Kurangi Anggaran, Rusak Lingkungan: Efisiensi Penuh Paradoks Ala Prabowo

Awal 2025, pemerintahan baru Prabowo Subianto telah membuat gebrakan baru dengan melakukan pemotongan anggaran besar-besaran. Kebijakan yang disebutnya “efisiensi” ini secara masif mengurangi anggaran berbagai lembaga negara yang dianggap pemborosan. Banyak yang mengeluhkan dampak langsung efisiensi ini, mulai dari pemecatan terhadap banyak tenaga honorer yang kerap berada di garis depan pelayanan, penurunan fasilitas kerja, sampai ancaman dihentikannya program-program bantuan pendidikan.

Namun, kritik terbesar bagi efisiensi ini sesungguhnya adalah kontradiksi pemerintahan Prabowo. Sejak awal, Prabowo membentuk kabinet yang dianggap tidak proporsional dengan banyaknya posisi dan jabatan yang diberikan (Sood, 2024). Kontradiksi ini makin terlihat dengan rencana Prabowo untuk mengalihkan dana pada program kontroversial Makan Bergizi Gratis (MBG), dan yang terbaru adalah lembaga kontroversial Danantara (Siswanto, 2025).

Alih-alih efisiensi, pemotongan anggaran ala Prabowo ini lebih tepat disebut austerity (penghematan). Dampaknya akan jauh lebih mengerikan daripada kekurangan anggaran. Pemotongan anggaran hanyalah satu sisi dari uang koin, dan sisi koin lainnya adalah peningkatan eksploitasi, yang telah sering pemerintahan Prabowo lontarkan, terutama eksploitasi lingkungan.

Austerity: Saudara Kembar Eksploitasi

Austerity erat kaitannya dengan neoliberalisme yang sejak awal mulanya bersandar pada peningkatan tingkat eksploitasi, restrukturisasi dan internasionalisasi kapital, dan finansialisasi (Albo & Evans, 2011: 288). Di saat efisiensi mengurangi anggaran untuk fasilitas publik, eksploitasi ditingkatkan dengan dalih menambah penerimaan negara. Hal ini perlu dipahami dengan teori reproduksi sosial.

Reproduksi sosial merupakan gabungan kekuatan dan pranata manusia yang memungkinkan keberlanjutan masyarakat, seperti pendidikan, rumah tangga, pengasuhan rumah tangga, dan lain-lain (Weiss, 2021). Reproduksi sosial ini merupakan penyokong utama produksi, tetapi sekaligus terus menerus dieksploitasi dalam kapitalisme. Berjalannya reproduksi sosial, alih-alih dianggap sebagai prasyarat hidup, justru kerap dilihat sebagai beban dalam kapitalisme (Fraser, 2016). Ini yang membuat austerity selalu berujung pada upaya untuk mengurangi kebijakan negara yang dikhususkan untuk menjaga berjalannya reproduksi sosial, termasuk yang telah terjadi saat ini berupa pemecatan banyak pegawai honorer (Safitri, 2025).

Namun, austerity tidak berakhir pada pengurangan jaminan terhadap reproduksi sosial, melainkan dilanjutkan dengan eksploitasi lingkungan. Kebijakan efisiensi ala Prabowo perlu dilihat dalam kaitannya dengan kebijakan maupun pernyataan lain dari Prabowo untuk melihat visinya yang sesungguhnya. Salah satu yang memicu kontroversi adalah dukungan Prabowo terhadap ekspansi sawit (Intan, 2025). Untuk memahami hubungan pernyataan ini dengan efisiensi, maka perlu pendekatan ekologi politik.

Ekologi Politik Austerity

Persoalan lingkungan memang tidak terlepas dari isu politik. Potensi kerusakan lingkungan yang dapat timbul akibat austerity perlu dilihat berdasarkan perspektif ekologi politik. Ekologi politik mengaplikasikan analisis ekonomi politik terhadap perubahan lingkungan atau ekologi dan ada kelompok sosial tertentu yang mengambil keuntungan dari proses ekologi yang berlangsung, atas ongkos yang ditanggung kelompok sosial yang lain (Batubara, dkk., 2024). Studi Kaika, Calvário, & Velegrakis (2024) menunjukkan bahwa berdasarkan ekologi politik, dampak austerity terhadap lingkungan dapat dibagi menjadi tiga segi: (1) justifikasi perusakan lingkungan lebih lanjut dengan dalih pemulihan ekonomi; (2) austerity meningkatkan kesenjangan sosio-ekologi, memperburuk ekstraktivisme kolonial, dan memperumit dikotomi Dunia Utara dan Selatan; dan (3) austerity dapat memancing gerakan lingkungan, tetapi juga dapat menimbulkan penolakan terhadap upaya perlindungan lingkungan. Menariknya, dengan mempertimbangkan ketiga segi tersebut, langkah austerity dapat dilihat bukan sebagai suatu hal baru, melainkan kulminasi dari proyek eksploitasi ugal-ugalan pemerintah.

Segi pertama dapat dilihat dari pernyataan Prabowo soal sawit di atas. Pernyataan Prabowo tersebut sebenarnya mengulang sikap pemerintahan Jokowi, terutama yang dilontarkan oleh Siti Nurbaya Bakar bahwa deforestasi atau emisi karbon tidak boleh menjadi penghalang pembangunan (Mahabharata, 2021). Di sini juga dapat dilihat bahwa efisiensi penuh paradoks. Pemerintah masih mempertahankan UU Cipta Kerja yang turut mengatur pengampunan aktivitas ilegal perkebunan sawit. SK Menteri Kehutanan No. 36/2025 memang telah menolak pengampunan terhadap 317.253 hektare perkebunan sawit ilegal. Namun, masih ada 790.474 hektare yang masih diproses (Susanto, 2025). Selain itu, tidak ada kejelasan langkah selanjutnya yang akan diambil terhadap lahan yang ditolak pengampunannya tersebut. Padahal pengampunan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara (Hariandja, 2023).

Selain kerugian negara, pengampunan sawit tersebut adalah bentuk dari pemakluman ekspansi lahan sawit yang sejak dahulu menimbulkan kesenjangan sosio-ekologi. Perkebunan sawit menerapkan pembatasan wilayah yang ekstrem serupa demarkasi militer dengan berbagai upaya mengenyahkan pihak-pihak yang dianggap mengganggu (Li & Semedi, 2022). Pengamanan ini bahkan merenggut nyawa warga yang menuntut haknya atas hutan plasma di Bangkal, Kalimantan Selatan, setelah ditembak aparat (Wicaksono, 2023). Pihak lain yang dienyahkan tidak terbatas pada manusia, tetapi juga non-manusia, seperti gajah (Suba, dkk., 2017) dan orang utan (Kamim, 2018).

Sawit kerap dianggap kepentingan nasional (Choiruzzad, 2019). Lagi-lagi, bukan kebetulan bahwa beberapa waktu lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mempertanyakan keterlibatan Indonesia dalam Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang bertujuan membatasi pemanasan global (Hasyim, 2025). Keengganan mengikuti Persetujuan Paris tersebut merupakan bukti bahwa austerity dapat menjadi dalih untuk menolak tekanan negara lain, khususnya negara-negara Utara, terhadap upaya pemerintah dalam mengeksploitasi lingkungan. Penolakan tersebut tidak hanya dapat berlaku pada perkebunan sawit, melainkan juga industri ekstraktif seperti tambang yang akhir-akhir izin usahanya dibagikan pemerintah ke berbagai pihak. Padahal, industri ekstraktif banyak dikecam karena dampak negatifnya pada lingkungan (Barbesgaard & Whitmore, 2023). Pembagian izin tersebut bermanfaat untuk menggembosi kritik terhadap eksploitasi lingkungan. Dengan dalih austerity serta keterlibatan banyak pihak yang memiliki otoritas terhadap informasi, seperti lembaga agama, maka kritik dapat diredam.

Kesimpulan

Efisiensi jauh dari kata efisien, karena yang terjadi sesungguhnya adalah pengurangan anggaran yang dianggap “beban”–padahal penting–dan peningkatan eksploitasi. Prabowo mengakui bahwa dana tersebut sama sekali tidak diefisiensikan, tetapi justru dialihkan pada program MBG dan Danantara. Dari sini, dapat diketahui bahwa austerity adalah pengejawantahan dari “keberlanjutan” kebijakan Jokowi yang diklaim akan diteruskan Prabowo (Farisa, 2024), termasuk melanjutkan perusakan lingkungan ala Jokowi ke tahap selanjutnya. Dengan austerity, yang logika programnya banyak bersinggungan dengan perusakan lingkungan, eksploitasi terhadap beban reproduksi sosial dan hal-hal yang dianggap masih dapat lebih dieksploitasi dapat dilangsungkan demi kepentingan oligarki.

Efisiensi yang dilakukan pemerintah tidak lebih dari austerity yang penuh paradoks. Paradoks ini muncul karena efisiensi disertai dengan peningkatan eksploitasi lingkungan. Keduanya tidak terpisahkan karena berasal dari logika yang sama bahwa pemeliharaan lingkungan maupun reproduksi sosial merupakan beban yang harusnya perlu dieksploitasi lebih lanjut untuk menghasilkan keuntungan.

Referensi

Albo, G. & B. Evans. (2011). From Rescue Strategies to Exit Strategies: The Struggle Over Public Sector Austerity. Socialist Register, 47, 283-308.

Barbesgaard, M. & A. Whitmore. (2023). “Blood on the floor”: The nickel commodity frontier and inter-capitalist competition under green extractivism. Journal of Political Ecology, 31(1), 567–585.

Batubara, B., dkk. (2024). Ekologi Politik Kualitas Air: Pencemaran Logam Berat dan Aktivitas Industri di Teluk Semarang. Semarang: Yayasan Amerta Air Indonesia.

Choiruzzad, S.A.B. (2019). Save Palm Oil, Save the Nation: Palm Oil Companies and the Shaping of Indonesia’s National Interest. Asian Politics & Policy, 11(1), 8-26.

Farisa, F.C. (2024). Janjikan Keberlanjutan Program Jokowi, Prabowo Akui Perlu Ada Perbaikan. Kompas.com, 29 April. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2024/04/29/16501441/janjikan-keberlanjutan-program-jokowi-prabowo-akui-perlu-ada-perbaikan.

Fraser, N. (2016). Contradictions of Capital and Care. New Left Review 100(July/August), 99–117.

Hariandja, R. (2023). Pemutihan Kebun Sawit Ilegal: Hitungan Denda, Negara Berisiko Merugi. Mongabay, 4 November. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2023/11/04/pemutihan-kebun-sawit-ilegal-hitungan-denda-negara-berisiko-merugi/.

Hasyim, I. (2025). Bahlil Dinilai Tak Paham Perjanjian Paris dan Tak Peduli Urgensi Krisis Iklim. Tempo.co, 1 Februari. Diakses dari https://www.tempo.co/lingkungan/bahlil-dinilai-tak-paham-perjanjian-paris-dan-tak-peduli-urgensi-krisis-iklim-1201420.

Intan, G. (2025). Aktivis Lingkungan: Pernyataan Prabowo Soal Sawit dan Deforestasi Membahayakan. VOA Indonesia, 2 Januari. Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/aktivis-lingkungan-pernyataan-prabowo-soal-sawit-dan-deforestasi-membahayakan/7922112.html.

Li, T.M. & P. Semedi. (2022). Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit (terj. P. Semedi). Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Kaika, M., R. Calvário, & G. Velegrakis. (2024). Austerity: An environmentally dangerous idea. Journal of Political Ecology, 31(1), 67-81.

Kamim, A.B.M. (2018). Perebutan Ruang Kehidupan dan Gangguan terhadap Animal Rights: Studi Atas Konflik Satwa–Manusia sebagai Implikasi dari Ekspansi Perkebunan Sawit di Indonesia. Balairung, 1(2), 199-217.

Mahabharata, Y. (2021). Perkenalkan, Siti Nurbaya Bakar, Menteri LHK, Pembangunan, Emisi Karbon, dan Deforestasi. VOI, 4 November. Diakses dari https://voi.id/bernas/100964/perkenalkan-siti-nurbaya-bakar-menteri-lhk-pembangunan-emisi-karbon-dan-deforestas.

Safitri, R.D. (2025). Jawaban TVRI & RRI soal Isu PHK Pegawai Imbas Efisiensi Anggaran. Tirto, 10 Februari. Diakses dari https://tirto.id/jawaban-tvri-rri-soal-isu-phk-pegawai-imbas-efisiensi-anggaran-g8a8.

Siswanto, D. (2025). Efisiensi Anggaran Rp 750 Triliun untuk MBG dan Danantara, Begini Dampaknya. Kontan, 17 Februari. Diakses dari https://nasional.kontan.co.id/news/efisiensi-anggaran-rp-750-triliun-untuk-mbg-dan-danantara-begini-dampaknya.

Sood, A. (2024). Indonesia’s Prabowo unveils ‘fat cabinet’ filled with allies – will it lead to red tape? South China Morning Post, 21 Oktober. Diakses dari https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3283198/indonesias-prabowo-unveils-fat-cabinet-filled-allies-will-it-lead-red-tape.

Suba, R.B., dkk. (2017). Rapid Expansion of Oil Palm Is Leading to Human–Elephant Conflicts in North Kalimantan Province of Indonesia. Tropical Conservation Science, 10.

Susanto, D. (2025). 317.253 Hektare Izin Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Ditolak Kemenhut. Media Indonesia, 17 Februari. Diakses dari https://mediaindonesia.com/humaniora/744389/-317253-hektare-izin-kebun-sawit–dalam-kawasan-hutan-ditolak-kemenhut.

Weiss, H. (2021). Social Reproduction. Dalam F. Stein (ed.) The Open Encyclopedia of Anthropology. Wicaksono, R.A. (2023). Warga Bangkal Tewas Tertembak saat Menuntut Plasma Sawit PT HMBP. Betahita, 8 Oktober. Diakses dari https://betahita.id/news/detail/9340/warga-bangkal-tewas-tertembak-saat-menuntut-plasma-sawit-pt-hmbp.html?v=1696904642.

.
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.