E-Voting dan Transformasi Demokrasi Digital: Merefleksikan Kontestasi Pemilukada 2024 Berdasarkan Pemikiran Filosofis Herbert Marshall McLuhan

Transformasi digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, termasuk dalam ranah demokrasi dan pemilu. Pemilu sebagai salah satu pilar demokrasi kini mengalami perubahan signifikan dengan adopsi teknologi digital, yang menawarkan efisiensi dan kemudahan partisipasi, terutama melalui inovasi E-Voting. Di Indonesia, dengan luasnya wilayah geografis dan kompleksitas logistik dalam penyelenggaraan Pemilukada, penerapan E-Voting dapat dijadikan sebagai solusi potensial. Pemilukada 2024 menghadirkan momentum penting untuk menilai bagaimana teknologi digital dapat diintegrasikan ke dalam sistem pemilu Indonesia. Namun, di balik potensi yang besar, E-Voting juga membawa tantangan. Ketergantungan pada teknologi memunculkan isu kritis seperti kesenjangan akses digital, keamanan siber, perlindungan privasi, dan transparansi proses pemilu. Semua ini menuntut refleksi mendalam, tidak hanya dari sudut pandang teknis tetapi juga dari perspektif filosofis. Herbert Marshall McLuhan (1911-1980) atau yang dikenal dengan nama McLuhan, seorang filsuf media terkemuka, memberikan kerangka berpikir yang relevan untuk memahami teknologi sebagai media yang tidak hanya berfungsi sebagai alat, tetapi juga menciptakan dampak mendalam pada struktur sosial, pola pikir, dan proses pertahanan diri manusia dalam menaklukkan keterbatasan tubuh manusia (McLuhan, 1964). Teknologi direproduksi oleh manusia sebagai perluasan tubuh manusia yang berada di luar dirinya dan dikenal sebagai media. Manusia secara sadar harus dapat memahami proses lahirnya teknologi secara sadar untuk menjadikan dirinya tidak hanya sebagai alat reproduksi teknologi semata tetapi yang dapat memahami reproduksi teknologi sebagai tindakan aktif perluasan dirinya yang senantiasa berada dalam kesatuan dengan dimensi interioritasnya.

E-Voting dan Demokrasi Digital dalam Perspektif Herbert Marshall McLuhan

Pandangan Herbert Marshall McLuhan (1964) dalam bukunya berjudul Understanding Media: The Extensions of Man menekankan tiga poin utama, yaitu: pertama, teknologi media tidak hanya alat, tetapi juga bagian dari ekosistem sosial yang membentuk cara manusia berpikir, bertindak, dan berinteraksi. Kedua, McLuhan juga mengingatkan bahwa setiap media membawa ketergantungannya sendiri dan ketiga, McLuhan memandang media sebagai perpanjangan dari sistem penginderaan manusia. (McLuhan, 1964). McLuhan melihat teknologi sebagai ekstensi tubuh manusia yang melampaui keterbatasan fisik. Dalam hal ini, E-Voting memperluas kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam proses politik, terlepas dari kendala geografis dan fisik. Misalnya, masyarakat di wilayah terpencil yang sebelumnya sulit menjangkau tempat pemungutan suara (TPS) dapat berpartisipasi melalui perangkat yang terhubung ke internet Namun, McLuhan juga mengingatkan bahwa media membawa kerentanannya sendiri. Penulis berargurgumen bahwa E-Voting dapat mendisrupsi kekuasaan birokrasi konvensional serta memungkinkan untuk menciptakan ruang baru di mana partisipasi lebih inklusif. E-Voting yang bergantung pada infrastruktur teknologi dan keamanan siber menjadi isu kritis yang tidak bisa diabaikan. Penulis beragumen bahwa E-Voting bukan hanya alat untuk memfasilitasi pemilu, tetapi juga agen perubahan yang menggeser cara pandang terhadap demokrasi itu sendiri. E-Voting, yang melibatkan teknologi dapat memperpanjang kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam proses politik, terlepas dari batasan geografis dan fisik. McLuhan mungkin melihat ini sebagai transformasi demokrasi dari model fisik yang terbatas menuju ekosistem yang lebih terdesentralisasi.

McLuhan melihat teknologi sebagai agen perubahan sosial yang tidak dapat dihindari. Dalam konteks E-Voting, teknologi ini dapat menjadi katalisator transformasi demokrasi Indonesia menuju model yang lebih inklusif dan efisien. Namun, McLuhan juga mengingatkan bahwa teknologi membawa risiko yang harus dikelola dengan bijak. Penerapan E-Voting di Indonesia harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan hukum, partisipasi politik, dan transparansi. Dengan pendekatan yang tepat, E-Voting dapat menjadi langkah maju menuju demokrasi digital yang sehat. E-Voting bukan hanya alat, tetapi juga agen perubahan yang memengaruhi cara masyarakat berpartisipasi dalam proses politik (Ismail, 2022). McLuhan mengingatkan bahwa media tidak hanya menyampaikan konten, tetapi juga memiliki efek mendalam pada struktur sosial dan pola pikir manusia. Oleh karena itu, penerapan E-Voting harus dilakukan dengan mempertimbangkan dimensi filosofis dan sosialnya. Teknologi ini juga membawa tantangan baru berupa ketergantungan pada infrastruktur digital dan risiko manipulasi berbasis teknologi (Castells, 1996). Bagi McLuhan, dampak teknologi pada masyarakat tidak pernah bersifat netral. Oleh karena itu, penerapan E-Voting memerlukan pemahaman mendalam tentang implikasi sosial, politik, dan teknologi, serta kebijakan yang memastikan penerapan E-Voting dapat menjangkau dan memahami konsekuensinya dengan mengupayakan kesadaran politik, pencegahan atas polarisasi dan konspirasi termasuk semakin dapat membangkitkan kesadaran kritis masyarakat.

E-Voting sebagai Legitimasi Suara Politik Masyarakat

Dampak teknologi pada masyarakat bersifat mendalam dan sering kali tidak terduga. Dalam konteks E-Voting, teknologi ini harus dipahami sebagai bagian dari ekosistem demokrasi yang lebih luas. Teknologi ini dapat memperkuat legitimasi suara politik masyarakat jika dirancang dengan baik dan diatur melalui kebijakan yang inklusif. Di Indonesia, kesenjangan akses internet menjadi masalah serius. Infrastruktur digital yang belum merata dapat memperburuk ketimpangan partisipasi politik, terutama di wilayah terpencil. McLuhan akan melihat ini sebagai batasan media, di mana teknologi hanya efektif jika semua pengguna memiliki akses yang sama. Ketergantungan pada teknologi menciptakan risiko serangan siber yang dapat merusak legitimasi proses pemilu. McLuhan menyoroti bahwa media digital membawa kerentanannya sendiri, termasuk potensi manipulasi data dan kebocoran privasi. Pemikiran McLuhan relevan di sini, karena perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan tuntutan untuk mereproduksi teknologi semata demi eksistensi teknologi dan manusia seakan dijadikan mesin yang diupah oleh teknologi.

Keberhasilan E-Voting sangat bergantung pada kepercayaan publik terhadap sistemnya. Transparansi dalam desain dan pengelolaan sistem pemilu harus menjadi prioritas utama untuk menghindari kecurigaan dan meningkatkan legitimasi hasil pemilu (Hague, 2015). Jika dirancang dengan baik, E-Voting dapat menjadi peluang besar untuk memperkuat keadilan dalam demokrasi dengan memastikan inklusivitas dan akses yang lebih luas. Namun, keberhasilan ini hanya mungkin tercapai jika didukung oleh regulasi yang jelas, teknologi yang andal, dan penghormatan terhadap hak-hak individu. Tanpa elemen-elemen ini, E-Voting justru dapat memperburuk ketidakadilan dan merusak legitimasi proses demokrasi. E-Voting dapat dijadikan sebagai inovasi teknologi yang dapat memperkuat demokrasi dengan meningkatkan partisipasi publik dan transparansi pemilu yang senantiasa memerlukan evaluasi kritis.

Kontekstualisasi Kebijakan E-Voting di Indonesia: Langkah Awal Menuju Transformasi Demokrasi Digital

Di Indonesia, penerapan E-Voting dapat menghadirkan peluang besar yang dapat menawarkan solusi yang lebih efisien. Namun, penerapan E-Voting memerlukan langkah-langkah kebijakan yang mencerminkan realitas sosial-politik. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan yaitu Pemerintah harus berinvestasi dalam pembangunan jaringan internet yang merata, terutama di wilayah terpencil. Infrastruktur teknologi yang andal adalah prasyarat utama keberhasilan E-Voting. Program literasi digital harus diperluas untuk memastikan bahwa masyarakat memahami cara kerja E-Voting dan dampaknya terhadap proses demokrasi. Perlu juga format pengawasan dan akuntabilitas melalui transparansi dalam pengelolaan sistem E-Voting yang mengharuskan pemerintah untuk memastikan bahwa sistem ini diawasi oleh lembaga independen untuk menjamin keadilan dan legitimasi (Dahlberg, 2015).

E-Voting adalah peluang besar untuk memperkuat demokrasi dengan meningkatkan partisipasi dan transparansi. Namun, teknologi ini juga membawa tantangan serius yang tidak boleh diabaikan. Demokrasi digital yang sehat memerlukan pendekatan yang seimbang antara pemanfaatan teknologi dan perlindungan nilai-nilai inti demokrasi (Nugroho dan Utami, 2021). Tanpa pengawasan yang cermat dan kebijakan yang inklusif, E-Voting dapat menjadi alat kekuasaan baru yang merusak prinsip kedaulatan rakyat sebagai dasar demokrasi. Oleh karena itu, masa depan demokrasi digital terletak pada kemampuan untuk menjaga teknologi yang dapat menjadikan rasio manusia tidak hanya menjadi pelayan mekanis para aktor politik yang memiliki kepentingan elektoral, tetapi juga yang mampu mensimulasi kesadaran secara teknologis melalui teknologi. Simulasi ini hanya dapat dilalui melalui proses kreatif yang melibatkan kerangka kolektif dan korporatif manusia seluruhnya.

Kebijakan E-Voting di Indonesia bukan hanya soal modernisasi pemilu, tetapi juga cerminan transformasi demokrasi di era digital. Melalui perspektif McLuhan, kita memahami bahwa E-Voting bukan sekadar alat, melainkan agen perubahan sosial-politik. Penerapan E-Voting harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan hukum, partisipasi politik, dan transparansi. Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan teknologi ini, tetapi keberhasilan kebijakan E-Voting memerlukan sinergi antara teknologi, hukum, dan pendidikan politik. Dengan pendekatan yang tepat, E-Voting dapat menjadi fondasi bagi transformasi demokrasi digital yang lebih kuat dan berkelanjutan di Indonesia.

Referensi

McLuhan, Herbert Marshall. 1964. Understanding Media: The Extensions of Man. New York: McGraw-Hill.

Castells, Manuel. 1996. The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell Publishers.

Dahlberg, Lincoln, dan Siapera, Eugenia (ed.). 2015. The SAGE Handbook of Digital Journalism. London: SAGE Publications.

Hague, Barry N., dan Loader, Brian D. 1999. Digital Democracy: Discourse and Decision Making in the Information Age. London: Routledge, 1999.

Ismail, Fadli. 2022. “Keamanan Siber dalam Pemilu Digital: Tantangan untuk Indonesia.” Jurnal Teknologi Informasi dan Keamanan, Vol. 8, No. 2 (2022_.

Nugroho, Rahma, dan Sri Utami. 2021. “Potensi dan Tantangan E-Voting di Indonesia: Kajian Hukum dan Teknologi.” Jurnal Hukum dan Demokrasi, Vol. 5, No. 1 (2021).

.
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.