Paradoks Media Sosial dalam Konstruksi Standar Kecantikan
Salah satu tren standar kecantikan yang belakangan diikuti banyak orang adalah tren glow up. Tren inimenunjukkan perubahan penampilan fisik seseorang. Menariknya, kebanyakan dari tren tersebut memperlihatkan penampilan fisik yang awalnya memiliki kulit gelap dan memberi kesan tak terurus, berubah menjadi seseorang yang memiliki kulit putih, cerah, dan mulus. Terdapat pula beragam filter yang dapat mendukung penampilan penggunanya, agar wajah tampak menjadi lebih muda, putih, bersinar, hingga unreal atau memiliki kecantikan yang tidak realistis.
Pengaruh media sosial dalam membentuk standar kecantikan tidak dapat diremehkan. Konten kecantikan seperti riasan sehari-hari dan tutorial make up termasuk dalam daftar konten viral yang paling banyak ditonton di Tiktok (Katadata, 2023). Esai ini berpendapat bahwa media sosial memiliki kontribusi besar dalam mereproduksi standar kecantikan yang sudah hidup di dalam masyarakat. Dengan perangkat-perangkat baru, media sosial membuat standar tersebut menyebar dengan lebih luas. Meski demikian, media sosial juga menjadi wahana untuk menyorot keberagaman ekspresi dan menantang standar kecantikan dominan.
Pengaruh Media Sosial dan Tekanan Sosial
Konstruksi standar kecantikan sebenarnya sudah terbentuk sejak dulu melalui praktik media lama. Iklan produk kecantikan di layar kaca kerap kali menampilkan aktor dan artis yang memiliki kulit putih dan mulus. Begitu pula dalam acara televisi, pembawa berita ataupun presenter didominasi oleh mereka yang memiliki tubuh ramping dan kulit cerah. Gambaran tersebut menunjukkan model kecantikan yang relatif seragam yaitu berkulit putih, cerah, dan bertubuh langsing. Sementara itu, media sosial memiliki pengaruh dalam memperkuat konstruksi standar kecantikan dari praktik media lama tersebut.
Praktik media lama cenderung menggunakan cara konvensional dengan memanfaatkan majalah ataupun iklan di televisi yang saat ini mulai berangsur-angsur tergantikan oleh kecanggihan teknologi. Sementara media sosial memiliki perangkatyang lebih beragam dan dapat dengan mudah diakses oleh penggunanya, seperti fitur filter dan edit foto. Penampilan yang cenderung ditunjukkan di media sosial menggunakan berbagai aplikasi digital dalam mengedit penampilan penggunanya agar memenuhi standar kecantikan, mulai dari merampingkan pinggang, memutihkan gigi, dan memperkecil ukuran anggota tubuh (Farid, 2009). Meskipun demikian, orang-orang condong melihatnya sebagai penampilan asli yang layak untuk ditiru. Terdapat pula algoritma yang cenderung mempromosikan konten menarik secara visual kepada para penggunanya. Beragam perangkat tersebut memiliki pengaruh dalam membangun persepsi publik dan dapat berdampak dalam memperkokoh konstruksi standar kecantikan yang sudah ada sebelumnya.
Di Indonesia, tren standar kecantikan ala Korea menjadi idaman banyak perempuan. Kulit putih, mulus, dan bersinar menjadi standar kecantikan masa kini. Tren ini didukung pula oleh para beauty influencer yang ikut ramai membuat postingan make up ala Korea ataupun berbagi informasi produk perawatan kulit yang dapat mencerahkan dan memutihkan kulit. Melibatkan influencer ataupun orang-orang yang memiliki pengaruh dan pengikut yang banyak di media sosial menjadi cara baru dalam menyebarluaskan tren kecantikan, di mana promosi kecantikan tidak hanya dilakukan oleh profesi tertentu seperti model ataupun aktor, namun juga dapat dilakukan oleh setiap pengguna media sosial, khususnya pengguna dengan pengikut yang banyak. Praktik media lama dalam membentuk standar kecantikan ideal hadir kembali dengan cara-cara baru yang kini dipraktikkan dalam media sosial.
Sejumlah literatur menjelaskan bahwa media sosial memiliki pengaruh terhadap konstruksi standar kecantikan dan kesehatan. Perempuan yang menghabiskan waktunya selama 30 menit dalam sehari di media sosial mengalami perubahan persepsi terhadap tubuhnya (Fardouly, 2015). Apabila semakin banyak waktu yang dihabiskan di media sosial seperti Tinder, Snapchat, dan Youtube, maka semakin besar pula pertimbangan untuk melakukan bedah kosmetik (Chen, 2019). Selain itu, perempuan muda dan gadis remaja yang mengikuti fitness board di Pinterest memiliki kecenderungan untuk melakukan diet ketat ataupun olahraga ekstrem, karena munculnya perbandingan sosial yang menyebabkan ketidakpuasan terhadap tubuh mereka (Lewallen & Behm, 2016).
Selain itu, tekanan sosial di masyarakat memperkokoh minat pemenuhan standar kecantikan tersebut. Perempuan yang memiliki kulit putih di beberapa negara dianggap memiliki daya tarik fisik sehingga berpengaruh terhadap kepercayaan diri, kemampuan verbal yang bagus, upah yang tinggi, hingga pada peluang kualitas hubungan percintaan yang lebih baik (Mobius & Rosenblat, 2006). Pada pembukaan lowongan pekerjaan juga sering dijumpai persyaratan penampilan “menarik” sebagai bagian kriterianya. Meskipun diksi “menarik” memiliki makna ambigu, namun banyak orang yang beranggapan bahwa penampilan menarik yaitu mendekati atau memenuhi standar kecantikan. Hal ini pula yang sering disebut sebagai bagian dari beauty privilege.
Penolakan Konstruksi Standar Kecantikan
Meskipun media sosial memiliki pengaruh dalam memperkuat konstruksi standar kecantikan dari praktik media lama yang sudah ada, media sosial juga mampu memberi perubahan dalam penyampaian pesan yang dulunya hanya melalui satu arah yaitu dari media ke masyarakat, kini dapat diakses dari berbagai arah. Kesempatan dalam menyampaikan pesan dengan cara “baru” tersebut membuat banyak pihak dapat terlibat dan saling berinteraksi untuk mendukung, menolak, ataupun membentuk tren standar kecantikan baru. Media digital dapat menyediakan cara baru dalam menyediakan ruang bagi setiap orang tidak hanya dalam berkomunikasi, namun juga untuk berbagi ekspresi dan mewakili dunia (Rahayu, 2021).
Meski terdapat standar kecantikan tertentu dalam suatu budaya ataupun daerah, namun tidak ada definisi tunggal yang dapat dijadikan sebagai lambang kecantikan tertinggi, sehingga dapat mewakili semua budaya di seluruh dunia (Williams, 2024). Kesadaran inilah yang membuat banyak pihak merasa perlu untuk menyuarakan pentingnya keberagaman. Komunitas daring melalui media sosial dapat menyediakan ruang untuk saling berbagi dan menguatkan, khususnya bagi kelompok minoritas.
Tagar Black is Beautiful merupakan kampanye yang menentang standar kecantikan kulit putih serta merangkul kulit dan rambut hitam yang menjadi kelompok minoritas (Canella, 2020). Komunitas online di Facebook memberi dukungan emosional kepada perempuan kulit hitam dengan memberikan kepedulian, kepercayaan, dan empati (Ellington, 2015). Ada pula akun @papuan_girl yang menunjukkan perempuan-perempuan Papua sebagai bagian dari keragaman kecantikan lokal Indonesia, dengan riasan ataupun atribut yang menampilkan identitas lokal budaya Papua. Instagram dan Facebook juga sering kali memuat berbagai kisah pengalaman penggunanya yang telah berjuang keras untuk mengubah standar kecantikan, dengan berfokus pada kesehatan tubuh, serta membangun harga diri dan penerimaan tubuh melalui dukungan dan komunitas yang ditemukan di jejaring online (Henriques & Patnaik, 2020).
Media sosial memberi pengaruh dalam melanggengkan standar kecantikan, namun di sisi lain juga dapat menjadi tempat untuk bisa berbagi dan memperoleh dukungan juga penerimaan diri secara utuh. Saat ini, media sosial mencakup berbagai individu yang berasal dari beragam ras, gender, etnis, warna, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Keragaman tersebut melahirkan berbagai gerakan yang memberikan gambaran lain tentang perempuan yang tidak termasuk dalam standar ideal kecantikan yang selama ini didefinisikan secara sempit (Cwynar, 2016).
Obsesi terhadap penampilan fisik membuat seseorang tanpa sadar mengikuti standar kecantikan yang hanya berasal dari luar, dan mengesampingkan nilai positif dalam dirinya sendiri. Namun, upaya yang dilakukan di media sosial melalui gerakan dan dukungan terhadap keberagaman kecantikan dapat membantu menyebar luaskan pesan tentang kecantikan yang inklusif serta sehat fisik dan mental. Masyarakat yang dapat menghargai kecantikan dalam keberagaman akan melahirkan lingkungan yang memiliki toleransi terhadap perbedaan, sehingga setiap individu dapat menerima dirinya secara utuh, tanpa perlu mengikuti standar kecantikan yang menuntut kesempurnaan.
Referensi
Canella, G. (2020). # BlackIsBeautiful: the radical politics of black hair. Visual Studies, 35(2-3), 273-284.
Chen, J., Ishii, M., Bater, K. L., Darrach, H., Liao, D., Huynh, P. P., … & Ishii, L. E. (2019). Association between the use of social media and photograph editing applications, self-esteem, and cosmetic surgery acceptance. JAMA facial plastic surgery, 21(5), 361-367.
Cwynar-Horta, J. (2016). The commodification of the body positive movement on Instagram. Stream: Culture/Politics/Technology, 8(2), 36-56.
Ellington, T. N. (2015). Social networking sites: A support system for African-American women wearing natural hair. International Journal of Fashion Design, Technology and Education, 8(1), 21-29.
Fardouly, J., Diedrichs, P. C., Vartanian, L. R., & Halliwell, E. (2015). Social comparisons on social media: The impact of Facebook on young women’s body image concerns and mood. Body image, 13, 38-45.
Farid, H. (2009). Seeing is not believing. IEEE Spectrum, 46(8), 44-51.
Henriques, M., & Patnaik, D. (2020). Social media and its effects on beauty. In Beauty-Cosmetic Science, Cultural Issues and Creative Developments. IntechOpen.
Katadata. (2023, 08 Desember). Video Tiktok Paling Viral 2023 Asmr Ayam Goreng Hingga Potong Bawang. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/12/08/video-tiktok-paling-viral-2023-asmr-ayam-goreng-hingga-potong-bawang.
Lewallen, J., & Behm-Morawitz, E. (2016). Pinterest or thinterest?: Social comparison and body image on social media. Social media+ society, 2(1), 2056305116640559.
Mobius, M. M., & Rosenblat, T. S. (2006). Why beauty matters. American Economic Review, 96(1), 222-235.
Rahayu, N. K., Setianto, W. A., Adiputra, W. M., Monggilo, Z. M. Z., Tania, S., Prayitno, R. K. S., Leona, A. P., Angendari, D. A. D., Sadasri, L. M., Fandia, M., Yuwono, A. I., & Nurjanah, A. (2021). Perempuan dan literasi digital: Antara problem, hambatan, dan arah pemberdayaan. UGM Press.
Williams, D. E., Pochipinski, B., MacDonald, M., & Caulfield, J. (2024). The Depiction of Beauty-by-Beauty Influencers on Instagram and Generations Z’s Perception of Them. Journal of Promotion Management, 30(3), 473-512.
.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!