Alternatif Masa Depan Ekonomi Digital

,

Secara global, perusahaan platform digital tidak memproduksi barang dan jasa tapi menyediakan infrastruktur yang memungkinkan perdagangan barang dan jasa oleh siapapun. Uber adalah perusahaan layanan transportasi tanpa memiliki aset kendaraan, AirBNB menyediakan layanan akomodasi komersil tanpa memiliki aset hotel atau properti. Hal baru yang dilakukan oleh perusahaan ini bukanlah pada jenis lapangan pekerjaan yang ditawarkan, tapi bagaimana pekerjaan-pekerjaan ini diorganisir.

Yang menarik adalah, platform digital tidak hanya menjadi penyedia lapak untuk berdagang saja tetapi juga berperan lebih besar dalam mengatur transaksi, misalnya: mempertemukan supply dan demand melalui algorithmic matching, menentukan harga barang atau jasa. Pada prakteknya perusahaan aplikasi mampu mengorganisir pasar dan mengubah logika institusi pasar dan korporasi dengan cara yang baru. Di saat yang sama, perusahaan aplikasi berperan sebagai regulator yang mengatur pekerja ‘gig’ sebagai mitra bisnis yang berdiri sendiri tapi masih banyak membatasi kebebasan mereka dalam berusaha. Tulisan ini akan membahas bagaimana ekonomi digital mendefinisikan ulang ketiga logika institusi tersebut.

Tiga Simpul Logika Ekonomi Digital

Pertama, platform digital memiliki kemampuan untuk membuka transaksi jual beli barang dan jasa. Ini dilakukan secara multilateral oleh siapa saja (peer-to-peer market). Menurut Frenken, dll (2020) fitur ini memfasilitasi munculnya “logika pasar paralel”. Di satu sisi ada persaingan antar platform di pasar layanan perantara (misalnya Gojek vs Grab, Tokopedia vs Shopee, Tiket.com vs Traveloka). Dalam kompetisi ini, setiap platform berjuang untuk menjadi pemain dominan. Salah satunya adalah strategi penguatan ekosistem digital. Di sisi lain, platform digital juga menciptakan persaingan pasar bagi penjual produk dan layanan lain di dalam aplikasi untuk menjangkau konsumen. Persaingan ini juga menggunakan logika pasar bahwa penjual atau penyedia jasa dibayar dan dinilai berdasarkan penilaian konsumen.

Kenyataannya, logika persaingan pasar antar platform digital lebih dominan daripada persaingan pasar antar pengguna platform. Misalnya, beberapa perusahaan aplikasi fokus pada penerapan strategi untuk bersaing demi loyalitas pemilik modal daripada mempertahankan loyalitas pengguna aplikasi yang merupakan vendor atau penyedia layanan di platform mereka.

Kedua, menurut Fuenfschilling dan Frenken (2020) platform digital juga menciptakan logika korporasi paralel pada saat yang sama. Dengan kata lain, baik perusahaan aplikasi maupun pengguna aplikasi dapat dipahami sebagai pelaku usaha, perusahaan berperilaku seperti perusahaan, dan pengguna berperilaku seperti pengusaha UMKM. Dalam beberapa praktik, posisi pengguna aplikasi tidak sebebas UMKM lainnya dan sangat bergantung pada regulasi perusahaan aplikasi. Meski sudah dinyatakan sebagai mitra bisnis, masih banyak pengguna aplikasi yang tidak bisa mengembangkan bisnisnya hanya dengan peluang yang ditawarkan aplikasi. Begitupun dengan penyedia jasa dalam aplikasi, mereka tidak memiliki jenjang karir profesional ataupun kepastian masa depan profesi. Penyedia jasa pada platform digital tidak dapat dengan mudah berganti profesi karena tidak dapat mentransfer keterampilan dan pengalaman yang mereka sudah miliki saat bekerja di satu aplikasi.

Ketiga, platform digital juga setidaknya mengubah logika negara dalam mengatur transaksi ekonomi. Menurut Van Dijk (2018) platform digital memiliki kemampuan sebagai ‘private regulator‘ yang menentukan siapa yang bisa masuk dan keluar dalam ekosistem mereka. Sebelumnya, logika negara lebih bersifat ex-ante performance dimana calon peserta sebuah institusi harus memenuhi syarat dan proses tertentu sebelum masuk menjadi anggota. Misalnya: syarat ijazah, kualifikasi keahlian, dan/atau minimum pengalaman kerja. Saat ini, platform digital cenderung menghapuskan atau mengurangi syarat untuk masuk menjadi pengguna aplikasi dan menggunakan logika ex-post performance yang artinya mengatur perilaku dan bahkan bisa mengeluarkan pengguna jika tidak sesuai dengan standar performa yang diatur oleh perusahaan aplikasi. Kebaruan logika institusi negara yang dilakukan oleh platform digital adalah kemampuan untuk mengatur perilaku pengguna aplikasi layaknya pekerja tanpa harus merekrut pengguna sebagai pegawai.

Rekomendasi Kebijakan

Momentum kepemimpinan Indonesia dalam berbagai forum regional dan global menjadi kesempatan Indonesia untuk menavigasi masa depan tata kelola ekonomi digital. Dari berbagai inisiatif dan program yang telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia, akan bijak jika mempertimbangkan secara mendalam bagaimana inisiatif dan program tersebut menangani dan mengurai setidaknya satu dari tiga simpul logika institusi yang terdisrupsi oleh platform digital.

Misalnya saja jika berkaca pada carut-marutnya pengelolaan ekonomi digital di sektor transportasi dan logistik, dari ketiga simpul logika institusi sebelumnya ada setidaknya ada tiga alternatif tata kelola yang bisa dipertimbangkan:

Alternatif pertama adalah membenahi simpul logika pasar dengan menyetarakan kompetisi pasar antar pengguna aplikasi. Alternatif ini mendorong institusionalisasi platform digital sebagai penyedia pasar yang memfasilitasi transaksi ekonomi tapi tidak mengatur pengguna aplikasi layaknya tenaga kerja. Jika perusahaan aplikasi menerapkan logika pasar sepenuhnya, maka mereka perlu mendesentralisasi keputusan kepada masing-masing pengguna aplikasi untuk menentukan dengan siapa mereka bertransaksi dan dengan biaya berapa.

Alternatif kedua adalah membenahi simpul logika korporasi salah satunya dengan menetapkan pengguna aplikasi sebagai pegawai aplikasi. Dalam hal ini, platform digital akan terinstitusionalisasi layaknya korporasi di rezim saat ini. Perusahaan bisa mengontrol perilaku pengguna aplikasi sesuai standar, tapi di sisi lain perusahaan menyediakan penghasilan reguler dan jaminan perlindungan tenaga kerja bagi pengguna aplikasi.

Alternatif ketiga adalah menyeimbangkan simpul logika ‘private regulator’ dengan menguatkan peran negara sebagai ‘public regulator‘. Tanggung jawab untuk menavigasi masa depan ekonomi digital tidak bisa hanya diserahkan sepenuhnya pada perusahaan aplikasi. Peran pemerintah diperlukan terutama untuk mengurangi ketergantungan pengguna aplikasi pada peraturan perusahaan. Langkah-langkah yang bisa dipertimbangkan antara lain; menyediakan ruang-ruang negosiasi yang lebih setara antara perusahaan aplikasi dan pengguna aplikasi, menyediakan opsi-opsi yang memungkinkan pengguna aplikasi memiliki masa depan profesi yang lebih terjamin.

Ketiga alternatif yang ditawarkan ini bisa diseleksi sesuai dengan skala prioritas dan konteks di setiap sektor ekonomi digital. Selain itu, jika satu alternatif dipilih sebagai logika kebijakan bukan berarti alternatif tata kelola yang lain tidak bisa dijalankan. Opsi koeksistensi berbagai alternatif tata kelola juga patut dipertimbangkan mengingat navigasi transisi ekonomi digital adalah kerja dan tanggung jawab bersama karena dampaknya yang bersifat multi-sektoral dan multi-layer.

Momentum kepemimpinan Indonesia di berbagai forum menjadi kesempatan Indonesia untuk mendorong masa depan ekonomi digital yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Referensi

Frenken, K. (2017). Political economies and environmental futures for the sharing economy. Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences, 375(2095), 20160367.

Frenken, K., Vaskelainen, T., Fünfschilling, L., & Piscicelli, L. (2020). An institutional logics perspective on the gig economy. In Theorizing the sharing economy: Variety and trajectories of new forms of organizing. Emerald Publishing Limited.

Van Dijck, J., Poell, T., & De Waal, M. (2018). The plaGorm society: Public values in a connective world. Oxford University Press.

.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.