Polemik Sumber Polusi Udara Pemerintah vs Nonpemerintah: Pentingnya Keterbukaan Data Emisi PLTU
brief article, Perubahan IklimPeningkatan Penyakit Akibat Kualitas Udara
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mengalami peningkatan seiring rendahnya kualitas udara. Data Kementerian Kesehatan menunjukan peningkatan ISPA non-pneumonia di wilayah Jabodetabek pada 29 Agustus hingga 6 September 2023 mencapai 90.546 orang. Perlu dipahami bersama bahwa rendahnya kualitas udara tidak hanya disebabkan oleh emisi PM 2.5, yang merupakan parameter untuk mengukur kualitas dan tingkat polusi udara. Lebih dari itu, emisi polutan lain, seperti SO2 dan NOx, yang berasal dari sumber seperti pembakaran bahan bakar fosil, kendaraan bermotor, industri, dll. juga berkontribusi dalam pembentukan partikel PM 2.5. Menurut laporan Air Quality Index (AQLI, 2021), pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, tidak hanya secara langsung meningkatkan konsentrasi PM 2.5, tetapi juga berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Polemik Sumber Polusi Udara
Pemerintah dan aktor nonpemerintah mencapai ketidaksepakatan tentang apa yang menjadi penyebab polusi udara. Situasi ini menyebabkan polemik yang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Pada rapat terbatas pertama, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menampik bahwa PLTU bukan merupakan sumber polusi udara, melainkan sektor transportasi (sebesar 44%) sebagai penyebab utama rendahnya kualitas udara dan diikuti industri energi (25,17%), manufaktur industri (10%), perumahan (14%) dan komersial (1%). Sejalan dengan hal itu, Katadata Insight Center mengeluarkan data hasil survei di bulan Agustus 2023 tentang persepsi masyarakat terhadap pencemaran udara. Hasil survei tersebut menempatkan sektor transportasi (82,2%) sebagai peringkat pertama sumber pencemaran udara, diikuti oleh pembakaran sampah (72,3%), asap rokok (57%), dan kebakaran hutan (54,4%). Sedangkan PLTU batubara berada pada peringkat kelima (39,8%) sebagai sumber pencemaran udara.
Data pemerintah tersebut diperkuat oleh pendapat akademisi dan pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, yang meyakini bahwa polusi udara di Jakarta bukan bersumber dari beroperasinya sejumlah PLTU di sekitar Jabodetabek. Karena pembangkit–pembangkit tersebut memiliki emisi karbon rendah dan telah memenuhi ketentuan Peraturan Menteri (Permen) KLHK no 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Sehingga tidak mencemari udara.
Direktur Utama PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha, juga menyatakan bahwa PLTU Suralaya telah memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengurangan operasional PLTU Suralaya sebanyak 4 unit, setara 1600 Megawatt (MW) pun dilakukan sebagai respon terhadap pandangan bahwa PLTU berkontribusi pada polusi Jakarta. Namun nyatanya polusi di Jakarta tetap tinggi.
Berbeda dengan pemerintah, CREA (2023), lembaga riset independen, mengeluarkan analisa yang menunjukan bahwa sektor utama penyebab polusi udara yang terjadi di Jakarta antara tahun 2020 hingga 2023 diantaranya adalah pembangkit listrik, industri, transportasi, dan pembakaran lahan terbuka. Pandangan bahwa PLTU batubara tidak berkontribusi signifikan terhadap polusi udara di Jakarta berseberangan dengan hasil studi yang dilakukan oleh CREA dan IESR, 2023 tentang “Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia”. Studi tersebut menyatakan bahwa PLTU yang berlokasi di sekitar Jakarta (PLTU Suralaya, PLTU Lontar, PLTU Banten, PLTU Cirebon 1 dan 2, PLTU
Batang, dan PLTU Tanjung Jati) menjadi kontributor dominan tingginya polusi udara di Jakarta.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), lembaga non pemerintah, juga berpendapat jika masalah polusi udara di Jakarta akibat dari polutan yang terbawa angin dari PLTU batubara yang tidak jauh dari ibu kota. Mengacu pada data Global Energy Monitor, ada 16 PLTU batubara yang letaknya tidak jauh dari Jakarta, di mana sepulu (10) PLTU di Banten dan enam (6) lainya di Jawa Barat. Nafas, aplikasi penyedia data kualitas udara, juga melansir jika PLTU merupakan penyumbang besar polusi udara yang disebabkan oleh lokasi delapan PLTU batubara yang beradius 100 km dari Jakarta.
Melihat dampak negatif PLTU batubara, penghapusan penggunaan batubara di Indonesia pada tahun 2040 yang sesuai dengan target Persetujuan Paris (Paris Agreement) setidaknya akan menghindarkan 182.000 kematian yang ditimbulkan oleh polusi udara serta mengurangi beban biaya kesehatan mencapai USD 130 miliar (1,9 kuadriliun rupiah) hingga 2060 (CREA & IESR, 2023). Sejauh ini, perbedaan data sumber polusi udara baik antara pemerintah dan lembaga nonpemerintah perlu menjadi perhatian serius sebagai fondasi dalam penentuan program kebijakan publik. Walaupun pada rapat terbatas kedua, KLHK telah merevisi sumber polusi udara Jabodetabek menjadi 44% berasal dari kendaraan, 34% PLTU, disusul industri, rumah tangga dan sumber lainnya.
Keterbukaan Data
Diskursus terkait sumber polusi udara perlu didukung dengan keterbukaan dan sumber data yang valid. Data yang kredibel akan menjadi dasar pengambilan keputusan, kebijakan, dan program yang baik. Belajar dari polemik sumber polusi ini, seyogyanya pemerintah dapat memberikan akses data dan informasi dari seluruh sumber pengemisi. Misalnya saat ini yang menjadi perdebatan adalah apakah PLTU juga merupakan kontributor utama terhadap penurunan kualitas udara? Alih-alih mengelak data-data yang tidak sama dengan pemerintah, akan lebih baik jika pemerintah dapat memberikan akses keterbukaan data. Hal ini dapat menjadi peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam mendukung pemerintah melalui monitoring emisi PLTU, pemantauan kebijakan terkait polusi udara, dan program-program yang ada di lapangan.
Ragam data sumber polusi yang tersedia baik dari pemerintah dan nonpemerintah menjadi tantangan tersendiri dalam menginterpretasi dan menarasikannya ke publik. Keterbukaan data emisi PLTU tentu akan membantu dalam mengelola dampak penggunaan energi, khususnya terhadap kesehatan publik. Baik pemerintah dan nonpemerintah harus memastikan bahwa sumber data emisi terbuka untuk publik. Sehingga publik dapat membandingkan secara langsung dan terbuka atas perbedaan yang ada. Namun demikian, hingga saat ini keterbukaan data emisi PLTU belum menemukan titik terang. Hal itu juga yang menjadi faktor ketidakpastian bagaimana PLTU berpengaruh terhadap rendahnya kualitas udara, tidak hanya di wilayah Jabodetabek tapi juga seluruh Indonesia. Mengingat isu kualitas udara merupakan isu lintas batas. Keterbukaan data emisi PLTU akan menekan polemik sumber polusi dan dapat menjadi acuan masyarakat dalam memahami dasar pengambilan keputusan dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Haruskah menutup PLTU seperti yang sudah dilakukan oleh India, misalnya. Pada 2021 silam, parahnya polusi udara juga sempat terjadi di New Delhi, ibu kota India. Pemerintah India memutuskan untuk menutup lima pembangkit listrik tenaga PLTU Batubara. Saat itu, India memiliki kadar partikulat tujuh kali lipat di atas batas aman yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mencapai 300 mikrogram. Pada saat itu, sekitar 70% pasok energi listrik India berasal dari bahan bakar fosil. Pembangkit batubara tersebut menghasilkan listrik mencapai 200 Gigawatt (GW). Dalam konteks Indonesia, boleh jadi terdapat strategi lain yang relevan untuk diterapkan dalam upaya menekan polusi.
Keterbukaan data dan informasi sumber polusi, termasuk PLTU batubara di Indonesia, menjadi krusial dalam upaya menganalisis dan memahami akar permasalahan polusi udara. Termasuk menentukan strategi jangka pendek dan panjang yang perlu dilakukan. Pendapat bahwa emisi PLTU merupakan rahasia dagang perusahaan yang tidak berkaitan dengan kebijakan publik dan kekhawatiran penolakan apabila data emisi PLTU dapat diakses publik perlu dikritisi bersama. UU Keterbukaan Informasi Publik No.14/2008, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri LHK Nomor
P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 dapat menjadi landasan keterbukaan informasi emisi PLTU untuk publik. Aksesibilitas data tersebut tentu dapat membantu anailsa yang lebih akurat serta edukasi mitigasi risiko kepada masyarakat khususnya di tingkat akar rumput.
Terlepas dari polemik sumber polusi udara, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan dengan serius. Percepatan transformasi pembangkit energi fosil (batubara) ke sumber energi ramah lingkungan, dekarbonisasi sektor industri yang didukung dengan keterbukaan informasi data emisi industri dan kepatuhan standar baku mutu lingkungan, serta partisipasi dan keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya transformasi energi dibutuhkan untuk mendorong kualitas udara yang lebih baik serta menjamin transisi energi yang berkeadilan. Transisi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan akan menurunkan emisi, memberikan dampak berganda baik dari aspek ekonomi, kesehatan, sosial, serta turut andil dalam mendukung pemenuhan hak atas udara bersih. Momentum rendahnya kualitas udara sejatinya dapat menjadi pembelajaran bahwa kebutuhan dasar manusia termasuk di dalamnya udara, energi, air yang bersih dan terjamin bukan hal yang dapat dikompromikan.
Referensi
CNBC, “Bukti Nyata PLTU Bukan Biang Utama Polusi Jakarta”, 04 September 2023. https://www.cnbcindonesia
Dunia Energi, “KLHK Sebut PLTU Bukan Sumber Polusi di Jakarta”, 16 September 2023.
Katadata, “Apa Sumber Pencemaran Udara di Indonesia”, 23 Agustus 2023.
https://databoks.katadata.co.id
Kompas, “ISPA Kembali Meningkat Mayoritas Pasien Usia Produkti”, 09 September 2023. https://www.kompas.id
Kompas, “Polusi Udara Semakin Parah, India Hentikan Sementara Lima PLTU”, 18 November
Kompas, “ PLN Digugat Buka Data Emisi PLTU Suralaya dan Ombilin”, 13 September 2023.
Lee and Greenstone, 2021. Polusi Udara Indonesia dan Dampaknya Terhadap Usia Harapan
Hidup. Air Quality Life Index.https://aqli.epic.uchicago.edu.
Media Indonesia, “Pengamat: PLTU Bukan Biang Kerok Parahnya Polusi di Jakarta”, 16
Agustus 2023.https://mediaindonesia.com
Myllyvirta, Lauri dkk, 2023. “Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia”.Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Institute for Essential Services Reform (IESR)
Myllyvirta, Lauri, 2023.“Work From Home (WFH) and other gimmicks cannot clear Jakarta’s air”.
Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA).https://energyandcleanair.org
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008. Keterbukaan Informasi Publik
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri (PERMEN) No.15. 2019. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal.
Peraturan Menteri (PERMEN) No. P.18/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018. Pelayanan Informasi
Publik di Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!