-Sistem-Untuk-    Kesejahteraan-Bangsa.html>

Kompas. (2023). Peningkatan kualitas konsumsi rumah tangga jadi tantangan. [online]      diakses pada 29 Januari 2024 melalui    <https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/08/07/peningkatan-kualitas-          konsumsi-rumah-tangga-jadi-tantangan>

Mazzucato, Mariana. (2018). Mission-oriented innovation policies: Challenges and opportunities. Oxford: Industrial and Corporate Change

Statista. (2021). Value of high-tech exports from Shenzhen from 2011 to 2021. [online] diakses pada 26 Desember 2022 melalui          <https://www.statista.com/statistics/1027006/china-exports-of-high-tech-   products-to-shenzhen/>

Statista. (2021). California-real GDP 2000-2021. [online] diakses pada 26 Desember 2022 melalui<https://www.statista.com/statistics/187834/gdp-of-the-us-federal-state-of-          california-since-1997/>

Suhanda, Nopriyanto., dan Swasono, Dwinanda. (2023). A strong middle class is the backbone of Indonesia’s economy. [online] diakses pada 29 Januari 2024 melalui <https://eastasiaforum.org/2023/03/17/a-strong-middle-class-is-the-            backbone-of-indonesias-economy/>

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.