Mencari Alternatif dari Dominasi Logika Ekonomi Pembangunan di Indonesia

Mencari alternatif di tengah logika ekonomi yang dominan bukanlah perkara mudah. Perspektif pengelolaan sumber daya alam negara haruslah mengedepankan cara-cara lokal yang telah tertanam dengan lingkungan masyarakat yang selama ini hanya dipandang sebagai keterbelakangan. Sebenarnya, budaya kearifan lokal ini menjadi pembeda dari masifnya perkembangan modern yang ada. Hanya saja narasi yang digunakan dalam memandang pengetahuan dan kearifan lokal sebagai suatu hal yang harus dihilangkan dan diganti menjadi budaya modern.

Ekstraksi sumber daya yang berorientasi ekonomi sering kali memicu deforestasi dalam skala besar dan menjadi salah satu penyebab perubahan iklim yang kini kita rasakan. Bagi masyarakat Indonesia, terutama yang hidup bergantung pada alam, lingkungan bukan sekadar ruang hidup, melainkan bagian dari keseharian. Namun, kekayaan alam yang melimpah justru dijadikan alasan ekspansi pembangunan berbasis logika ekonomi yang tidak inklusif. Narasi pembangunan untuk kesejahteraan kerap menjadi legitimasi, meskipun dalam praktiknya melahirkan berbagai persoalan struktural dan ekologis.

Dari Sabang sampai Merauke, eksploitasi sumber daya alam yang mengutamakan orientasi ekonomi negara selalu menimbulkan konflik, terutama bagi masyarakat lokal. Untuk kepentingan eksploitasi sumber daya, banyak wilayah sumber daya hanya dijadikan sebagai objek ekstraksi tanpa mempertimbangkan kehidupan di sekitarnya. Misalnya, pulau-pulau kecil yang sudah terikat secara peraturan dan tidak boleh dieksploitasi dilanggar oleh pemerintah beserta kaki tangannya sendiri. Dari kasus pulau-pulau kecil ini, menunjukkan komitmen negara belum terkonsentrasi pada pembangunan yang inklusif dan merata. Negara justru menjadi aktor utama sekaligus pihak yang menghubungkan kapitalis. Perluasan kapital demi eksploitasi sumber daya menjelma sebagai akar bagi tercerabutnya identitas masyarakat dari alam dan lingkungan mereka.

Problematika Persoalan: Kaitan Alam sebagai Identitas Masyarakat dan Tercerabutnya Ruang Hidup Masyarakat Lokal

Siswanto dan Savitri (2025) menunjukkan bahwa ekspansi kapitalisme di Papua Barat Daya telah mengganggu hubungan masyarakat dengan alam, sehingga memaksa mereka mengadaptasi identitas budaya secara perlahan. Fenomena ekspansi kapitalis lewat ekstraksi sumber daya yang juga memicu konflik dan perjuangan masyarakat di wilayah lain seperti Halmahera, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Dengan ini, dikhawatirkan akan memudarkan ciri khas kelokalan dari masing-masing sebagai implikasi dari ekspansi kapitalisme.

Seperti dijelaskan Escobar (2006), ekonomi, ekologi, dan budaya saling terkait dalam membentuk identitas masyarakat. Maka, menggeser alam sebagai bagian dari identitas tersebut berarti juga menggeser budaya, yang dapat mengancam keberagaman budaya dan hayati. Budaya memang dinamis dan berkembang seiring zaman dan teknologi. Namun, perkembangan ini seharusnya tidak mengorbankan ruang hidup masyarakat lokal dengan segala keberagaman alam dan budayanya demi kepentingan ekonomi negara. Masyarakat lokal juga memiliki peran penting dalam menjaga warisan budaya, kearifan lokal, dan hubungan sosio-ekologis yang telah terbentuk secara turun-temurun.

Lebih jauh, logika ekonomi negara yang sentralistik tampak dalam pengelolaan sumber daya alam. Sejak 2014, kewenangan atas minyak dan gas dikuasai oleh pusat, diperkuat lagi oleh UU Minerba 2020 yang mengonsentrasikan pengelolaan batubara, emas, timah, dan nikel ke pemerintah pusat. Penelitian Hyldmo dkk (2025) mencatat bahwa model ini menyulitkan daerah dan masyarakat lokal, seperti pertambangan nikel di Sulawesi, untuk memitigasi dampak yang ditimbulkan dari ekstraksi yang dilakukan. Belum lagi proyek strategis nasional (PSN) juga kerap meminggirkan masyarakat sekitar. Sentralisasi kekuasaan ini pada akhirnya memperlebar jarak negara dengan masyarakat serta menghambat pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Perpaduan Ilmu Pengetahuan dan Budaya Sebagai Bagian dari Identitas Indonesia

Menurut Pamungkas (2010), penting untuk memposisikan pengetahuan sebagai suatu hal yang dibangun secara diskursif, karena budaya tidak terlepas dari pengaruh setting sosial yang ada. Narasi yang diperlukan adalah penyampaian logika pengetahuan lokal berdasarkan penelitian yang saintifik, sehingga benang merah di antara keduanya bisa berjalan beriringan. Perspektif inilah yang jarang diartikulasikan untuk mengenalkan dan menyebarluaskan pengetahuan lokal yang sudah tertanam dan dikenal antar generasi, bukannya malah disudutkan. Alhasil, krisis budaya dan identitas menjadi implikasi dari logika ekonomi yang dominan dan kurangnya perhatian pada budaya dan pengetahuan lokal.

Dalam video youtube-nya, Bagus Muljadi (November, 2024) yang juga konsen pada ilmu kebumian membahas pentingnya menarasikan pengetahuan lokal masyarakat di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memadukan keilmuan masyarakat lokal dengan keilmuan saintifik yang jarang sekali diangkat, sehingga menjadi salah satu narasi kebanggaan yang digaungkan dari negara multikultural. Selain itu, orasi pengukuhan Prof. Dr. Robet (Juni, 2025) sebagai guru besar Universitas Negeri Jakarta belum lama ini terkait pentingnya mempertimbangkan ekologi menjadi bagian dari kewargaan yang keterlibatannya diperhitungkan lewat perwakilan yang mendukung prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan. Hal ini menjadi penting untuk dijadikan opsi mengelola alam sebagai subjek setara yang selama ini hanya dipandang sebagai objek eksploitasi.

Salah satu contoh kuat pelibatan pengetahuan lokal adalah Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Namblong di Kabupaten Jayapura, Papua (BBC News Indonesia, 12 Juni 2025). Dikelola oleh Suku Namblong dan melibatkan seluruh marga, BUMMA ini mengelola wilayah adat untuk kehutanan, perikanan, ekowisata, pertanian, hingga peternakan. Tujuannya bukan hanya untuk kesejahteraan ekonomi, tetapi juga pelestarian budaya dan keterlibatan aktif mereka dalam pembangunan. Model ini menunjukkan alternatif pembangunan berkelanjutan yang tidak semata berbasis logika ekonomi, melainkan berakar pada identitas dan relasi masyarakat dengan alam.

Jika pembangunan hanya bertumpu pada logika ekonomi, maka ekspansi kapital yang abai terhadap inklusivitas dan pengetahuan lokal berisiko menyeragamkan lanskap serta mengikis corak budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Keberagaman budaya dan biodiversitas Indonesia perlahan terjebak dalam modernitas yang tercerabut dari harmoni alam serta mengaburkan identitas lokal berbasis sumber daya alam sebagai bagian yang berkesinambungan dari ekonomi, ekologi, dan budaya yang selama ini membentuk kehidupan masyarakat.

Referensi

Bagus Muljadi. (2024, November 22). Bisa Jadi Anda Salah Paham Tentang Berpikir Kritis [Video]. YouTube. https://youtu.be/txOWhzgrZpM

BBC News Indonesia (2025, Juni 12). Badan Usaha Milik Masyarakat Adat Pertama di Indonesia dibentuk di Papua [Video]. https://www.youtube.com/watch?v=jieW5vIj-Xs

Escobar, A. (2006). Difference and Conflict in the Struggle Over Natural Resources: A political ecology framework. Development, 49(3), 6–13. https://doi.org/10.1057/palgrave.development.1100267

H. D. S. da Silva Hyldmo, I. S. Wardhani, N. I. Kurniawan, D. D. Cahayati, S. A. Rye, & D. Vela‑Almeida. (2025). Urgent transition, urgent extraction? Global decarbonization, national governance, and local impacts in the Indonesian nickel industry. Environmental Research Letters, 20(5), Article 054003. https://doi.org/10.1088/1748-9326/adc31c

Pamungkas, A, S. (2010, April). Memetakan Lokasi Bagi Politik Identitas. https://arietia.blogspot.com/2010/04/memetakan-lokasi-bagi-politik-identitas.html?m=1

Robet, R. (2025, 12 Juni). Dari emansipasi ke ekosipasi: Politik ekologi dan kewargaan baru Indonesia [Orasi ilmiah, pengukuhan Guru Besar Filsafat Sosial, Universitas Negeri Jakarta].

Savitri, L. A., & Siswanto, Z. (2025). Melamoi: Budaya Pangan, Tanah, dan Identitas. INSISTPress.

.
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.