Konsep Konsumsi Pangan Berkelanjutan di Toko Kelontong Bhumi Bhuvana, Yogyakarta
brief article, Perubahan IklimPangan merupakan salah satu sumber kebutuhan pokok manusia yang berkorelasi terhadap segala aspek kehidupan yaitu lingkungan, kesehatan, sosial, politik dan ekonomi. Isu Konsumsi pangan dan makanan merupakan topik permasalahan global yang sangat penting beberapa tahun terakhir, dimana sudah banyak dilakukan studi akan pandangan dramatis tentang kehilangan dan pola konsumtif makanan di banyak negara. Hal ini terjadi, seiring dengan masifnya produk industrialisasi dan terbentuknya kebijakan pangan yang tidak selaras dengan alam. Sistem pertanian modern dengan penggunaan pupuk pestisida berlebih, pengenalan tetanaman tunggal (monokultur), masifnya konversi hutan untuk bercocok tanam dan memelihara hewan ternak yang mengancam keanekaragaman hayati seperti eksploitasi tanaman dan hewan di habitatnya, populasi, dan penyebaran spesies invasif (Arif, 2020)
Begitu pula dengan sistem peternakan yang menggunakan pakan ternak kaya akan kandungan kimia agar cepat mencapai berat sesuai dengan standarisasi pasar. Sistem pertanian dan peternakan modern yang tidak berkelanjutan ini menjadi salah satu penyebab utama perubahan iklim, dengan menyumbang 20-25 persen emisi gas rumah kaca (McMahon, 2017; Arif, 2020a; Pocol, Marinescu, Amuza and Cadar, 2020). Di samping itu, proses konsumsi makanan pun menyumbang food waste yang sangat besar (McMahon, 2017; Wilson, 2019; Arif, 2020).
Menurut kajian Bappenas, sampah makanan yang terbuang di Indonesia pada 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun (115-184 kilogram per kapita setiap tahunnya) (Bappenas, 2021). Kemudian, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022, di antara semua jenis sampah yang dibuang, sampah sisa makanan menjadi komposisi sampah yang paling banyak yaitu sebesar 40,7 persen dari total sampah dengan sektor rumah tangga menjadi sumber sampah terbesar yaitu sebesar 38,3 persen (KLHK, 2022). Mengingat urgensi perubahan iklim dan krisis lingkungan yang dihasilkan, tahap produksi dan konsumsi pangan menjadi salah satu target transformasi sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim.
Salah satu upaya menuju transformasi tersebut adalah konsep dan praktek konsumsi pangan berkelanjutan atau sustainable food consumption. Sistem berkebun dan pertanian permakultur menjadi sebuah upaya menuju pangan yang berkelanjutan dengan memperhatikan ekosistem alam, seperti menggunakan pupuk organik, menanam tanaman lokal, tidak menggunakan produk pangan genetically modified organism (GMO) dan lain sebagainya. Namun, semakin sempitnya lahan tanah di perkotaan, keterbatasan waktu, serta pengetahuan masyarakat menjadi faktor dalam penghambat. Oleh karena itu, toko kelontong (bulk store) dengan konsep berkelanjutan hadir menjadi gerakan alternatif yang menunjang produk pangan berkelanjutan bagi masyarakat perkotaan di kota-kota besar Indonesia.
Bhumi Bhuvana hadir dalam bentuk sebuah toko kelontong (bulks store) yang dibangun secara mandiri oleh Bukhi Prima Putri (kerap disapa Bukhi) dengan konsep berkelanjutan terhadap aspek sandang, pangan, papan dan sadar (lapisan paling dasar agar saling bersinergi secara relevan). Toko kelontong ini berdiri pada Mei 2022 yang berlokasi di kampung turis yaitu Jl. Prawirotaman 2 dengan memiliki beberapa aktivitas di dalamnya yaitu sebagai toko kelontong yang menjual produk sustainable, alih pawon, magic table, workshop, dan sebagai perpustakaan. Selain itu, juga sebagai tempat tinggal Bukhi sejak 2019 dalam mempraktikkan gaya hidup yang relevan.
Bhumi Bhuvana menjadi sebuah ruang bisnis personal dengan konsep bisnis berkelanjutan triple bottom line yang terdiri atas Sosial (People), Lingkungan (Planet), dan Ekonomi (Profit) (3P) (Rogers and Ryan, 2001). Membangun bisnis yang dapat menjadi solusi untuk masyarakat, lingkungan, dan ekonomi kepada lingkungan disekitar hingga lingkup yang lebih luas. Toko ini menjadi ruang personal untuk mempraktikkan berbagai eksperimen akan gaya hidup hidup sustainable, salah satunnya terkait pangan dan makanan berkelanjutan. Hal ini bertujuan guna menjawab visi dan misi hidup Bukhi. Ia memiliki visi membangun peradaban kecil yang relevan, dengan misi mengobservasi dan mempraktikkan berbagai pola hidup berkelanjutan (sustainable) agar terbentuk laku hidup yang relevan di dalam kehidupan sehari-hari.
Pangan dan makanan Berkelanjutan di Bhumi Bhuvana
Terjadi proses pengkurasian produk pangan dan makanan di toko guna mengetahui sejauh mana pangan dan makanan dikatakan sustainable. Secara umum, produk pangan dan makanan dapat dikatakan berkelanjutan ketika memperhatikan aspek sosial (mensejahterakan pekerja dan hewan), aspek lingkungan (menggunakan sumber daya alam yang berkelanjutan dan membayar emisi karbon dioksida (CO2) yang telah dikeluarkan), dan aspek ekonomi (harga produk sesuai dengan kualitas barang dan terjadi keadilan harga antara produsen dan konsumen) dari proses produksi hingga distribusi (Pocol et al., 2020).
Berdasarkan prinsip tersebut, Bhumi Bhuvana memiliki standar pangan dan makanan yang di jual belikan dapat disebut berkelanjutan (sustainable) ketika terdiri atas 5 aspek yaitu lokal, sehat, ramah lingkungan, etis, dan berkualitas (Wongprawmas et al., 2021). Tujuan utama dilakukannya pengkurasian produk di toko agar tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang ada dilingkungan sekitar terhadap permasalahan ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya. Hal ini disampaikan secara langsung oleh pemilik toko kelontong Bhumi Bhuvana,
“di Bhubhu kriteria sustainable itu kriterianya adalah satu dia harus lokal, yang kedua dia sehat, karna belum tentu kalo dia lokal dia sehat dan belum tentu dia sehat itu lokal. Apakah lokal ramah lingkungan? bisa jadi belum tentu juga, kebanyakan iya, karna penggunaan karbonnya ya. Tapi, kalo misalnya lokal dapetnya pestisida ya jadinya gak ramah lingkungan juga. Terus dia ramah lingkungan, belum tentu sehat itu ramah lingkungan, jadi harus ramah lingkungan juga. Terus tiga, etis. Nah, yang terakhir kalo di aku itu masalah kualitas. Ini ngomongin soal lebih ke sensori ya, jadi rasanya enak kah atau apa gitu.” (Bukhi, Wawancara Maret 2023)
Dengan demikian, Bukhi berusaha menjual produk pangan berkelanjutan dan minim sampah di Bhumi Bhuvana yang berasal dari hasil kebun sendiri, hasil tani lokal, dan hasil kerajinan masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa dan sekitarnya berdasarkan standar lima aspek di atas. Asal produk tersebut seperti temulawak bubuk berasal dari Agradaya, bawang merah segar dari Gunung Kidul, kacang-kacangan dan aneka beras dari Kedai Sehat Pagesangan, Gunung Kidul, aneka garam dan gula diambil dari beberapa kota Jawa dan Bali, dan lain sebagainya. Selain itu terdapat beberapa bahan pangan dan makanan impor yang bertujuan sebagai perbandingan akan kualitas bahan dan karena adanya permintaan, tetapi belum ada yang memproduksi bahan impor di Indonesia.
Peran Bhumi Bhuvana terhadap konsumsi pangan berkelanjutan di Yogyakarta
Toko kelontong Bhumi Bhuvana dirancang dengan konsep “Toko Ngobrol” – ruang belajar dan mempraktikkan gaya hidup yang selaras dengan alam (relevan) – yang bertujuan untuk mengedukasi berbagai jenis pangan dan makanan lokal yang terdapat di toko maupun yang tersaji di meja makan. Bukhi memperkenalkan hal-hal mendasar dalam kehidupan sehari-hari terkait “Bagaimana mencapai konsumsi pangan yang relevan?”. Berbagai proses yang diupayakan oleh Bukhi ini menjadi topik edukasi yang sangat personal terhadap konteks permasalahan pola konsumsi pangan dan makanan di era modern saat ini yang serba instan (Tumiwa-Bachrens, 2016).
Proses transfer edukasi mengenai pangan dan makanan berkelanjutan ini terjadi ketika memasak bersama dan saat mengonsumsinya. Selain itu, terjalin interaksi sosial selama kegiatan berlangsung yang menciptakan koneksi pertemanan baru (Gilin and Gilin, 1942; Soekanto, 1990). Hampir setiap kegiatan berlangsung, peserta yang hadir memiliki latar belakang daerah, budaya, suku, etnis dan bahkan bahasa yang berbeda. Pihak satu sama lain pun saling bertukar informasi, cerita, dan pengetahuan mengenai pola konsumsi yang sedang atau pernah dijalankannya. Mereka membagikan pengalaman rasa secara verbal maupun non-verbal (ekspresi dan gerak tubuh) ketika menyantap menu hidangan makanan yang disajikan (Rahman, 2016). Dominan pengunjung yang datang sejauh ini yaitu pemuda Yogyakarta yang tertarik dengan pangan berkelanjutan, masyarakat Jabodetabek dan mancanegara yang sedang berlibur, mengingat lokasi toko yang merupakan kampung pariwisata dan desain bangunan toko yang unik.
Bhumi Bhuvana diharapkan menjadi ruang inklusif untuk belajar hidup selaras dengan alam secara sadar melalui berbagai eksperimen dan observasi yang telah dilakukan Bukhi. Di samping itu, peradaban ideal yang dijalankan oleh Bukhi ini dapat diadopsi oleh individu atau bahkan komunitas lain. Hadirnya toko Kelontong (bulk store) ini pun diharapkan dapat berperan serta dalam mengatasi permasalahan konsumsi pangan – food waste – dimana Indonesia penyumbang kedua terbesar di dunia. Toko Kelontong berkearifan lokal juga turut berperan dalam mengatasi permasalahan food waste. Hal ini disampaikan oleh Bukhi saat diwawancarai oleh kanal berita Kompas.com,
“Pangan penyumbang paling gede untuk food waste dari hulu ke hilir sebesar 60 persen. Untuk membangun kesadaran harus punya pengalaman dari hulu ke hilirnya, ketika orang makan mungkin mereka nggak sadar bahwa proses dan upayanya panjang. Semakin lengkap pengalaman hulu ke hilir semakin menghargai makanan.” (Bukhi, Wawancara dengan Wisnu Nugroho, Maret 2023)
Dalam hal ini, toko kelontong Bhumi Bhuvana menjadi sebuah agensi bisnis berskala mikro di Yogyakarta yang memperjualbelikan produk pangan berkelanjutan dengan memperhatikan produk yang akan di jual dari proses produksi hingga distribusi (cara menanam, cara penyimpanan, pemprosesan, pengemasan, kesejahteraan pekerja, emisi yang dihasilkan). Toko kelontong yang mengedukasi konsumen melalui pengalaman intimasi saat memasak dan mengobrol bersama.
Tantangan Praktik Bulk Store di Indonesia
Kemunculan bulk store memberikan alternatif pada masyarakat perkotaan yang hendak mencari pangan berkelanjutan dan sehat. Disamping itu, juga membantu mengedukasi masyarakat bahwa, “ada pangan yang berkelanjutan”. Namun, tantangan praktik bulk store ini yaitu seringkali harga produk yang dijual lebih mahal ketimbang di pasar tradisional dan modern pada umumnya menjadikan konsumen mereka masih dalam skala sempit. Kecenderungannya merupakan masyarakat kalangan ekonomi menengah ke atas yang menerapkan gaya hidup relevan dan sehat. Harga produk pangan dan makanan di bulk store yang cenderung lebih mahal ini karena sesuai dengan standar harga produksi hingga distribusi, dikatakan berkelanjutan dengan memperhatikan kesejahteraan dan kelestarian aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.
Guna terciptanya inklusif pangan pada seluruh kalangan masyarakat diperlukan perubahan perilaku dengan fokus terhadap pengembangan lembaga penyuluhan di daerah terutama terhadap generasi muda, peningkatan kapasitas pekerja pangan, dan edukasi kepada konsumen untuk meningkatkan pengetahuan (Lovett, 2016, Bappenas, 2021). Selain itu, diperlukan pengembangan korporasi petani serta menyediakan aksesibilitas infrastruktur dan sarana prasarana yang mendukung efisiensi proses produksi pangan agar makanan dapat bertahan lama (Lovett, 2016, Bappenas, 2021).
Maka dari itu, untuk mencapai konsumsi pangan berkelanjutan, pemasar harus mengkomunikasikan kepada konsumen mengenai proses produksi, asal, bahan yang digunakan, transmisi produk, dampak terhadap lingkungan, kemasan yang digunakan dan kemungkinan limbah yang akan dihasilkan. Sehingga, konsumen mendapatkan edukasi seputar pentingnya mengonsumsi pangan berkelanjutan ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari guna mencapai kelestarian alam dan kesehatan tubuh, serta meningkatnya kepercayaan akan produk yang dijual.
Pangan berkelanjutan tidak hanya mengenai keberagaman pangan, kecukupan pangan, melainkan juga pada aspek terpenuhinya nutrisi dan permasalahan lingkungan food waste dan food loss terhadap tanah, air dan udara. Namun, juga diperlukan kebijakan sistem pangan berkelanjutan secara masif baik pada skala lokal dan nasional. Seperti yang disampaikan oleh penulis buku SORGUM: Benih Leluhur untuk Masa Depan yaitu,
“..bukan hanya satu dua kelontong dan seterusnya, tapi memang harusnya semuanya sudah memperhitungkan itu. dukungan perbaikan sistem yang memberikan atau pemerintah seharusnya juga bahkan mau memberikan subsidi kepada petani yang mau menanam organik misalnya. Nah itu, dibutuhkan karna kalau enggak gerakan-gerakan seperti ini akan eksklusif, tidak akan bisa meluas gitu. Akhirnya yang menikmati makanan yang berkelanjutan orang-orang yang punya duit lebih kan. (Ahmad Arif, Wawancara Online, Mei 2023)
Secara keseluruhan, bulk store dengan konsep bisnis berkelanjutan salah satunya Bhumi Bhuvana, turut serta berperan dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim dan krisis pangan lokal. Namun, dalam memastikan produk pangan yang benar-benar berkelanjutan dari segi lingkungan dan etika merupakan hal yang rumit dan perlu konsisten setiap waktu. Di samping itu, menemukan keseimbangan antara harga yang terjangkau dan keberlanjutan pun menjadi tantangan melihat persepsi bahwa pangan berkelanjutan lebih mahal.
Oleh karena itu, untuk terciptanya keberlangsungan bulk store, penjual perlu terus menggali pengetahuan akan pangan berkelanjutan, melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap evaluasi toko, serta menjaga komitmen pada transparansi mengenai asal-usul produk, cara produksi dan dampak lingkungan untuk membangun kepercayaan pelanggan.
Referensi
Arif, A. (2020) SORGUM: Benih Leluhur untuk Masa Depan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Bappenas. (2021). Food Loss and Waste di Indonesia. Available at: https://grasp2030.ibcsd.or.id/2022/07/07/bappenas-study-report-food-loss-and-waste-in-indonesia-supporting-the-implementation-of-circular-economy-and-low-carbon-development/.
Gilin, J. L. and Gilin, J. P. (1942) ‘General Social Process: Interaction’, in An Introduction to Sociology. New York: The Macmillan Company, pp. 584–601.
Goodland, R. (1995) ‘The Concept of Environmental Sustainability’, Environmental Sustainability, 26, pp. 1–24.
KLHK. (2022). ‘Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional 2022’. Available at: https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/.
Lovett, G. (2016) ‘Is urban farming only for rich hipsters?’, The Guardian. Available at: https://www.theguardian.com/sustainable-business/2016/feb/15/urban-farming-rich-hipsters-food-affordability-inequality.
McMahon, P. (2017) Berebut Makan: Politik Baru Pangan.
Pocol, C. B. et al. (2020) ‘Sustainable vs. unsustainable food consumption behaviour: A study among students from Romania, Bulgaria, and Moldova’, Sustainability (Switzerland). Department of Animal Production and Food Safety, University of Agricultural Sciences and Veterinary Medicine of Cluj Napoca, Cluj-Napoca, 400372, Romania: MDPI, 12(11). doi: 10.3390/su12114699.
Rahman, F. (2016) Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama.
Rogers, M. and Ryan, R. (2001) ‘The Triple Bottom Line for Sustainable Community’, 6, pp. 279–289. doi: 10.1080/13549830120073275.
Soekanto, S. (1990) Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Kedua. JAkarta: CV Rajawali.
Tumiwa-Bachrens, I. (2016) Eating Clean. Kawan Pustaka.
Wilson, B. (2019) ‘The Food Transition’, in The Way We Eat Now. An Imprint of Harper Collins Publisher, pp. 17–72.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!