Indonesia dan Tantangan Krisis Iklim: Menelaah Mikroalga sebagai Alternatif Bioenergi Potensial untuk Indonesia

,

Krisis iklim telah menjadi tantangan besar bagi negara-negara di dunia pada abad ke-21 ini (Mazzucato, 2018). Tentunya termasuk Indonesia yang menghadapi dua tantangan utama terkait krisis iklim. Pertama, Indonesia perlu menyelamatkan wilayah pesisirnya dari tenggelam oleh kenaikan permukaan air laut. Posisi sebagai negara kepulauan membuat pesisir Indonesia rawan terdampak oleh kenaikan permukaan air laut akibat krisis iklim (BBC, 2020). Lebih lagi, Jakarta merupakan kota yang paling terancam tenggelam oleh naiknya permukaan air laut (The Jakarta Post, 2020). Padahal Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB sebesar Rp2.914 triliun (Katadata, 2022). Sebuah kerugian ekonomi besar bila Indonesia kehilangan Jakarta. Belum lagi berbagai kota penting lain di pesisir seperti Semarang, Surabaya, dan Makassar. Kedua, Indonesia perlu menyelamatkan potensi pertaniannya dari ancaman krisis iklim. Indonesia merupakan negara penghasil beras terbesar ketiga di dunia (CNBC, 2022). Produksi beras yang stabil penting untuk menjamin ketersediaan suplai atas konsumsi domestik. Selain itu, potensi permintaan dari ekspor beras juga memberi nilai ekonomi tinggi. Maka dari itu upaya penanggulangan perubahan iklim merupakan sebuah keharusan bagi indonesia.

Dalam upaya penanganan terhadap perubahan iklim, bioenergi telah dilirik sebagai solusi kunci bagi Indonesia. Bioenergi menurut Rogers dkk (2017) adalah berbagai sumber-sumber organik dari alam (biomasa) yang dapat digunakan untuk memproduksi energi. Sementara itu, biomasa menurut Angelis-Dimakis dkk (2011) adalah unsur alamiah yang dapat terurai dari unsur-unsur yang ada di pertanian, hutan, industri, hingga rumah tangga. Biomasa telah dikenal luas sebagai penghasil bioenergi yang dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan (renewable energy) untuk memproduksi listrik, panas, gas, hingga minyak (McKendry dalam Fiorese dkk, 2014). Indonesia perlu untuk menaruh perhatian dalam pendayagunaan bioenergi sebagai solusi bagi penanggulangan krisis iklim.

Indonesia sejauh ini telah mulai mengembangkan berbagai potensi bioenergi. Casson, Muliastra dan Obidzinski (2014) dalam studinya mencatat bahwa terdapat empat potensi bioenergi yang menjadi fokus di Indonesia. Pertama adalah singkong yang umumnya dikembangkan di pulau Jawa. Kedua adalah jatropha yang dikembangkan di Indonesia bagian timur. Ketiga adalah minyak sawit yang umumnya dikembangkan di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Keempat adalah tebu yang umumnya dikembangkan di Sumatra dan Sulawesi. Walaupun demikian, keempat potensi bioenergi yang dikembangkan ini pada dasarnya tetap memiliki efek negatif terhadap lingkungan. Pada banyak kasus, tanaman energi menghasilkan dampak yang merusak terhadap tanah yang terkait juga dengan konsumsi air tanah dan nutrisi tanah (Baral dan Lee, 2016). Oleh karena itu, Indonesia perlu untuk mencari potensi bioenergi alternatif yang memiliki potensi energi dan ekonomi besar namun efek samping yang dihasilkan minim.

Salah satu potensi bionergi Indonesia adalah mikroalga (microalgae). Mikroalga adalah alga laut yang berbeda dengan alga pada umumnya. Mikroalga memiliki ukuran yang jauh lebih kecil namun memiliki potensi sebagai sumber bionergi yang besar. Kandungan minyak pada mikroalga yang dapat dimanfaatkan sebagai biodiesel mencapai 77% sehingga dapat memproduksi minyak 200 kali lipat lebih banyak daripada sumber bioenergi daratan (Sumantri, Hadiyanto, dan Sumarno, 2018). Bahkan, biomasa penghasil bioenergi paling produktif di daratan yaitu kelapa sawit pun tertinggal jauh dalam hal produktivitas bila dibandingkan dengan mikroalga (Chisti, 2007). Dengan kata lain, mikroalga menawarkan potensi yang jauh lebih besar dibanding 4 sumber bioenergi yang dikembangkan Indonesia saat ini yaitu sawit, singkong, tebu, dan jatropha.

Lebih lanjut, selain kandungan minyak yang lebih besar mikroalga memiliki berbagai keunggulan dibanding sumber bioenergi lainnya. Llewellyn (2022) menyatakan bahwa mikroalga dapat secara mudah dikembangbiakan dan dipanen sebagai tanaman biomasa guna menghasilkan bioenergi. Selain itu, Ratha dan Prasanna (2012) menemukan bahwa mikroalga memiliki efisiensi konversi menjadi bioenergi yang tinggi, hidup sepanjang tahun, dan dapat hidup dalam kualitas air apapun. Berbagai kekuatan ini membuat mikroalga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bioenergi utama bagi Indonesia. Apalagi mikroalga dapat dikembangbiakan dan dipanen sepanjang tahun serta hidup di kondisi air apapun. Sementara, sumber bioenergi lain umumnya harus ditanam di tanah yang memiliki produktivitas tinggi (Favero, Mendelsohn dan Sohngen, 2015). Bahkan, Christi (2007) menyatakan bahwa mikroalga merupakan satu-satunya sumber bioenergi yang berpotensi menggantikan sumber energi fosil secara keseluruhan. Terutama karena potensi produksi secara berkesinambungan dengan efek samping yang sangat minimal yang dimiliki mikroalga.

Walaupun begitu, potensi-potensi bioenergi yang ada di laut justru banyak dikesampingkan. Sebaliknya, justru potensi-potensi bioenergi daratan yang menjadi primadona. Hal ini karena sumber bioenergi daratan telah lebih dulu dikenal melalui pertanian konvensional sementara potensi mikroalga masih terbilang baru ditemukan dalam 1-2 dekade terakhir. Indonesia juga mengalami sindrom yang sama dengan bergantung pada sawit, singkong, tebu dan jatropha. Padahal berdasarkan hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau “United Nation Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS) pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica,luas wilayah laut Indonesia mencapai 3.257.357 km² (Saksono, 2013). Dengan kondisi kewilayahan yang didominasi oleh laut ini, sangat disayangkan jika Indonesia tidak memaksimalkan potensi bioenergi yang ada di laut. Apalagi mengingat mikroalga di Indonesia hingga tahun 2021 telah ditemukan sebanyak 121 spesies di Sumatera, 11 spesies di Jawa, dan 85 spesies di Nusa Tenggara (Sofiyah, 2021). Lebih lagi, potensi perkembangan jumlah spesies mikroalga di Indonesia masih terbuka seiring dengan perkembangan eksplorasi yang akan dilakukan.

Selain potensi di bidang energi, mikroalga juga memiliki berbagai potensi ekonomi. Cardozo dkk (2007) menemukan bahwa biosintesis dari mikroalga dapat memunculkan peluang ekonomi baru di sektor pangan, industri, farmasi dan kesehatan publik. Ratha dan Prasanna (2012) juga menemukan bahwa mikroalga dapat memberi peluang ekonomi juga di sektor bioremediasi dan agrikultur. Bertsch dkk (2021) menemukan bahwa mikroalga dapat menjadi sumber protein berkelanjutan yang dapat membentuk sistem produksi pangan masa depan beserta dengan potensi manfaat untuk industri farmasi dan kosmetik. Pengembangan mikroalga secara serius dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan dapat menjadi sumber pendapatan baru untuk berbagai pihak yang terlibat (Lee, 2013).

Dari sudut pandang kebijakan, pengarusutamaan mikroalga sebagai sumber energi utama di Indonesia membutuhkan beberapa agenda strategis. Samsudin (2018) menyatakan bahwa dibutuhkan dukungan instrumen kebijakan yang memadai, dukungan politik dari pemerintah yang memadai, dan partisipasi dari masyarakat yang juga memadai. Walaupun telah ditemukan potensi mikroalga di Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara namun hingga saat ini pengembangan mikroalga sebagai sumber bioenergi alternatif masih dalam tahap penelitian (Sofiyah dkk, 2021). Selain itu,  belum ada regulasi atau instrumen kebijakan yang secara spesifik mengatur tentang pengembangan mikroalga di Indonesia.

Instrumen kebijakan yang suportif perlu disediakan untuk membuat mikroalga kompetitif secara ekonomi (utamanya harga) terhadap energi fosil dan bioenergi lain yang sudah dikembangkan seperti sawit. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan berbagai insentif fiskal. Misalnya seperti pembebasan pajak penelitian dan pengembangan mikroalga, subsidi produksi untuk produk turunan dalam bentuk bio-fuel, bio-power, dan bio-product. Dukungan politik penting diberikan dengan menjadikan pengembangan mikroalga sebagai prioritas sumber energi nasional. Misalnya dengan memasukan pengembangan mikroalga ke dalam RPJMN pemerintah pusat serta renstra dan renja kementerian terkait seperti Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian BUMN. Terakhir, pelibatan masyarakat secara luas perlu dilakukan utamanya untuk masyarakat pesisir. Pelibatan dalam berbagai program terkait pengembangan mikroalga serta pemberian pelatihan dan edukasi terkait budidaya mikroalga dapat menjadi langkah awal.

Referensi

Angelis-Dimakis, A., Biberacher, M., Dominguez, J., Fiorese, G., Gadocha, S.,    Gnansounou, E., & Robba, M. (2011). Methods and tools to evaluate the             availability of renewable energy sources. Renewable and sustainable energy reviews15(2), 1182-1200.

Baral, H., & Lee, S. M. (2016). Sustainable bioenergy systems to restore and valorize    degraded land. Center for International Forestry Research. [online] diunduh pada             13 Oktober 2022 melalui <http://www.jstor.com/stable/resrep16203>

BBC. (2022). Perubahan iklim: Pesisir Indonesia terancam tenggelam, puluhan juta    jiwa akan terdampak. [online] diakses pada 21 Oktober 2022 melalui

<https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51797336>

Bertsch, P., Böcker, L., Mathys, A., & Fischer, P. (2021). Proteins from microalgae      for the stabilization of fluid interfaces, emulsions, and foams. Trends in Food                        Science & Technology108, 326-342.

Casson, A., Muliastra, Y. I. K. D., & Obidzinski, K. (2014). Large-scale plantations,     bioenergy developments and land use change in Indonesia (Vol. 170). CIFOR.

Cardozo, K. H., Guaratini, T., Barros, M. P., Falcão, V. R., Tonon, A. P., Lopes, N. P.,   & Pinto, E. (2007). Metabolites from algae with economical      impact.Comparative   Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology &         Pharmacology,146(1-2),         60-78.

Chisti, Y. (2008). Biodiesel from microalgae beats bioethanol. Trends in             biotechnology26(3), 126-131.

CNBC. (2022). 5 negara penghasil beras terbesar dunia, RI nomor berapa. diakses            pada 13 Oktober 2022 melalui

<https://www.cnbcindonesia.com/market/20220825081147-17-366446/5-negara-       penghasil-beras-terbesar-dunia-ri-ke-berapa>

Favero, A., Mendelsohn, R. O., & Sohngen, B. (2016). Carbon storage and bioenergy:       Using forests for climate mitigation. [online] diunduh pada 13 Oktober 2022         melalui <http://www.jstor.com/stable/resrep15081>

Fiorese, G., Catenacci, M., Bosetti, V., & Verdolini, E. (2014). The power of biomass:      experts disclose the potential for success of bioenergy technologies. Energy Policy65, 94-114.

Katadata. (2022). 10 provinsi dengan PDRB atas dasar harga berlaku terbesar.          Diakses pada 17 Oktober 2021 melalui

<databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/09/pdrb-dki-jakarta-terbesar-se-ind onesia-pada-2021#:~:text=Berikut%20ini%2010%20provinsi%20dengan,Jakarta           %20Rp%202.914%2C58%20triliun>

Lazarus, M., & Lee, C. M. (2011). Bioenergy projects and sustainable development: Which types of bioenergy projects offer the greatest development   benefits?(policy brief). [online] diunduh pada 13 Oktober 2022 melalui   <http://www.jstor.com/stable/resrep00420>

Llewellyn, Carole. (2022). Microalgae is nature’s ‘green gold’: our pioneering project       to feed the world more sustainably. [online] diakses pada 13 Oktober 2022            melalui             <https://theconversation.com/microalgae-is-natures-green-gold-our-pioneering-pr       oject-to-feed-the-world-more-sustainably-170158>

Mazzucato, Mariana. (2018). Mission-oriented innovation policies: Challenges and           opportunities. Oxford: Industrial and Corporate Change

Ratha, S. K., & Prasanna, R. (2012). Bioprospecting microalgae as potential sources         of “Green Energy”—challenges and perspectives. Applied biochemistry and         microbiology48(2), 109-125.

Rogers, J. N., Stokes, B., Dunn, J., Cai, H., Wu, M., Haq, Z., & Baumes, H. (2017).        An assessment of the potential products and economic and environmental             impacts resulting from a billion ton bioeconomy. Biofuels, Bioproducts and         Biorefining11(1), 110-128.

Saksono, H. (2013). Ekonomi Biru: Solusi Pembangunan Daerah Berciri Kepulauan       Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Anambas. Jurnal Bina Praja: Journal of        Home Affairs Governance5(1), 1-12.

Samsudin, Y. B., Maimunah, S., Andini, S., Sharma, R., Artati, Y., & Baral, H.          (2018). Bioenergy development in Central Kalimantan current research findings        and potential areas for future study. CIFOR Infobrief, (43). [online] diunduh pada            13 Oktober 2022 melalui <http://www.jstor.com/stable/resrep21672>

Sumantri, I., Hadiyanto, H., & Sumarno, S. (2018). Produksi Biomasa Mikroalga       Dengan Nitrifikasi Limbah Beramoniak Tinggi. Majalah Ilmiah              MOMENTUM10(2).

Sofiyah, E. S., Sarwono, A., Septiariva, I. Y., & Suryawan, I. W. K. (2021). The     Opportunity of Developing Microalgae Cultivation Techniques in Indonesia. Berita Biologi20(2), 221-233.

The Jakarta Post. (2020). Jakarta among cities most threatened by rising sea levels,        extreme weather: Report. [online] diakses pada 21 Oktober 2022 melalui                         <https://www.thejakartapost.com/news/2020/02/28/jakarta-among-cities-most-thr eatened-by-rising-sea-levels-extreme-weather-report.html>

.
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.